Setelah drama semalam, Renata bangun kesiangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Ia menoleh ke sekeliling untuk memindai keberadaan Bagastya. Kamar itu hanya terisi dirinya. Aita bangkit dan mencari ke ruang tengah. Tak ada jejak lelaki itu.
“Lea, Pak Bagas ke mana?” tanyanya pada asisten rumah tangga.“Tadi berangkat sewaktu masih gelap. Enggak tahu ke mana, Bu.”Rasa kesal dan kecewa segera menggelembung di hati Renata. Ia kembali ke kamar untuk mencari ponsel. Ternyata ada pesan dari Bagastya tadi pagi.Aku berangkat subuh, soalnya udah janji mengantar Nayla ke Dufan.Napas Renata sontak tersengal. Mereka sekarang tengah piknik ke Dufan! Bayangkan itu! Dibantingnya ponsel ke sembarang arah. Beruntung benda itu terempas di kasur, memantul aqqaasedikit, kemudian mendarat di bantal sehingga Renata tidak perlu kehilangan hak milik lagi.Tetap sayang? Tetap milikku? Semuanya akan baik-baik saja? Aku bahkan akan menikmatinya? Preeettt!Renata ingin menangis. ApaRenata dan Ines kembali ke rumah dengan setengah berlari. Duda tampan di seberang itu bagai magnet bagi keduanya. Saat sampai di depan rumah Renata, pria itu tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon."Bang, sudah lama datang?" tanya Ines dengan terengah."Baru aja." Satria berdiri, kemudian menyalami keduanya."Kok enggak masuk, nunggu di rumah saya?" tanya Renata."Ah, sungkan. Saya lebih senang duduk di pinggir sungai ini sambil melihat orang olahraga di hutan kota.""Mana barangnya, Bang?" tanya Ines lagi.Satria menunjuk dua koper besar yang diletakkan di depan pintu gerbang.
Renata menyetir dengan berdebar. Sosok jangkung di sampingnya membuat jantung bergetar. Semakin diamati, pria itu semakin mengundang rasa ingin tahu. Selain postur tubuh dan wajah yang rupawan, raut wajah itu begitu unik karena memancarkan sesuatu yang asing.Renata banyak berjumpa dengan klien dari berbagai kalangan. Ia terbiasa untuk mengenali kepribadian orang. Dari yang paling pendiam hingga yang senang berbicara berember-ember banyaknya. Dari yang mudah dimengerti hingga yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk mendekati. Dari semua jenis kepribadian itu, tidak ada yang seperti pria di sampingnya ini. Walau mudah tersenyum dan cukup banyak berbicara, auranya dingin, seperti terdapat semacam benteng yang membatasi mereka.“Kita mencari panggan
Renata dan Satria membawa barang – barang belanjaan masuk ke rumah. Renata meminta Satria membawa troli ke teras belakang yang menyambung dengan dapur. Ia sengaja merancang dapur terbuka agar saat meracik masakan bisa mendapat udara segar dan menikmati pemandangan taman serta koleksi sukulen milik Bagastya. Untuk itu ia meletakkan meja kayu panjang di tengah teras untuk melakukan pekerjaan dapur seperti memotong dan membersihkan bahan makanan. Bagastya kerap ikut duduk di situ. Sambil mengamati tanaman kesayangan, ia mengambil lauk yang selesai di goreng. Tak jarang makanan itu nyaris habis di meja itu tanpa sempat disajikan di ruang makan.Sambil mencuci ikan yang telah disiangi oleh penjual, Renata mengembuskan napas panjang berkali - kali. Betapa berbedanya situasi saat ini. Tidak ada Bagastya yang duduk di belakangnya, m
Sementara itu, di suatu tempat di Dufan..."Capek, Dew?" tanya Bagastya. Mereka duduk di restoran yang terletak di pinggir laut. Makan siang telah habis dan kini saatnya menikmati pemandangan pantai Ancol dengan ombak yang bergulung serta angin yang semilir. Bertiga dengan Dewi dan Nayla, Bagastya mengistirahatkan tubuh setelah sepanjang pagi berkeliling lokasi."Enggak. Biar aja begini," ujar Dewi yang menggendong Nayla. Balita itu tertidur. Barangkali kelelahan karena seharian berputar di area bermain. Mereka mengunjungi bianglala, sea world, menaiki berupa-rupa wahana dan mengunjungi berbagai pertunjukan menarik. Bagi orang dewasa kegiatan itu cukup menguras tenaga. Apalagi bagi gadis sekecil Nayla. Beruntung anak itu tidak rewel.
Bagastya memejamkan mata, menikmati sentuhan yang merayapinya. Semalam ia tidak mendapat jatah dari Renata sehingga kantung di bagian bawah itu berdenyut keras minta dikosongkan. Denyutan itu bagaikan teriakan orang kelaparan yang benar – benar mendesak minta dikenyangkan. Bagastya tak ingin menahan sekarang. Ia bisa gila dan terkena darah tinggi! Akan tetapi, ia juga tidak ingin membuka tubuh Dewi. Sejenak kebingungan memenuhi otak. Sebenarnya ia tidak boleh atau tidak mau? Entahlah. Segala nalurinya berkata bahwa ia hanya ingin membuka dan melihat milik Renata. Hanya Renata!Tangan Dewi terus bekerja di tubuh Bagastya. Segenap jiwa pria itu ingin mencapai puncak saat ini. Akan tetapi, ia ingat tidak boleh melakukannya saat belum sah. Ditepisnya tangan Dewi dan dikembalikan ke tempat semula. Sesudah itu ia menghambur ke kamar man
Renata terbangun menjelang subuh. Saat membalikkan badan, Bagastya telah meninggalkan kasur. Suara gemericik dari dalam kamar mandi membuat Renata menduga bahwa pria muda itu tengah bersiap untuk pergi. Otaknya langsung memikirkan berbagai kemungkinan, ke mana kira – kira pasangan selingkuh itu akan menghabiskan hari Minggu. Mungkinkan menonton, makan, atau mendekam di kamar hotel? Renata duduk seraya menggaruk kepala untuk menghilangkan pikiran yang pasti akan membuat hati kembali panas. Tak berapa lama, Bagastya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana panjang kain dan kaus polo. Otomatis penampilan itu membuat Renata keheranan.“Mau ke mana?” tanya Renata. Ia menyesal saat kalimat itu terlontar. Bila jawabannya ternyata menusuk hati, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Lain kali mulutnya akan dijaga benar &
Renata mengembalikan tas plastik berisi matoa kepada Ines. “Aku titip kamu sementara. Aku mau lari lagi.” Tanpa menoleh kepada Satria, ia melesat pergi.Aku masih istri orang. Aku belum resmi bercerai. Suamiku masih serumah. Sekarang apa yang Satria pikir tentang kamu, Renata?Batin Renata memberontak keras. Apa ia salah bila menginginkan seseorang yang lain? Mengapa saat menemukan orang itu kondisinya begini? Ya, ampun! Ia pasti sudah gila! Mengapa melihat pria itu bersama Ines ia kebingungan?Langkah Renata menjadi kacau, terutama karena matanya mulai mengabur. Ia kesal sekali pada dirinya sendiri. Mengapa segala sesuatu menjadi pilu? Mengapa?
Renata mengerjap takjub pada pria muda di hadapannya. Mengenakan kaus putih yang dilapis kemeja kotak – kotak hitam serta celana denim hitam, penampilan Satria terlihat santai. Poninya disisir rapi dan terlihat basah. Walau cahaya lampu teras itu temaram, bibir kemerahan Satria tetap terlihat jelas. “Bang? Ayo duduk,” ujar Renata setelah otaknya bekerja dengan sempurna. Dibukanya pintu lebih lebar sehingga pria itu bisa masuk dengan leluasa.“Sepi sekali. Suamimu belum datang?” tanya Satria. Ia mengambil tempat di dekat dengan pintu masuk. Di kursi tamu yang empuk itu ia duduk dengan seraya menumpangkan kaki kiri di atas kaki kanan. Kedua tangan bersilang dan ditumpukan di paha. Santai dan anggun. Renata seperti berhadapan dengan seseorang yang biasa menghadapi banyak karyawan. Apakah memang demikian,
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem
Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum
Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di
Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te
Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”