Share

OTW 4

Penulis: Melo_di_Kata
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-19 00:37:56

Pacarku itu cuma satu, Dewi!

Teganya Bagastya mengucapkan kalimat penghinaan itu padanya. Apa dia tidak sadar telah menyakiti hati istrinya, bagai menyayat dengan sembilu?

"Renata! Jawab!" desak Bagastya.

"Jawab dulu, kamu ada hubungan apa sama Ines? Kamu pacaran juga dengan dia?"

"Enggak, dong! Ines belum terbukti bisa punya anak. Ngapain aku coba-coba sama dia?"

Ooo, jadi semua ini masih tentang anak? batin Renata. 

Dewi memang memiliki satu anak. Ia telah berpisah dari suaminya dua tahun yang lalu. Entah bagaimana status pernikahan mereka. Apakah telah bercerai secara resmi atau masih menggantung, Renata tidak mau menelisik lebih lanjut. 

Dari mana Renata tahu perihal Dewi? Oh, Renata punya banyak kenalan dan hobi stalking. Menggali informasi adalah salah satu keunggulan yang ia miliki yang mengantarkannya mendapatkan klien - klien kelas kakap sebagai nasabah perusahaan sekuritas tempatnya bekerja.

"Kalau udah tahu dari Ines, kenapa tadi nggak sekalian tanya apa alasanku pindah?" balas Renata dengan nada sinis.

"Dia enggak sempat nanya kamu karena keburu kebelet beol!"

Luar biasa sekali suami dan tetangganya ini. Sampai hal sekecil itu pun Bagastya mengetahuinya dari Ines. Renata semakin curiga kedua orang itu pernah menjalin hubungan. 

"Dengar, ya, Bagastya. Kamu bilang aku juga harus keluar dari rumah itu kalau kamu pindah. Jadi, rumah bakal kosong, kan? Makanya aku mikir lebih baik disewakan. Lumayan, ada yang menjaga dan mengurus, sekalian dapat tambahan uang."

Bagastya tidak menjawab untuk beberapa saat. Akhirnya ia membuka mulut juga. "Berapa harga sewanya?"

Renata menyebutkan sejumlah nilai yang cukup besar.

"Hmmm, aku dapat berapa?" Nada suaranya dingin, membuat Renata yang semula ingin berbagi uang sewa berubah pikiran.

"Enak aja! Kamu nggak modal buat beli rumah dan tanahnya, nggak malu minta bagian uang sewa? Aku tuh, sebagai istri yang harus kamu santuni, bukan sebaliknya! Mana yang katanya kodrat lelaki menghidupi istri? Mana, manaaaa?!" Renata memekik tanpa rem lagi. 

"Iya, iya! Aku enggak minta. Tapi kamu urus barang-barangku!" balas suaminya.

Sudut bibir Renata langsung melengkung ke atas. Yes! Apa susahnya mengurus barang? Asal uang sewanya utuh tanpa harus berbagi dengan Bagastya, ia senang-senang saja.

"Beres. Nanti aku kirim pakai pick up ke rumah Dewi."

"Kok ke sana? Enggak dong! Kamu bener-bener udah keterlaluan! Kamu pikir aku kumpul kebo, ya? Aku cuma pegang tangan dan cium bibir aja!"

"Seneng banget mengulang-ulang bagian cium bibir itu," sindir Renata. "Siapa yang ngomong kalau istri kedua itu untuk 'ehm-ehm' tempo hari, hah?"

"Otakmu itu udah keracunan apa? Kamu pikir 'ehm-ehm' itu apa?"

Renata mati kutu. "Terserah, kalian cuma cium bibir, cium dada, atau cium pantat sekalipun, aku enggak peduli. Itu urusanmu sama dia dan Tuhan. Sekarang mau dikirim ke mana barang-barangmu?"

"Ke Karawaci."

"Kamu mau menumpang di rumah orangtua?"

"Pikirmu ke mana? Ooo, apa aku pindah yang dekat aja, ya? Rumah Ines kayaknya terbuka buat satu penghuni lagi ...."

Renata kontan membentak, "%@#$&&&$#@%!!!!!"

***

Dengan penawaran menarik bahwa Bagastya tidak meminta uang sewa, dengan suka cita Renata mengemasi barang lelaki itu. Ia juga menyiapkan makanan kesukaannya, capcay dan cumi goreng tepung. Hitung-hitung sebagai santap malam terakhir sebelum mereka berpisah. Bukankah lebih baik memberikan kenangan manis daripada ingatan buruk yang membuat hati masam?

Matahari telah condong ke barat dan memberikan rona kemerahan pada langit. Renata hilir mudik dari dapur yang dirancang terbuka di teras belakang dan ruang makan yang memiliki pemandangan taman. Dulu, saat masih mesra dengan sang suami, duduk berdua di meja makan sambil minum kopi dan mengunyah camilan adalah kegiatan mereka saat senja dan hari libur. Bagastya senang dengan tanaman. Di teras belakang itu, berbagai koleksi tanaman sukulen[1] miliknya berjejer dan sangat terawat, bahkan hingga sekarang. Sebuah pohon mangga harum manis tumbuh subur di sudut taman, mendampingi pohon pepaya dan jeruk nipis. Pria itu suka minuman yang dibuat dari perasan jeruk. 

Mengingat semua kenangan itu, sebongkah es seperti dilemparkan ke dada. Menyesakkan, nyeri, serta dingin. Kaki Renata mendadak lemas. Ia terduduk di kursi makan dan menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya berguncang keras. Isakannya jebol mengisi sudut-sudut rumah yang lengang.

Saat Bagastya tiba di rumah, hari masih terang. Jarak tempuh rumah-kantor hanya sekitar 30 menit bila tanpa macet. Mendengar isak tangis sang istri, mau tak mau hatinya melorot dan mengerut. Ia sadar penuh bahwa hari ini adalah titik balik perjalanan biduk rumah tangganya bersama Renata.

Dengan hati-hati, diletakkannya tas di dekat tangga, lalu dilepasnya sepatu dan melanjutkan langkah tanpa membuat suara. Ia tidak ingin mengganggu Renata. 

Barang - barang mereka sebagian besar telah dipindahkan, menyisakan ruang - ruang serta sudut-sudut kosong yang terasa asing. Akan sekosong itu jugakah hatinya setelah berpisah dengan Renata? Ia memang ingin memiliki istri satu lagi, akan tetapi tak pernah membayangkan akan kehilangan seperti sekarang ini. 

Ruang tengah mereka menyatu dengan ruang makan sehingga saat memasuki rumah dari pintu di dekat garasi, ia langsung bisa melihat Renata yang duduk di ruang makan. Wanita itu sesenggukan tanpa melihat ke arahnya. Bagastya mendekat dengan perlahan. Perih juga hatinya mendengar ratapan lirih yang keluar dari bibir mungil sang istri. 

"Renata?" panggilnya.

Wanita itu mendongak. Mata sembabnya segera dikeringkan dengan kedua telapak tangan. "Kamu sudah pulang?" sapanya dengan suara serak.

Bagastya mengangguk lalu duduk di kursi terdekat. Ia tidak percaya, esok sudah tidak ada lagi makan berdua seperti ini. Pasti itu pula yang dirasakan Renata hingga sesenggukan. Sudah berapa lama istrinya menangis? Sungguh, ia merasa iba. Tanpa sadar, tangannya terulur meraih tangan Renata dan menggenggam dengan erat. Bukan untuk menyatakan perasaan sayang. Tidak tepat seperti itu. Lebih cocok bila disebut sebagai upaya mencari kekuatan untuk melangkah ke masa depan, yang di dalamnya tidak ada Renata.

Renata menoleh. Matanya langsung berhadapan dengan wajah Bagastya yang tengah memandang ke jendela. Bila dipandang dari samping, pria itu sangat menarik. Walau tingginya rata-rata, Bagastya memiliki hidung mancung, mata lebar dengan bulu mata lebat, serta rambut ikal, yang dulu membuatnya jatuh cinta hingga setengah hidup.

Bagastya tidak memandang ke arahnya. Raut wajah itu tercenung seolah yang di hadapannya adalah ruang hampa yang gelap. Hanya ibu jarinya terus bergerak, mengelus tangan Renata dengan lembut. 

Renata sebenarnya heran dengan sikap itu. Bukankah Bagastya sudah memiliki Dewi yang lebih seksi dan ahli bercinta? Begitu yang selalu dikatakan pria itu secara tidak langsung, walau sesudahnya selalu mengatakan bahwa masih mengharap Renata mendampingi sebagai istri pertama dan satu-satunya istri resmi menurut hukum negara. Lantas, apa arti wajah terluka itu?

"Aku kangen kita yang begini," bisik lelaki itu. Matanya benar-benar menyorotkan duka. Renata tidak yakin Bagastya hanya berakting.

Aku juga, Bagastya. Kangen banget! Andai saja tidak ada orang ketiga ....

Renata segera menarik tangan. Ia tidak boleh lemah. Prinsip tidak mau dimadu tidak boleh ditawar!

Wanita itu berdiri untuk membuka tudung saji dan meletakkannya di atas kulkas. Kemudian ia mengambil air dari dispenser untuk suaminya. Saat hendak membalikkan badan, Bagastya telah mendekat dari belakang. Kedua lengan yang kokoh melingkar di pinggang Renata. Dagu lelaki itu disandarkan ke lekuk leher sehingga membuat napas Bagastya mengembus ke pipi. 

"Aku kangen, Renata," bisiknya. Tangan Bagastya meraih gelas dari genggaman sang istri, kemudian meletakkannya di atas dispenser. Sesudah itu, tangan kokohnya menjelajah tubuh lembut yang memancarkan aroma harum.

Aku juga! jerit hati Renata. Ia tidak menampik, bahwa tubuhnya menikmati sentuhan itu. Bukankah ia perempuan muda yang sehat dan penuh hormon? Sudah berapa bulan mereka tidak melakukannya? Sejak mereka pisah kamar, berarti lebih dari tiga bulan. 

Astaga!

Sejenak, Renata memejamkan mata. Sentuhan itu membuat otot-otot mengendur. Ketegangan yang mencengkeram hati lenyap, berganti rasa hangat yang sangat nyaman.

Oh .... Bagastya! 

Jemari suaminya kini menyusup ke balik baju, menjumpai miliknya yang telah lama tidak dijamah. Renata semakin lemas. Tanpa dikomando, ia membalikkan badan. Bibirnya segera mencari keberadaan bibir tebal nan ranum milik Bagastya. Ia menurut saja ketika pria itu mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan, lalu menderap menuju kamar.

***

[1] tumbuhan sukulen adalah tumbuhan yang batang atau daunnya berdaging tebal sebagai tempat menyimpan air, misalnya kaktus dan lidah buaya.

-------------------------------------------------------

Bab terkait

  • OTW Menjanda   OTW 5

    Renata pasrah dalam gendongan Bagastya. Beruntung kasur mereka belum dibereskan sehingga masih bisa digunakan. Sebenarnya Renata tadi sudah melipat bed cover dan hendak melepaskan seprei.Entah mengapa, tangannya berhenti melepas karet-karet dari sudut kasur dan justru merapikannya kembali. Ia bahkan membentangkan bed cover lalu merebahkan diri di atasnya seraya mengelus permukaan kain yang lembut dan harum itu dengan penuh perasaan, seolah tengah membelai seseorang yang biasa berbaring di sana. Seiring dengan itu, hatinya retak dan kepingannya rontok satu demi satu. Ia merindukan sosok yang selalu ditemui saat membuka mata di pagi hari. Sosok yang kini membaringkannya di sini dan merapatkan tubuh hingga napasnya terasa membelai kulit.“Renata ….” Bagastya mengerang lirih seraya menyibakkan rambut Renata yang menutupi wajah. Panggilan itu terasa dipenuhi luka.“Bagas ….” Renata membalas dengan dengan lirih, lebih mirip desahan. Ia merindukan pria ini sampai ke sums

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OTW Menjanda   OTW 6

    Darah Renata memanas. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Bagastya, ia membalikkan badan hendak turun. Ternyata ia tidak bisa pergi begitu saja. Tangannya ditahan dengan kuat oleh suaminya. Bagastya menarik paksa tubuh sang istri yang masih tanpa busana hingga ambruk ke sisinya. Mereka baru saja menikmati momen yang luar biasa. Mengapa harus dirusak dengan pertikaian?"Ayolah, jangan berdebat. Aku masih ingin memelukmu seperti ini, Renata," mohon pria itu dengan nada memelas.Renata tidak melawan. Ia balas melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. "Aku juga masih ingin seperti ini. Enggak cuma sebentar, tapi selamanya.""Renata, aku mohon dengan sangat. Ini bukan cuma demi kesenanganku, tapi demi Mama. Kamu mungkin marah karena merasa tidak adil. Tapi, coba, kalau kamu ada di posisi mama atau ada di posisiku. Apa yang kamu rasa?""Kok kamu gitu? Kalau sebaliknya, kamu jadi aku, apa yang kamu rasa?""Loh, kalau kita enggak punya anak

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OTW Menjanda   OTW 7

    Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet.Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan.Selesailah sudah.Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Sel

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OTW Menjanda   OTW 8

    Renata merapikan rumah dan letak perabot yang tersisa agar terlihat menarik untuk ditawarkan kepada calon penyewa. Ia memastikan seluruhnya dapat digunakan dengan baik. Beberapa bagian tembok yang terlihat kusam telah dicat kembali sehingga tampilan rumah itu semakin cerah. Sekarang tinggal menunggu kabar tentang calon penyewa dari Ines.Sudah tiga hari ia dan Bagastya tidak berkomunikasi. Kontak terakhir hanya berupa pesan singkat dari Bagastya yang mengabarkan bahwa barang-barangnya telah sampai dengan selamat. Itu saja. Renata juga tidak berharap lebih. Pasti pria itu semakin fokus dengan calon istrinya. Mungkin mereka tengah sibuk merencanakan pernikahan.Ah, mengapa masih saja ada rasa nyeri di hati bila mengingat itu? bukanlah ia telah memantapkan hati untuk melupakan masa lalu. Bahkan tiga hari yang lalu ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan hati riang. Mengapa tidak mendengar suaranya ia gelisah seperti ini?Lebih parah lagi, Bagastya ternyata b

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OTW Menjanda   OTW 9

    Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas."Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu."Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"Renata dan Ines mengangguk bersamaan."Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?""Tiga puluh?""Tiga puluh satu?"Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembal

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OTW Menjanda   OTW 10

    Renata merasa lega akhirnya rumah itu laku disewa. Uangnya lumayan, begitu pula penghuni baru itu. Sebagai tetangga, Satria begitu menggairahkan. Apakah jalan mereka akan beriringan di masa depan? Renata memang tidak berharap banyak. Akan tetapi, bukan sebuah kebetulan bila pria itulah yang mengontrak rumahnya, bukan?“Abang enggak bawa mobil, kan? Gimana kalau saya antar?” tanya Ines.Lagi-lagi Renata kagum dengankebrangasankecepatan tindakan wanita itu. Barangkali karena pedagang, ia terbiasa menangkap peluang dengan sekejap mata.“Oh, saya pesan taksi online aja. Rumah saya kan jauh. Nanti merepotkan,” tolak Satria secara halus.Ines terlihat kecewa. Namun senyum Satria membuatnya bersemangat kembali, dan itu membuat perut Renata penuh.Ada apakah antara Ines dengan Satria?Seseorang mengetuk pintu.“Nah, si Pinah datang. Sebentar, ya!” Ines melesat ke depan untuk menerima orang itu. Saat kembali ke ruang tengah, di

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OTW Menjanda   OTW 11

    Renata mandi dengan lesu dan masih terisak-isak. Bagaimana tidak, setelah tadi sore menoreh luka di hati karena jalan dengan Dewi, sekarang Bagastya malah membentak-bentak seolah yang bersalah itu dirinya. Belum cukup hanya dengan tindakan yang membuat cemburu, lelaki itu mulai menggunakan kekerasan.“Renata? Kamu enggak papa di dalam situ?” Bagastya mengetuk pintu beberapa kali. Karena Renata terlalu lama di dalam, ia mulai resah.“Renata? Renata!”“Apa lagi?” Terdengar balasan yang cukup keras. Rupanya yang dipanggil merasa risih. “Kenapa panggil-panggil?”“Enggak, enggak. Aku takut kamu kenapa-napa.”Renata kontan manyun mendengar itu.Apa gunanya menanyakan itu sekarang, Bagastya? Sejak kamu memiliki Dewi, aku enggak pernah baik-baik aja.Tangis Renata pun kembali terburai. Bahkan aroma wangi sabun dan guyuran air hangat tidak mampu membuatnya merasa lebih nyaman.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, Renata keluar deng

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OTW Menjanda   OTW 12

    Setelah drama semalam, Renata bangun kesiangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Ia menoleh ke sekeliling untuk memindai keberadaan Bagastya. Kamar itu hanya terisi dirinya. Aita bangkit dan mencari ke ruang tengah. Tak ada jejak lelaki itu.“Lea, Pak Bagas ke mana?” tanyanya pada asisten rumah tangga.“Tadi berangkat sewaktu masih gelap. Enggak tahu ke mana, Bu.”Rasa kesal dan kecewa segera menggelembung di hati Renata. Ia kembali ke kamar untuk mencari ponsel. Ternyata ada pesan dari Bagastya tadi pagi.Aku berangkat subuh, soalnya udah janji mengantar Nayla ke Dufan.Napas Renata sontak tersengal. Mereka sekarang tengah piknik ke Dufan! Bayangkan itu! Dibantingnya ponsel ke sembarang arah. Beruntung benda itu terempas di kasur, memantul aqqaasedikit, kemudian mendarat di bantal sehingga Renata tidak perlu kehilangan hak milik lagi.Tetap sayang? Tetap milikku? Semuanya akan baik-baik saja? Aku bahkan akan menikmatinya? Preeettt!Renata ingin menangis. Apa

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19

Bab terbaru

  • OTW Menjanda   OTW 41

    Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.

  • OTW Menjanda   OTW 40

    Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar

  • OTW Menjanda   OTW 39

    Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq

  • OTW Menjanda   OTW 38

    Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”

  • OTW Menjanda   OTW 37

    Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem

  • OTW Menjanda   OTW 36

    Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum

  • OTW Menjanda   OTW 35

    Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di

  • OTW Menjanda   OTW 34

    Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te

  • OTW Menjanda   OTW 33

    Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”

DMCA.com Protection Status