Kotak berbagai ukuran masih terus keluar dari rumah Renata menuju rumah sebelah. Beruntung jalan di depan kediaman mereka itu adalah pembatas kompleks yang langsung berhadapan dengan sungai dan hutan kota sehingga aktivitas pindahan itu tidak perlu disaksikan oleh penghuni lain. Renata malas saja menjawab pertanyaan orang mengapa ia pindah.
Oh, kami akan bercerai, sehingga memutuskan berpisah rumah. Renata meringis membayangkan reaksi orang-orang atas kabar tak sedap itu. Akan tetapi, itulah yang harus ia hadapi di hari - hari mendatang.
Peluh membasahi wajah dan baju Renata. Napasnya terengah saat mengangkat kardus terakhir keluar rumah. Baru melangkah beberapa tapak dari pintu gerbang, sebuah mobil kecil berwarna putih menepi lalu berhenti di depannya.
“Renata? Angkut - angkut apa?” Wajah manis berhidung mancung dan berambut ikal muncul dari balik kaca jendela yang diturunkan.
Renata mengeluh dalam hati. Ia kenal wanita ini, janda penghuni rumah di ujung jalan. Jaraknya hanya selisih tiga petak dari miliknya.
“Enggak apa - apa. Cuma mau pindah ke rumah Mama. Dari mana, Nes, jam segini kok udah pulang?”
Wanita yang sehari - hari dipanggil Ines itu meringis. “Aku diare. Tadi makan rujak. Nggak lama kok mules - mules. Ngomong - ngomong kenapa pindah ke rumah orangtua?”
“Rumah ini mau aku sewakan,” jawab Renata dengan singkat. sebenarnya ia enggan menanggapi wanita itu. Ines, kalau sudah bicara, tidak tahu titik.
“Loh, kenapa?” Naluri penggosip Ines langsung bereaksi.
“Enggak ada apa-apa. Kami butuh uang.”
Mata janda tanpa anak itu langsung melebar. Bila menyangkut segala hal yang berbau uang, Ines cepat tanggap.
“Oh, ya? Berapa? Aku bantu cari penyewa, boleh? Kamu kasih aku komisi berapa?”
Renata menggigit bibir seraya berpikir sejenak. Ines memiliki toko komputer di BSD Junction. Pasti kenalan dan pelanggannya banyak. Buktinya ia bisa menjual apa saja. Mulai komputer, mobil, perhiasan, hingga tanah dan rumah. Daripada keluar uang untuk memasang iklan, lebih baik menyetujui tawaran Ines.
“Boleh,” sahut Renata pada akhirnya.
Ines tersenyum lebar. “Komisinya 10%!”
“Sebanyak itu?” Renata langsung mendelik. “Enggak sekalian minta leherku, Nes? Kebangetan kamu. Tega benar sama tetangga sendiri.”
Ines tergelak. “Kalau kamu memakai jasa agen properti, segitu juga potongannya.”
“Satu persen aja!”
“Tujuh setengah.”
“Ogah! Dua persen.”
“Lima!”
“Dua setengah! Kalau enggak mau, ya, udah!”
Wajah Ines berkerut seperti menahan sesuatu.
“Deal, dua setengah! Udah, ya, nggak tahan mulesnya nih.” Sesudah itu ia melajukan mobil kembali.
Renata tergelak. “Deal, dua setengah, ya! Enggak pakai lama lakunya,” serunya. Dalam hati sebuah doa dilambungkan agar Ines segera mendapatkan calon penyewa.
Ibunda Renata telah menunggu di ruang tengah saat Renata masuk membawa kardus terakhir.
Diletakkannya benda itu di lantai dekat dengan tangga.
“Barang - barang Bagastya sudah dikemas juga?” tanya ibunya.
“Belum. Malas, ah. Biar dia mengurusnya sendiri.”
“Uang sewanya dibagi dua?”
“Keenakan dia kalau dibagi dua. 70 - 30, Ma. Kalau dia mau, dia dapat segitu. Kalau enggak mau, malah enggak dibagi. Rumah dan tanah itu aku yang keluar uang, loh.”
“Mama setuju! Menjadi perempuan itu harus tegas. Untung kamu tidak menurut waktu dia minta buat berhenti kerja. Kalau kondisinya begini, mau jadi apa kamu?”
Renata mengangguk. Ia masih teringat perdebatan mereka panjang soal pekerjaan. Bagastya kesal karena Renata tidak mau tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga.
“Kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga!” tukas suaminya waktu itu.
Tentu saja Renata menolak keras. “Lah, kodrat laki - laki apa? Menikahi banyak perempuan?”
“Loh, kok selalu lari ke topik itu? Tugas lelaki itu menghidupi istri dan anak!”
“Ooo, enggak salah itu. Yang salah adalah, kamu timpakan semua urusan rumah tangga ke aku. Kamu enggak paham, kalau mengurus rumah tangga itu harus bersama - sama antara suami dan istri?”
Renata masih ingat, setelah bersilat lidah panjang, Bagastya menatapnya tajam.
“Kamu menuntut hak? Sekarang aku juga mau menuntut hakku sebagai suami! Mana hakku untuk punya anak? Kamu udah bisa kasih anak ke aku? Kalau udah, silakan tuntut hakmu, akan aku berikan dengan senang hati.”
Renata menatap suaminya dengan nanar. Ia bahkan tidak percaya telah mencintai lelaki aneh ini. Apa yang dilihatnya selama pacaran dulu? Jangan - jangan Bagastya menggunakan jasa ‘orang pintar’ untuk mengikat hatinya.
“Jadi anak itu kamu anggap hakmu, hah?!” pekik Renata dengan emosi memuncak. “Anak itu titipan Tuhan! Dikasih bagus, enggak dikasih pun enggak mengapa!”
Sekarang Renata paham, mengapa sampai sekarang mereka tidak mendapat karunia itu. Barangkali Sang Pencipta tidak berkenan menitipkan seorang jiwa pada mereka karena tidak yakin bisa dibesarkan dengan baik.
“Renata?” Suara ibunya membuyarkan lamunan.
“Ya, Ma?”
“Ingat tidak, Mama pernah bilang, kalau suami yang mengotot meminta istrinya berhenti bekerja itu seringkali selingkuh?”
Renata meringis. “Itu teori dari mana, Mama?”
“Nah, itu Bagastya buktinya. Tahu enggak, kenapa mereka begitu?”
Renata melengos. Tentu saja ia tahu. Sudah puluhan kali topik ini mereka bicarakan. Oh, bukan hanya puluhan, melainkan ratusan kali.
“Mereka melarang istri bekerja, supaya si istri tidak punya penghasilan dan pergaulan. Kamu tahu, istri yang tidak punya penghasilan dan pergaulan itu bakal mudah untuk tunduk pada suami. Beda kalau sebaliknya. Mereka punya daya lawan dan daya tawar yang tinggi. Lihat, kamu contohnya. Kebayang tidak, seandainya kamu tidak punya pekerjaan?”
Renata berkedip-kedip saja. Dalam hati, ia mengakui kebenaran kata-kata sang ibu. Di sisi lain, banyak juga temannya yang berhenti bekerja setelah menikah, namun rumah tangga mereka baik - baik saja.
“Nah, kan? Mau jadi keset kaki lelaki? Mending kalau suamimu baik, setia, bertanggung jawab, mencukupi segala kebutuhan dan kesenanganmu. Kalau seperti Bagastya? Baru mendapat cobaan sedikit sudah ingin mencari perempuan lain. Lagipula, anak itu hasil berdua. Jangan kamu saja yang dikambinghitamkan!”
“Aku emang bukan kambing, dan aku enggak hitam, Mama!”
“Nah, kan? Benar teori Mama!”
“Itu baru satu kasus. Mana bisa disamaratakan ke semua lelaki?”
Sang ibu mencibir. “Kan Mama bilang tadi ‘biasanya’. Ya enggak semua. Mama bisa ngomong begitu karena pengalaman. Itu hasil pengamatan Mama selama 33 tahun berumah tangga.”
“Iya, Mama,” sahut Renata untuk mengakhiri perdebatan.
“Renata, karena kamu tinggal di sini, mulai sekarang semua biaya rumah kamu yang tanggung, ya?”
Kening Renata berkerut. “Apa aja itu?”
“Belanja sehari - hari, listrik, telepon, pembantu.”
“Oooke, Mama!”
“Setiap bulan Mama ke salon lalu jalan - jalan sama teman. Kamu kasih uang saku, ya?”
“Hah?”
Ibunya sontak berdecak. Mulutnya terbuka hendak menyampaikan protes. Renata sudah tahu apa yang akan dikatakan.
“Iya, iya!” Renata pasrah. Daripada uang dipakai untuk membiayai suami yang tidak setia, lebih baik untuk menyenangkan ibunya.
“Tas Mama juga sudah kumal ….”
Untuk hal satu ini, ibunya sudah keterlaluan. “Mama! Pakai aja tasku, tuh. Anakmu ini hampir janda, Mamaaaaa! Jangan dirampok, dong?” rengek Renata.
“Cuma begitu saja kok tidak mau. Kalau bukan minta ke kamu, Mama harus minta pada siapa?”
“Minta Mas Dodi, dong. Manajer kan gajinya buesar!”
“Mama takut sama istrinya!” Wajah wanita itu seketika berkerut.
Renata langsung terbahak. Ia tahu iparnya itu sangat perhitungan. Belum sempat memperhatikan reaksi ibunya lebih lanjut, teleponnya berdering. Ternyata Bagastya.
“Renata!” Nada suara pria itu langsung tinggi.
“Apa?!” Renata tidak mau kalah. Ia bingung, dari mana Bagastya tahu bahwa ia pindahan.
“Kamu apakan rumah kita, hah?” semprot suaminya.
“Rumah kita? Apa-apaan? Rumahku!” Renata balas menyemprot.
“Kenapa barang-barangnya dikeluarkan?”
“Kamu tahu dari siapa?”
“Ines barusan telepon!”
Jiwa paranoid Renata langsung terpicu. “Oooo, kamu sekarang teleponan sama Ines juga? Udah sampai mana hubungan kalian?” tanya Renata dengan nada sinis.
“Renata! Apaan, sih? Aku enggak selingkuh sama Ines. Jangan asal tuduh, ya! Pacarku itu cuma satu, Dewi!”
Segala binatang bertaring segera melintas di dalam benak Renata. Ingin ia perintahkan semua makhluk ganas yang ada di muka bumi untuk meremukkan pria yang tidak punya perasaan itu.
"Bagas. Kamu bisa enggak munduran lagi?"
"Mundur?"
"Iya mundur."
"Udah."
"Terus mundur."
"Udah."
"Kurang. Mundur lagi."
"Udah mentok tembok, Renata!"
"Enggak apa-apa mentok, mundur aja terus kalau bisa sampai jatuh ke jurang."
"Hah? Buat apa sih, nyuruh-nyuruh aku mundur?"
"Soalnya, bangsat kamu kelewatan."
***
Lanjut? Komen yang banyak ya, biar sy semangat lanjut
Pacarku itu cuma satu, Dewi!Teganya Bagastya mengucapkan kalimat penghinaan itu padanya. Apa dia tidak sadar telah menyakiti hati istrinya, bagai menyayat dengan sembilu?"Renata! Jawab!" desak Bagastya."Jawab dulu, kamu ada hubungan apa sama Ines? Kamu pacaran juga dengan dia?""Enggak, dong! Ines belum terbukti bisa punya anak. Ngapain aku coba-coba sama dia?"Ooo, jadi semua ini masih tentang anak? batin Renata.Dewi memang memiliki satu anak. Ia telah berpisah dari suaminya dua tahun yang lalu. Entah bagaimana status pernikahan mereka. Apakah telah bercerai secara resmi atau masih menggantung, Renata tidak mau menelisik lebih lanjut.Dari mana Renata tahu perihal Dewi? Oh, Renata punya banyak kenalan dan hobi stalking. Menggali informasi adalah salah satu keunggulan yang ia miliki yang mengantarkannya mendapatkan klien - klien kelas kakap sebagai nasabah perusahaan sekuritas tempatnya bekerja."Kalau udah tahu dari In
Renata pasrah dalam gendongan Bagastya. Beruntung kasur mereka belum dibereskan sehingga masih bisa digunakan. Sebenarnya Renata tadi sudah melipat bed cover dan hendak melepaskan seprei.Entah mengapa, tangannya berhenti melepas karet-karet dari sudut kasur dan justru merapikannya kembali. Ia bahkan membentangkan bed cover lalu merebahkan diri di atasnya seraya mengelus permukaan kain yang lembut dan harum itu dengan penuh perasaan, seolah tengah membelai seseorang yang biasa berbaring di sana. Seiring dengan itu, hatinya retak dan kepingannya rontok satu demi satu. Ia merindukan sosok yang selalu ditemui saat membuka mata di pagi hari. Sosok yang kini membaringkannya di sini dan merapatkan tubuh hingga napasnya terasa membelai kulit.“Renata ….” Bagastya mengerang lirih seraya menyibakkan rambut Renata yang menutupi wajah. Panggilan itu terasa dipenuhi luka.“Bagas ….” Renata membalas dengan dengan lirih, lebih mirip desahan. Ia merindukan pria ini sampai ke sums
Darah Renata memanas. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Bagastya, ia membalikkan badan hendak turun. Ternyata ia tidak bisa pergi begitu saja. Tangannya ditahan dengan kuat oleh suaminya. Bagastya menarik paksa tubuh sang istri yang masih tanpa busana hingga ambruk ke sisinya. Mereka baru saja menikmati momen yang luar biasa. Mengapa harus dirusak dengan pertikaian?"Ayolah, jangan berdebat. Aku masih ingin memelukmu seperti ini, Renata," mohon pria itu dengan nada memelas.Renata tidak melawan. Ia balas melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. "Aku juga masih ingin seperti ini. Enggak cuma sebentar, tapi selamanya.""Renata, aku mohon dengan sangat. Ini bukan cuma demi kesenanganku, tapi demi Mama. Kamu mungkin marah karena merasa tidak adil. Tapi, coba, kalau kamu ada di posisi mama atau ada di posisiku. Apa yang kamu rasa?""Kok kamu gitu? Kalau sebaliknya, kamu jadi aku, apa yang kamu rasa?""Loh, kalau kita enggak punya anak
Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet.Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan.Selesailah sudah.Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Sel
Renata merapikan rumah dan letak perabot yang tersisa agar terlihat menarik untuk ditawarkan kepada calon penyewa. Ia memastikan seluruhnya dapat digunakan dengan baik. Beberapa bagian tembok yang terlihat kusam telah dicat kembali sehingga tampilan rumah itu semakin cerah. Sekarang tinggal menunggu kabar tentang calon penyewa dari Ines.Sudah tiga hari ia dan Bagastya tidak berkomunikasi. Kontak terakhir hanya berupa pesan singkat dari Bagastya yang mengabarkan bahwa barang-barangnya telah sampai dengan selamat. Itu saja. Renata juga tidak berharap lebih. Pasti pria itu semakin fokus dengan calon istrinya. Mungkin mereka tengah sibuk merencanakan pernikahan.Ah, mengapa masih saja ada rasa nyeri di hati bila mengingat itu? bukanlah ia telah memantapkan hati untuk melupakan masa lalu. Bahkan tiga hari yang lalu ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan hati riang. Mengapa tidak mendengar suaranya ia gelisah seperti ini?Lebih parah lagi, Bagastya ternyata b
Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas."Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu."Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"Renata dan Ines mengangguk bersamaan."Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?""Tiga puluh?""Tiga puluh satu?"Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembal
Renata merasa lega akhirnya rumah itu laku disewa. Uangnya lumayan, begitu pula penghuni baru itu. Sebagai tetangga, Satria begitu menggairahkan. Apakah jalan mereka akan beriringan di masa depan? Renata memang tidak berharap banyak. Akan tetapi, bukan sebuah kebetulan bila pria itulah yang mengontrak rumahnya, bukan?“Abang enggak bawa mobil, kan? Gimana kalau saya antar?” tanya Ines.Lagi-lagi Renata kagum dengankebrangasankecepatan tindakan wanita itu. Barangkali karena pedagang, ia terbiasa menangkap peluang dengan sekejap mata.“Oh, saya pesan taksi online aja. Rumah saya kan jauh. Nanti merepotkan,” tolak Satria secara halus.Ines terlihat kecewa. Namun senyum Satria membuatnya bersemangat kembali, dan itu membuat perut Renata penuh.Ada apakah antara Ines dengan Satria?Seseorang mengetuk pintu.“Nah, si Pinah datang. Sebentar, ya!” Ines melesat ke depan untuk menerima orang itu. Saat kembali ke ruang tengah, di
Renata mandi dengan lesu dan masih terisak-isak. Bagaimana tidak, setelah tadi sore menoreh luka di hati karena jalan dengan Dewi, sekarang Bagastya malah membentak-bentak seolah yang bersalah itu dirinya. Belum cukup hanya dengan tindakan yang membuat cemburu, lelaki itu mulai menggunakan kekerasan.“Renata? Kamu enggak papa di dalam situ?” Bagastya mengetuk pintu beberapa kali. Karena Renata terlalu lama di dalam, ia mulai resah.“Renata? Renata!”“Apa lagi?” Terdengar balasan yang cukup keras. Rupanya yang dipanggil merasa risih. “Kenapa panggil-panggil?”“Enggak, enggak. Aku takut kamu kenapa-napa.”Renata kontan manyun mendengar itu.Apa gunanya menanyakan itu sekarang, Bagastya? Sejak kamu memiliki Dewi, aku enggak pernah baik-baik aja.Tangis Renata pun kembali terburai. Bahkan aroma wangi sabun dan guyuran air hangat tidak mampu membuatnya merasa lebih nyaman.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, Renata keluar deng
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem
Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum
Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di
Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te
Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”