“Nggak apa-apa. Cuma nggak sreg aja soalnya gue belum mandi.” Monique meleletkan lidah. “Elo sih, banguninnya pagi banget.”
“Biar elo gak mandi seharian pun gue gak bisa nyium bau badan elo.”
“Koq baru sekarang contact gue? Kemarin-kemarin ngapain?”
“Gue ke kampung nyokap. Sinyalnya jelek banget di sana. Nggak ada gunanya bawa ponsel biarpun katanya smartphone karena disana cuma bisa SMS atau nelpon doang.”
Monique tertawa. “Kesian. Terus, oleh-oleh gue mana?”
Dessy menunjukkan dua kardus pia Surabaya melalui webcam di laptopnya. “Gue nggak lupa koq. Nih, barangnya. Puas?”
“Wuiiih, kuenya banyak amat. Gitu dong. Gue bisa jual lagi dah di sekolah.”
“Dasar. Eh, tau nggak. Gue beli banyak soalnya lagi diskon gede-gedean. Sampe tujuh puluh persen!”
“Buset. Apa nggak rugi tuh orang yang jual?”
“Nggak lah. Daripada dibuang, hayo?”
“Koq dibuang?”
“Iya, soalnya k
“O iya. Elo emang pernah cerita tapi nggak sampe tuntas karena elo disuruh pergi sama Ibu Sissy. Pas balik, elo lupa lanjutin. Gue juga lupa nanyain. Tapi gue nggak nyangka kalo sampe setragis itu.” “Nggak nyangka?” Wajah Dessy makin pucat. Ia langsung diliputi rasa bersalah yang hebat. “Astaga. Koq gue jadi ngerasa kejem banget.” “Adri marah bukan cuma karena anjingnya mati. Selain itu, respon elo waktu kejadian tuh biasa aja. Innocent kaya’ gak punya dosa dan malah sempat cengangas-cengenges. Emang waktu kejadian elo nggak liat apa-apa dan nggak denger apa-apa?” “Waktu itu Arjun pasang musik kenceng-kenceng, makanya gue nggak denger apa-apa. Dan gue juga nggak liat karena...” Dessy mengingat-ingat saat kejadian, “oh shit!” “Kenapa?” “Saat kejadian, Arjun ngalihin perhatian gue. Sebelumnya dia ngasih umpan roti sosis dengan cara dibuang di depan mobil.” “Terus?” “Waktu gue udah siap jalanin mobil, Si Arjun masih nahan-nahan. Dia celingak-celinguk, terus dia secara mendadak nga
Arjun tidak bodoh. Ia sangat tahu bahwa antara Adri dengan Dessy sebetulnya sama-sama memiliki chemistry yang amat kuat dan saling tertarik. Ia juga sangat paham bahwa Dessy belum berani melangkah sampai tahap menduakan hati. Keduanya memang memiliki amat banyak perbedaan. Tapi bak sepasang sepatu yang memang takkan pernah sama, perbedaan di antara merekalah yang justeru membuat mereka seiras seirama. Itu jelas sekali. Kasat mata. Sekali lagi, Arjun tidak bodoh. Dalam ‘badung’ dan ‘cuwek’ dirinya, ia melihat dan mencermati itu semua. Sempat marah dan dendam, ia kini berbalik 180 derajat. Atas apa yang Adri telah lakukan demi menyelamatkan nyawa adiknya, ia merasa perlu melakukan balas budi. Dan balasan itu adalah: ia merelakan Dessy pergi. Memutuskan hubungan darinya untuk kemudian menjalin tali kasih dengan yang lain. Pria lain yang tentu saja hampir pasti dan Arjun harapkan adalah Adrianus, si bocah kampung. Musisi dan vokalis hebat yang rendah hati itu.
“Kenapa harus pergi?” “Terlalu panjang untuk diuraikan. Tapi yang jelas ini bukan karena dirimu.” Dewi masih berbicara dengan posisi kepala sangat menunduk. Namun setetes air yang jatuh ke tanah menunjukkan apa yang terjadi. “Bolehkah..... aku jadi kakakmu? Aku ingin sekali seperti itu, menjadi kakak dari seorang gadis yang tegar dan pintar sepertimu.” Dan kepala Dewi derajat demi derajat terangkat naik sampai akhirnya keduanya bertatapan. Adri tak tahan lagi. Pandangan matanya mendadak kabur. Betapa ingin ia memeluk Dewi. Bukan sebagai seorang kekasih, melainkan seorang adik yang perlu dikasihi dan dijaga. “Apa yang bisa dilakukan kakak yang tak ada di samping sang adik?” “Dia bisa mendukungmu dalam doa yang tulus. Berharap kamu menggapai semua yang kamu cita-citakan. Cita-cita menggapai pendidikan, kesehatan, karier, pasangan hidup, semuanya.” “Kak Adri betul-betul i
Melihat raut muka tamunya, Waluyo yang insting-nya berbicara, tergelitik untuk menanyakan sesuatu. “Maaf, kamu tau yang namanya Fitri?” “Tau.” “Sekelas atau lain kelas?” “Sekelas. Memang kenapa?” Dengan tertatih Waluyo mengambil sesuatu dari rak plastik di situ dan menunjukkan sesuatu kepada Dessy yaitu tabung atau tube kecil berisi beberapa pil. “Temanmu coba ngasih benda itu ke Adri dengan alasan itu obat migrain. Untung Adri sempat tunjukin ke Bapak. Aku larang dia dan ngasih tau bahwa itu adalah narkoba.” “Narkoba?” “Peristiwanya udah lama. Bapak ini lama di farmasi, Dik. Bapak mau musnahkan obat ini tapi lupa terus. Maklum, faktor U, umur. Pas kebetulan kamu datang, ya udah sekalian tunjukin aja, sekaligus supaya jangan lupa mau dihancurin aja langsung.” Dengan tertatih ia mengambil sekotak peralatan pertukangan. “Teman kamu itu jahat, Dik. Jangan bergaul sama dia. Kecuali kalau kamu ingin sama hancurnya seperti dia.” “Maksudnya?” “Dia ngajak Adri makan siang sekalian c
Manado. 2019. Pra pandemi. Di sebuah dermaga yang diapit sebuah gedung mall dan hotel, sebuah kapal kecil merapat. Dari dalam kapal sepasang pria muda turun lebih dulu sebelum disusul belasan penumpang lain. Seorang dari mereka melangkah tegap sambil merapikan rambut setengah gondrongnya yang acak-acakan akibat hempasan angin di sepanjang perjalanan menyusuri Teluk Manado. Satu lengannya yang lain ia gunakan untuk menenteng tas ransel yang mulai nampak pudar warnanya. Dipadankan dengan jins abu-abu, T-shirt sedikit ketat yang dikenakan seolah mempertontonkan tubuhnya yang atletis dan otot biceps yang menyembul keluar. Kulitnya kemerahan akibat terbakar matahari dengan alis tebal. Dengan disertai sorot matanya yang tajam semua membuat kelebihan fisik yang ia miliki menjadi begitu menonjol. Dalam pandangan sekelebat saja pun – mungkin dari mobil yang melaju dengan kecepatan sedang – terlihat jelas bahwa level ketampanan pria itu di atas rata-rata.
Mendengar dan melihat hal itu membuat Dion jengkel. Menurutnya, pertanyaan Sinyo itu menunjukkan kebodohan karena sudah jelas di situ tertulis bahwa mereka semua berada di ajang pencarian bakat. Seharusnya Sinyo bertanya dulu kepada dirinya dan tidak asal bertanya saja pada orang lain yang berpotensi membuat dirinya ditertawakan. “Bukan. Ini ajang pencarian bakat,” jawab orang itu, sabar. “Bakat apa?” “Macam-macam. Menyanyi, musik, menari, sulap, semua boleh.” Sinyo masih mau mengucap sesuatu ketika Dion meneriakinya dari jauh agar segera meninggalkan tempat itu. Sinyo pun akhirnya menu
“Maklum kawan, kita...” Dion tiba-tiba tersadar bahwa ia tidak sedang menyandang sesuatu. “Mana kita pe tas ransel?” Mendengar Dion menanyai keberadaan ransel miliknya, Sinyo spontan menggeleng. “Tas ransel?” “Iyo. Ada di ngana?” “Nyanda. Kita hanya bawa tas ini,” Sinyo menunjuk ransel yang disandangnya. “Isinya barang kebutuhan sehari-hari sesudah kita jual semua isinya ke Toko Boulevaard.” Dion kaget. Bagai gila ia memeriksa Sinyo, memeriksa dirinya sendiri. Wajahnya berpaling kesana-kemari mencari-cari sesuatu sebelum kemudian menyadari sesuatu. Tas ranselnya tertinggal di resto cepat saji! * Setengah jam kemudian, di tangga pintu masuk mall merupakan masa-masa pembantaian Sinyo terhadap Dion. “Pe bodok ngana!” Sinyo tak kuasa untuk menahan ucapan itu. [Bodoh sekali kamu!] Dion di
“Mulai sekarang kita mau berjanji, Nyo. Takkan mau lagi kita menghina ngana pe ponsel yang jelek, layarnya buram, retak, susah cari sinyal, tombolnya on-off hilang, dan dengan ringtonenya yang fales itu.” “Kamu hafal sekali kejelekan kita pe ponsel.” “Kita cuma bicara jujur.” “Kita rasa itu bukan ngana bicara jujur. Itu penghinaan!” Melihat Sinyo mendadak melotot, Dion segera menyadari kesalahannya berucap. “Maksudnya, kita takkan mau lagi menghina ponsel yang... “ “Satu kata lagi ngana menghina ta pe hape, dapa ngana.” [Satu kata lagi kamu menghina hape aku, dapat (pukulan) kamu.” “Kita baru mau bilang kalo kita takkan mau lagi menghina ponsel yang keren itu.” Sedikit terhibur, Sinyo lalu membuka tas yang ia bawa untuk mengambil gawai butut miliknya. “Betul ya? Awas, kalau bohong