Manado. 2019. Pra pandemi.
Di sebuah dermaga yang diapit sebuah gedung mall dan hotel, sebuah kapal kecil merapat. Dari dalam kapal sepasang pria muda turun lebih dulu sebelum disusul belasan penumpang lain. Seorang dari mereka melangkah tegap sambil merapikan rambut setengah gondrongnya yang acak-acakan akibat hempasan angin di sepanjang perjalanan menyusuri Teluk Manado. Satu lengannya yang lain ia gunakan untuk menenteng tas ransel yang mulai nampak pudar warnanya. Dipadankan dengan jins abu-abu, T-shirt sedikit ketat yang dikenakan seolah mempertontonkan tubuhnya yang atletis dan otot biceps yang menyembul keluar. Kulitnya kemerahan akibat terbakar matahari dengan alis tebal. Dengan disertai sorot matanya yang tajam semua membuat kelebihan fisik yang ia miliki menjadi begitu menonjol. Dalam pandangan sekelebat saja pun – mungkin dari mobil yang melaju dengan kecepatan sedang – terlihat jelas bahwa level ketampanan pria itu di atas rata-rata.
Mendengar dan melihat hal itu membuat Dion jengkel. Menurutnya, pertanyaan Sinyo itu menunjukkan kebodohan karena sudah jelas di situ tertulis bahwa mereka semua berada di ajang pencarian bakat. Seharusnya Sinyo bertanya dulu kepada dirinya dan tidak asal bertanya saja pada orang lain yang berpotensi membuat dirinya ditertawakan. “Bukan. Ini ajang pencarian bakat,” jawab orang itu, sabar. “Bakat apa?” “Macam-macam. Menyanyi, musik, menari, sulap, semua boleh.” Sinyo masih mau mengucap sesuatu ketika Dion meneriakinya dari jauh agar segera meninggalkan tempat itu. Sinyo pun akhirnya menu
“Maklum kawan, kita...” Dion tiba-tiba tersadar bahwa ia tidak sedang menyandang sesuatu. “Mana kita pe tas ransel?” Mendengar Dion menanyai keberadaan ransel miliknya, Sinyo spontan menggeleng. “Tas ransel?” “Iyo. Ada di ngana?” “Nyanda. Kita hanya bawa tas ini,” Sinyo menunjuk ransel yang disandangnya. “Isinya barang kebutuhan sehari-hari sesudah kita jual semua isinya ke Toko Boulevaard.” Dion kaget. Bagai gila ia memeriksa Sinyo, memeriksa dirinya sendiri. Wajahnya berpaling kesana-kemari mencari-cari sesuatu sebelum kemudian menyadari sesuatu. Tas ranselnya tertinggal di resto cepat saji! * Setengah jam kemudian, di tangga pintu masuk mall merupakan masa-masa pembantaian Sinyo terhadap Dion. “Pe bodok ngana!” Sinyo tak kuasa untuk menahan ucapan itu. [Bodoh sekali kamu!] Dion di
“Mulai sekarang kita mau berjanji, Nyo. Takkan mau lagi kita menghina ngana pe ponsel yang jelek, layarnya buram, retak, susah cari sinyal, tombolnya on-off hilang, dan dengan ringtonenya yang fales itu.” “Kamu hafal sekali kejelekan kita pe ponsel.” “Kita cuma bicara jujur.” “Kita rasa itu bukan ngana bicara jujur. Itu penghinaan!” Melihat Sinyo mendadak melotot, Dion segera menyadari kesalahannya berucap. “Maksudnya, kita takkan mau lagi menghina ponsel yang... “ “Satu kata lagi ngana menghina ta pe hape, dapa ngana.” [Satu kata lagi kamu menghina hape aku, dapat (pukulan) kamu.” “Kita baru mau bilang kalo kita takkan mau lagi menghina ponsel yang keren itu.” Sedikit terhibur, Sinyo lalu membuka tas yang ia bawa untuk mengambil gawai butut miliknya. “Betul ya? Awas, kalau bohong
“Lakukanlah sesuatu supaya Tante nyanda bosan,” cetusnya sembari memainkan ujung-ujung rambutnya yang sebetulnya juga merupa ekspresi kebosanan menunggui konter. “Contohnya apa?” Rekan Si Tante yang lebih muda berpikir lebih dalam mengenai apa yang sebaiknya dilakukan Si Tante gaul demi membunuh kebosanannya. “Lakukan saja yang lain. Mau selfie, boleh. Mau update status, boleh. Main game ludo di hape, boleh. Mau cabut rambut putih, boleh.” “Untuk mengusir rasa bosan, semua sudah Tante lakukan. Malah karena kurang kerjaan, gigi palsu pun sudah kita gosok dan rendam dari tadi,” katanya sambil menunjuk dengan dagunya pada sebuah gelas mug warna merah di atas meja di depan mereka. Penasaran, rekannya melongok ke isi gelas. Ia hanya melongok sedetik saja karena setelah itu ia dengan jijik menjauhi mug di atas meja tadi dengan penggaris di dekatnya.  
Ia meletakkan untuk sementara pulpen dan formulir ke atas meja. “Itu lagu lama. Syairnya pun sangat umum diketahui. Liriknya seperti ini.” Sinyo mengambil ancang-ancang dan mulai menyanyi. “A’pelangi-pelangi, alangkah indahmuuuu...” * Sementara itu Dion masih terus diajak ngobrol oleh Si Tante. Dion terganggu sebetulnya. Tapi demi tiga ratus ribu rupiah, ia mengalah dengan meladeni semua pertanyaan yang dilontarkan kepada dirinya. “Si Sinyo mau unjuk kebolehan apa? Menyanyi?” Dion menghentikan pengisian formulir. Ia heran dengan pertanyaan itu. “Tentu.” “Sepertinya dia kurang meyakinkan kalau menyanyi. Dia nyanda punya bakat lain?” “Ada tapi… “ “Tapi apa?” “Nyanda bagus kalau ditonton banyak orang,” jawab Dion serius. “Apalagi kalau ditonton wanita.” “Apa itu?” Dion bersikukuh dan tetap meggeleng. “Sebaiknya, memang tidak perl
Di auditorium mal, empat juri Audisi Bakat Indonesia sedang menguji salah seorang peserta. Pria itu bertubuh tambun dan mengenakan kemeja dengan motif bunga yang dibiarkan tergerai tanpa dimasukkan ke dalam celana denimnya. Kemampuannya ternyata cukup unik ketika ditanya oleh salah satu juri. “Aku akan menampilkan bakat yang unik yaitu menggerakkan anggota tubuh yang selama ini dianggap kurang diperhatikan untuk bisa menari sesuai dengan irama musik,” katanya di pembukaan. “Jadi anggota tubuh yang bergerak nanti bukan yang itu-itu saja.” “Lumayan menarik sih,” demikian komentar salah seorang juri. “Penasaran mau liat aksi kamu.” Di bawah sorotan kamera dan lampu sorot peserta bertubuh super tambun tadi kembali berbicara. “Aku mau buktikan bahwa anggota tubuh yang selama ini terabaikan pun bisa juga diajak menari. Bukan hanya tangan atau kaki saja. Pokoknya, unik banget deh pokoknya.” “Oh. Lantas, bagian tubuh mana yang ma
“Tidak apa-apa koq. Apa anehnya? Yang bapak punya pasti tidak jauh beda dengan yang aku punya.” Juri pertama yang kebetulan satu-satunya juri pria, membelalakkan mata. ‘Bagaimana orang ini bisa tahu,’ katanya membatin. “Tolonglah bapak dan ibu juri yang terhormat agar beri aku kesempatan. Aku yakin bakat yang satu ini lebih bagus. Aksi tarian yang satu ini keren soalnya bagian tubuh yang satu ini akan lebih kelihatan dibandingkan melihat tarian hidung. Lagipula gerakannya lebih lincah, terlebih waktu naik-turun.” Juri ketiga yang adalah seorang gadis belia nyaris pingsan ketika melihat tangan si peserta tambun kini bergerak-gerak di balik kemejanya. “Tidaaaaak.” Kamera terus merekam saat kancing pertama akhirnya bisa dibuka oleh si peserta aksi. Tapi membuka kancing kedua pun ternyata sama sulit dengan yang pertama. “Bagi yang alergi bulu, jangan takut. Mengapa why? Karena tadi pagi saya
Saat tercekik itulah Sinyo melihat sesuatu di atas meja. Sesuatu yang ia yakin bisa menyelesaikan masalah kerongkongannya yang tersedak dan terbatuk-batuk. Secepat kilat ia berlari ke arah meja dan menyambar sesuatu di atasnya yang tak lain adalah mug merah berisi air putih. Dan sedetik berikutnya Sinyo meminum habis air di dalam mug tadi. Wanda dan Si Tante shocked. Dalam keterkejutan, keduanya kompak terdiam dan saling berpandangan. Ya, rasanya mereka tak perlu memberitahu Sinyo air bekas apa yang tadi ada di dalam mug merah tadi. * Tiga juri menyambut dengan senyum kedatangan seorang pria klimis yang berdiri di atas panggung. Ia memperkenalkan diri sambil menyatakan bahwa bakat yang akan ditunjukkan adalah dalam bidang sulap. Seusai mengutarakan itu dua orang petugas datang ke atas panggung sambil membawa sebuah kotak kabinet dan nampan berisi pedang-pedang panjang.
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....