“Tidak apa-apa koq. Apa anehnya? Yang bapak punya pasti tidak jauh beda dengan yang aku punya.”
Juri pertama yang kebetulan satu-satunya juri pria, membelalakkan mata.
‘Bagaimana orang ini bisa tahu,’ katanya membatin.
“Tolonglah bapak dan ibu juri yang terhormat agar beri aku kesempatan. Aku yakin bakat yang satu ini lebih bagus. Aksi tarian yang satu ini keren soalnya bagian tubuh yang satu ini akan lebih kelihatan dibandingkan melihat tarian hidung. Lagipula gerakannya lebih lincah, terlebih waktu naik-turun.”
Juri ketiga yang adalah seorang gadis belia nyaris pingsan ketika melihat tangan si peserta tambun kini bergerak-gerak di balik kemejanya. “Tidaaaaak.”
Kamera terus merekam saat kancing pertama akhirnya bisa dibuka oleh si peserta aksi. Tapi membuka kancing kedua pun ternyata sama sulit dengan yang pertama.
“Bagi yang alergi bulu, jangan takut. Mengapa why? Karena tadi pagi saya
Saat tercekik itulah Sinyo melihat sesuatu di atas meja. Sesuatu yang ia yakin bisa menyelesaikan masalah kerongkongannya yang tersedak dan terbatuk-batuk. Secepat kilat ia berlari ke arah meja dan menyambar sesuatu di atasnya yang tak lain adalah mug merah berisi air putih. Dan sedetik berikutnya Sinyo meminum habis air di dalam mug tadi. Wanda dan Si Tante shocked. Dalam keterkejutan, keduanya kompak terdiam dan saling berpandangan. Ya, rasanya mereka tak perlu memberitahu Sinyo air bekas apa yang tadi ada di dalam mug merah tadi. * Tiga juri menyambut dengan senyum kedatangan seorang pria klimis yang berdiri di atas panggung. Ia memperkenalkan diri sambil menyatakan bahwa bakat yang akan ditunjukkan adalah dalam bidang sulap. Seusai mengutarakan itu dua orang petugas datang ke atas panggung sambil membawa sebuah kotak kabinet dan nampan berisi pedang-pedang panjang.
Sementara itu Dion masih berusaha menghibur Sinyo yang belum apa-apa sudah dinyatakan gagal untuk tampil di depan juri. "Kita terima kenyataan ini," kata Sinyo akhirnya. "Tapi ini artinya ngana harus audisi demi untuk mendapatkan tiga ratus ribu." "So pasti itu, Tamang." [Sudah pastilah itu, Teman]. "Kalau ngana juga ditolak, berarti torang basombar kong tidur di terminal malam hari." [Kalu kamu juga ditolak, berarti kita berdua berteduh dan tidur di terminal saat malam hari]. "Edo’e. Torang akan pastikan pengalaman itu tidak terjadi," jawab Dion pasti. “Sudah rahasia umum kalo di Manado itu nyanda ada pengemis keliaran di mana-mana. Jadi jangan sampai torang rusak reputasi baik yang sudah puluhan tahun terjaga ini.” Perbincangan mereka terhenti ketika Wanda dan Si Tante muncul lagi. “Torang memang butuh banyak peserta. Tapi Sinyo sudah ter
Wanda mencibir. “Ini ajang pencarian bakat, jadi harus ada yang unik yang kamu tawarkan. Kalau nyanda bisa nyanyi dengan sangat bagus, ya pilih yang unik dan menggemparkan. Lompat dari puncak mall ini ke api unggun, misalnya. Jelas itu sangat seru da kami menunggu penampilan seperti itu.” ‘Sadis,’ Dion membatin. Sekalipun nampak lugu, Wanda ternyata tipikal ‘haus darah.’ Bisa jadi ia menanti peserta yang mau beraksi jadi gladiator dengan melawan singa lapar. “Ngana tahu banyak lagu?” cetus Si Tante setelah sekian lama absen dari pembicaraan. Dion mengangguk. “Tentu lah. Kita pandai sekali nyanyi lagu-lagu seperti Garuda Pancasila, Halo-halo Bandung, Bagimu Negeri.” Sinyo langsung menyeret rekannya sembari tak lupa meminta waktu pada dua wanita itu untuk mereka berbicara empat mata. “Dasar kampungan,” omelnya setengah berbisik ketika mereka sudah terpisah agak jauh dengan dua panitia audi
“Luar biasa temanku,” Sinyo memuji Dion ketika hilang di balik layar panggung utama. Terletak di auditorium mal, panggung di-set oleh stasiun televisi penyelenggara dengan begitu gemerlap. Glamour. Tempat itu jadi terlihat sangat berbeda dibanding hari-hari lain pada umumnya. Saat itu masih ada satu peserta lain yang tampil. Dion adalah peserta berikutnya, sekaligus terakhir di hari kedua sebelum para panelis kembali ke Jakarta. Namun kebahagiaan Sinyo rontok seketika ketika melihat Dion meninggalkan tempat di belakang panggung dan berjalan ke arah mereka dengan wajah tertekuk. “Lho, kenapa?” “Nyanda jadi tampil kita.” Dion tidak jadi tampil? Sinyo meradang. “Nyanda bisa! Setelah kita ditolak nyanda boleh menyanyi, berarti harus ngana yang tampil demi untuk dapat tiga ratus ribu itu, mengerti?!” Dua wanita itu, Si T
“Ada apa sih? Bentar lagi peserta terakhir dimulai.” “Mudah-mudahan peserta kali ini bagus.” Jason nampak sependapat. “Bener tuh. Gue harap yang satu ini agak baguslah supaya langsung kita accept dan bisa masuk babak berikut supaya jadi satu-satunya wakil dari kota ini di hari ini. Gue heran. Masa’ sih nggak ada satu pun peserta yang lolos?” Usulan itu didukung Astrid. “Bener juga. Bisa-bisa nanti kita dianggap terlalu galak atau pedit kalo nggak ada satu pun peserta yang kita lolosin. Lebih gawatnya lagi kita bisa dicap diskriminatif. Gimana menurut pendapat lu, Sy?” Pertanyaan yang dilontarkan ke Dessy itu disambut dengan anggukan. “Setuju. Kalo nanti kemampuannya agak minor, kita lolosin aja deh.” Terdengar suara dari FD – Floor Director – disertai hitungan mundur dari tiga. “Camera, rolling, action!” Setelah diperkenalkan sesaat oleh pemandu acara, di tengah ri
“Mengenai satu birama-nya terserah pada juri,” Dion melanjutkan. “Apakah satu birama itu ingin ditaruh di awal, di tengah atau di akhir lagu. Jadi, lagu yang kemudian tercipta nanti sebetulnya bukan seratus persen ciptaan aku karena satu dari sekian banyak birama pada lagu tersebut akan merupakan karya orang lain.” Astrid mencibir lucu sedangkan Jason bersiul kagum. “Tunggu dulu. Tunggu dulu,” Dessy kini berkomentar. “Semua orang mungkin bisa saja mengklaim bahwa mereka menciptakan lagu. Tapi pada akhirnya harus diuji apakah yang kemudian terdengar itu lagu berkualitas istimewa atau hanya kualitas murahan. Itu yang kami perlu lihat darimu.” Saat Dessy berucap, ia bisa melihat bahwa Dion hanya menujukan pandangan ke dua rekannya. Tidak sedetik pun mata dengan sorot tajam itu tertuju kepada dirinya. Saat itulah Dessy semakin dan semakin menyadari sesuatu. Tak salah lagi, pria di atas panggung di depan adalah memang benar-bena
Ini menyadarkan dirinya bahwa ia perlu mengambil tindakan cepat karena sekian menit sebelumnya ia dan dua juri lain telah sepakat bahwa peserta dengan penampilan biasa pun akan diloloskan. Dan kini ia melihat bahwa penampilan Dion tadi mendapat sambutan meriah yang artinya Dion kemungkinan besar akan diloloskan ke babak berikut oleh dua rekannya. Ini tak bisa diterima karena jika Dion melaju ke babak-babak berikutnya akan terus menerus dia menyanyikan lagu sindiran untuknya lagi dan lagi. Itu bisa menghancurkan kariernya. Dessy langsung berketetapan bahwa karir musik Dion di ajang ini harus berakhir saat itu juga. Baginya, Dion tak berhak untuk dendam dan menghakimi sebelum mengetahui kejadian sepenuhnya. Dion tak mengetahui bahwa kesalahan Dessy pada sembilan tahun lalu bukanlah hal yang ia sengaja. Ia dijebak oleh Arjun, Fitri, dan oleh berbagai situasi. Dion tak berhak menuduh dirinya, demikian pikir Dessy. Dan
Kamera 1 dan 2 kini mengarah kepada Dessy. Ketika ia menjadi juri pertama yang dimintai tanggapan, ia langsung menekan tombol merah di depan meja yang berarti ‘tidak.’ Astrid yang terheran dengan keputusan itu langsung menyeimbangkan dengan sentuhan tombol hijau ‘ya’ sehingga posisi kini menjadi 1-1. Artinya, keputusan dari Jason akan menjadi momen penentu apakah Dion akan lanjut atau tidak. Penonton tegang. Beberapa mulai berteriak meminta dukungan ‘ya’ dari Jason. Dessy berdehem keras, bermaksud memberi isyarat agar Jason menoleh ke arahnya. Dan usahanya berhasil. Jason menoleh. Dessy memainkan alis mata, memberi kode. Berharap Jason menangkap maknanya dan... Sial! Di luar dugaannya, Jason yang tidak mengerti makna tatapan tajam dari Dessy malah menekan tombol hijau yang berarti ‘ya’. Seisi ruangan riuh membahana. Dengan skor 2-1 maka ini artinya Dion melaju ke babak berikutnya dan meraih tiket ke Jakarta