Sementara itu Dion masih berusaha menghibur Sinyo yang belum apa-apa sudah dinyatakan gagal untuk tampil di depan juri.
"Kita terima kenyataan ini," kata Sinyo akhirnya. "Tapi ini artinya ngana harus audisi demi untuk mendapatkan tiga ratus ribu."
"So pasti itu, Tamang."
[Sudah pastilah itu, Teman].
"Kalau ngana juga ditolak, berarti torang basombar kong tidur di terminal malam hari."
[Kalu kamu juga ditolak, berarti kita berdua berteduh dan tidur di terminal saat malam hari].
"Edo’e. Torang akan pastikan pengalaman itu tidak terjadi," jawab Dion pasti. “Sudah rahasia umum kalo di Manado itu nyanda ada pengemis keliaran di mana-mana. Jadi jangan sampai torang rusak reputasi baik yang sudah puluhan tahun terjaga ini.”
Perbincangan mereka terhenti ketika Wanda dan Si Tante muncul lagi.
“Torang memang butuh banyak peserta. Tapi Sinyo sudah ter
Wanda mencibir. “Ini ajang pencarian bakat, jadi harus ada yang unik yang kamu tawarkan. Kalau nyanda bisa nyanyi dengan sangat bagus, ya pilih yang unik dan menggemparkan. Lompat dari puncak mall ini ke api unggun, misalnya. Jelas itu sangat seru da kami menunggu penampilan seperti itu.” ‘Sadis,’ Dion membatin. Sekalipun nampak lugu, Wanda ternyata tipikal ‘haus darah.’ Bisa jadi ia menanti peserta yang mau beraksi jadi gladiator dengan melawan singa lapar. “Ngana tahu banyak lagu?” cetus Si Tante setelah sekian lama absen dari pembicaraan. Dion mengangguk. “Tentu lah. Kita pandai sekali nyanyi lagu-lagu seperti Garuda Pancasila, Halo-halo Bandung, Bagimu Negeri.” Sinyo langsung menyeret rekannya sembari tak lupa meminta waktu pada dua wanita itu untuk mereka berbicara empat mata. “Dasar kampungan,” omelnya setengah berbisik ketika mereka sudah terpisah agak jauh dengan dua panitia audi
“Luar biasa temanku,” Sinyo memuji Dion ketika hilang di balik layar panggung utama. Terletak di auditorium mal, panggung di-set oleh stasiun televisi penyelenggara dengan begitu gemerlap. Glamour. Tempat itu jadi terlihat sangat berbeda dibanding hari-hari lain pada umumnya. Saat itu masih ada satu peserta lain yang tampil. Dion adalah peserta berikutnya, sekaligus terakhir di hari kedua sebelum para panelis kembali ke Jakarta. Namun kebahagiaan Sinyo rontok seketika ketika melihat Dion meninggalkan tempat di belakang panggung dan berjalan ke arah mereka dengan wajah tertekuk. “Lho, kenapa?” “Nyanda jadi tampil kita.” Dion tidak jadi tampil? Sinyo meradang. “Nyanda bisa! Setelah kita ditolak nyanda boleh menyanyi, berarti harus ngana yang tampil demi untuk dapat tiga ratus ribu itu, mengerti?!” Dua wanita itu, Si T
“Ada apa sih? Bentar lagi peserta terakhir dimulai.” “Mudah-mudahan peserta kali ini bagus.” Jason nampak sependapat. “Bener tuh. Gue harap yang satu ini agak baguslah supaya langsung kita accept dan bisa masuk babak berikut supaya jadi satu-satunya wakil dari kota ini di hari ini. Gue heran. Masa’ sih nggak ada satu pun peserta yang lolos?” Usulan itu didukung Astrid. “Bener juga. Bisa-bisa nanti kita dianggap terlalu galak atau pedit kalo nggak ada satu pun peserta yang kita lolosin. Lebih gawatnya lagi kita bisa dicap diskriminatif. Gimana menurut pendapat lu, Sy?” Pertanyaan yang dilontarkan ke Dessy itu disambut dengan anggukan. “Setuju. Kalo nanti kemampuannya agak minor, kita lolosin aja deh.” Terdengar suara dari FD – Floor Director – disertai hitungan mundur dari tiga. “Camera, rolling, action!” Setelah diperkenalkan sesaat oleh pemandu acara, di tengah ri
“Mengenai satu birama-nya terserah pada juri,” Dion melanjutkan. “Apakah satu birama itu ingin ditaruh di awal, di tengah atau di akhir lagu. Jadi, lagu yang kemudian tercipta nanti sebetulnya bukan seratus persen ciptaan aku karena satu dari sekian banyak birama pada lagu tersebut akan merupakan karya orang lain.” Astrid mencibir lucu sedangkan Jason bersiul kagum. “Tunggu dulu. Tunggu dulu,” Dessy kini berkomentar. “Semua orang mungkin bisa saja mengklaim bahwa mereka menciptakan lagu. Tapi pada akhirnya harus diuji apakah yang kemudian terdengar itu lagu berkualitas istimewa atau hanya kualitas murahan. Itu yang kami perlu lihat darimu.” Saat Dessy berucap, ia bisa melihat bahwa Dion hanya menujukan pandangan ke dua rekannya. Tidak sedetik pun mata dengan sorot tajam itu tertuju kepada dirinya. Saat itulah Dessy semakin dan semakin menyadari sesuatu. Tak salah lagi, pria di atas panggung di depan adalah memang benar-bena
Ini menyadarkan dirinya bahwa ia perlu mengambil tindakan cepat karena sekian menit sebelumnya ia dan dua juri lain telah sepakat bahwa peserta dengan penampilan biasa pun akan diloloskan. Dan kini ia melihat bahwa penampilan Dion tadi mendapat sambutan meriah yang artinya Dion kemungkinan besar akan diloloskan ke babak berikut oleh dua rekannya. Ini tak bisa diterima karena jika Dion melaju ke babak-babak berikutnya akan terus menerus dia menyanyikan lagu sindiran untuknya lagi dan lagi. Itu bisa menghancurkan kariernya. Dessy langsung berketetapan bahwa karir musik Dion di ajang ini harus berakhir saat itu juga. Baginya, Dion tak berhak untuk dendam dan menghakimi sebelum mengetahui kejadian sepenuhnya. Dion tak mengetahui bahwa kesalahan Dessy pada sembilan tahun lalu bukanlah hal yang ia sengaja. Ia dijebak oleh Arjun, Fitri, dan oleh berbagai situasi. Dion tak berhak menuduh dirinya, demikian pikir Dessy. Dan
Kamera 1 dan 2 kini mengarah kepada Dessy. Ketika ia menjadi juri pertama yang dimintai tanggapan, ia langsung menekan tombol merah di depan meja yang berarti ‘tidak.’ Astrid yang terheran dengan keputusan itu langsung menyeimbangkan dengan sentuhan tombol hijau ‘ya’ sehingga posisi kini menjadi 1-1. Artinya, keputusan dari Jason akan menjadi momen penentu apakah Dion akan lanjut atau tidak. Penonton tegang. Beberapa mulai berteriak meminta dukungan ‘ya’ dari Jason. Dessy berdehem keras, bermaksud memberi isyarat agar Jason menoleh ke arahnya. Dan usahanya berhasil. Jason menoleh. Dessy memainkan alis mata, memberi kode. Berharap Jason menangkap maknanya dan... Sial! Di luar dugaannya, Jason yang tidak mengerti makna tatapan tajam dari Dessy malah menekan tombol hijau yang berarti ‘ya’. Seisi ruangan riuh membahana. Dengan skor 2-1 maka ini artinya Dion melaju ke babak berikutnya dan meraih tiket ke Jakarta
Begitu tiba di lokasi dermaga Dessy tercekat. Ia melihat ada kapal – yang sepertinya kapal terakhir – yang kini sedang bersiap berangkat walau penumpang belum penuh benar. Tali telah dilepas dan mesin kapal kecil itu makin bergemuruh menandakan ia akan segera meluncur di permukaan laut. Tanpa berpikir panjang Dessy berlari kencang ke arah kapal. Di tengah rasa pusing yang mendadak terjadi yang entah timbul dari mana, ia berteriak kepada operator kapal untuk berhenti. Tapi suara mesin kapal yang ribut menenggelamkan teriakannya. Sementara itu di buritan kapal, Sinyo tersentak karena sepertinya mendengar ada yang memanggil nama Dion. Namun saat akan ditanyakan pada temannya, Dion sudah keburu menanyakan hal lain. “Amplop dari panitia ada di mana?” tanyanya sembari menoleh kesana-kemari. “Yang ada doi tiga ratus ribu.” Sinyo yang tak mengerti maksudnya hanya menatap dengan tatapan bingung. “Pa
Di bagian buritan kapal kayu yang melaju dengan kecepatan kurang dari 10 knot, Dion dan Sinyo bingung menatapi Dessy yang terbaring pingsan di bangku kapal. Sudah sekitar sepuluh menit gadis itu terbaring di dekat mereka dan masih belum ada tanda-tanda kapan ia akan sadar kembali. “Kiapa dia belum sadar?” tanya Sinyo. Nada suara Sinyo menunjukkan kekhawatiran. Tapi karena Oom Allo tengah menambah gas, suara bising mesin kapal jadi bertambah sehingga akibatnya suara Sinyo jadi tak terdengar oleh Dion. “Apa?” Sinyo mengulang pertanyaan persis ketika mesin kembali meraung. Akibatnya Dion jadi tetap tak mendengar. Sinyo diam menunggu jawaban karena pikirnya Dion sudah mendengar pertanyaannya. Tapi ketika melihat respon Dion yang hanya mengelus-elus dagu walau tak berjenggot Sinyo sadar bahwa ia perlu mengulangi pertanyaannya. Detik itu, Dion juga ternyata punya pemikiran yang sama. Ia ingin Sinyo meng