Arjun tidak bodoh. Ia sangat tahu bahwa antara Adri dengan Dessy sebetulnya sama-sama memiliki chemistry yang amat kuat dan saling tertarik. Ia juga sangat paham bahwa Dessy belum berani melangkah sampai tahap menduakan hati. Keduanya memang memiliki amat banyak perbedaan. Tapi bak sepasang sepatu yang memang takkan pernah sama, perbedaan di antara merekalah yang justeru membuat mereka seiras seirama. Itu jelas sekali. Kasat mata.
Sekali lagi, Arjun tidak bodoh. Dalam ‘badung’ dan ‘cuwek’ dirinya, ia melihat dan mencermati itu semua. Sempat marah dan dendam, ia kini berbalik 180 derajat. Atas apa yang Adri telah lakukan demi menyelamatkan nyawa adiknya, ia merasa perlu melakukan balas budi. Dan balasan itu adalah: ia merelakan Dessy pergi. Memutuskan hubungan darinya untuk kemudian menjalin tali kasih dengan yang lain. Pria lain yang tentu saja hampir pasti dan Arjun harapkan adalah Adrianus, si bocah kampung. Musisi dan vokalis hebat yang rendah hati itu.
“Kenapa harus pergi?” “Terlalu panjang untuk diuraikan. Tapi yang jelas ini bukan karena dirimu.” Dewi masih berbicara dengan posisi kepala sangat menunduk. Namun setetes air yang jatuh ke tanah menunjukkan apa yang terjadi. “Bolehkah..... aku jadi kakakmu? Aku ingin sekali seperti itu, menjadi kakak dari seorang gadis yang tegar dan pintar sepertimu.” Dan kepala Dewi derajat demi derajat terangkat naik sampai akhirnya keduanya bertatapan. Adri tak tahan lagi. Pandangan matanya mendadak kabur. Betapa ingin ia memeluk Dewi. Bukan sebagai seorang kekasih, melainkan seorang adik yang perlu dikasihi dan dijaga. “Apa yang bisa dilakukan kakak yang tak ada di samping sang adik?” “Dia bisa mendukungmu dalam doa yang tulus. Berharap kamu menggapai semua yang kamu cita-citakan. Cita-cita menggapai pendidikan, kesehatan, karier, pasangan hidup, semuanya.” “Kak Adri betul-betul i
Melihat raut muka tamunya, Waluyo yang insting-nya berbicara, tergelitik untuk menanyakan sesuatu. “Maaf, kamu tau yang namanya Fitri?” “Tau.” “Sekelas atau lain kelas?” “Sekelas. Memang kenapa?” Dengan tertatih Waluyo mengambil sesuatu dari rak plastik di situ dan menunjukkan sesuatu kepada Dessy yaitu tabung atau tube kecil berisi beberapa pil. “Temanmu coba ngasih benda itu ke Adri dengan alasan itu obat migrain. Untung Adri sempat tunjukin ke Bapak. Aku larang dia dan ngasih tau bahwa itu adalah narkoba.” “Narkoba?” “Peristiwanya udah lama. Bapak ini lama di farmasi, Dik. Bapak mau musnahkan obat ini tapi lupa terus. Maklum, faktor U, umur. Pas kebetulan kamu datang, ya udah sekalian tunjukin aja, sekaligus supaya jangan lupa mau dihancurin aja langsung.” Dengan tertatih ia mengambil sekotak peralatan pertukangan. “Teman kamu itu jahat, Dik. Jangan bergaul sama dia. Kecuali kalau kamu ingin sama hancurnya seperti dia.” “Maksudnya?” “Dia ngajak Adri makan siang sekalian c
Manado. 2019. Pra pandemi. Di sebuah dermaga yang diapit sebuah gedung mall dan hotel, sebuah kapal kecil merapat. Dari dalam kapal sepasang pria muda turun lebih dulu sebelum disusul belasan penumpang lain. Seorang dari mereka melangkah tegap sambil merapikan rambut setengah gondrongnya yang acak-acakan akibat hempasan angin di sepanjang perjalanan menyusuri Teluk Manado. Satu lengannya yang lain ia gunakan untuk menenteng tas ransel yang mulai nampak pudar warnanya. Dipadankan dengan jins abu-abu, T-shirt sedikit ketat yang dikenakan seolah mempertontonkan tubuhnya yang atletis dan otot biceps yang menyembul keluar. Kulitnya kemerahan akibat terbakar matahari dengan alis tebal. Dengan disertai sorot matanya yang tajam semua membuat kelebihan fisik yang ia miliki menjadi begitu menonjol. Dalam pandangan sekelebat saja pun – mungkin dari mobil yang melaju dengan kecepatan sedang – terlihat jelas bahwa level ketampanan pria itu di atas rata-rata.
Mendengar dan melihat hal itu membuat Dion jengkel. Menurutnya, pertanyaan Sinyo itu menunjukkan kebodohan karena sudah jelas di situ tertulis bahwa mereka semua berada di ajang pencarian bakat. Seharusnya Sinyo bertanya dulu kepada dirinya dan tidak asal bertanya saja pada orang lain yang berpotensi membuat dirinya ditertawakan. “Bukan. Ini ajang pencarian bakat,” jawab orang itu, sabar. “Bakat apa?” “Macam-macam. Menyanyi, musik, menari, sulap, semua boleh.” Sinyo masih mau mengucap sesuatu ketika Dion meneriakinya dari jauh agar segera meninggalkan tempat itu. Sinyo pun akhirnya menu
“Maklum kawan, kita...” Dion tiba-tiba tersadar bahwa ia tidak sedang menyandang sesuatu. “Mana kita pe tas ransel?” Mendengar Dion menanyai keberadaan ransel miliknya, Sinyo spontan menggeleng. “Tas ransel?” “Iyo. Ada di ngana?” “Nyanda. Kita hanya bawa tas ini,” Sinyo menunjuk ransel yang disandangnya. “Isinya barang kebutuhan sehari-hari sesudah kita jual semua isinya ke Toko Boulevaard.” Dion kaget. Bagai gila ia memeriksa Sinyo, memeriksa dirinya sendiri. Wajahnya berpaling kesana-kemari mencari-cari sesuatu sebelum kemudian menyadari sesuatu. Tas ranselnya tertinggal di resto cepat saji! * Setengah jam kemudian, di tangga pintu masuk mall merupakan masa-masa pembantaian Sinyo terhadap Dion. “Pe bodok ngana!” Sinyo tak kuasa untuk menahan ucapan itu. [Bodoh sekali kamu!] Dion di
“Mulai sekarang kita mau berjanji, Nyo. Takkan mau lagi kita menghina ngana pe ponsel yang jelek, layarnya buram, retak, susah cari sinyal, tombolnya on-off hilang, dan dengan ringtonenya yang fales itu.” “Kamu hafal sekali kejelekan kita pe ponsel.” “Kita cuma bicara jujur.” “Kita rasa itu bukan ngana bicara jujur. Itu penghinaan!” Melihat Sinyo mendadak melotot, Dion segera menyadari kesalahannya berucap. “Maksudnya, kita takkan mau lagi menghina ponsel yang... “ “Satu kata lagi ngana menghina ta pe hape, dapa ngana.” [Satu kata lagi kamu menghina hape aku, dapat (pukulan) kamu.” “Kita baru mau bilang kalo kita takkan mau lagi menghina ponsel yang keren itu.” Sedikit terhibur, Sinyo lalu membuka tas yang ia bawa untuk mengambil gawai butut miliknya. “Betul ya? Awas, kalau bohong
“Lakukanlah sesuatu supaya Tante nyanda bosan,” cetusnya sembari memainkan ujung-ujung rambutnya yang sebetulnya juga merupa ekspresi kebosanan menunggui konter. “Contohnya apa?” Rekan Si Tante yang lebih muda berpikir lebih dalam mengenai apa yang sebaiknya dilakukan Si Tante gaul demi membunuh kebosanannya. “Lakukan saja yang lain. Mau selfie, boleh. Mau update status, boleh. Main game ludo di hape, boleh. Mau cabut rambut putih, boleh.” “Untuk mengusir rasa bosan, semua sudah Tante lakukan. Malah karena kurang kerjaan, gigi palsu pun sudah kita gosok dan rendam dari tadi,” katanya sambil menunjuk dengan dagunya pada sebuah gelas mug warna merah di atas meja di depan mereka. Penasaran, rekannya melongok ke isi gelas. Ia hanya melongok sedetik saja karena setelah itu ia dengan jijik menjauhi mug di atas meja tadi dengan penggaris di dekatnya.  
Ia meletakkan untuk sementara pulpen dan formulir ke atas meja. “Itu lagu lama. Syairnya pun sangat umum diketahui. Liriknya seperti ini.” Sinyo mengambil ancang-ancang dan mulai menyanyi. “A’pelangi-pelangi, alangkah indahmuuuu...” * Sementara itu Dion masih terus diajak ngobrol oleh Si Tante. Dion terganggu sebetulnya. Tapi demi tiga ratus ribu rupiah, ia mengalah dengan meladeni semua pertanyaan yang dilontarkan kepada dirinya. “Si Sinyo mau unjuk kebolehan apa? Menyanyi?” Dion menghentikan pengisian formulir. Ia heran dengan pertanyaan itu. “Tentu.” “Sepertinya dia kurang meyakinkan kalau menyanyi. Dia nyanda punya bakat lain?” “Ada tapi… “ “Tapi apa?” “Nyanda bagus kalau ditonton banyak orang,” jawab Dion serius. “Apalagi kalau ditonton wanita.” “Apa itu?” Dion bersikukuh dan tetap meggeleng. “Sebaiknya, memang tidak perl