“Kamu nggak hangout malam ini?”
Ucapan yang dilontarkan Papanya saat selesai makan malam itu ditanggapi Dessy dengan gelengan kepala. Mungkin karena ia sibuk mengatur piring-piring kotor agar dibuat dalam satu kali tumpukan agar asisten rumah tangga mereka bisa mudah membereskan dengan satu kali angkut. Malam itu ia bekerja dengan sang ART. Dessy membereskan sisa makanan dan ia sendiri mencuci piring.
“Lagi nggak mood.”
“Mood-nya kamu apa dong?” kali ini Mama yang bertanya
“Pergi sama Papa Mama,” katanya yang setelah menyelesaikan bagian tugasnya kemudian duduk di samping Mamanya, ibu Avril.
Jawaban itu terasa tak terduga.
“M-memang Dessy maunya kemana?”
“Udah lama kita nggak nonton. Kita ke Cineplex yuk?”
Kedua suami isteri itu tak percaya mendengar ucapan puterinya. Mereka sampai tergagap bahkan ketika hanya seked
Pak Minggus jelas berbahagia. Ia makin sering turun ke Foodcourt pada jam-jam dimana Adri melakukan performance. Dan usulannya agar memperlengkapi Adri dengan gear tambahan, Pedal Efek, ternyata memang memberikan efek yang signifikan dimana traffic pengunjung mall yang makin meningkat. Ia juga memberikan slot tambahan dimana ia memberi kebebasan penuh untuk Adri tampil dua kali seminggu kalau memang ia mau. Intinya, Adri bisa tampil satu hari boleh, dua hari pun tak apa. Saat ia turun layar LCD tengah menampilkan cuplikan film ‘Titanic’ dengan Celine Dion menyanyikan song theme lagu itu “My Heart Will Go On.” Sebuah lagu yang sangat ikonik yang bisa jadi setengah penduduk dunia sudah amat mengenalnya. Adri seolah mengiringi olah vokal Celine dengan gitar elektriknya sampai kemudian tiba-tiba saja ia menghentak para pengunjung ketika mengiringi di bagian reffrain. Lagu itu adalah lagu slow dan otomatis pada bagian reffrain pun begitu pula
“Oom dan Tante sudah pasrah. Mau dapat ya syukur, nggak juga nggak apa-apa. Mungkin memperolah Dessy sudah cukup bagi kami. Kami tak perlu terlalu kecewa. Toh ada yang lebih parah dari kami dimana mereka nggak punya buah hati sama sekali.” Sambil berkata begitu ia lalu mengembalikan mangkok kosong kepada penjual Putu Mayang sekaligus menyelesaikan pembayaran. Ya, pada akhirnya ia memang nekad membeli karena tak tahan dengan godaan yang mendera. Ia tak peduli walau ditegur Adri. Kelezatan kue pasar itu memang begitu menggelora karena toh Adri juga ikut lumpuh. Ia malah menikmati satu mangkok lebih banyak daripada Pak Aldo! Soal kalori yang terbakar? Ah, siapa yang perduli? “Setuju, oom.” Adri ikut menyerahkan mangkok kosongnya pada si penjual. “Tapi apapun itu oom harus tetap berikhtiar.” “Apa maksudmu dengan kata ‘berikhtiar’ tadi?” tanya Pak Aldo sambil bersendawa. Dalam duduknya, Adri rasanya telah salah
Pak Herry menghidupkan mode rekam suara sambil di saat yang sama ia juga menempelkan telinganya pada daun pintu. “Ya ampuuun.” Terdengar suara Adri dari dalam kamar. Menimbulkan keheranan dan rasa penasaran tentang apa yang membuat anak muda itu berkomentar seperti itu. “Ckckck... luar biasa....” “Begitulah, Dri. Tante jadi kerepotan sendiri.” “Waduh.... basah banget, Tante.” “Yah, begini terus tiap hari.” Pak Herry mendegut ludah. Membayangkan sesutu yang ‘basah setiap hari’ yang kini pasti sedang dipelototi si bocah yang beruntung itu. “Sejak kapan begini?” “Sejak pak Syukur pergi.” “Kasihan.” “Iya. Beginilah kalau nggak ada suami. Apa-apa Tante hanya lakuin sendiri.” “Seandainya aku tangani sejak lama.” “Mangkanya. Ayo cepetan kamu selesaikan. Kan kamu tadi katanya kasihan sama Tante. Udah gak tahan nih.” “Iya, iya. Pasti Adr
Lagu diulang dua kali sampai kemudian berakhir menjelang menit keempat. Lagu yang diakhiri dengan manis membuat para penonton puas. Sebuah sikap yang pasti akan ditindaklanjuti dengan akan kembalinya mereka ke tempat itu di kesempatan berikut. Begitu turun dari panggung, ada beberapa yang menyapa. Adri terkejut karena ternyata ada fans baru di sana. Dewi. Ia sempat pangling karena penampilan Dewi yang jauh berbeda. Tak lagi terlihat sebagai bocil alias bocah kecil. Riasan yang ia kenakan membuatnya jadi melebihi usia sebenarnya. “Koq kamu ada di sini?” “Oom Waluyo yang ngasih tau kalo kakak suka manggung di sini.” “Ooo.” “Lagunya keren banget kak,” katanya kenes. “Lagu itu buat Dewi kan?” Atas pertanyaan itu Adri yang tidak tegaan tentu saja tidak berani mengatakan bahwa lagu itu hanyalah sebuah kebetulan ketika dinyanyikan persis ketika Dewi datang di sana. Lagipula, ada beberapa orang yang mengajaknya be
Ketika sudah masuk di dalam kamar, ia bersandar di pintu kamar. Jantungnya berdegup kencang. Dalam hati, ia sudah mengambil sebuah keputusan. Mulai hari ini ia akan berusaha menghindar pertemuan dengan Tante Sonya. * Penampilan Adri jadi buah bibir. Sudah bukan lagi peristiwa luar biasa kalau Adri sudah dirubung beberapa teman sekelas yang sudah menyaksikan penampilannya. Hari itu pengalaman yang sama berlangsung lagi ketika ia baru saja puas bermain dengan Paw Paw di kantin. “Beberapa hari lalu gue liat penampilan lu di panggung Foodcourt. Wuih, gue makin suka nonton lu tampil!” “Anjay, guitar cover lu makin hebat.” “Lagu Perfect-nya elo bener-bener perfect deh.” “Nanti ngulang lagi dong lagunya Justin Bieber yang judulnya ‘Sorry’ itu ya.” “Lagu Slank itu bagus-bagus. Tapi jadi lebih bagus lagi waktu lu yang nyanyiin.” “Iya, tuh lagunya sesuatu banget. Aransemennya keren!”
“Sudah. Dan karena oom juga udah bilang hanya akan lima menitan di sini jadinya lagu request itu akan aku nyanyikan di awal penampilan.” “Mantap,” responnya sembari memberi tanda dengan jempol. “Now, it’s show time.” Adri tersenyum dan mengangguk. Sesaat kemudian karena tuntutan pekerjaan seorang anak buah Minggus yang sudah sejak tadi di sana menyodorkan beberapa berkas untuk ditandatangani. Sementara orang itu melakukan pekerjaan, Adri mengeluarkan gitar dari sarung tas. Pada saat itulah sebuah ide melintas di benaknya. “Farel, siapa yang besuk Dessy saat ini?” “Duh perhatian banget sih lu. Kenapa nggak lu rebut aja anak itu dari Arjun!” “Sssssh, jangan berisik ah. Kami hanya berteman.” “Come on....” “Cepetan jawab. Aku udah harus tampil sebentar lagi.” Farel terkikik. “Tadi gue chat sama Chika. Dia tadi sempat besuk setengah dan udah pulang. Yang masih tinggal di sana hanya tinggal Marti
Reffrain belum berakhir. Adri terus berkonsentrasi melantun lagu walau airmata mulai menggenang di pelupuk. Ini cinta yang beta punya Dari relung hati jiwa Cuma par ale saja lah Cinta ni abadi slamanya [Ini cinta yang aku punya dari relung hati jiwa. Hanya untukmu sajalah cinta ini abadi selamanya]. Adri tak tahu apa yang dirasa Dessy di ujung sana, di ranjang rumah sakit, saat ini. Ia hanya ingin menyampaikan nestapa rindu dan harapannya. Bahagia sio nona ee Beta bahagia sayang Danke banya sayang ee Mau hidop deng beta selamanya [Bahagia kasihku, aku bahagia, sayang. Terimakasih sayang mau hidup denganku selamanya]. Campur tangan adikodrati sepertinya telah terjadi. Sinyal berjalan baik, ponsel bekerja sempurna. Hanya memang ada satu masala
Dan itu yang membuat Adri kemudian berlutut di tepi ranjang, menangkup kedua telapak tangan, menundukkan kepala. Berdoa. Sebuah doa yang walau dilakukan dalam hening, di kedalaman hati sebetulnya ia berteriak. Menjerit dan berharap untuk datangnya sebuah mujizat agar gadis yang terbaring di depannya disembuhkan. Ia percaya mujizat masihlah ada. Itu membangkitkan kekuatan dalam dirinya untuk semakin khusyuk berdoa. Sampai kemudian ia merasa sebuah sentuhan halus di kepalanya. Sebuah sentuhan tangan karena ia merasakan gerak jari-jari. Matanya membuka. Sempat tergoda untuk mulai menyapa, ia lantas tersadar sesuatu. Adri kembali menutup mata demi melanjut doa yang sempat terhenti. “Thank you, Lord,” cetusnya nyaris tanpa suara. “Terima kasih mau mendengar doa ini.” Satu kata terakhir tak sempat Adri ucapkan karena keburu didahului suara seorang lain. Suara seorang gadis, suara sopran yang amat ia kenal. “Amin.” Dan perlahan Adri pun bangkit. Belum, ia belum bangkit dari berlututnya.
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....