Pak Minggus jelas berbahagia. Ia makin sering turun ke Foodcourt pada jam-jam dimana Adri melakukan performance. Dan usulannya agar memperlengkapi Adri dengan gear tambahan, Pedal Efek, ternyata memang memberikan efek yang signifikan dimana traffic pengunjung mall yang makin meningkat. Ia juga memberikan slot tambahan dimana ia memberi kebebasan penuh untuk Adri tampil dua kali seminggu kalau memang ia mau. Intinya, Adri bisa tampil satu hari boleh, dua hari pun tak apa.
Saat ia turun layar LCD tengah menampilkan cuplikan film ‘Titanic’ dengan Celine Dion menyanyikan song theme lagu itu “My Heart Will Go On.” Sebuah lagu yang sangat ikonik yang bisa jadi setengah penduduk dunia sudah amat mengenalnya. Adri seolah mengiringi olah vokal Celine dengan gitar elektriknya sampai kemudian tiba-tiba saja ia menghentak para pengunjung ketika mengiringi di bagian reffrain.
Lagu itu adalah lagu slow dan otomatis pada bagian reffrain pun begitu pula
“Oom dan Tante sudah pasrah. Mau dapat ya syukur, nggak juga nggak apa-apa. Mungkin memperolah Dessy sudah cukup bagi kami. Kami tak perlu terlalu kecewa. Toh ada yang lebih parah dari kami dimana mereka nggak punya buah hati sama sekali.” Sambil berkata begitu ia lalu mengembalikan mangkok kosong kepada penjual Putu Mayang sekaligus menyelesaikan pembayaran. Ya, pada akhirnya ia memang nekad membeli karena tak tahan dengan godaan yang mendera. Ia tak peduli walau ditegur Adri. Kelezatan kue pasar itu memang begitu menggelora karena toh Adri juga ikut lumpuh. Ia malah menikmati satu mangkok lebih banyak daripada Pak Aldo! Soal kalori yang terbakar? Ah, siapa yang perduli? “Setuju, oom.” Adri ikut menyerahkan mangkok kosongnya pada si penjual. “Tapi apapun itu oom harus tetap berikhtiar.” “Apa maksudmu dengan kata ‘berikhtiar’ tadi?” tanya Pak Aldo sambil bersendawa. Dalam duduknya, Adri rasanya telah salah
Pak Herry menghidupkan mode rekam suara sambil di saat yang sama ia juga menempelkan telinganya pada daun pintu. “Ya ampuuun.” Terdengar suara Adri dari dalam kamar. Menimbulkan keheranan dan rasa penasaran tentang apa yang membuat anak muda itu berkomentar seperti itu. “Ckckck... luar biasa....” “Begitulah, Dri. Tante jadi kerepotan sendiri.” “Waduh.... basah banget, Tante.” “Yah, begini terus tiap hari.” Pak Herry mendegut ludah. Membayangkan sesutu yang ‘basah setiap hari’ yang kini pasti sedang dipelototi si bocah yang beruntung itu. “Sejak kapan begini?” “Sejak pak Syukur pergi.” “Kasihan.” “Iya. Beginilah kalau nggak ada suami. Apa-apa Tante hanya lakuin sendiri.” “Seandainya aku tangani sejak lama.” “Mangkanya. Ayo cepetan kamu selesaikan. Kan kamu tadi katanya kasihan sama Tante. Udah gak tahan nih.” “Iya, iya. Pasti Adr
Lagu diulang dua kali sampai kemudian berakhir menjelang menit keempat. Lagu yang diakhiri dengan manis membuat para penonton puas. Sebuah sikap yang pasti akan ditindaklanjuti dengan akan kembalinya mereka ke tempat itu di kesempatan berikut. Begitu turun dari panggung, ada beberapa yang menyapa. Adri terkejut karena ternyata ada fans baru di sana. Dewi. Ia sempat pangling karena penampilan Dewi yang jauh berbeda. Tak lagi terlihat sebagai bocil alias bocah kecil. Riasan yang ia kenakan membuatnya jadi melebihi usia sebenarnya. “Koq kamu ada di sini?” “Oom Waluyo yang ngasih tau kalo kakak suka manggung di sini.” “Ooo.” “Lagunya keren banget kak,” katanya kenes. “Lagu itu buat Dewi kan?” Atas pertanyaan itu Adri yang tidak tegaan tentu saja tidak berani mengatakan bahwa lagu itu hanyalah sebuah kebetulan ketika dinyanyikan persis ketika Dewi datang di sana. Lagipula, ada beberapa orang yang mengajaknya be
Ketika sudah masuk di dalam kamar, ia bersandar di pintu kamar. Jantungnya berdegup kencang. Dalam hati, ia sudah mengambil sebuah keputusan. Mulai hari ini ia akan berusaha menghindar pertemuan dengan Tante Sonya. * Penampilan Adri jadi buah bibir. Sudah bukan lagi peristiwa luar biasa kalau Adri sudah dirubung beberapa teman sekelas yang sudah menyaksikan penampilannya. Hari itu pengalaman yang sama berlangsung lagi ketika ia baru saja puas bermain dengan Paw Paw di kantin. “Beberapa hari lalu gue liat penampilan lu di panggung Foodcourt. Wuih, gue makin suka nonton lu tampil!” “Anjay, guitar cover lu makin hebat.” “Lagu Perfect-nya elo bener-bener perfect deh.” “Nanti ngulang lagi dong lagunya Justin Bieber yang judulnya ‘Sorry’ itu ya.” “Lagu Slank itu bagus-bagus. Tapi jadi lebih bagus lagi waktu lu yang nyanyiin.” “Iya, tuh lagunya sesuatu banget. Aransemennya keren!”
“Sudah. Dan karena oom juga udah bilang hanya akan lima menitan di sini jadinya lagu request itu akan aku nyanyikan di awal penampilan.” “Mantap,” responnya sembari memberi tanda dengan jempol. “Now, it’s show time.” Adri tersenyum dan mengangguk. Sesaat kemudian karena tuntutan pekerjaan seorang anak buah Minggus yang sudah sejak tadi di sana menyodorkan beberapa berkas untuk ditandatangani. Sementara orang itu melakukan pekerjaan, Adri mengeluarkan gitar dari sarung tas. Pada saat itulah sebuah ide melintas di benaknya. “Farel, siapa yang besuk Dessy saat ini?” “Duh perhatian banget sih lu. Kenapa nggak lu rebut aja anak itu dari Arjun!” “Sssssh, jangan berisik ah. Kami hanya berteman.” “Come on....” “Cepetan jawab. Aku udah harus tampil sebentar lagi.” Farel terkikik. “Tadi gue chat sama Chika. Dia tadi sempat besuk setengah dan udah pulang. Yang masih tinggal di sana hanya tinggal Marti
Reffrain belum berakhir. Adri terus berkonsentrasi melantun lagu walau airmata mulai menggenang di pelupuk. Ini cinta yang beta punya Dari relung hati jiwa Cuma par ale saja lah Cinta ni abadi slamanya [Ini cinta yang aku punya dari relung hati jiwa. Hanya untukmu sajalah cinta ini abadi selamanya]. Adri tak tahu apa yang dirasa Dessy di ujung sana, di ranjang rumah sakit, saat ini. Ia hanya ingin menyampaikan nestapa rindu dan harapannya. Bahagia sio nona ee Beta bahagia sayang Danke banya sayang ee Mau hidop deng beta selamanya [Bahagia kasihku, aku bahagia, sayang. Terimakasih sayang mau hidup denganku selamanya]. Campur tangan adikodrati sepertinya telah terjadi. Sinyal berjalan baik, ponsel bekerja sempurna. Hanya memang ada satu masala
Dan itu yang membuat Adri kemudian berlutut di tepi ranjang, menangkup kedua telapak tangan, menundukkan kepala. Berdoa. Sebuah doa yang walau dilakukan dalam hening, di kedalaman hati sebetulnya ia berteriak. Menjerit dan berharap untuk datangnya sebuah mujizat agar gadis yang terbaring di depannya disembuhkan. Ia percaya mujizat masihlah ada. Itu membangkitkan kekuatan dalam dirinya untuk semakin khusyuk berdoa. Sampai kemudian ia merasa sebuah sentuhan halus di kepalanya. Sebuah sentuhan tangan karena ia merasakan gerak jari-jari. Matanya membuka. Sempat tergoda untuk mulai menyapa, ia lantas tersadar sesuatu. Adri kembali menutup mata demi melanjut doa yang sempat terhenti. “Thank you, Lord,” cetusnya nyaris tanpa suara. “Terima kasih mau mendengar doa ini.” Satu kata terakhir tak sempat Adri ucapkan karena keburu didahului suara seorang lain. Suara seorang gadis, suara sopran yang amat ia kenal. “Amin.” Dan perlahan Adri pun bangkit. Belum, ia belum bangkit dari berlututnya.
Suasana di jalan masih lengang. Matahari mulai bergulir ke titik kulminasi dan hanya ada satu dua kendaraan melaju di hari pertama pada tahun yang baru dimasuki. Sisa keriuhan pergantian tahun semalam masih banyak tersisa. Sisa pecahan kembang api, serpihan terompet kertas, aneka sobekan kertas, dan banyak lagi masih nampak berserakan. Seolah tak berkurang sekalipun di sekitar situ ada tiga orang penyapu jalan yang berjibatku membuang sampah. Dua pasang kaki melangkah seiring. Menapaki trotoar yang mulai hangat bersimbah matahari pagi. “Apa yang kita lakukan malam tadi?” tanya Dessy sembari menoleh ke samping dimana Adri melangkah bersamanya. Adri tersenyum. Tetap melangkah dengan kedua tangan disisip jauh ke dalam dua saku celana. “OK, I have to admit: I love you. Puas?” Kali ini Dessy yang tersenyum, namun dengan lebih lebar. “Aku gak nyangka. Damned, Adri..... you kissed me.” “My first time ever.” “Really? Itu pengalaman pertama?” Adri mengangguk. “I tell you the truth. Aku