Adri yakin pak Herry sebetulnya pasti ingin menegur dirinya karena masih saja bermain gitar di saat ia sudah mau beristirahat di kamarnya. Namun melihat ada Tante Sonya, pikirannya berubah. Ia tidak lagi memusingkan Adri dan malah jadi banyak mengobrol dengan wanita itu yang kemudian melayani obrolannya.
“Eh pak Herry. Sori, tidurnya keganggu suara gitar ya?”
“Oh nggaaaak!”
“Bener?”
“Iya, nggak apa-apa. Aku udah kebiasa dengar suara gitar begini. Iya kan, Dri?”
Berlagak pilon, Adri menjawab jujur. “Bukannya tadi pak Herry minta aku nggak main gitar?”
Dengan muka memerah pak Herry membantah. “Nggak! Siapa bilang?”
“Bapak tadi dua kali ngelarang aku.”
“Ah kamu itu. Kamu salah paham,” katanya keras kepala.
“Terus, Bapak ngapain ke kamar aku kalo tujuannya bukan untuk negor?”
Tidak tahu malu. Orang itu mengabaikan Adri dan malah mengajak mengobrol T
“Pak Minggus benar-benar mendukung penampilanmu di panggung Foodcourt-nya. Kalau keluarga kami mendukung dengan gitar akustik dan elektrik, pak Minggus sepertinya siap memberikan dukungan peralatan lain yaitu Pedal Efek. Ia melihat bahwa kamu bisa lebih improved lagi dan bisa ditingkatkan skill gitar ke arah teknik pentatonik. Kamu hanya perlu latihan sebelum kemudian show. Mengenai Pedal Efek itu urusan kami, yang penting kamu jaga baik-baik karena kamu tahu sendiri bahwa harganya memang mahal.” Pentatonik, Adri merenung. Itu adalah sebuah teknik cepat bermain gitar elektronik yang akan membuat melodi menjadi jauh lebih mempesona karena adanya Pedal Efek untuk menimbulkan berbagai efek distorsi, fuzzy, overdrive, echoses, dan masih banyak lagi. Sebagai gitaris melodi, sangat tidak mudah bagi Adri dalam memainkan teknik semacam ini karena sudah masuk pada kategori super advanced dalam memperdalam ilmu melodi. Namun hasilnya mema
“Aku nggak bikin apa-apa. Tapi, ya aku ikut senang lah denger cerita oom Aldo.” “Kamu hebat.” “No. aku nggak seperti itu.” “Adri,” Pak Aldo berhenti sejenak, Adri menunggu. “Kamu nggak ingin jadi kekasih puteri kami?” Bagi Adri, mendadak dunia seperti berhenti berputar. Alam seolah tak bergerak. Waktu terhenti. Mulutnya terkunci. Pikirannya kosong. “Maksud oom Aldo?” “Kamu ngerti maksud oom. Kamu naksir Dessy kan?” Adri bingung. Sangat bingung. Tak tahu mau menjawab seperti apa seharusnya dalam ia menata kata. “Oom ngerti apa yang ada di pikiranmu. Dessy sudah panya pacar dan kami sudah sangat tahu. Di lain pihak kamu bukan tipikal cowok yang suka main serobot mengambil seseorang yang sudah bersama orang lain. Tapi, itulah yang aku harapkan. Itulah yang isteriku juga harapkan.” Adri makin bingung. “Jadi cowok itu harus berani. Jadi kalau ada kesempatan, ambillah Dessy. Kami berikan restu kami kepadamu.” Glk. Adri menelan ludah. Ia makin tidak percaya pada sambungan kalimat o
“Kamu nggak hangout malam ini?”Ucapan yang dilontarkan Papanya saat selesai makan malam itu ditanggapi Dessy dengan gelengan kepala. Mungkin karena ia sibuk mengatur piring-piring kotor agar dibuat dalam satu kali tumpukan agar asisten rumah tangga mereka bisa mudah membereskan dengan satu kali angkut. Malam itu ia bekerja dengan sang ART. Dessy membereskan sisa makanan dan ia sendiri mencuci piring.“Lagi nggak mood.”“Mood-nya kamu apa dong?” kali ini Mama yang bertanya“Pergi sama Papa Mama,” katanya yang setelah menyelesaikan bagian tugasnya kemudian duduk di samping Mamanya, ibu Avril.Jawaban itu terasa tak terduga.“M-memang Dessy maunya kemana?”“Udah lama kita nggak nonton. Kita ke Cineplex yuk?”Kedua suami isteri itu tak percaya mendengar ucapan puterinya. Mereka sampai tergagap bahkan ketika hanya seked
Pak Minggus jelas berbahagia. Ia makin sering turun ke Foodcourt pada jam-jam dimana Adri melakukan performance. Dan usulannya agar memperlengkapi Adri dengan gear tambahan, Pedal Efek, ternyata memang memberikan efek yang signifikan dimana traffic pengunjung mall yang makin meningkat. Ia juga memberikan slot tambahan dimana ia memberi kebebasan penuh untuk Adri tampil dua kali seminggu kalau memang ia mau. Intinya, Adri bisa tampil satu hari boleh, dua hari pun tak apa. Saat ia turun layar LCD tengah menampilkan cuplikan film ‘Titanic’ dengan Celine Dion menyanyikan song theme lagu itu “My Heart Will Go On.” Sebuah lagu yang sangat ikonik yang bisa jadi setengah penduduk dunia sudah amat mengenalnya. Adri seolah mengiringi olah vokal Celine dengan gitar elektriknya sampai kemudian tiba-tiba saja ia menghentak para pengunjung ketika mengiringi di bagian reffrain. Lagu itu adalah lagu slow dan otomatis pada bagian reffrain pun begitu pula
“Oom dan Tante sudah pasrah. Mau dapat ya syukur, nggak juga nggak apa-apa. Mungkin memperolah Dessy sudah cukup bagi kami. Kami tak perlu terlalu kecewa. Toh ada yang lebih parah dari kami dimana mereka nggak punya buah hati sama sekali.” Sambil berkata begitu ia lalu mengembalikan mangkok kosong kepada penjual Putu Mayang sekaligus menyelesaikan pembayaran. Ya, pada akhirnya ia memang nekad membeli karena tak tahan dengan godaan yang mendera. Ia tak peduli walau ditegur Adri. Kelezatan kue pasar itu memang begitu menggelora karena toh Adri juga ikut lumpuh. Ia malah menikmati satu mangkok lebih banyak daripada Pak Aldo! Soal kalori yang terbakar? Ah, siapa yang perduli? “Setuju, oom.” Adri ikut menyerahkan mangkok kosongnya pada si penjual. “Tapi apapun itu oom harus tetap berikhtiar.” “Apa maksudmu dengan kata ‘berikhtiar’ tadi?” tanya Pak Aldo sambil bersendawa. Dalam duduknya, Adri rasanya telah salah
Pak Herry menghidupkan mode rekam suara sambil di saat yang sama ia juga menempelkan telinganya pada daun pintu. “Ya ampuuun.” Terdengar suara Adri dari dalam kamar. Menimbulkan keheranan dan rasa penasaran tentang apa yang membuat anak muda itu berkomentar seperti itu. “Ckckck... luar biasa....” “Begitulah, Dri. Tante jadi kerepotan sendiri.” “Waduh.... basah banget, Tante.” “Yah, begini terus tiap hari.” Pak Herry mendegut ludah. Membayangkan sesutu yang ‘basah setiap hari’ yang kini pasti sedang dipelototi si bocah yang beruntung itu. “Sejak kapan begini?” “Sejak pak Syukur pergi.” “Kasihan.” “Iya. Beginilah kalau nggak ada suami. Apa-apa Tante hanya lakuin sendiri.” “Seandainya aku tangani sejak lama.” “Mangkanya. Ayo cepetan kamu selesaikan. Kan kamu tadi katanya kasihan sama Tante. Udah gak tahan nih.” “Iya, iya. Pasti Adr
Lagu diulang dua kali sampai kemudian berakhir menjelang menit keempat. Lagu yang diakhiri dengan manis membuat para penonton puas. Sebuah sikap yang pasti akan ditindaklanjuti dengan akan kembalinya mereka ke tempat itu di kesempatan berikut. Begitu turun dari panggung, ada beberapa yang menyapa. Adri terkejut karena ternyata ada fans baru di sana. Dewi. Ia sempat pangling karena penampilan Dewi yang jauh berbeda. Tak lagi terlihat sebagai bocil alias bocah kecil. Riasan yang ia kenakan membuatnya jadi melebihi usia sebenarnya. “Koq kamu ada di sini?” “Oom Waluyo yang ngasih tau kalo kakak suka manggung di sini.” “Ooo.” “Lagunya keren banget kak,” katanya kenes. “Lagu itu buat Dewi kan?” Atas pertanyaan itu Adri yang tidak tegaan tentu saja tidak berani mengatakan bahwa lagu itu hanyalah sebuah kebetulan ketika dinyanyikan persis ketika Dewi datang di sana. Lagipula, ada beberapa orang yang mengajaknya be
Ketika sudah masuk di dalam kamar, ia bersandar di pintu kamar. Jantungnya berdegup kencang. Dalam hati, ia sudah mengambil sebuah keputusan. Mulai hari ini ia akan berusaha menghindar pertemuan dengan Tante Sonya. * Penampilan Adri jadi buah bibir. Sudah bukan lagi peristiwa luar biasa kalau Adri sudah dirubung beberapa teman sekelas yang sudah menyaksikan penampilannya. Hari itu pengalaman yang sama berlangsung lagi ketika ia baru saja puas bermain dengan Paw Paw di kantin. “Beberapa hari lalu gue liat penampilan lu di panggung Foodcourt. Wuih, gue makin suka nonton lu tampil!” “Anjay, guitar cover lu makin hebat.” “Lagu Perfect-nya elo bener-bener perfect deh.” “Nanti ngulang lagi dong lagunya Justin Bieber yang judulnya ‘Sorry’ itu ya.” “Lagu Slank itu bagus-bagus. Tapi jadi lebih bagus lagi waktu lu yang nyanyiin.” “Iya, tuh lagunya sesuatu banget. Aransemennya keren!”