“Lu pegang-pegang gitar, emangnya tau cara mainin?”
Dengan semangat, Adri – lagi-lagi dengan wajah lugunya – mengangguk. Berkali-kali malah. Sebuah gestur yang menurut Arjun layak disematkan buat orang bodoh.
“Sadiki.”
“Ha?”
“Maksudku…. Bisa sedikit.”
“Oh.” Arjun mengangguk-angguk. “Biasa main di kunci apa?”
“Kunci C,” jawabnya dengan semangat 45.
Melihat jawaban spontan dan mantap tapi hanya di kunci C membuat Arjun tertawa. Tawa Arjun kemudian diikuti oleh ‘bodyguard’ tadi yang ada di sampingnya. O ya, namanya Nathan.
“Bisa kunci C aja bangga,” cetus si bodyguard.
“Lagu daerah aku banyak tau. Aku suka.”
Arjun dan temannya makin kencang tertawa.
“Lagu Maroon 5 ada yang lu tau?”
“Siapa itu Marun?” Adri mengerenyitkan kening. “Siswa di sini juga?”
Makin kencanglah tertawanya Arjun.
“Dasar katrok. Masa gak ada sih lagu yang elo tau selain lagu daerah?”
Adri menepuk kening. “O ya, aku juga bisa lagu jenis lain.”
“Apa?”
“Lagu wajib, seperti Halo-halo Bandung, Maju Tak Gent…”
Kalimatnya tak selesai karena lagi-lagi Arjun tertawa diikuti orang-orang lain di sekitar. Salah seorang panitia mendadak mendekati Arjun dan memberitahu bahwa performer berikut bakal tampil karena sakit murus-murus. Performer berikutnya lagi juga masih belum muncul-muncul yang mungkin terjadi akibat kejebak macet. Mendengar itu, sambil melihati Adri, sebuah ide langsung hinggap di kepala Arjun. Ide licik.
“Anus, gue liat lu minat banget sama gitar gue. Mau mainin?”
Adri tak menyangka dengan tawaran itu. Tadinya ia sudah mau pergi sampai kemudian ia dipanggil lagi oleh Arjun dan diberikan tawaran tadi. Sebetulnya ia tidak suka pada orang itu. Tapi secara tersembunyi tanpa seorang pun di sekolah barunya tahu – ia sebetulnya memiliki bakat seni yang kuat, baik sebagai penyanyi maupun sebagai pemusik. Mengenai ajang Creative Event ini, ia sebetulnya sudah lama tahu. Sayang, unsur nepotisme dan faktor suka-tidak suka dari para guru dan panitia membuatnya tersingkar dari daftar mereka yang layak jadi performer. Jadinya ia hanya berdiri di luar panggung dan harus puas dalam posisi sebagai penonton. Tidak lebih.
“Lho, koq bengong? Tawaran gue serius, gue nggak becanda. Mau nggak lu gue kasih kesempatan manggung sambil lu boleh pake gitar gue? Gitar kayak gini belum pernah lu mainin kan? Hmm?”
“Ya, ya, kita mau… eh, aku mau. Lagunya apa?”
Sadar bahwa Adri tak tahu – dan otomatis takkan bisa – menyanyikan lagu-lagu kekinian, rekan Arjun tadi kemudian membisiki sesuatu. Arjun tertawa. Dia merasa usul itu lucu dan langsung memberikan tawaran pada Adri.
“Gini deh. Lu kan gak tau lagu-lagu yang lagi hits. Lu taunya lagu daerah tapi itu jelas nggak bisa ditampilin di sini. Apalagi lagu wajib karena ini bukan momen tujuhbelasan. Jadi gue minta elo nyanyi lagu yang gue mau. Lagunya gampang koq.”
Adri bersemangat. “O, lagu apa?”
“Kamu bisa dong kalo aku minta kamu mainin lagu Balonku.”
“Maksud kamu lagu yang judulnya ‘Balonku ada lima rupa-rupa warnanya’?”
“Ya, ya, ya gitu deh. Di sini kamu nyebutnya ‘Balonku’ doang. Nggak panjang-panjang kayak elu tadi.”
Adri manggut-manggut. “Di kampung saya lagu itu sudah lama dikenal dan…”
“Ok, Ok, gak perlu dijelasin panjang lebar. Untuk nyingkat waktu lu siap-siap tampil aja sehabis performer yang sekarang.” Arjun memberi isyarat dan temannya yang sama kini menyerahkan gitar. Bedanya sekarang ia menyerahkan gitar ke Arjun lebih dulu.
“Ini gue atas nama panitia mau kasih kepercayaan ke lu buat manggung. Gue harap lu jaga baik-baik kepercayaan yang gue kasih. Begitu gitar ini di tangan lu, otomatis lu udah harus manggung. Gak bisa mundur lagi. Ngerti?”
Gitar akustik terindah yang pernah Adri lihat, adalah alasan kuat yang membuat ia lantas menganggukkan kepala. “Ya, kita mangarti noh.”
“Apa?”
“Maksudnya: aku mengertikan maksud daripada kamu.”
Cape deh.
Arjun paling malas kalau mendengar Adri berucap Bahasa Indonesia tapi hancur. “Oke kalau gitu.”
Selesai berucap, tiba-tiba saja Arjun melempar gitar dengan dua tangan ke arah Adri. Dan karena dilempar mendadak, bodi dan gagang gitar telak menghunjam perut Adri dan menimbulkan perih sampai badannya terbungkuk. Tapi ia masih bisa menangkap gitar sebelum jatuh ke tanah.
“Sakit? Masa’ digituin aja sakit?”
Dengan muka merah menahan perih, Adri menggeleng. “Nyanda.”
Teman Arjun membisiki mengartikan kata itu yang berarti ‘tidak.’
“Lu itu loyo amat. Cekatan dong. Masa’ nggak siap tangkap gitarnya.” Si bodyguard bersuara.
“Gue udah kasih gitar mahal gue ke lu. Lu janji akan tampil yang terbaik kan?”
Dengan mantap Adri mengangguk. “Kita janji.”
“Good.”
Sehabis itu Arjun naik ke panggung karena memang penampilan performer sebelumnya sudah berakhir. Performer yang mencoba tampil sebagi stand-up comedian itu harus turun lebih cepat karena selama lima menit tampil tidak ada seorang pun yang tertawa mendengar lawakannya.
“Para hadirin sekalian, berikutnya kita akan tampilkan performer selanjutnya. Setelah kita puas disajikan penampilan lawak yang tidak lucu, maka berikut ini kami tampilkaaaaan…. Aaaaanusssss….” Para penonton seketika terbahak. Dan Arjun yang pura-pura sadar akan kesalahannya langsung sok memperbaiki. “Maaf, maksud saya kita akan saksikan penampilan Adrianuuuuusssss….” Dengan canggung Adri naik ke atas panggung, Senyum tidak, diam tidak. Kecanggungannya benar-benar total dan itu membuat Arjun gatal untuk kembali mengerjai Adri. Ia lalu membisiki ke telinga Adri. “Kamu itu harus hormat dengan membungkuk dalam-dalam. Mula-mula ke bagian kiri, kanan, dan terakhir membungkuk untuk ke bagian depan.” Paham. Adri tersenyum dengan kikuk. Ia lalu membungkuk ke penonton di kiri panggung. Selanjutnya ia membungkuk ke penonton di kanan panggung. Sadar bahwa Adri akan membungkuk ke penonton di depan panggung, Arj
Dan setelah benar-benar reda, Adri mempersiapkan diri. Kedua tangan beserta seluruh jari sudah di tempat yang tepat sampai kemudian ia benar-benar menyanyikan lagu tadi.Dalam sepuluh detik, situasi berbalik 180 derajat. Seluruh penonton merinding bulu kuduknya. Ada yang membelalakkan mata. Ada yang pula yang tak bersuara namun mulut mereka terbuka lebar. Dan ini tanpa kecuali terjadi pada diri Arjun yang gagal menyembunyikan kekagumannya pada Adri dimana itu secara jelas ia tunjukan di sebuah panggung yang ditonton banyak orang.Adri boleh saja hanya memainkan guitar cover dan lagu yang dinyanyikan pun ‘cemen’ karena hanya sebuah lagu kanak-kanak yang sederhana. Tapi yang di luar dugaan atau perkirakan banyak orang adalah bahwa lagu yang dimainkannya itu telah diaransemen secara seksama, canggih, dan penuh improviasi. Di-aransemen dengan genre musik Jazz, lagu itu jadi punya warna sangat berbeda. Jari-jarinya tak hanya
Seiring berjalannya waktu lama-kelamaan Adri pun mengubah sikap dengan tidak mau ambil pusing terhadap teman-teman sekelas. Ia jadi cenderung pendiam dan mulai menerima keadaan apa adanya. Ia yang bosan mengeluh, perlahan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Cara ini cukup efektif karena dampaknya, melakukan tugas sendirian kini tak lagi ia anggap menyedihkan. Tak memiliki banyak teman tak membuatnya larut dalam duka. Dengan gen petualangnya ia malah menikmati keterkucilannya karena dengan sedikitnya bersosialisasi hal itu membuat dirinya memiliki lebih banyak waktu untuk belajar lebih giat demi mengejar ketertinggalannya. Sifat gigih, yang umum melebur pada darah seorang perantau, tergambar dalam karya nyatanya sehari-hari. Dan kegigihannya belajar memang membuahkan hasil. Kendati tidak mencapai level siswa terpintar atau terjago, mata pelajaran utama dalam waktu tiga-empat bulan dengan cepat ia kuasai. Secara perlah
Pekik yang keluar dari mulut Dessy itu mengagetkan Adri. Dessy mendelik marah pada Adri yang saat itu sedang membawa ember yang penuh berisi air. Air itu akan digunakan Adri untuk membersihkan meja-meja yang kotor karena ulahnya dan Arjun. Ini memang bagian dari pendisiplinan yang Adri mau terima secara legowo.“Shit kenapa?”“Elo ngerjain gue ya?”Adri menggeleng cepat.Dessy yang tak percaya kembali berteriak. “Bohong! Matanya di mana sih? Elo sengaja numpahin air di ember ke gue kan? Hayo ngaku.”Ohhh itu yang jadi penyebab kemarahannya.Adri kembali menggeleng. “Kita bawa ember tujuannya for, eh… untuk membersihinkan meja di kelas.”“Ngomong aja gak becus,” ucapan Dessy terdengar ketus. “Elo mau bersihin meja gara-gara elo tadi lari-lari di atasnya kan? Elo dendam sama Arjun tapi kenapa sepatu gue yang disirem?”
“Inget lah,” Monique mengangguk mantap. “Pertanyaannya kan supaya digambarkan perjalanan ovum alias sel telur dari Ovarium ke Tube Falopi.”“Naaah karena pertanyaannya minta digambarkan, eh tau gak, Si Bopung itu malah bener-bener ngegambar kayak anak TK ikut lomba mewarnai.”“Haaaah? Plis don du dis et hom.”“Emang iya. Tapi gue duga dia iseng gitu karena gak suka sama Mak Lampir. Mangkelnya udah sampe ke ubun-ubun. Buktinya, semua soal lain yang dijawab serius ternyata betul semua.”“Dia gambar gimana sih?”Tanpa diminta Dessy menyambar buku di tangan Monique dan pulpen di saku bajunya sendiri. Ia lantas menggambar sesuatu di halaman belakang buku.“Ovum-nya digambar seperti telor ayam dengan dua kaki. Posisinya sedang jalan santai kaya’ gini,” Monique melihati ketika Dessy menggambar telur berkaki di atas kertas. “Di
Menaiki mobil antar-jemput memang menjadi pilihan paling realistis bagi Dessy. Setidaknya untuk hari ini. Mobil yang disediakan sebetulnya lumayan bagus. Tapi karena digunakan ramai-ramai mau tak mau ia harus menunggu sampai seluruh siswa hadir. Merasa tak nyaman atas suasana yang mulai gerah, Dessy membuka pintu di samping tempat duduknya. Caranya membuka pintu yang mendadak menimbulkan teriakan kecil dari seseorang yang rupanya ada di samping mobil.Dessy menoleh ke sumber suara dan menemukan Adri tengah merunduk sambil meringis memegangi kepala. Pria itu memegangi keningnya yang rupanya terantuk karena pintu mobil dibuka mendadak. Dessy dengan cepat menyadari apa yang baru saja terjadi.“Ups sori. Kena ya?” Dessy buru-buru meminta maaf. “Kenapa pake merunduk segala sih? Nyari duit?”Permintaan maafnya tulus. Pertanyaannya juga. Namun Adri menanggapi dengan dingin."Kamu sengaja?""Nggak!"
Sadar bahwa yang dimaksud adalah diri Tante sendiri, Adri melangkah pergi.“Tante cuma becanda lageeee. Hey! Hey, mau ke mana kamu? Jadi kamu ikut mobil yang mana?”Adri mengacungkan jari tengah. Namun sedetik kemudian jari telunjuknya ikut diacungkan.“Tetep di nomor dua? Ya udah, kamu tungguin di dalam mobil yah! Sabar.”Sabar? Adri geram. Ia tak yakin akan seberapa jauh kesabarannya ketika harus bertemu terus dan satu kabin dengan Dessy!Ketika mendekati mobil sempat terjadi kontak mata antara keduanya. Sayang itu berlangsung hanya sepersekian detik karena setelah itu Adri langsung membuang muka dengan mimik sebal. Dessy yang melihat sikap Adri seperti itu jadi merasa terlecehkan. Perasaannya yang tadi ingin memperbaiki hubungan dengan Adri jadi sirna seketika. Berganti rasa yang sama seperti yang Adri miliki saat itu. Perasaan sebal."Menyebalkan," Dessy menggerutu.Gerutuan itu pelan sebetuln
Ibu Dessy mengangguk-angguk. Bukan menyetujui tapi entah ia bingung harus bersikap apa.“Diijinin pergi apa nggak nih?”Sesosok lain tiba-tiba muncul di ruang yang sama. “Pasti diijinin dong. Masa’ anak Papa dilarang bergaul.”Keduanya menoleh ke sumber suara. Ke arah dimana seorang pria empat puluhan tahun mendekati mereka berdua dan duduk di sandaran sofa kedua.“Papa nggak ngelarang kamu pergi makan malam. Dan Papa yakin, Mama juga begitu. Kami percaya kamu bisa jaga diri,” ucapnya tenang. “Kamu dan teman-teman mau kemana sih?”“Makan malamnya di mall Senayan. Sekalian mau ganti ponsel.”“Terus? Sehabis itu kamu langsung pulang?”“Mama ini! Nggak suka Dessy ngabisin waktu sama temen-temen ya? Kami rencananya sehabis dinner itu mau ke eXist ‘bentar. Gak lama koq. Paling sejam hangout-nya.”