Ibu Dessy mengangguk-angguk. Bukan menyetujui tapi entah ia bingung harus bersikap apa.
“Diijinin pergi apa nggak nih?”
Sesosok lain tiba-tiba muncul di ruang yang sama. “Pasti diijinin dong. Masa’ anak Papa dilarang bergaul.”
Keduanya menoleh ke sumber suara. Ke arah dimana seorang pria empat puluhan tahun mendekati mereka berdua dan duduk di sandaran sofa kedua.
“Papa nggak ngelarang kamu pergi makan malam. Dan Papa yakin, Mama juga begitu. Kami percaya kamu bisa jaga diri,” ucapnya tenang. “Kamu dan teman-teman mau kemana sih?”
“Makan malamnya di mall Senayan. Sekalian mau ganti ponsel.”
“Terus? Sehabis itu kamu langsung pulang?”
“Mama ini! Nggak suka Dessy ngabisin waktu sama temen-temen ya? Kami rencananya sehabis dinner itu mau ke eXist ‘bentar. Gak lama koq. Paling sejam hangout-nya.”
Sebuah mobil kategori citycar meluncur deras membelah kabut pagi yang, tidak seperti biasa, pekat mendominasi sebuah jalan kompleks perumahan. Mesinnya menderum pelan menjelang tiba di sebuah persimpangan. Sesaat setelah berbelok dan berada di jalan raya, mesin mobil sedikit bergemuruh ketika dipacu pada kecepatan yang lebih tinggi. Decit suara ban membahana di tengah suasana yang masih agak sepi.“Woy, mau ngebut nih?” Dessy memprotes pada Monique yang menyetir.Sambil memasukkan tuas persneling, Monique melingkarkan mata. “Hadeuhhh, lari 70 aja dibilang cepet. Gimana kalo nanti gue tancep lari kecepatan 120 di boulevard.”“Ebuset. Jangan sembarangan lu ya. Gue gak mau mati konyol.”“Nebeng aja bawel lu ah.”Biar pun nebeng, kan gue yang katanya nanti bayarin bensin. Mana elo mintanya Pertamax lagi!”“O iya ya.”Monique tersadar dan
“Roti ini mengurangin rasa lapar, mengurangin rasa jengkel.”“Mengurangi,” Farel memperbaiki ucapan temannya. “Bahasa gaulnya: ngurangin.”Terdengar kursi berderit. Dessy menduga itu suara bangku yang diduduki Farel ketika bergeser untuk ia berbincang lebih dekat kepada Adri. “Hidup di kota besar ya emang kaya’ gini, Dri. Gue masih inget curhatan elo tempo hari.”Farel masih melanjutkan ucapannya. Kali ini dengan berbisik. “Elo musti bertahan seberat apapun tantangannya. Masa’ elo di Jakarta nggak sampe setahun?”Terdengar jawaban Adri. “Kita nyanda segan mengambil langkah drastis seperti itu jika dianggap perlu. Jakarta sepertinya nyanda, eh… tidak cocok untuk kita, Teman.”Sambil mengeluarkan sekotak permen Chicklet dari kantong tasnya, Dessy terkesiap. Terkaget karena di balik sikap
“Atau karena penis lu kecil?”Ah, itu lagi. Basi rasanya mendengar ejekan seperti itu terus-menerus.Adri masih tetap diam saja. Satu hal yang justeru membuat Arjun menjadi tambah tidak suka. Ia terdengar sedikit mengomel ketika siap melangkahkan kakinya ke tempat teman-teman lainnya menyaksikan tayangan di laptop.“Dasar banci. Kapan dewasanya lu!”“Kedewasaan bukan hanya soal kelahiran. Kedewasaan itu tercermin dari sikap.”“Preeet!” Arjun yang tak suka dengan nasehat tadi beranjak pergi.Adri mengambil sebuah buku catatan dari dalam tas dan melangkah keluar. Dekat pintu terlihat Dessy sibuk mengobrol dengan Monique dan Fitri. Topiknya jelas bukan pelajaran. Dari kosakata ‘liburan’, ‘Bali’, ‘Fitri’, dan ‘pesawat’ yang terdengar, sepertinya Fitri tengah kembali mengulang ceritany
Dessy merutuk kecil. Ia berpikir sesaat untuk menjawab pertanyaan itu. “Nge-jegal!”“Oooooh,” Adri mengangguk-angguk. Namun Dessy yang melihat bahwa mimik blo’on masih belum menjauh dari wajah pria itu segera mengerti bahwa Adri masih perlu ditanyai kembali.“Eh, elo tau kagak artinya nge-jegal?”Rasanya temperatur tubuh Dessy naik sederajat ketika ia mendengar jawaban yang diberikan Adri.“Mm... belum.”Plak! Dessy secara instink menepuk keningnya sendiri.“Maksud gue, pas gue tadi lewat elo pasti sengaja bikin gue... anu...” Dessy berpikir sejenak. Tangannya bergerak-
“Tentu saja kita nyanda percaya,” kata Adri di tengah makannya. “Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengarang walau hanya satu paragraf, dalam satu menit bisa punya kemampuan menulis cerita berhalaman-halaman. Nyanda mungkiiiiin.”“Ibu nggak bohong! Bener nih kamu nggak percaya?”Sambil melap ujung mata yang berair karena terkena panas mie instan, Adri menggeleng. “Nyanda percaya kita.”"Ada caranya, Nak. Kamu bener nih nggak percaya sama Ibu?"Adri menyerah. “Ya sudah. Sekarang tolong sampaikan caranya.”Ibu Prapti duduk di seberang meja di mana Adri duduk. “Ibu sih tulis saja begini: Pada suatu hari, aku dan keluargaku...”“Jiaaaaaah,” Adri tak terlihat puas. “Memang nyanda ada yang lain? Tiap kali memulai cerita selalu diawali dengan kata-kata: Pada suatu hari,” gerutunya dengan kalimat ter
“Hey cepetaaaan! Jangan bertapa di sana. Ini tempat umum!”‘Dasar orang kota tidak sabaran,’ rutuk Adri dalam hati.“Duuuuh, lama amat sih?” ketukan di pintu kini berubah menjadi gedoran kecil. “Ini toilet umum, tauk?!”“Sabar, Bu.”Balasan Adri menimbulkan respon dari luar sana.“Eh, ternyata bapak-bapak yang ada di dalem.”“Iya. Gue juga baru tau,” terdengar suara wanita lain menanggapi.Dari situ Adri mengetahui bahwa ada dua orang yang sudah tak sabar untuk ‘bertahta’ di sana. Kendati percakapan keduanya tidak terlalu lantang, pendengaran Adri masih sangat baik untuk bisa menangkap detil percakapannya.“Ihhh, lama amat?” terdengar suara gemas wanita pertama. “Udah gak tahan nih. Kebelet banget…”“Elo juga sih. Sejam lalu minum air putih banyak-banyak se
Renang adalah kegiatan ekstra kurikuler yang Adri ambil.Tergolong sebagai kegiatan ekskul yang kurang begitu favorit di kelas, Adri tidak merasa heran ketika melihat hanya belasan siswa yang datang ke kolam renang di sebuah Sports Club tak jauh dari lokasi sekolah. Tapi sialnya dua sejoli musuh bebuyutannya ternyata ada juga di sana. Arjun dan Dessy.Untungnya tak lama kemudian Arjun pulang. Adri sempat menarik nafas lega sesaat sampai kemudian menyadari bahwa walau Arjun sudah pergi, pasangannya ternyata tak ikut pergi. Dessy masih betah berada di kolam.Adri jadi sebal sendiri. Seandainya ia tahu bahwa Dessy ikut ekskul renang, pasti ia memilih yang lain. Mungkin kalau di sekolah ada pilihan ekskul menyulam atau merias wajah, ia tak ambil pusing. Pasti ia ambil. Tak apa dianggap aneh sendiri atau terkucil. Yang penting tidak bersama-sama dengan Arjun dan Dessy. Tapi mau apa lagi? Keputusan sudah ia ambil dan ia harus nyemplung
Saat menyudahi ucapan, Adri sudah berada di balik punggung Pak Sofyan.“Adri!”“Ya, pak.”“Kamu hari ini jadi asisten bapak ya. Kamu ajarin Dessy berenang gaya bebas.”Mendengar itu Fitri dan Monique malah spontan menggoda.“Cie cieeeee” – 2xKebalikan dengan Fitri dan Monique, Dessy dan Adri malah terkaget dan tak menyagka dengan perintah pak Sofyan.“Sekarang?” – 2x“Tahun depan,” Pak Sofyan menjawab serius sebelum sedetik kemudian berubah marah. “Ya tentu aja sekarang! Dri, cepat turun ke kolam!”Walau terkaget, dengan tidak menunda sedetik pun Adri langsung melompat ke kolam yang kebetulan berada di bagian terdalam.“Dessy, kamu kenakan kacamata renangmu. Kamu sekarang menyelam dan lihat pergerakan kaki Adri ketika melakukan gaya bebas.”Dessy menurut, sem