“Para hadirin sekalian, berikutnya kita akan tampilkan performer selanjutnya. Setelah kita puas disajikan penampilan lawak yang tidak lucu, maka berikut ini kami tampilkaaaaan…. Aaaaanusssss….”
Para penonton seketika terbahak. Dan Arjun yang pura-pura sadar akan kesalahannya langsung sok memperbaiki.
“Maaf, maksud saya kita akan saksikan penampilan Adrianuuuuusssss….”
Dengan canggung Adri naik ke atas panggung, Senyum tidak, diam tidak. Kecanggungannya benar-benar total dan itu membuat Arjun gatal untuk kembali mengerjai Adri. Ia lalu membisiki ke telinga Adri.
“Kamu itu harus hormat dengan membungkuk dalam-dalam. Mula-mula ke bagian kiri, kanan, dan terakhir membungkuk untuk ke bagian depan.”
Paham. Adri tersenyum dengan kikuk. Ia lalu membungkuk ke penonton di kiri panggung. Selanjutnya ia membungkuk ke penonton di kanan panggung. Sadar bahwa Adri akan membungkuk ke penonton di depan panggung, Arjun lantas memposisikan diri persis di belakang Adri dimana bokongnya nyaris bersentuhan dengan bokong Adri. Dan akibatnya, saat Adri membungkuk dalam-dalam ke penonton di depan, otomatis bokongnya bertabrakan dengan bokong Arjun. Tak ayal ini membuat tubuhnya terpental ke depan.
Sial, ada standing mike di depan. Kening Adri sampai menabrak alat itu dan akibatnya dalam waktu sekejap ia jadi bagai pemain sirkus dadakan ketika selain harus menahan sakit dan menjaga keseimbangan tubuhnya, ia juga harus berupaya mati-matian agar standing mike tidak terjatuh ke lantai panggung. Dengan cekatan ia menangkap standing mike yang sudah sangat miring dengan satu tangan sambil tetap menjaga gitar agar tidak terbanting dengan tangan lain. Tapi musibah belum selesai. Akibat standing mike sudah sangat miring, mike tetap saja terjatuh dan menimbulkan suara keras disertai denging feedback.
Para penonton terbahak menyaksikan apa yang terjadi. Di sisi ini Arjun sukses membuat orang tertawa dan di lain pihak sukses pula membuat Adrianus merah mukanya akibat dipermalukan. Tapi, buat Arjun si bandel, memang itulah tujuannya!
“The show must go on,” Arjun memperingatkan di tengah riuh tawa yang membahana. “Kamu tetap tampil dengan lagu Balonku.”
Adri sebetulnya malu akibat apa yang terjadi. Tapi ucapan Arjun mengingatkan dia bahwa ada janji yang harus ditepati. Dan dia adalah promise keeper, pemegang teguh pada yang namanya janji. Selain itu, ia sadar bahwa ia sukses di-bully oleh Arjun dan si bengal itu sekarang menikmati ulahnya yang menjijikkan. Tapi dirinya sadar bahwa saat ini – apalagi di atas panggung yang ditonton begitu banyak orang – ia tak boleh terlihat lemah. Pembalasan boleh saja ia lakukan, tapi tidak untuk saat ini. Dan ia lantas berdiri di tengah panggung. Selempang gitar yang tadi sempat terlepas sudah dikalungkan kembali dan gitar sudah mantap dalam genggaman.
Pada detik itu, ia masih belum bisa menyanyi karena tiga hal. Pertama, perih di kening yang masih terasa. Kedua, Arjun secara sengaja melonggar senar sehingga harus di-stem ulang. Terakhir, rasa malu, dan tawa serta riuh penonton belum juga reda. Arjun sendiri melihat hal itu dan terlihat ia malah berusaha agar keriuhan terjadi selama mungkin. Mungkin kalau perlu sampai acara berakhir walau tentu saja itu tak mungkin.
Saat sudah mereda dan Adri mulai menyetem gitar, Arjun kemudian menyambar mike dan berbicara lagi. Nadanya dibuat serius dan dalam.
“Para penonton sekalian, kita akan saksikan performer keren yang akan menyanyikan lagu…. BA-LON-KU.”
Suasana tenang yang tercipta mendadak ramai lagi. Tawa lagi-lagi terdengar di sana-sini. Adri berharap kali ini keriuhan terjadi tidak lama. Semoga. Adri memejam mata, menahan malu untuk perundungan yang terjadi berturut-turut sebagai ulah Arjun.
Dan kemudian, sesuatu timbul dalam dirinya. Sebuah gagasan. Gagasan untuk menggunakan situasi memalukan ini menjadi sebuah kesempatan dimana kesempatan itu adalah untuk balik mempermalukan Arjun. Ia merutuk dirinya sendiri karena kenaifan yang keterlaluan. Arjun itu sudah berulang-ulang melakukan ulah menyakiti hati. Dan Adri diam saja karena ia adalah seorang yang suka berpikir positif akan orang lain. Tapi ketika itu menjadi sebuah sikap yang ‘terlalu berpikir positif’ sebetulnya itu adalah suatu kebodohan. Ketika orang di samping sedang menginjak kaki Anda dan sudah pula menimbulkan pendarahan akibat lama menginjak, masih pantaskah menyebut orang itu menginjak kaki secara tidak sengaja? No way! Orang itu jelas bermaksud buruk dan perlu diberi pelajaran! Pikiran Adri berproses sangat cepat. Ia sudah lama menantikan momen pembalasan dan di situ, saat itu, bisa jadi ajang pembalasan yang tepat.
Ide untuk membalas kini berproses cepat di tengah deraan tawa para penonton yang belum juga berhenti. Ide ini terus dimatangkan dan rasanya ia perlu mempersiapkan dan melakukan sebuah pembalasan. Now is the time to strike back, kini adalah waktunya untuk menyerang balik.
Dan setelah benar-benar reda, Adri mempersiapkan diri. Kedua tangan beserta seluruh jari sudah di tempat yang tepat sampai kemudian ia benar-benar menyanyikan lagu tadi.Dalam sepuluh detik, situasi berbalik 180 derajat. Seluruh penonton merinding bulu kuduknya. Ada yang membelalakkan mata. Ada yang pula yang tak bersuara namun mulut mereka terbuka lebar. Dan ini tanpa kecuali terjadi pada diri Arjun yang gagal menyembunyikan kekagumannya pada Adri dimana itu secara jelas ia tunjukan di sebuah panggung yang ditonton banyak orang.Adri boleh saja hanya memainkan guitar cover dan lagu yang dinyanyikan pun ‘cemen’ karena hanya sebuah lagu kanak-kanak yang sederhana. Tapi yang di luar dugaan atau perkirakan banyak orang adalah bahwa lagu yang dimainkannya itu telah diaransemen secara seksama, canggih, dan penuh improviasi. Di-aransemen dengan genre musik Jazz, lagu itu jadi punya warna sangat berbeda. Jari-jarinya tak hanya
Seiring berjalannya waktu lama-kelamaan Adri pun mengubah sikap dengan tidak mau ambil pusing terhadap teman-teman sekelas. Ia jadi cenderung pendiam dan mulai menerima keadaan apa adanya. Ia yang bosan mengeluh, perlahan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Cara ini cukup efektif karena dampaknya, melakukan tugas sendirian kini tak lagi ia anggap menyedihkan. Tak memiliki banyak teman tak membuatnya larut dalam duka. Dengan gen petualangnya ia malah menikmati keterkucilannya karena dengan sedikitnya bersosialisasi hal itu membuat dirinya memiliki lebih banyak waktu untuk belajar lebih giat demi mengejar ketertinggalannya. Sifat gigih, yang umum melebur pada darah seorang perantau, tergambar dalam karya nyatanya sehari-hari. Dan kegigihannya belajar memang membuahkan hasil. Kendati tidak mencapai level siswa terpintar atau terjago, mata pelajaran utama dalam waktu tiga-empat bulan dengan cepat ia kuasai. Secara perlah
Pekik yang keluar dari mulut Dessy itu mengagetkan Adri. Dessy mendelik marah pada Adri yang saat itu sedang membawa ember yang penuh berisi air. Air itu akan digunakan Adri untuk membersihkan meja-meja yang kotor karena ulahnya dan Arjun. Ini memang bagian dari pendisiplinan yang Adri mau terima secara legowo.“Shit kenapa?”“Elo ngerjain gue ya?”Adri menggeleng cepat.Dessy yang tak percaya kembali berteriak. “Bohong! Matanya di mana sih? Elo sengaja numpahin air di ember ke gue kan? Hayo ngaku.”Ohhh itu yang jadi penyebab kemarahannya.Adri kembali menggeleng. “Kita bawa ember tujuannya for, eh… untuk membersihinkan meja di kelas.”“Ngomong aja gak becus,” ucapan Dessy terdengar ketus. “Elo mau bersihin meja gara-gara elo tadi lari-lari di atasnya kan? Elo dendam sama Arjun tapi kenapa sepatu gue yang disirem?”
“Inget lah,” Monique mengangguk mantap. “Pertanyaannya kan supaya digambarkan perjalanan ovum alias sel telur dari Ovarium ke Tube Falopi.”“Naaah karena pertanyaannya minta digambarkan, eh tau gak, Si Bopung itu malah bener-bener ngegambar kayak anak TK ikut lomba mewarnai.”“Haaaah? Plis don du dis et hom.”“Emang iya. Tapi gue duga dia iseng gitu karena gak suka sama Mak Lampir. Mangkelnya udah sampe ke ubun-ubun. Buktinya, semua soal lain yang dijawab serius ternyata betul semua.”“Dia gambar gimana sih?”Tanpa diminta Dessy menyambar buku di tangan Monique dan pulpen di saku bajunya sendiri. Ia lantas menggambar sesuatu di halaman belakang buku.“Ovum-nya digambar seperti telor ayam dengan dua kaki. Posisinya sedang jalan santai kaya’ gini,” Monique melihati ketika Dessy menggambar telur berkaki di atas kertas. “Di
Menaiki mobil antar-jemput memang menjadi pilihan paling realistis bagi Dessy. Setidaknya untuk hari ini. Mobil yang disediakan sebetulnya lumayan bagus. Tapi karena digunakan ramai-ramai mau tak mau ia harus menunggu sampai seluruh siswa hadir. Merasa tak nyaman atas suasana yang mulai gerah, Dessy membuka pintu di samping tempat duduknya. Caranya membuka pintu yang mendadak menimbulkan teriakan kecil dari seseorang yang rupanya ada di samping mobil.Dessy menoleh ke sumber suara dan menemukan Adri tengah merunduk sambil meringis memegangi kepala. Pria itu memegangi keningnya yang rupanya terantuk karena pintu mobil dibuka mendadak. Dessy dengan cepat menyadari apa yang baru saja terjadi.“Ups sori. Kena ya?” Dessy buru-buru meminta maaf. “Kenapa pake merunduk segala sih? Nyari duit?”Permintaan maafnya tulus. Pertanyaannya juga. Namun Adri menanggapi dengan dingin."Kamu sengaja?""Nggak!"
Sadar bahwa yang dimaksud adalah diri Tante sendiri, Adri melangkah pergi.“Tante cuma becanda lageeee. Hey! Hey, mau ke mana kamu? Jadi kamu ikut mobil yang mana?”Adri mengacungkan jari tengah. Namun sedetik kemudian jari telunjuknya ikut diacungkan.“Tetep di nomor dua? Ya udah, kamu tungguin di dalam mobil yah! Sabar.”Sabar? Adri geram. Ia tak yakin akan seberapa jauh kesabarannya ketika harus bertemu terus dan satu kabin dengan Dessy!Ketika mendekati mobil sempat terjadi kontak mata antara keduanya. Sayang itu berlangsung hanya sepersekian detik karena setelah itu Adri langsung membuang muka dengan mimik sebal. Dessy yang melihat sikap Adri seperti itu jadi merasa terlecehkan. Perasaannya yang tadi ingin memperbaiki hubungan dengan Adri jadi sirna seketika. Berganti rasa yang sama seperti yang Adri miliki saat itu. Perasaan sebal."Menyebalkan," Dessy menggerutu.Gerutuan itu pelan sebetuln
Ibu Dessy mengangguk-angguk. Bukan menyetujui tapi entah ia bingung harus bersikap apa.“Diijinin pergi apa nggak nih?”Sesosok lain tiba-tiba muncul di ruang yang sama. “Pasti diijinin dong. Masa’ anak Papa dilarang bergaul.”Keduanya menoleh ke sumber suara. Ke arah dimana seorang pria empat puluhan tahun mendekati mereka berdua dan duduk di sandaran sofa kedua.“Papa nggak ngelarang kamu pergi makan malam. Dan Papa yakin, Mama juga begitu. Kami percaya kamu bisa jaga diri,” ucapnya tenang. “Kamu dan teman-teman mau kemana sih?”“Makan malamnya di mall Senayan. Sekalian mau ganti ponsel.”“Terus? Sehabis itu kamu langsung pulang?”“Mama ini! Nggak suka Dessy ngabisin waktu sama temen-temen ya? Kami rencananya sehabis dinner itu mau ke eXist ‘bentar. Gak lama koq. Paling sejam hangout-nya.”
Sebuah mobil kategori citycar meluncur deras membelah kabut pagi yang, tidak seperti biasa, pekat mendominasi sebuah jalan kompleks perumahan. Mesinnya menderum pelan menjelang tiba di sebuah persimpangan. Sesaat setelah berbelok dan berada di jalan raya, mesin mobil sedikit bergemuruh ketika dipacu pada kecepatan yang lebih tinggi. Decit suara ban membahana di tengah suasana yang masih agak sepi.“Woy, mau ngebut nih?” Dessy memprotes pada Monique yang menyetir.Sambil memasukkan tuas persneling, Monique melingkarkan mata. “Hadeuhhh, lari 70 aja dibilang cepet. Gimana kalo nanti gue tancep lari kecepatan 120 di boulevard.”“Ebuset. Jangan sembarangan lu ya. Gue gak mau mati konyol.”“Nebeng aja bawel lu ah.”Biar pun nebeng, kan gue yang katanya nanti bayarin bensin. Mana elo mintanya Pertamax lagi!”“O iya ya.”Monique tersadar dan