Dan setelah benar-benar reda, Adri mempersiapkan diri. Kedua tangan beserta seluruh jari sudah di tempat yang tepat sampai kemudian ia benar-benar menyanyikan lagu tadi.
Dalam sepuluh detik, situasi berbalik 180 derajat. Seluruh penonton merinding bulu kuduknya. Ada yang membelalakkan mata. Ada yang pula yang tak bersuara namun mulut mereka terbuka lebar. Dan ini tanpa kecuali terjadi pada diri Arjun yang gagal menyembunyikan kekagumannya pada Adri dimana itu secara jelas ia tunjukan di sebuah panggung yang ditonton banyak orang.
Adri boleh saja hanya memainkan guitar cover dan lagu yang dinyanyikan pun ‘cemen’ karena hanya sebuah lagu kanak-kanak yang sederhana. Tapi yang di luar dugaan atau perkirakan banyak orang adalah bahwa lagu yang dimainkannya itu telah diaransemen secara seksama, canggih, dan penuh improviasi. Di-aransemen dengan genre musik Jazz, lagu itu jadi punya warna sangat berbeda. Jari-jarinya tak hanya bermain di fret tertentu melainkan lincah bergerak secara walking bass ke semua bagian mengiringi bagian jemari yang melakukan petik dan mendenting senar. Tidak berlebihan bahwa di event yang hanya level imut alias kecil ini, Adri sudah menunjukan performer mencengangkan dimana hanya gitaris elite kelas dunia seperti Sungha Jung yang bisa memainkannya.
Awalnya ia bermain di satu kunci tapi kemudian naik. Ini otomatis membuat lagu jadi seperti memiliki dimensi baru. Waktu yang dimainkan hanyalah tiga menit, tapi waktu itu ternyata merupakan waktu yang cukup untuk membuat para penonton terkesima. Dan bukan hanya terkesima, mereka juga melakukan standing ovation ketika lagu berakhir.
“We want more! We want more!”
Arjun terkaget. Tak percaya dengan reaksi dan pujian membahana serta request lagu tambahan yang diminta para penonton. Yang lebih bikin ia kesal adalah karena pacarnya pun ikut-ikutan berada di jajaran penyuka Adri.
Dari tempatnya berada, Dessy, gadis Arjun itu terlihat menaruh kedua telapak tangan di mulut dan meneriaki sesuatu: “Adriiiiii……. you rock!”
Entahlah apakah Adri mendengar atau tidak. Di atas panggung, sambil mendekatkan diri ke mike, Adri kini bertanya pada Arjun.
“Penonton minta tambahan lagu. Masih boleh aku mainkan satu lagu?”
Sebuah pertanyaan cerdik dan menjebak yang mau tak mau hanya diiyakan oleh Arjun karena permintaan Adri dilakukan di depan mike yang ditonton semua orang. Arjun sangat sadar bahwa tidak ada kemungkinan dirinya menolak atau ganti ia yang akan dibully para penonton. Di tahap itu ia berpikir, apakah Adri sedang melakukan serangan balasan? Jika kemungkinan itu benar, ini di luar dugaan karena selama ini Adri selalu diam saja saat diapa-apakan oleh dirinya.
Tak ada jalan lain. Persetujuan diberikan. Dan persetujuan ini seolah jadi tiket masuk untuk Adri jadi lebih bersinar. Adri tampil lagi dengan lagu lain dan kali ini ia lakukan sambil menyanyi. Dan penonton pun makin menggila. Arjun mendegut ludah, bingung, terkaget. Kekaguman para penonton pun terhadap Adri adalah pukulan balik atas perundungan yang ia lakukan pada bocah kampung itu. Betapa tidak, ternyata dari segi vokal pun Adri tak kalah keren! Di ending lagu, bocah kampung itu bagai memiliki paru-paru kembar tiga ketika menutup dengan lengking vokal terlama yang semua orang pernah dengar.
Dan terjadilah…. standing ovation lagi.
Pentas seketika menyala. Terbakar, gara-gara seorang bocah kampung yang ternyata penuh bakat dan menghasilkan tontonan memanjakan telinga yang paling heboh yang pernah mereka saksikan.
*
Disebut bopung alias bocah kampung tidak pernah jadi masalah besar buat Adri.Wajah lugunya yang ndeso apalagi dari Indonesia bagian timur, jadi membuatnya makin di bawah Arjun atau Nathan. Namun momen ketika ia didaulat paksa untuk tampil langsung di ajang Creative Event sekolah di atas telah mengubah permainan. Penampilan dahsyat Adri dengan gitar akustik pinjaman dari Arjun mulai membuka mata banyak orang mengenai keistimewaan bocah kampung ini. Kendati ada yang pernah didengar, ia memang tak pernah mendalami lagu-lagu hits dari One Direction, Maroon Five, Katty Perry, atau yang lainnya. Tapi itu tak berarti bahwa dirinya tidak bisa menjadi performer yang keren.
Sebelum peristiwa di atas panggung, waktu-waktu bersekolah benar-benar merupakan penderitaan berat bagi Adri. Sekeras apa pun ia berusaha, semua keterbatasan dan kelemahannya tadi tak mudah ia hilangkan. Makin ia berusaha makin sering pula ia dicap bopung, katro', kampungan, Tarzan. Walau banyak yang mengakui bahwa Adri adalah siswa yang layak jadi nominator sebagai siswa paling santun segedung sekolah, tetap tak banyak yang mau menemaninya. Kalau pun ada teman yang selalu setia menemaninya di jam istirahat, itu hanya dilakukan oleh satu individu saja.
Paw-paw.
Itu adalah nama seekor anak anjing kampung yang selama dua bulan terakhir ini dipelihara oleh ibu pengelola kantin, Ibu Prapti. Senasib seperti dirinya, anjing itu pun tidak memiliki kawan. Diambil dari tengah jalan dalam keadaan lecet-lecet dan kurus-kering karena kelaparan yang parah, tidak ada yang melirik dan berbelaskasihan pada makhluk itu. Anjing kampung itu belakangan dinamai Paw-paw oleh Adri dan kemudian menjadi teman baiknya sejak pertama kali mereka bertemu. Ia pulalah yang menitipkan sebagian dari uang sakunya pada bu Prapti untuk merawat makhluk tadi.
Seiring berjalannya waktu lama-kelamaan Adri pun mengubah sikap dengan tidak mau ambil pusing terhadap teman-teman sekelas. Ia jadi cenderung pendiam dan mulai menerima keadaan apa adanya. Ia yang bosan mengeluh, perlahan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Cara ini cukup efektif karena dampaknya, melakukan tugas sendirian kini tak lagi ia anggap menyedihkan. Tak memiliki banyak teman tak membuatnya larut dalam duka. Dengan gen petualangnya ia malah menikmati keterkucilannya karena dengan sedikitnya bersosialisasi hal itu membuat dirinya memiliki lebih banyak waktu untuk belajar lebih giat demi mengejar ketertinggalannya. Sifat gigih, yang umum melebur pada darah seorang perantau, tergambar dalam karya nyatanya sehari-hari. Dan kegigihannya belajar memang membuahkan hasil. Kendati tidak mencapai level siswa terpintar atau terjago, mata pelajaran utama dalam waktu tiga-empat bulan dengan cepat ia kuasai. Secara perlah
Pekik yang keluar dari mulut Dessy itu mengagetkan Adri. Dessy mendelik marah pada Adri yang saat itu sedang membawa ember yang penuh berisi air. Air itu akan digunakan Adri untuk membersihkan meja-meja yang kotor karena ulahnya dan Arjun. Ini memang bagian dari pendisiplinan yang Adri mau terima secara legowo.“Shit kenapa?”“Elo ngerjain gue ya?”Adri menggeleng cepat.Dessy yang tak percaya kembali berteriak. “Bohong! Matanya di mana sih? Elo sengaja numpahin air di ember ke gue kan? Hayo ngaku.”Ohhh itu yang jadi penyebab kemarahannya.Adri kembali menggeleng. “Kita bawa ember tujuannya for, eh… untuk membersihinkan meja di kelas.”“Ngomong aja gak becus,” ucapan Dessy terdengar ketus. “Elo mau bersihin meja gara-gara elo tadi lari-lari di atasnya kan? Elo dendam sama Arjun tapi kenapa sepatu gue yang disirem?”
“Inget lah,” Monique mengangguk mantap. “Pertanyaannya kan supaya digambarkan perjalanan ovum alias sel telur dari Ovarium ke Tube Falopi.”“Naaah karena pertanyaannya minta digambarkan, eh tau gak, Si Bopung itu malah bener-bener ngegambar kayak anak TK ikut lomba mewarnai.”“Haaaah? Plis don du dis et hom.”“Emang iya. Tapi gue duga dia iseng gitu karena gak suka sama Mak Lampir. Mangkelnya udah sampe ke ubun-ubun. Buktinya, semua soal lain yang dijawab serius ternyata betul semua.”“Dia gambar gimana sih?”Tanpa diminta Dessy menyambar buku di tangan Monique dan pulpen di saku bajunya sendiri. Ia lantas menggambar sesuatu di halaman belakang buku.“Ovum-nya digambar seperti telor ayam dengan dua kaki. Posisinya sedang jalan santai kaya’ gini,” Monique melihati ketika Dessy menggambar telur berkaki di atas kertas. “Di
Menaiki mobil antar-jemput memang menjadi pilihan paling realistis bagi Dessy. Setidaknya untuk hari ini. Mobil yang disediakan sebetulnya lumayan bagus. Tapi karena digunakan ramai-ramai mau tak mau ia harus menunggu sampai seluruh siswa hadir. Merasa tak nyaman atas suasana yang mulai gerah, Dessy membuka pintu di samping tempat duduknya. Caranya membuka pintu yang mendadak menimbulkan teriakan kecil dari seseorang yang rupanya ada di samping mobil.Dessy menoleh ke sumber suara dan menemukan Adri tengah merunduk sambil meringis memegangi kepala. Pria itu memegangi keningnya yang rupanya terantuk karena pintu mobil dibuka mendadak. Dessy dengan cepat menyadari apa yang baru saja terjadi.“Ups sori. Kena ya?” Dessy buru-buru meminta maaf. “Kenapa pake merunduk segala sih? Nyari duit?”Permintaan maafnya tulus. Pertanyaannya juga. Namun Adri menanggapi dengan dingin."Kamu sengaja?""Nggak!"
Sadar bahwa yang dimaksud adalah diri Tante sendiri, Adri melangkah pergi.“Tante cuma becanda lageeee. Hey! Hey, mau ke mana kamu? Jadi kamu ikut mobil yang mana?”Adri mengacungkan jari tengah. Namun sedetik kemudian jari telunjuknya ikut diacungkan.“Tetep di nomor dua? Ya udah, kamu tungguin di dalam mobil yah! Sabar.”Sabar? Adri geram. Ia tak yakin akan seberapa jauh kesabarannya ketika harus bertemu terus dan satu kabin dengan Dessy!Ketika mendekati mobil sempat terjadi kontak mata antara keduanya. Sayang itu berlangsung hanya sepersekian detik karena setelah itu Adri langsung membuang muka dengan mimik sebal. Dessy yang melihat sikap Adri seperti itu jadi merasa terlecehkan. Perasaannya yang tadi ingin memperbaiki hubungan dengan Adri jadi sirna seketika. Berganti rasa yang sama seperti yang Adri miliki saat itu. Perasaan sebal."Menyebalkan," Dessy menggerutu.Gerutuan itu pelan sebetuln
Ibu Dessy mengangguk-angguk. Bukan menyetujui tapi entah ia bingung harus bersikap apa.“Diijinin pergi apa nggak nih?”Sesosok lain tiba-tiba muncul di ruang yang sama. “Pasti diijinin dong. Masa’ anak Papa dilarang bergaul.”Keduanya menoleh ke sumber suara. Ke arah dimana seorang pria empat puluhan tahun mendekati mereka berdua dan duduk di sandaran sofa kedua.“Papa nggak ngelarang kamu pergi makan malam. Dan Papa yakin, Mama juga begitu. Kami percaya kamu bisa jaga diri,” ucapnya tenang. “Kamu dan teman-teman mau kemana sih?”“Makan malamnya di mall Senayan. Sekalian mau ganti ponsel.”“Terus? Sehabis itu kamu langsung pulang?”“Mama ini! Nggak suka Dessy ngabisin waktu sama temen-temen ya? Kami rencananya sehabis dinner itu mau ke eXist ‘bentar. Gak lama koq. Paling sejam hangout-nya.”
Sebuah mobil kategori citycar meluncur deras membelah kabut pagi yang, tidak seperti biasa, pekat mendominasi sebuah jalan kompleks perumahan. Mesinnya menderum pelan menjelang tiba di sebuah persimpangan. Sesaat setelah berbelok dan berada di jalan raya, mesin mobil sedikit bergemuruh ketika dipacu pada kecepatan yang lebih tinggi. Decit suara ban membahana di tengah suasana yang masih agak sepi.“Woy, mau ngebut nih?” Dessy memprotes pada Monique yang menyetir.Sambil memasukkan tuas persneling, Monique melingkarkan mata. “Hadeuhhh, lari 70 aja dibilang cepet. Gimana kalo nanti gue tancep lari kecepatan 120 di boulevard.”“Ebuset. Jangan sembarangan lu ya. Gue gak mau mati konyol.”“Nebeng aja bawel lu ah.”Biar pun nebeng, kan gue yang katanya nanti bayarin bensin. Mana elo mintanya Pertamax lagi!”“O iya ya.”Monique tersadar dan
“Roti ini mengurangin rasa lapar, mengurangin rasa jengkel.”“Mengurangi,” Farel memperbaiki ucapan temannya. “Bahasa gaulnya: ngurangin.”Terdengar kursi berderit. Dessy menduga itu suara bangku yang diduduki Farel ketika bergeser untuk ia berbincang lebih dekat kepada Adri. “Hidup di kota besar ya emang kaya’ gini, Dri. Gue masih inget curhatan elo tempo hari.”Farel masih melanjutkan ucapannya. Kali ini dengan berbisik. “Elo musti bertahan seberat apapun tantangannya. Masa’ elo di Jakarta nggak sampe setahun?”Terdengar jawaban Adri. “Kita nyanda segan mengambil langkah drastis seperti itu jika dianggap perlu. Jakarta sepertinya nyanda, eh… tidak cocok untuk kita, Teman.”Sambil mengeluarkan sekotak permen Chicklet dari kantong tasnya, Dessy terkesiap. Terkaget karena di balik sikap
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....