Menaiki mobil antar-jemput memang menjadi pilihan paling realistis bagi Dessy. Setidaknya untuk hari ini. Mobil yang disediakan sebetulnya lumayan bagus. Tapi karena digunakan ramai-ramai mau tak mau ia harus menunggu sampai seluruh siswa hadir. Merasa tak nyaman atas suasana yang mulai gerah, Dessy membuka pintu di samping tempat duduknya. Caranya membuka pintu yang mendadak menimbulkan teriakan kecil dari seseorang yang rupanya ada di samping mobil.
Dessy menoleh ke sumber suara dan menemukan Adri tengah merunduk sambil meringis memegangi kepala. Pria itu memegangi keningnya yang rupanya terantuk karena pintu mobil dibuka mendadak. Dessy dengan cepat menyadari apa yang baru saja terjadi.
“Ups sori. Kena ya?” Dessy buru-buru meminta maaf. “Kenapa pake merunduk segala sih? Nyari duit?”
Permintaan maafnya tulus. Pertanyaannya juga. Namun Adri menanggapi dengan dingin.
"Kamu sengaja?"
"Nggak!"
<Sadar bahwa yang dimaksud adalah diri Tante sendiri, Adri melangkah pergi.“Tante cuma becanda lageeee. Hey! Hey, mau ke mana kamu? Jadi kamu ikut mobil yang mana?”Adri mengacungkan jari tengah. Namun sedetik kemudian jari telunjuknya ikut diacungkan.“Tetep di nomor dua? Ya udah, kamu tungguin di dalam mobil yah! Sabar.”Sabar? Adri geram. Ia tak yakin akan seberapa jauh kesabarannya ketika harus bertemu terus dan satu kabin dengan Dessy!Ketika mendekati mobil sempat terjadi kontak mata antara keduanya. Sayang itu berlangsung hanya sepersekian detik karena setelah itu Adri langsung membuang muka dengan mimik sebal. Dessy yang melihat sikap Adri seperti itu jadi merasa terlecehkan. Perasaannya yang tadi ingin memperbaiki hubungan dengan Adri jadi sirna seketika. Berganti rasa yang sama seperti yang Adri miliki saat itu. Perasaan sebal."Menyebalkan," Dessy menggerutu.Gerutuan itu pelan sebetuln
Ibu Dessy mengangguk-angguk. Bukan menyetujui tapi entah ia bingung harus bersikap apa.“Diijinin pergi apa nggak nih?”Sesosok lain tiba-tiba muncul di ruang yang sama. “Pasti diijinin dong. Masa’ anak Papa dilarang bergaul.”Keduanya menoleh ke sumber suara. Ke arah dimana seorang pria empat puluhan tahun mendekati mereka berdua dan duduk di sandaran sofa kedua.“Papa nggak ngelarang kamu pergi makan malam. Dan Papa yakin, Mama juga begitu. Kami percaya kamu bisa jaga diri,” ucapnya tenang. “Kamu dan teman-teman mau kemana sih?”“Makan malamnya di mall Senayan. Sekalian mau ganti ponsel.”“Terus? Sehabis itu kamu langsung pulang?”“Mama ini! Nggak suka Dessy ngabisin waktu sama temen-temen ya? Kami rencananya sehabis dinner itu mau ke eXist ‘bentar. Gak lama koq. Paling sejam hangout-nya.”
Sebuah mobil kategori citycar meluncur deras membelah kabut pagi yang, tidak seperti biasa, pekat mendominasi sebuah jalan kompleks perumahan. Mesinnya menderum pelan menjelang tiba di sebuah persimpangan. Sesaat setelah berbelok dan berada di jalan raya, mesin mobil sedikit bergemuruh ketika dipacu pada kecepatan yang lebih tinggi. Decit suara ban membahana di tengah suasana yang masih agak sepi.“Woy, mau ngebut nih?” Dessy memprotes pada Monique yang menyetir.Sambil memasukkan tuas persneling, Monique melingkarkan mata. “Hadeuhhh, lari 70 aja dibilang cepet. Gimana kalo nanti gue tancep lari kecepatan 120 di boulevard.”“Ebuset. Jangan sembarangan lu ya. Gue gak mau mati konyol.”“Nebeng aja bawel lu ah.”Biar pun nebeng, kan gue yang katanya nanti bayarin bensin. Mana elo mintanya Pertamax lagi!”“O iya ya.”Monique tersadar dan
“Roti ini mengurangin rasa lapar, mengurangin rasa jengkel.”“Mengurangi,” Farel memperbaiki ucapan temannya. “Bahasa gaulnya: ngurangin.”Terdengar kursi berderit. Dessy menduga itu suara bangku yang diduduki Farel ketika bergeser untuk ia berbincang lebih dekat kepada Adri. “Hidup di kota besar ya emang kaya’ gini, Dri. Gue masih inget curhatan elo tempo hari.”Farel masih melanjutkan ucapannya. Kali ini dengan berbisik. “Elo musti bertahan seberat apapun tantangannya. Masa’ elo di Jakarta nggak sampe setahun?”Terdengar jawaban Adri. “Kita nyanda segan mengambil langkah drastis seperti itu jika dianggap perlu. Jakarta sepertinya nyanda, eh… tidak cocok untuk kita, Teman.”Sambil mengeluarkan sekotak permen Chicklet dari kantong tasnya, Dessy terkesiap. Terkaget karena di balik sikap
“Atau karena penis lu kecil?”Ah, itu lagi. Basi rasanya mendengar ejekan seperti itu terus-menerus.Adri masih tetap diam saja. Satu hal yang justeru membuat Arjun menjadi tambah tidak suka. Ia terdengar sedikit mengomel ketika siap melangkahkan kakinya ke tempat teman-teman lainnya menyaksikan tayangan di laptop.“Dasar banci. Kapan dewasanya lu!”“Kedewasaan bukan hanya soal kelahiran. Kedewasaan itu tercermin dari sikap.”“Preeet!” Arjun yang tak suka dengan nasehat tadi beranjak pergi.Adri mengambil sebuah buku catatan dari dalam tas dan melangkah keluar. Dekat pintu terlihat Dessy sibuk mengobrol dengan Monique dan Fitri. Topiknya jelas bukan pelajaran. Dari kosakata ‘liburan’, ‘Bali’, ‘Fitri’, dan ‘pesawat’ yang terdengar, sepertinya Fitri tengah kembali mengulang ceritany
Dessy merutuk kecil. Ia berpikir sesaat untuk menjawab pertanyaan itu. “Nge-jegal!”“Oooooh,” Adri mengangguk-angguk. Namun Dessy yang melihat bahwa mimik blo’on masih belum menjauh dari wajah pria itu segera mengerti bahwa Adri masih perlu ditanyai kembali.“Eh, elo tau kagak artinya nge-jegal?”Rasanya temperatur tubuh Dessy naik sederajat ketika ia mendengar jawaban yang diberikan Adri.“Mm... belum.”Plak! Dessy secara instink menepuk keningnya sendiri.“Maksud gue, pas gue tadi lewat elo pasti sengaja bikin gue... anu...” Dessy berpikir sejenak. Tangannya bergerak-
“Tentu saja kita nyanda percaya,” kata Adri di tengah makannya. “Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengarang walau hanya satu paragraf, dalam satu menit bisa punya kemampuan menulis cerita berhalaman-halaman. Nyanda mungkiiiiin.”“Ibu nggak bohong! Bener nih kamu nggak percaya?”Sambil melap ujung mata yang berair karena terkena panas mie instan, Adri menggeleng. “Nyanda percaya kita.”"Ada caranya, Nak. Kamu bener nih nggak percaya sama Ibu?"Adri menyerah. “Ya sudah. Sekarang tolong sampaikan caranya.”Ibu Prapti duduk di seberang meja di mana Adri duduk. “Ibu sih tulis saja begini: Pada suatu hari, aku dan keluargaku...”“Jiaaaaaah,” Adri tak terlihat puas. “Memang nyanda ada yang lain? Tiap kali memulai cerita selalu diawali dengan kata-kata: Pada suatu hari,” gerutunya dengan kalimat ter
“Hey cepetaaaan! Jangan bertapa di sana. Ini tempat umum!”‘Dasar orang kota tidak sabaran,’ rutuk Adri dalam hati.“Duuuuh, lama amat sih?” ketukan di pintu kini berubah menjadi gedoran kecil. “Ini toilet umum, tauk?!”“Sabar, Bu.”Balasan Adri menimbulkan respon dari luar sana.“Eh, ternyata bapak-bapak yang ada di dalem.”“Iya. Gue juga baru tau,” terdengar suara wanita lain menanggapi.Dari situ Adri mengetahui bahwa ada dua orang yang sudah tak sabar untuk ‘bertahta’ di sana. Kendati percakapan keduanya tidak terlalu lantang, pendengaran Adri masih sangat baik untuk bisa menangkap detil percakapannya.“Ihhh, lama amat?” terdengar suara gemas wanita pertama. “Udah gak tahan nih. Kebelet banget…”“Elo juga sih. Sejam lalu minum air putih banyak-banyak se