"Sayang...?" Suara Bara menggelegar saat ia baru pulang dari kampusnya. Ia menyimpan terlebih dahulu almamater dan juga tasnya. Ah, hari ini ia pergi sendiri karena Laila memang tidak ada jadwal belajar, soalnya mau ujian akhir, jadi acara mengajar pun otomatis membuat pembelajaran tidak efektip."Sayang... ""Iya,Mas? Laila lagi d idapur." Suara teriakan itu membuat Bara dengan segera pergi kedapur. Benar saja, sang istri tercinta tengah berkutik dengan bawang-bawang di tangannya.Grep!Laila tersentak saat ia mendapati tubuhnya dipeluk dari belakang."Capek?" tanyanya membuat Bara mengangguk."Hari ini banyak banget tugasnya, padahal di sisi lain kita akan ujian akhir," ucap Bara. Kepalanya ia simpan di sisi bahu sang istri dengan dagu yang sebagai tumpuannya."Makannya, jangan sering pergi ke luar kota lah. Jadinya kan begini. Harus ngejar yang ketinggalan." Bara hanya berdehem sebagai jawaban. Ia memejamkan matanya merasakan kenyamanan yang amat ia sukai ini. Memeluk sang istri.
Untuk beberapa kali Bara menghela nafas gusar. Dari tadi pagi hingga malam ini Laila tidak membuka pintu kamarnya, dia mengurung tanpa mau membalas setiap pertanyaannya. Bara mengerang frustasi, pusing memikirkan sesuatu agar istrinya tidak merajuk.Bagaimana ia akan menjelaskan bahwa semuanya ... hanya demi kebaikan istrinya? Bagaimana pun ia juga berpikir jauh ke depan sebelum memutuskan hal ini.Bara mencoba sekali lagi untuk menghadap pintu kamar yang sedari tadi tertutup, dia mengetuknya.“Sayang ... bukain ya? Please, kita makan dulu?”Tidak ada jawaban.“Mas akan lakukan apapun, tapi please, buka dulu, yang...”Tidak ada sahutan.“Sayang ... nanti kamu sakit bagaimana? Please, Mas enggak mau kamu kenapa-napa, bukain ya?”Bara menyerah. Istrinya masih enggan untuk membuka pintu. Menyesal ia tadi tidak membawa kunci cadangan. Kunci cadangan menyatu dengan kunci mobilnya, dan tentu ada di dalam sana.“Maafkan, Mas. Laila ... kau boleh marah semau kamu. Tapi jangan marah sama makan
"Laila?"Tok tok tokBara mengetuk pintu kamar Laila dengan gerakan sedikit keras membuat pintu terbuka sedikit. Kening Bara berkedut, ia kira pintu tengah dikunci ternyata tidak. Kesempatan baru membuat Bara dengan segera masuk ke dalam kamarnya. "Laila? " Bara mengedarkan pandangannya, tapi tatapannya langsung terkunci pada sebuah kertas yang berada di atas ranjang. Dengan sigap Bara merampas nya dan mulai membaca isi surat tersebut. [Laila pergi Mas. Tolong jangan mencari Laila untuk dua minggu ini.]Hanya tulisan itu membuat Bara meremas kertas dengan emosi. "Laila ... kenapa kau menyiksa Mas seperti ini, hah?! Kenapa Laila?! " Karena emosi pula Bara melempar semua barang yang berada di atas nakas. Tidak perduli pada barang yang kini sudah pecah berhamburan di lantai. "Mas ingin memperbaiki semuanya Laila, tapi kau ... kau malah pergi tanpa mau mengerti alasan Mas melakukan ini. Laila, kenapa kau melakukan ini? " Bara terjatuh dengan tangan yang meremas seprai tepi ranjang.
Setelah kepergian Bara, Rea dan Reno, seseorang di belakang sana tersenyum amat lebar. Ia tersenyum penuh kemenangan. Seseorang itu bersandar pada sisi mobilnya, bersedekap dada sambil menatap tajam kepergian Bara di depan sana. Bukan satu orang tapi dua.“Bukankah hari ini kita harus merayakannya? Eum ... rasanya tidak seru bukan?” Seseorang itu tersenyum miring, sedangkan yang lain masih menatap kepergian Bara yang sudah hilang dalam pandangan. Dia menatap dengan tajam. “Seharusnya hal ini ia rasakan dari dulu ... tapi tidak apa, sebentar lagi dia akan mati. Hahahah, siapa yang akan bertahan dari penyakit Leukimia yang sudah berada di ujung tanduk?” Seseorang itu terus berucap, sedangkan yang lain masih mendengarkan. “Bagaimama menurutmu ...? Kak? Apa kita langsung membunuhnya saja? Heum... terkadang aku kasihan jika dia terus hidup hanya menanggung penderitaan. Alangkah baiknya kita jika menghilangkan penderitaan itu dengan membunuhnya? Hahaha, bahkan istrinya saja meninggalkann
Laila tidak pernah tau jika ternyata kepergiannya membuat Bara menjadi sakit. Kepergiannya malah membuat suaminya berujung ke rumah sakit. Sudah beberapa hembusan nafas ia keluarkan. Beberapa kali pula Laila terus menunggu di luar dengan kursi panjang yang menemani dirinya dalam keheningan. Sudah 3 kali ia meminta dokter agar memperbolehkan dirinya masuk tapi pihak dari mereka tetap belum mengizinkan dirinya untuk masuk. Rumah sakit menyebalkan! Seharusnya mereka mengerti kalau pasien yang terbaring di dalam sana itu membutuhkan dirinya. Sudah pukul 11 malam, namun Laila masih terjaga dalam menunggu. Sungguh ingin sekali ia melihat suaminya, sangat... ia benar-benar khawatir dan cemas kepada suaminya itu. Dena, dia selalu kemari untuk menemaninya, sekarang dia sudah pergi dua jam yang lalu karena ada urusan. Untung ujian telah selesai sebelum masalah ini terjadi, membuat Laila tidak terlalu terbebani. Saat Laila berkecamuk dengan isi pikirannya, sayup-sayup suara obrolan terdeng
"Mas Bara... "Dengan terisak Laila mencium semua wajah suaminya, setelahnya ia memeluknya. "Maafkan Laila, Mas. Maaf... ""Jangan mengatakan tidak mengingatku Mas... sungguh, hal itu membuatku sakit, " ucapnya setelah tadi mendengar Bara yang tidak mengingatnya. Sekilas Laila mendengar kekehan dari suaminya-Bara, membuat ia langsung menarik tubuhnya dan menatap suaminya. Puk! "Jahat! Mas ngerjain Laila! " cemberut nya setelah memukul pelan bahu Bara. Bara tertawa kecil lagi. Ia melepas selang oksigen terlebih dahulu. "Setelah kepergianmu dari rumah, Mas kira kau akan melupakan Mas. Makannya Mas berpikir seperti itu. "Laila mendelik, namun tak urung ia kembali memeluk Bara. "Jangan bilang Mas yang bakal ninggalin Laila? " tanyanya mengusap dada suaminya. Sungguh ia merindukan semuanya tentang suaminya ini. "Dan apa ini? Kenapa Laila baru tau kalau Mas sakit, ha? Kenapa kau sembunyikan ini Mas? " Laila menarik kepalanya. Nampak kemarahan yang ia tujukan. "La, bukan begitu--" L
"Keadaan Bara saat ini... kembali kambuh dengan jarak yang semakin dekat. Leukimia atau yang disebut kanker darah terjadi akibat tubuh yang memproduksi sel darah putih abnormal. Sel darah putih merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang diproduksi di dalam sumsum tulang. Ketika fungsi tulang terganggu,maka sel darah putih yang dihasilkan akan mengalami perubahan.""Perubahan yang terjadi pada Bara sudah mencapai Leukimia akut, di mana sel kanker terjadi sangat cepat dan gejalanya bisa memburuk dalam waktu singkat."Penjelasan Reno saat ini benar-benar mengguncang pertahanan Laila. Ia menangis sejadinya sembari membekap mulutnya agar tidak terdengar keras. Reno ikut memperihatin memberitahukan hal ini. Ia menghela nafas panjang sebelum mengusap pipinya yang ikut basah. Seharusnya ia tidak mengatakan kebenaran ini, hanya saja Laila terus memaksa, mendesaknya terus-menerus, membuat ia mau tak mau memberitahukan kebenarannya tentang Bara. Lagipula setelah dipikir-pikir, istrinya
"Bara bukan pembunuh, Bara bukan seorang pembunuh.""Kau anak pembawa sial! Kau seorang pembunuh Bara! Kau seorang pembunuh!"Kepala Bara terus menggeleng menghempaskan teriakan-teriakan yang menggema ditelinganya. Teriakan itu begitu berputar di dalam otaknya yang masih sangat muda. Bara yang kini berumur 10 tahun itu terjatuh lemas di tengah guyaran hujan yang semakin deras berjatuhan. Anak kecil itu menangis terisak. Sepi, dingin, sendiri. Ia menangis ditengah kesendiriannya. "Bara ... Bara sayang sama Bunda, kan?" tanya Mira saat itu yang lemah tak berdaya. Bara kecil mengangguk. Matanya memerah karena menangis. "Kalau begitu ... jaga Ayah kamu ya? Jaga Barez adik kamu... demi Bunda." Dengan susah payah Mira menjangkau pipi chubby Bara. "Sama seperti kau menjadi pelindung untuk Kakak kamu, kau juga harus bisa menjadi pelindung untuk mereka ..." Hembusan nafas Mira semakin nampak begitu menyesakkan. "B-bunda, Bunda ke-kenapa bicara gitu? Bunda gak akan pergi kan?" Anak beru
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,