Deg!"Laila?"Bara terhenyak saat mendapati Laila yang langsung berlari keluar setelah ia menjatuhkan piring yang berisi makanan.Sial! Apa istrinya mendengar semua pembicaraannya?Pada akhirnya Bara mengejar Laila yang berlari menuju kamarnya."Laila!" "Lepas, Mas!" Laila memberontak saat lengannya berhasil dipegang oleh Bara. "Laila dengar. Semuanya tidak benar sayang. Mas bisa jelaskan.""Lepas, Mas! Aku tidak butuh penjelasan dari kamu!" Laila memberontak, namun sekuat tenaga Bara menahan Laila agar tidak pergi. "Dengarkan Mas dulu, La? Tolong ..."Laila terdiam,dia menatap Bara dengan tangisnya. "Baiklah, sekarang katakan, apa perkataan barusan memang benar?" Laila tidak memberontak hanya saja ia menatap tajam Bara. Ia menunggu jawaban yang sebenarnya."Katakan bahwa semua yang kau ucapkan adalah tidak benar kan, Mas? Kenapa diam, hah? Jawab Mas!" Laila berteriak."Mas, jawab! ""Ya, Laila! Semuanya memang benar! Memang benar kalau Mas ingin membuatmu jatuh cinta tapi untuk ma
"Sayang...?" Suara Bara menggelegar saat ia baru pulang dari kampusnya. Ia menyimpan terlebih dahulu almamater dan juga tasnya. Ah, hari ini ia pergi sendiri karena Laila memang tidak ada jadwal belajar, soalnya mau ujian akhir, jadi acara mengajar pun otomatis membuat pembelajaran tidak efektip."Sayang... ""Iya,Mas? Laila lagi d idapur." Suara teriakan itu membuat Bara dengan segera pergi kedapur. Benar saja, sang istri tercinta tengah berkutik dengan bawang-bawang di tangannya.Grep!Laila tersentak saat ia mendapati tubuhnya dipeluk dari belakang."Capek?" tanyanya membuat Bara mengangguk."Hari ini banyak banget tugasnya, padahal di sisi lain kita akan ujian akhir," ucap Bara. Kepalanya ia simpan di sisi bahu sang istri dengan dagu yang sebagai tumpuannya."Makannya, jangan sering pergi ke luar kota lah. Jadinya kan begini. Harus ngejar yang ketinggalan." Bara hanya berdehem sebagai jawaban. Ia memejamkan matanya merasakan kenyamanan yang amat ia sukai ini. Memeluk sang istri.
Untuk beberapa kali Bara menghela nafas gusar. Dari tadi pagi hingga malam ini Laila tidak membuka pintu kamarnya, dia mengurung tanpa mau membalas setiap pertanyaannya. Bara mengerang frustasi, pusing memikirkan sesuatu agar istrinya tidak merajuk.Bagaimana ia akan menjelaskan bahwa semuanya ... hanya demi kebaikan istrinya? Bagaimana pun ia juga berpikir jauh ke depan sebelum memutuskan hal ini.Bara mencoba sekali lagi untuk menghadap pintu kamar yang sedari tadi tertutup, dia mengetuknya.“Sayang ... bukain ya? Please, kita makan dulu?”Tidak ada jawaban.“Mas akan lakukan apapun, tapi please, buka dulu, yang...”Tidak ada sahutan.“Sayang ... nanti kamu sakit bagaimana? Please, Mas enggak mau kamu kenapa-napa, bukain ya?”Bara menyerah. Istrinya masih enggan untuk membuka pintu. Menyesal ia tadi tidak membawa kunci cadangan. Kunci cadangan menyatu dengan kunci mobilnya, dan tentu ada di dalam sana.“Maafkan, Mas. Laila ... kau boleh marah semau kamu. Tapi jangan marah sama makan
"Laila?"Tok tok tokBara mengetuk pintu kamar Laila dengan gerakan sedikit keras membuat pintu terbuka sedikit. Kening Bara berkedut, ia kira pintu tengah dikunci ternyata tidak. Kesempatan baru membuat Bara dengan segera masuk ke dalam kamarnya. "Laila? " Bara mengedarkan pandangannya, tapi tatapannya langsung terkunci pada sebuah kertas yang berada di atas ranjang. Dengan sigap Bara merampas nya dan mulai membaca isi surat tersebut. [Laila pergi Mas. Tolong jangan mencari Laila untuk dua minggu ini.]Hanya tulisan itu membuat Bara meremas kertas dengan emosi. "Laila ... kenapa kau menyiksa Mas seperti ini, hah?! Kenapa Laila?! " Karena emosi pula Bara melempar semua barang yang berada di atas nakas. Tidak perduli pada barang yang kini sudah pecah berhamburan di lantai. "Mas ingin memperbaiki semuanya Laila, tapi kau ... kau malah pergi tanpa mau mengerti alasan Mas melakukan ini. Laila, kenapa kau melakukan ini? " Bara terjatuh dengan tangan yang meremas seprai tepi ranjang.
Setelah kepergian Bara, Rea dan Reno, seseorang di belakang sana tersenyum amat lebar. Ia tersenyum penuh kemenangan. Seseorang itu bersandar pada sisi mobilnya, bersedekap dada sambil menatap tajam kepergian Bara di depan sana. Bukan satu orang tapi dua.“Bukankah hari ini kita harus merayakannya? Eum ... rasanya tidak seru bukan?” Seseorang itu tersenyum miring, sedangkan yang lain masih menatap kepergian Bara yang sudah hilang dalam pandangan. Dia menatap dengan tajam. “Seharusnya hal ini ia rasakan dari dulu ... tapi tidak apa, sebentar lagi dia akan mati. Hahahah, siapa yang akan bertahan dari penyakit Leukimia yang sudah berada di ujung tanduk?” Seseorang itu terus berucap, sedangkan yang lain masih mendengarkan. “Bagaimama menurutmu ...? Kak? Apa kita langsung membunuhnya saja? Heum... terkadang aku kasihan jika dia terus hidup hanya menanggung penderitaan. Alangkah baiknya kita jika menghilangkan penderitaan itu dengan membunuhnya? Hahaha, bahkan istrinya saja meninggalkann
Laila tidak pernah tau jika ternyata kepergiannya membuat Bara menjadi sakit. Kepergiannya malah membuat suaminya berujung ke rumah sakit. Sudah beberapa hembusan nafas ia keluarkan. Beberapa kali pula Laila terus menunggu di luar dengan kursi panjang yang menemani dirinya dalam keheningan. Sudah 3 kali ia meminta dokter agar memperbolehkan dirinya masuk tapi pihak dari mereka tetap belum mengizinkan dirinya untuk masuk. Rumah sakit menyebalkan! Seharusnya mereka mengerti kalau pasien yang terbaring di dalam sana itu membutuhkan dirinya. Sudah pukul 11 malam, namun Laila masih terjaga dalam menunggu. Sungguh ingin sekali ia melihat suaminya, sangat... ia benar-benar khawatir dan cemas kepada suaminya itu. Dena, dia selalu kemari untuk menemaninya, sekarang dia sudah pergi dua jam yang lalu karena ada urusan. Untung ujian telah selesai sebelum masalah ini terjadi, membuat Laila tidak terlalu terbebani. Saat Laila berkecamuk dengan isi pikirannya, sayup-sayup suara obrolan terdeng
"Mas Bara... "Dengan terisak Laila mencium semua wajah suaminya, setelahnya ia memeluknya. "Maafkan Laila, Mas. Maaf... ""Jangan mengatakan tidak mengingatku Mas... sungguh, hal itu membuatku sakit, " ucapnya setelah tadi mendengar Bara yang tidak mengingatnya. Sekilas Laila mendengar kekehan dari suaminya-Bara, membuat ia langsung menarik tubuhnya dan menatap suaminya. Puk! "Jahat! Mas ngerjain Laila! " cemberut nya setelah memukul pelan bahu Bara. Bara tertawa kecil lagi. Ia melepas selang oksigen terlebih dahulu. "Setelah kepergianmu dari rumah, Mas kira kau akan melupakan Mas. Makannya Mas berpikir seperti itu. "Laila mendelik, namun tak urung ia kembali memeluk Bara. "Jangan bilang Mas yang bakal ninggalin Laila? " tanyanya mengusap dada suaminya. Sungguh ia merindukan semuanya tentang suaminya ini. "Dan apa ini? Kenapa Laila baru tau kalau Mas sakit, ha? Kenapa kau sembunyikan ini Mas? " Laila menarik kepalanya. Nampak kemarahan yang ia tujukan. "La, bukan begitu--" L
"Keadaan Bara saat ini... kembali kambuh dengan jarak yang semakin dekat. Leukimia atau yang disebut kanker darah terjadi akibat tubuh yang memproduksi sel darah putih abnormal. Sel darah putih merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang diproduksi di dalam sumsum tulang. Ketika fungsi tulang terganggu,maka sel darah putih yang dihasilkan akan mengalami perubahan.""Perubahan yang terjadi pada Bara sudah mencapai Leukimia akut, di mana sel kanker terjadi sangat cepat dan gejalanya bisa memburuk dalam waktu singkat."Penjelasan Reno saat ini benar-benar mengguncang pertahanan Laila. Ia menangis sejadinya sembari membekap mulutnya agar tidak terdengar keras. Reno ikut memperihatin memberitahukan hal ini. Ia menghela nafas panjang sebelum mengusap pipinya yang ikut basah. Seharusnya ia tidak mengatakan kebenaran ini, hanya saja Laila terus memaksa, mendesaknya terus-menerus, membuat ia mau tak mau memberitahukan kebenarannya tentang Bara. Lagipula setelah dipikir-pikir, istrinya