Laila bersenandung kecil sembari membereskan kamarnya yang lumayan berantakan. Selepas salat Subuh dengan diimami suaminya membuat Laila senyum-senyum sendiri. Kini pria yang tengah disenyuminya sedari tadi keluar, mau memasak untuk sang istri katanya. Ah mesranya.Derrtt DeerrttSuara dering ponsel terdengar, membuat Laila mengalihkan tatapannya, menatap ponsel suaminya yang menyala.Ah, ternyata milik suaminya.Ponsel itu terus berbunyi, sedangkan sang pemillik ada di bawah, tak kuasa karena bising Laila segera mengambil ponsel tersebut dan ingin mengangkatnya. Tapi, semuanya gelap saat dering ponsel tersebut sudah diam.Laila menghela nafas, menyalakan untuk melihat siapa penelfon yang hampir 3 kali berturut-turut kepada suaminya ini, namun sayang ... ponsel suaminya memakai kata sandi.[Di chatt enggak di balas, ditelpon juga enggak di jawab! Apa sih maumu,Bara!]Satu pesan masuk membuat kening Laila bertaut. Ia membaca pesan tersebut, seperti sebuah nyanyian saja. Sebenarnya ada
“Yang lo masukkan bukan alkohol, gue tau itu! Tapi, lo beri obat supaya gue melupakan kejadian itu sehingga lo sengaja biar gue enggak ingat siapa istri gue sendiri! " Rahang Bara makin mengeras. Mengingat kembali bagaimana dirinya tidak mengingat apapun saat ia menyakiti sang istri, ternyata tak lain karena obat tersebut.Prok ProkProkShaka bertepuk tangan seraya tertawa mendengar penuturan Bara. Dia tertawa meremehkan.“Waaww, hebat! Sudah kukatakan bahwa kau pria yang cerdas, Bara. Hanya dalam jarak kurang dari seminggu kau menemukam pelakunya.”Gigi Bara bergemelatuk, ia menarik kasar kerah baju Shaka. Emosinya benar-benar meluap bersamaan tawa Shaka yang keluar.“Apa tujuan lo, hah?! Apa dendam ini cukup buat lo ngehancurin hubungan gue sama Laila?"“Gak! Ini belum seberapa Bara!” sentak Shaka sembari menarik lengan Bara. “Atas apa yang kau lakukan dahulu ... aku ingin menghancurkannya! Tapi, hanya untuk kali ini, ini semua bukan ulahku! Semua musibah ini bukan dari diriku!” u
“Tadi itu Mas mukulin dia karena dia mau rebut kamu dari aku ,Laila ...” Sembari mengemudi Bara sesekali mengusap tangan Laila dalam genggamannya. “Mas gak mau kamu dimiliki oleh siapapun, karena kamu kan udah milik Mas.”Laila tersenyum malu-malu, pipinya memerah. Ia menyandarkan kepalanya kepada bahu Bara.“Mas, Laila boleh bertanya?”“Heum, apapun," jawab Bara.“Kenapa Mas begitu lembut kalau berbicara dengan Laila? Kalau dengan yang lain Mas sampai menggunakan lo-gue.”Bara tertawa kecil mendengar pertanyaan Laila yang terkesan membuatnya lucu.“Memangnya kenapa? Enggak suka?” Laila menggeleng. “Laila suka, kok.”“Kalau begitu, kenapa harus bertanya?”“Bukan begitu, Mas ... tapi, Laila kan jadi heran.”“Ya ... itu karena kamu adalah orang yang aku sayang Laila ... dan, Mas juga lebih nyaman menggunakan aku-kamu hanya kepada orang-orang tertentu saja.”Bara mencium sekilas puncuk kepala Laila. Sedangkan sang empu tersenyum amat senang.Mobil Bara melesat cepat menuju parkiran kam
"Happy brithday to Baraaa!"Teriakan itu menggema bersamaan sebuah petasan kecil yang meledak disertai kertas yang keluar dari ledakan tersebut. Lampu kembali terang benderang bersamaan kue bolu melayang dengan cahaya lilin di atasnya. Kue tersebut berukuran sedang dengan lumaran cokelat dan cream sebagai hiasan. Laila, orang yang tengah menyembunyikan wajahnya di balik kue tersebut langsung berseru menampakkan wajahnya seraya berkata."Selamat ulang tahun suamiku ..."Benar-benar terkejut. Bara, dia terkejut sembari mengerjapkan matanya untuk beberapa saat."Aden ... selamat ulang tahun ya ..." Mbok Eka ikut berseru membuat Bara terkesiap langsung berhambur memeluknya "Mbok ..."Bara melepaskan pelukannya. Kini beralih memeluk sang istri. "Makasih, sayang...""Den Bara, selamat ulang tahun ..." Kini Pak Andi yang berseru, membuat Bara langsung terkekeh dan mengucap terima kasih.Untaian doa dari masing-masing mereka untuk Bara membuat Bara terharu. Sungguh, ini kejutan yang amat i
Saat dering ponsel kembali terdengar saat itu pula Bara ambruk di samping Laila. Ia menghela nafas gusar, lelah juga karena selama percobaan malah gagal terus. "Mas..."Laila menghiraukan ponsel yang masih berdering. "Itu ponsel kamu kan?" Ya, setelah ponsel Laila yang dimatikan kini ponsel Bara yang terdengar nyaring."Jika mau, biarkan saja...""Mas akan lihat dulu siapa yang menelfon hingga larut malam begini." "Baiklah. Maafkan Laila kar--""Ini bukan kesalahan kamu sayang ... justru kau sudah membuat Mas benar-benar terpuaskan. Tapi, ya begitulah."Bara bangkit dari atas tubuh Laila, sebelum ia mengecup terlebih dahulu bibir Laila sekilas."Mas akan lihat dulu." Laila mengangguk, segera ia ikut beranjak, menarik selimut untuk menutup tubuh polos keduanya. Bara yang hanya sebatas perut dengan Laila yang menutup seluruhnya."Dari Umi, Laila." Bara terkejut saat ia mendapati telfon itu dari Uminya Laila. Hampir 3 kali berturut-turut."Mas, apa yang nelfon Laila juga, Umi?" Seketik
Derrt DerrttDerrtt DerrtSuara dering ponsel terdengar nyaring membangunkan seorang wanita yang tengah tertidur.Laila, ia membuka matanya karena suara dering ponsel itu terus terdengar. Matanya melirik suaminya yang ternyata masih tertidur, tidak merasa terganggu akan suara dering dari ponselnya.Ya, dering ponsel itu milik suaminya.Derrt DerrtLaila segera bangun dari tidurnya. Benar-benar mengganggu.“Mas?” Sedikit menggoyangkan lengannya, Bara masih tidur dengan amat pulas.“Mas?”Tidak ada respon.Karena lama menunggu, Laila segera mengambil ponsel Bara yang tergeletak di atas nakas pinggir ranjangnya. Agak susah saat mengambilnya tapi ia berhasil menjadikan ponsel itu berada ditangannya.'Cerewet 7 Turunan'Laila melirihkan nama yang tertera di sana. “Bukankah nama kontak ini Rea?” Laila menatap Bara yang tidak terusik sedikitpun.Dering itu terdiam. Membuat Laila mengalihkan tatapannya kepada ponsel Bara.[Besok datanglah ke resort yang biasa kita temui. Aku akan menunggu ja
Deg!"Laila?"Bara terhenyak saat mendapati Laila yang langsung berlari keluar setelah ia menjatuhkan piring yang berisi makanan.Sial! Apa istrinya mendengar semua pembicaraannya?Pada akhirnya Bara mengejar Laila yang berlari menuju kamarnya."Laila!" "Lepas, Mas!" Laila memberontak saat lengannya berhasil dipegang oleh Bara. "Laila dengar. Semuanya tidak benar sayang. Mas bisa jelaskan.""Lepas, Mas! Aku tidak butuh penjelasan dari kamu!" Laila memberontak, namun sekuat tenaga Bara menahan Laila agar tidak pergi. "Dengarkan Mas dulu, La? Tolong ..."Laila terdiam,dia menatap Bara dengan tangisnya. "Baiklah, sekarang katakan, apa perkataan barusan memang benar?" Laila tidak memberontak hanya saja ia menatap tajam Bara. Ia menunggu jawaban yang sebenarnya."Katakan bahwa semua yang kau ucapkan adalah tidak benar kan, Mas? Kenapa diam, hah? Jawab Mas!" Laila berteriak."Mas, jawab! ""Ya, Laila! Semuanya memang benar! Memang benar kalau Mas ingin membuatmu jatuh cinta tapi untuk ma
"Sayang...?" Suara Bara menggelegar saat ia baru pulang dari kampusnya. Ia menyimpan terlebih dahulu almamater dan juga tasnya. Ah, hari ini ia pergi sendiri karena Laila memang tidak ada jadwal belajar, soalnya mau ujian akhir, jadi acara mengajar pun otomatis membuat pembelajaran tidak efektip."Sayang... ""Iya,Mas? Laila lagi d idapur." Suara teriakan itu membuat Bara dengan segera pergi kedapur. Benar saja, sang istri tercinta tengah berkutik dengan bawang-bawang di tangannya.Grep!Laila tersentak saat ia mendapati tubuhnya dipeluk dari belakang."Capek?" tanyanya membuat Bara mengangguk."Hari ini banyak banget tugasnya, padahal di sisi lain kita akan ujian akhir," ucap Bara. Kepalanya ia simpan di sisi bahu sang istri dengan dagu yang sebagai tumpuannya."Makannya, jangan sering pergi ke luar kota lah. Jadinya kan begini. Harus ngejar yang ketinggalan." Bara hanya berdehem sebagai jawaban. Ia memejamkan matanya merasakan kenyamanan yang amat ia sukai ini. Memeluk sang istri.
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,