Pencarian topeng yang sempurna menjadi agenda pertama Suri di pagi hari. Meski awalnya sulit menemukan yang cocok, akhirnya Suri berhasil mendapatkan topeng elegan berwarna emas dengan hiasan bulu halus. Suri memandang topeng itu dengan senyum tipis. “Kurasa ini cukup bagus, Ray. Aku bisa tampil di depan para tamu, tanpa mereka perlu tahu siapa aku sebenarnya," ucap Suri meminta pendapat sahabatnya. Raysa, yang sedang sibuk memilih aksesori, mengangguk kecil. “Iya, topeng ini serasi dengan gaunmu. Yakinlah, malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan untukmu, Suri.” Suri mengangguk, merasa lebih percaya diri dari sebelumnya. Setelah mendapatkan topeng, Raysa mengarahkan mobilnya ke rumah Suri untuk mengambil gaun pesta. Dalam perjalanan, ia tak henti-hentinya mengingatkan Suri supaya menghafalkan kata sambutan, agar bisa berbicara dengan lancar. “Aku masuk dulu untuk mengambil gaun, Ray,” ujar Suri saat mobil Raysa sudah berhenti di depan rumahnya. "Cepat sedikit, ya! Kit
Raysa memarkir mobilnya di depan sebuah ruko dengan cat dinding berwarna putih gading. Papan neon bercahaya bertuliskan "Lavina Beauty Studio", lengkap dengan logo mawar menyala terang di hadapan mereka. Suri menatap pintu kaca salon itu yang telah berganti dengan model geser otomats."Salon ini jadi lebih bagus," ujar Suri takjub."Iya, dulu hanya ada empat kursi dan meja rias sederhana. Tempat ini adalah pelarian kita setelah selesai ujian,” ujar Raysa tertawa ringan.Begitu melangkah ke dalam, mereka disambut oleh seorang pegawai muda yang berdiri di meja resepsionis."Selamat datang di Lavina Beauty Studio. Ada yang bisa kami bantu?"“Kami ingin memesan make-up dan hair do, tapi harus ditangani oleh Kak Arjuna. Kami dulu langganan di salon ini,” jawab Raysa mantap.Pegawai itu mengantar mereka ke area kursi yang tertata rapi. Tak lama kemudian, muncul seorang pria dengan dandanan modis dan rambut hitam berkilau. Dia bernama Arjuna—MUA terbaik salon itu.“Kak Arjuna, masih ingat ka
Romeo menuruni dua anak tangga sekaligus sambil membawa kotak kado berbalut pita emas di tangannya. Kado itu ia siapkan khusus untuk Tuan Cahyadi yang akan merayakan ulang tahun ke-60.Isi dari kado tersebut adalah sepasang pena Montblanc Meisterstück edisi terbatas, lengkap dengan ukiran nama Tuan Cahyadi di bagian penutupnya. Mencerminkan rasa hormat dan kekagumannya terhadap sosok yang menjadi panutan di dunia bisnis.Di lantai satu, Diva telah menunggu. Tatapan mata wanita itu tidak bisa berpaling dari Romeo yang terlihat gagah, dan memancarkan wibawa seorang laki-laki yang telah meraih banyak pencapaian. Aroma parfum Midnight Onyx yang dipakainya menyebar halus ke seluruh ruangan, menambah daya tarik pria itu.Diva menelan ludah, mencoba meredam debaran jantungnya. Parfum itu membuat pikirannya melayang. Apakah Romeo memakai parfum yang ia berikan sebagai hadiah ulang tahun? Atau lelaki itu memilih hadiah dari orang misterius yang mengirimkan parfum se
Di ballroom hotel, suasana telah ramai dengan tamu-tamu yang berdatangan. Romeodan Diva baru saja tiba, berjalan melalui karpet merah yang membawa mereka ke meja penerima tamu. Romeo menuliskan namanya di buku tamu dengan cepat, sedangkan Diva lebih memilih untuk menebar senyum ke segala arah. Beberapa pasang mata mulai tertuju pada Diva. Bisik-bisik terdengar dari beberapa tamu yang saling beradu pendapat tentang siapa wanita cantik itu. Mereka mengenali Diva sebagai aktris film pendatang baru yang sedang bersinar.“Bukankah dia Diva Adinda, aktris film ‘Melodi Cinta’ yang sedang terkenal itu?” bisik salah seorang tamu.Senyuman Diva semakin melebar. Rasa puas mengalir dalam dirinya karena menjadi pusat perhatian para tamu. Ia mengangkat dagu sedikit lebih tinggi, berjalan di samping Romeo bak seorang putri raja. Di dekat pintu masuk, terdapat sebuah photobooth dengan dinding latar hitam-emas bertuliskan angka "60" dan nama ‘Cahyadi Lesmana’. Buru-buru, Diva mengajak Romeo berfoto
Acara semakin meriah ketika seorang MC naik ke panggung dengan mikrofon dalam genggaman. Suaranya yang lantang menggema di ballroom megah itu, memecah riuh percakapan para tamu yang sedang menikmati hidangan pembuka. "Hadirin sekalian, selamat malam. Kami berterima kasih atas kehadiran Anda di malam istimewa ini, perayaan ulang tahun Tuan Cahyadi Lesmana yang ke-60,” ujar sang MC membuka acara.“Sebelum kita mulai rangkaian acara malam ini, mari kita dengarkan kata sambutan dari tamu istimewa Tuan Cahyadi. Dia adalah seorang arsitek muda berbakat, yang dua tahun lalu berhasil menggemparkan dunia arsitektur dengan karya yang visioner. Setelah lama menghilang dari sorotan, kini dia telah kembali. Hadirin, mari kita sambut, Dewi Infinity!" Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan. Tamu-tamu berdiri, memberikan penghormatan pada nama besar yang baru saja diumumkan. Sagara dan Diva ikut bertepuk tangan, meskipun wajah mereka lebih menunjukkan rasa penasaran daripada kekaguman. Berbeda
Sebelum Suri melangkah turun, Tuan Cahyadi tiba-tiba naik ke atas panggung. “Terima kasih atas kehadiran Anda sekalian di acara ulang tahun saya,” katanya dengan suara lantang, penuh semangat. Semua tamu mengalihkan perhatian mereka ke pria tua itu, memberikan tepuk tangan penghormatan. “Malam ini adalah malam istimewa bagi saya,” lanjut Tuan Cahyadi dengan senyum bangga. “Karena saya tidak hanya merayakan ulang tahun, tetapi juga memiliki kesempatan untuk memperkenalkan salah satu generasi muda yang berbakat. Dia adalah Dewi Infinity.”Suri merasakan sorotan lampu sekali lagi terpusat padanya. Perasaan gugup kembali menjalar, tetapi dia tetap berdiri tegak, coba untuk menenangkan diri. “Tepat dua tahun lalu, Dewi Infinity seharusnya menerima penghargaan sebagai pemenang utama kompetisi arsitek nasional. Namun, karena musibah kecelakaan, dia tidak bisa hadir untuk menerima penghargaan tersebut. Malam ini, dia telah kembali dalam kondisi sehat, dan siap untuk bekerja sama dengan par
Di dalam toilet hotel yang sepi, Suri menatap bayangan dirinya di cermin. Sambil merapikan gaun, ia memastikan topeng emasnya masih terpasang sempurna. Tidak boleh ada celah sedikit pun yang bisa mengungkapkan identitasnya. Suri menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri sebelum kembali ke pesta mewah di ballroom. Namun, begitu ia keluar dari toilet, langkahnya terhenti. Romeo berdiri di ujung lorong, bersandar santai ke dinding dengan tangan disilangkan di dada. Tatapannya begitu gelap dan tajam, seperti seekor elang yang tengah mengincar mangsanya. “Sampai kapan kamu akan menghindariku, Dewi Infinity?” tanya Romeo dingin. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.“Saya tidak tahu apa yang Anda maksud. Silakan keluar, ini toilet wanita,” ujar Suri mencoba tetap tenang, melawan ketegangan yang merambat di punggungnya. Suri mundur perlahan, bermaksud ingin berbalik ke toilet lagi. Namun, Romeo sudah melangkah maju, menutup jarak di antara mereka. Sebelum ia sempat melarikan di
Secara refleks, Romeo mengusap bibirnya. Pastilah bekas ciumannya dengan Suri masih sedikit membekas. Untuk menghindari berbagai pertanyaan yang tak perlu dari DIva, Romeo dengan cepat menyusun alasan.“Aku tadi minum anggur merah. Mungkin itu sebabnya.” Diva tidak sepenuhnya percaya, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh. Dengan senyum yang dipaksakan, ia meraih tissue dari atas meja lalu menyerahkannya kepada Romeo.“Kak, jangan tinggalkan aku lagi. Aku merasa seperti orang bodoh duduk sendirian di sini.” Romeo hanya menanggapi dengan anggukan, matanya masih terus mencari sosok Suri di tengah kerumunan. Hatinya dipenuhi tekad. Ada rasa hangat sekaligus marah yang bercampur menjadi satu, tatkala melihat istrinya ada di pesta ini.‘Kita akan segera bertemu,’ gumam Romeo dalam hati.Sementara itu, di meja buffet, Suri menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya dari pandangan tamu lain.
Serin bergidik. Tubuhnya semakin gemetar seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan besar. "F-foto Kak Liora, saya simpan di kamar. Saya akan membersihkannya karena … ada sedikit coretan crayon,” ujar Serin tergagap.Mendengar penjelasan Serin, amarah di mata Jevandro tak lantas surut. Hatinya telah diguncang rasa kehilangan, dan kini, melihat jejak Liora diusik —membuat luka yang ia kubur dalam-dalam kembali berdarah."Ambil bingkai fotonya!" titahnya, seperti instruksi seorang komandan yang tak bisa dibantah.Serin nyaris terlonjak. Matanya membelalak dan tengkuknya terasa dingin seperti disiram air es. Dengan wajah pucat pasi, gadis itu membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar dengan langkah tergesa.Sesampainya di kamar, Serin mengulurkan tangan untuk membuka laci nakas, tempat ia menaruh bingkai foto Liora. Jemarinya bergetar hebat saat menyentuh kayu dingin bingkai tersebut.Wajah Liora dalam foto masih tersenyum, tetapi senyum itu ternoda o
Langit senja sebentar lagi akan berganti malam, tatkala Serin melangkah ke apartemen. Dua kantong kertas berisi makanan kesukaan Tristan menggantung di tangannya—ayam kecap hangat, dan satu kotak kecil donat cokelat.Begitu memasuki lobi apartemen, langkah Serin terasa ringan meski tubuhnya letih. Setengah hari di kantor cukup melelahkan, tetapi membayangkan wajah ceria Tristan sudah cukup menjadi pelepas penatnya. Sembari menekan tombol angka tujuh di lift, Serin berharap malam pertamanya di apartemen akan berjalan tenang. Saat pintu apartemen terbuka, senyum langsung menghiasi wajah Serin. Di ruang tengah, Tristan tampak duduk di sofa dengan kaki dilipat. Tangan mungilnya sibuk menggambar sesuatu di atas kertas putih yang penuh warna.Tak jauh dari sana, terdengar suara panci beradu lembut—Bi Janti tengah bersiap memasak nasi goreng. Serin meletakkan tasnya, melepas sepatu, lalu menghampiri mereka.“Selamat datang, Non Serin," sapa Bi Janti.“Bi, saya sudah membeli makanan, tidak u
Kenan masih menatap Jeandra lekat-lekat, seolah ingin memastikan penglihatannya tidak salah.“Kamu ... Jeandra? Kenapa wajahmu terlihat berbeda tanpa kacamata?”Jeandra menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ini memang saya, Pak. Saya tidak pakai kacamata karena sudah mau tidur.” Meski panik, Jeandra berusaha tersenyum tenang. Dengan gerakan cepat, ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya dari pandangan Kenan.“Malam ini, kita tidak bisa pulang. Di bawah sedang terjadi longsor, sehingga jalan akses pulang ditutup. Kita harus menginap di rumah Pak Kepala Desa,” pungkas Jeandra mengalihkan pembicaraan.“Longsor?” ulang Kenan terkejut, seolah tak percaya mendengar ucapan Jeandra.Kenan mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mendesah pelan. Nampaknya, ia merasa keberatan untuk bermalam di rumah Pak Anwar. “Apa reaksi alergi Bapak sudah berkurang?” tanya Jeandra dengan nada lebih lembut, memperhatikan perubahan pada wajah pria itu.Kenan mengangguk lemah, menggaruk pelan bag
Jeandra menoleh pelan ke arah Pak Anwar dan Bu Rita, menyandarkan telapak tangannya di kusen pintu dengan tatapan tak tenang. Bayangan tentang malam panjang yang harus ia lalui dalam suasana serba canggung, membuat Jeandra risau. Kenan masih terbaring lemah di kamar, dan ia tidak tahu harus bermalam di mana.“Pak Anwar, Bu Rita… apa di rumah ini ada kamar lain yang bisa saya gunakan?” tanya Jeandra, suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan yang belum juga reda.Pak Anwar saling pandang dengan istrinya sejenak, lalu menjawab dengan nada menyesal.“Maaf, rumah kami ini kecil. Kamarnya cuma dua. Satu yang kami pakai, dan satu lagi itu…, yang dipakai temanmu sekarang. Itu kamar anak kami, yang sekarang sudah tinggal di kota bersama istrinya.”“Jadi hanya dua kamar, Pak,” gumam Jeandra lirih, bibirnya mengatup pelan. Hati Jeandra langsung dilingkupi dilema yang menyesakkan dada—tidak mungkin ia tidur sekamar dengan Kenan. Dalam keadaan darurat seperti ini pun, ia tahu batas kesopanan.P
Meskipun hatinya masih diselimuti keraguan, Jeandra terpaksa mengikuti langkah panjang Kenan menyusuri jalan setapak. Pria itu tampak tak sabar, seakan medan pegunungan dan ancaman hujan bukanlah apa-apa dibandingkan ambisinya.Jeandra hanya bisa menarik napas, sambil terus menyusun akal sehat agar tetap waras di tengah situasi ini. Namun, baru saja ia membuka pintu mobil, dorongan alami yang tak bisa ditunda muncul begitu saja.“Maaf, Pak, apakah ada toilet di sini?” tanyanya lirih, menahan malu.Kenan menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyalakan mesin. Ia memandang ke sekitar yang hanya dipenuhi oleh pepohonan lebat, jalan setapak berbatu, dan langit yang mulai kelabu. “Tidak ada. Kita harus cari rumah warga atau warung terdekat,” jawabnya singkat, seraya memundurkan mobil.Tidak lama kemudian, mereka menemukan sebuah warung kopi di pinggir jalan. Kenan menunjuk warung itu dengan dagunya. “Ke sana saja. Saya tunggu di mobil.”Jeandra mengangguk dan bergegas turun. Sementa
Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju ke pegunungan Angkasa, suasana hening terasa menggantung di antara Jeandra dan Kenan. Tak ada percakapan, tak ada tawa ringan, bahkan tak sepotong sapaan pun terucap. Yang terdengar hanyalah denting lembut musik yang mengalun di telinga Jeandra lewat earphone.Wanita muda itu bersandar di kursi penumpang, membiarkan matanya menatap jenuh ke luar jendela. Jalan menuju pegunungan ternyata tidak semulus yang ia bayangkan. Banyak belokan tajam meliuk-liuk seperti tubuh ular raksasa, membuat Jeandra harus menahan napas setiap kali mobil berbelok dengan kecepatan konstan. Perut Jeandra terasa sedikit mual. Entah kenapa Kenan memilih lokasi terpencil ini untuk membangun sebuah vila mewah.Jeandra pun melirik kesal ke kaca spion, dan mendapati Kenan tengah menatapnya juga—entah sejak kapan pria itu memperhatikan. Alhasil, mata mereka bersitatap sepersekian detik. Buru-buru, Jeandra memalingkan wajah, berpura-pura mengecek notifikasi di ponselnya. Padah
Tepat pukul dua belas siang, jarum jam di dinding kantor Verdant Group berdentang lembut, mengiringi langkah Jevandro yang meninggalkan ruang kerjanya. Di luar ruangan, Mateo langsung beranjak dari kursi saat melihat sosok atasan yang ia hormati berjalan mendekat."Aku akan keluar sebentar," ucap Jevandro sambil menyelipkan kunci mobil ke saku jasnya. "Mungkin baru kembali sekitar pukul dua siang."Mateo mengangguk cepat, “Baik, Tuan. Hati-hati di jalan.”Tanpa menambahkan sepatah kata pun, Jevandro masuk ke lift pribadi. Ia turun menuju basement, tempat mobil hitamnya terparkir.Dengan gerakan cepat, lelaki itu membuka pintu dan masuk ke kabin mobil. Jevandro mengusap wajahnya sejenak, sebelum menyalakan mesin dengan satu putaran halus pada kunci.Kendaraan beroda empat itu melaju kencang menuju rumah keluarga Liora, tempat yang dahulu kerap ia kunjungi dengan sukacita. Namun, kini selalu menyisakan luka setiap kali ia mendekatinya.Bayangan Liora, senyumnya, suara lembutnya, dan sor
Setelah beberapa saat berdiam diri di ruang tamu yang senyap, Serin menarik napas panjang. Gadis itu berusaha menenangkan detak jantungnya yang belum juga surut, sejak menginjakkan kaki di apartemen. Hatinya dipenuhi perasaan ganjil—bukan takut, bukan pula nyaman, tetapi semacam canggung yang perlahan menjelma menjadi kehati-hatian.Dengan ragu-ragu, Serin melangkah menuju kamar tamu yang tadi ditunjukkan oleh Jevandro. Koper besar yang digenggamnya ia dorong pelan, menyusuri lantai apartemen yang mengilap. Langkahnya terasa berat, seolah tengah berjalan memasuki wilayah suci yang bukan miliknya.Ketika pintu kamar terbuka, mata Serin membulat. Kamar tamu itu lebih indah dari yang ia bayangkan. Tempat tidurnya besar, terlapisi seprai katun putih bersih dan bantal-bantal empuk yang tersusun rapi. Lemari baju berdiri di sisi ranjang, berdampingan dengan meja kerja yang dilengkapi lampu mungil.Serin berjalan ke dalam, lalu meletakkan kopernya di dekat tempat tidur. Tangannya menyentuh p
Matahari belum tinggi, ketika Serin kembali ke kos usai mengantar Tristan ke sekolah. Langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena lelah, melainkan karena sebuah keputusan besar yang tidak bisa ditawar.Sesampainya di kamar kos yang mungil, Serin membuka lemari dan mulai membereskan barang-barangnya ke dalam koper besar. Bi Janti, perempuan paruh baya yang setia membantu Serin, ikut berkemas dengan gerakan tangannya yang lincah. Sesekali, ia melipat pakaian dan seragam sekolah milik Tristan dengan hati-hati.“Non Serin benar-benar mau pindah?” tanya Bi Janti pelan, suaranya sarat dengan rasa tak ingin kehilangan.Serin mengangguk lemah, lalu berhenti melipat jaket untuk sesaat. Matanya menatap ke luar jendela yang dipenuhi bayangan pepohonan rindang.“Iya, Bi. Ini perintah atasan di kantor. Saya tidak bisa membantah, apalagi setelah kejadian dengan Kak Zico kemarin,” jawabnya lirih.Bi Janti diam sejenak, lalu memberanikan diri berkata, “Apa saya boleh ikut, Non? Saya kha