Suri menggeliat pelan di atas tempat tidur, mencoba mengabaikan bunyi alarm yang terus-menerus berdenging dari ponselnya. Tubuhnya masih terlalu berat untuk digerakkan dan perutnya masih terasa sedikit kram. Ia melirik ke arah Romeo yang masih tertidur pulas di sisinya. Wajahnya tampak tenang, hampir seperti anak kecil saat terlelap. Posisi mereka berhadapan, membuat Suri bisa melihat dengan jelas lekuk hidungnya yang tegas dan garis rahangnya yang maskulin.Suri menarik napas dalam, lalu perlahan menggoyangkan lengan Romeo. Namun, pria itu hanya bergumam tidak jelas tanpa membuka mata. Suri mengernyit dan kembali memanggil namanya, kali ini sambil menggoyang lengannya sedikit lebih keras. “Romeo, bangun. Sudah pagi.”Beberapa kali mencoba, pria itu tetap tak bergerak. Matanya masih terpejam seolah dunia luar tak ada artinya baginya. Suri menghela napas. Mungkin Romeo enggan bangun akibat terlalu lelah bekerja, ditambah dengan kesalahpahaman di antara mereka semalam. Dia melirik ja
Suri hanya bisa menatap punggung Romeo dengan heran. Terkadang, pria itu bertindak impulsif tanpa memikirkan perasaan orang lain, tetapi di lain waktu dia bisa berubah menjadi lembut dan penyayang. Sungguh, menebak jalan pikiran Romeo ibarat menyusun kepingan puzzle yang sulit untuk dirangkai. Tanpa berkata apa-apa lagi, Suri mengunci pintu rumah dan mengikuti Romeo ke mobil. Kendaraan beroda empat itu melaju dengan kecepatan stabil di jalanan yang mulai padat. Romeo duduk di balik kemudi, telinganya terpasang handsfree, perangkat kecil yang nyaris tidak terlihat. Atensi Romeo tetap fokus ke depan, kedua tangannya memegang kemudi penuh kendali. Di sampingnya, Suri duduk diam, tangannya menggenggam tali tas di pangkuan. Dia mencoba menahan diri untuk tidak menatap terlalu lama ke arah Romeo.“Yonas,” suara Romeo terdengar tenang dan tegas, memecah keheningan di dalam mobil. “Sebutkan jadwalku hari ini,” titahnya sambil melirik sekilas ke kaca spion, memastikan jalur di depannya aman.
Pipi Suri langsung memerah seperti buah tomat. Ia menggeleng cepat sambil berbisik, “Aku sedang datang bulan. Tidak mungkin Romeo berbuat macam-macam.”Raysa menatap Suri dengan tatapan geli. “Lalu, kenapa masih takut?”Suri menghela napas panjang. “Karena dia bisa saja melakukan hal lain.”Hampir saja Raysa tertawa lebih keras, tetapi ia menahan diri. Akhirnya, dia mengangguk setuju. “Tenanglah, aku akan ke rumahmu begitu pekerjaanku selesai. Siapkan makan malam yang enak untukku,” ujar Raysa mengedipkan mata. Suri tersenyum lega. “Terima kasih, Raysa. Kamu memang sahabat terbaik.”Setelah Raysa menyanggupi untuk datang ke rumahnya, Suri merasa sedikit lebih tenang. Rasa cemas yang sebelumnya menghimpitnya perlahan mereda. Mereka menghabiskan waktu istirahat dengan obrolan ringan yang penuh tawa. Namun, di balik senyumnya, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Suri—jas Sagara yang entah bagaimana harus ia kembalikan tanpa menimbulkan masalah.Selesai makan siang, Suri kembali
Hanya butuh satu setengah jam bagi Suri untuk menyelesaikan revisi yang diminta oleh Sagara. Ia memeriksa ulang presentasinya dengan teliti, sebelum akhirnya mengirimkan revisi itu ke email sang CEO.Tepat pukul lima, Suri membereskan meja kerjanya. Namun, ada rasa gugup yang perlahan merayap. Sebentar lagi Romeo akan datang, dan kata-kata pria itu tentang “hukuman kecil” masih terngiang di pikirannya.Benar saja, tak berselang lama terdengar bunyi notifikasi di ponselnya, tanda pesan masuk. [Aku sudah di depan lobi] Tak seperti biasanya, Romeo memberitahukan kedatangannya hanya melalui pesan teks, bukan menelepon secara langsung. Membaca pesan singkat itu, jantung Suri berdebar lebih kencang. Namun, ia mencoba bersikap tenang saat berpamitan kepada rekan-rekannya.“Semoga presentasi besok sukses, Bu Suri. Kita harus menang,” ujar salah satu dari mereka.“Terima kasih. Doakan ya,” balas Suri dengan tulus sebelum melangkah keluar dari ruangan.Dalam perjalanan menuju lift, Suri meng
Tanpa menunggu lebih lama, Suri menarik tangan Raysa, mengajaknya masuk ke rumah. Raysa melirik Romeo sekilas, memberikan senyum kecil yang tampak penuh arti, sebelum mengikuti langkah Suri.Romeo hanya berdiri di dekat pintu, mengamati kedua wanita itu dengan tatapan tak percaya. Alis tebalnya semakin melengkung saat Suri membawa Raysa ke ruang makan, di mana meja sudah penuh dengan makanan yang telah disiapkan pelayan.Di meja makan, Raysa memulai percakapan ringan, berpura-pura santai sambil menyantap kudapan kecil. “Suri, siapa yang menyiapkan makanan ini? Rasanya sangat enak,” ucap Raysa sambil mengunyah makanan.“Ada pelayan yang datang ke sini setiap pagi. Mereka membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan memasak,” jawab Suri sambil menyodorkan minuman dingin kepada Raysa“Wah, kalau begitu aku bisa makan malam di rumahmu setiap hari,” canda Raysa sengaja memanaskan suasana. “Aku tahu besok kamu ada presentasi besar untuk proyek kota mandiri. Aku ingin menemanimu, supaya kamu b
Suri dan Raysa masih duduk di meja makan, mengobrol santai sambil menikmati hidangan. Di tengah kehangatan obrolan mereka, suara air mengalir dari kamar mandi terdengar samar-samar. Romeo sedang mandi, mencoba mendinginkan kepalanya dari rasa jengkel.Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah kamar mandi. Romeo keluar dengan mengenakan kaos santai, dan langsung berjalan menuju teras rumah. Ia duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponsel, wajahnya terlihat masih kesal.Suri melirik ke arah teras, hatinya mulai terusik. Meski ia berusaha menghindari Romeo, tetapi ia tidak tega membiarkan suaminya itu kelaparan. Pada akhirnya, Suri berkata terus terang kepada Raysa.“Aku ajak Romeo makan dulu. Kasihan dia belum makan malam.”Raysa tersenyum sambil mengangguk. “Aku pindah ke ruang tamu saja, sekalian menonton drama di sana.”Suri mengangguk, lalu berjalan pelan ke teras. Ia melihat Romeo masih terpaku pada layar ponselnya, seolah tidak peduli dengan keadaan sekitar. “Romeo, a
Raysa mencoba fokus pada jalan di depannya, berusaha menghilangkan bayangan wajah Kenzo yang tersenyum penuh percaya diri. Kenzo adalah kakak kelas yang ia benci, dan sekarang pria itu kembali muncul dalam hidupnya dengan sikap yang sama.Rasa kesalnya semakin memuncak ketika ia merasa seperti sedang diawasi. Ia melirik kaca spion dan mendapati mobil Kenzo masih berada di belakangnya."Dasar menyebalkan!" gumamnya kesal. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin terlibat dengan pria seperti Kenzo.Raysa sengaja mempercepat laju mobilnya, berharap Kenzo akan kehilangan jejak dan berhenti mengikutinya. Sayangnya, upaya itu sia-sia. Kenzo tetap berada di belakang, seolah tidak berniat menyerah begitu saja.Setelah beberapa menit, Raysa akhirnya tiba di apartemen tempat tinggalnya di pusat kota. Ia memarkir mobilnya dan keluar dengan langkah cepat, berharap bisa menghilang sebelum Kenzo sempat mendekat.Sayangnya, Kenzo tidak memberinya kesempatan. Ia turun dari mobilnya dengan santai dan memangg
Mendengar alasan Romeo, Suri merasa ada yang aneh. Namun, ia enggan memperpanjang pembicaraan karena ingin fokus pada presentasi hari ini. Sebelum Suri sempat berkata apa-apa, Romeo menepuk pundaknya pelan. "Jadera City akan menjadi milik istriku, Dewi Infinity. Aku menunggumu di mobil," katanya.Wajah Suri langsung memerah, tak menyangka Romeo akan memberinya semangat. Ia menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan rasa malunya. Romeo, yang jelas menyadari hal itu, tersenyum tipis sebelum beranjak ke pintu. Sendirian di kamar, Suri menghela napas panjang sambil menatap bayangannya di cermin. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan setiap helai rambut tertata rapi dan riasan di wajahnya tidak terlalu mencolok. Ia tahu presentasi ini sangat penting, dan kegagalannya bisa berarti hilangnya peluang besar untuk perusahaan.Setelah cukup yakin, Suri mengambil tas kerjanya lalu melangkah keluar dari rumah. Ia melihat Romeo sudah menunggu di balik kemudi mobil. Tanpa berkata-kata,
Mobil berwarna silver melaju dengan tenang di sepanjang jalanan kota. Suri duduk di dalamnya, tepat di samping Nyonya Miranda, sementara Bi Ranti duduk di kursi depan bersama sopir. Sejak tadi, Suri hanya diam, meremas jemarinya yang terasa dingin dan kaku. Di dalam sana, hati Suri berdebar tak karuan. Napasnya terdengar lebih berat, seolah rongga dadanya menahan beban yang begitu besar. Sesekali, Suri melempar pandangan ke jendela, berharap kegugupan itu segera menghilang. Nyonya Miranda, yang sedari tadi mengamati Suri, akhirnya memecah keheningan. "Suri, makanan seperti apa yang kamu sukai?" tanyanya dengan suara lembut penuh wibawa.Suri tersentak kecil, lalu buru-buru menjawab, "Saya suka makanan berkuah, termasuk olahan ikan seperti sup ikan, steak ikan, atau ikan panggang." Ia berusaha tersenyum meski masih diliputi rasa cemas. "Biasanya, saya memasak sendiri agar lebih sehat."Nyonya Miranda mengangguk pelan. "Bagus, jika seorang wanita menyukai kegiatan memasak artinya ia
Romeo membuka pintu rumah dengan tenang, sedangkan Suri berdiri di belakangnya. Pandangan Suri langsung tertuju pada mobil mewah berwarna perak yang terparkir di halaman. Siluet seseorang tampak samar dari balik kaca jendela. Hanya beberapa detik berselang, sopir segera turun dan berjalan ke sisi kiri mobil, sementara seorang wanita paruh baya, Bi Ranti, dengan cekatan membuka pintu di sisi kanan.Dari dalam mobil, keluarlah seorang wanita dengan dagu terangkat dan tatapan yang penuh superioritas. Nyonya Valerie berdiri angkuh, menyapu pandangannya ke sekeliling halaman dengan ekspresi meremehkan. Bibirnya sedikit mencibir, seolah rumah ini adalah tempat yang tak layak dikunjungi. Suri, yang melihatnya, menahan napas. Ia sudah menduga ibu mertuanya tidak akan memberikan sambutan yang hangat. Namun, sebelum ada yang sempat berbicara, pintu mobil lainnya terbuka, dan sosok anggun muncul dari dalamnya.Nyonya Miranda melangkah turun dengan gerakan yang penuh wibawa. Rambutnya disanggul
Di dalam kamarnya yang beraroma vanila, Aira bersandar pada bantal empuk. Ponselnya menempel di telinga, suaranya lembut tetapi terdengar gelisah. Di ujung telepon, Ivan kembali merengek, suaranya penuh keluhan."Baby, kapan aku bisa beli apartemen ini? Kata pemiliknya, bulan depan apartemen ini tidak akan disewakan lagi, karena akan dijual." Suara Ivan terdengar merajuk, seolah menuntut jawaban yang bisa segera meredakan kegelisahannya.Aira menghela napas pelan. "Aku belum punya kesempatan bicara pada Kak Romeo. Lagi pula, nenekku baru saja kembali dari luar negeri dan sedang di mansion. Aku harus fokus padanya dulu."Sejenak, tidak ada suara dari Ivan. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali bersuara dengan nada penuh siasat. "Justru bagus kalau nenekmu ada di sana,” kata Ivan antusias. “Kamu bisa minta ke Beliau untuk menjual saham itu supaya kamu bisa membuka usaha butik. Nenekmu pasti lebih mudah dibujuk daripada Romeo yang sifatnya keras kepala."Aira terdiam, mempertimbangkan
Nyonya Miranda mengangkat alisnya, tampak terkejut. Dengan suara bergetar seakan menahan rasa sakit, Nyonya Valerie melanjutkan ucapannya."Suri mempengaruhi Romeo untuk menjauh dari kami, Ma. Dia meminta Romeo memutuskan semua hubungan dengan saya dan Aira. Bahkan, Romeo tidak pernah datang lagi ke mansion."Wajah Nyonya Miranda mengeras. Ia menatap Nyonya Valerie dengan pandangan penuh penilaian. Sepertinya, wanita tua itu sedang menimbang-nimbang kebenaran ucapan sang menantu.“Kenapa kamu tidak mengundang Romeo dan istrinya kemari?”Nyonya Valerie kemudian memegang dadanya, seolah tidak sanggup menahan rasa malu dan sedih."Saya sudah mencoba, Ma, tapi mereka tidak mau datang. Romeo juga tidak memperbolehkan saya berkunjung ke kantornya.”Nyonya Miranda menggenggam tongkatnya lebih erat, tampak berpikir dalam-dalam. Matanya menatap lurus ke depan, seperti menimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. "Padahal aku sangat rindu pada Romeo ...." gumamnya lirih. "Aku menyesal
Sepulang kantor, Suri mengirimkan pesan kepada Romeo bahwa dia akan berbelanja sebentar dengan Raysa. Usai mendapat izin dari sang suami, Suri pun pergi bersama Raysa ke salah satu pusat perbelanjaan. Raysa menarik lengan Suri dengan semangat, menyeretnya masuk ke dalam toko lingerie yang didekorasi dengan nuansa merah muda. Aroma wangi vanila menyambut keduanya, membuat suasana menjadi lebih intim. “Ray, untuk apa ke sini?” protes Suri malu-malu.“Kamu mau membuat Romeo bahagia, ‘kan? Ini salah satu caranya,” pungkas Raysa tidak memberi kesempatan kepada Suri untuk protes.Seorang pegawai toko dengan senyum ramah menyambut mereka. Matanya segera tertuju pada Suri yang tampak canggung di balik bahu Raysa.“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”“Kami mencari lingerie yang cocok untuk teman saya ini,” kata Raysa tanpa ragu, sambil menunjuk Suri yang langsung memerah wajahnya. “Yang sesuai dengan kulitnya yang putih dan lembut.”Pegawai toko mengangguk dengan profesionalisme yang
Mansion keluarga Albantara dipenuhi dengan kesibukan yang tidak biasa. Para pelayan bergegas ke sana kemari, membersihkan setiap sudut ruangan hingga bersinar. Derap langkah kaki mereka menggema di koridor, membawa alat-alat kebersihan dan kain pel ke setiap sudut rumah.Di lantai bawah, kamar utama menjadi perhatian khusus. Tempat tidur dengan sprei putih bersih dirapikan, bantal-bantal dihias dengan sarung bermotif elegan, dan bunga segar diletakkan di atas meja kecil dekat jendela. Bau lemon dari semprotan pengharum ruangan menyebar, memberikan kesan segar dan bersih. Tepat jam makan siang, Diva tiba di mansion dengan membawa sekotak besar makanan kesukaan Nyonya Valerie. Langkahnya ringan saat ia berjalan melewati ruang tamu yang megah, tetapi matanya segera menangkap pemandangan yang tidak biasa. Seorang pelayan sedang menyusun vas kristal di ruang makan, sementara yang lain dengan cekatan menyusun gelas-gelas di atas meja. “Di man
Romeo menelan ludah, wajahnya berubah muram. “Apakah ini berarti … saya tidak punya harapan untuk memiliki anak?” tanyanya dengan suara serak.Dokter Fani menggeleng pelan. “Bukan berarti tidak bisa, Tuan Romeo. Tapi, peluangnya lebih kecil dibandingkan dengan pria yang memiliki parameter sperma normal. Masih ada berbagai langkah yang bisa kita ambil.”Suri menoleh ke arah Romeo. Melihat gurat kesedihan di wajah suaminya, ia segera menggenggam tangan Romeo dengan erat. Mata mereka bertemu, dan Suri memberikan tatapan penuh kasih sayang. “Kita pasti bisa melewati ini bersama,” bisiknya lembut.Dokter Fani melanjutkan penjelasannya. “Ada beberapa opsi terapi yang bisa kita coba. Pertama, kita bisa mulai dengan perubahan gaya hidup, seperti pola makan sehat, olahraga rutin, dan menghindari stres berlebihan. Selain itu, suplemen tertentu yang mengandung zinc dan vitamin E dapat membantu meningkatkan kualitas sperma.”Romeo mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih tegang. “Apakah ad
Tiga hari berlalu begitu cepat sejak Suri dan Romeo melakukan tes kesuburan. Pagi itu, suasana di rumah mereka tampak biasa saja, tetapi tidak bagi Suri. Di dalam hatinya, ia merasa ada gelombang kecemasan yang sulit dijelaskan. Sebuah ketakutan kecil menyelinap di pikirannya—bagaimana jika hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi seorang ibu? Sambil melamun, Suri berdiri di dapur, menyiapkan sarapan. Ia menuang telur kocok yang sudah diberi bumbu, lalu menuangkannya ke dalam wajan panas untuk membuat omelet.Selama proses memasak, pikiran Suri masih melayang ke hasil tes yang akan mereka ambil hari ini. Dalam lamunannya, Suri bahkan tidak menyadari bau gosong mulai tercium di seluruh dapur. Romeo, yang baru saja selesai berpakaian, langsung mencium aroma yang tidak biasa. Dengan langkah cepat, ia menuju dapur dan langsung mematikan kompor. “Suri, kamu kenapa?” tanyanya sambil memindahkan wajan dari atas api. Suri menoleh, wajahnya tampak bersalah. “
Usai meninjau proyek pembangunan kota mandiri, Suri, Sagara, dan dua arsitek senior kembali ke kantor Pradipta Group. Suasana di mobil dipenuhi obrolan ringan. Sebelum turun dari mobil, Sagara menoleh ke arah Suri untuk mengingatkan tentang makan malam. “Suri, ingatkan tim kita nanti jam lima tepat ke basement. Kita akan berangkat bersama ke restoran Kanaya Garden.”Suri mengangguk patuh. “Baik, Pak Sagara. Kami akan berkumpul tepat waktu,” jawabnya dengan nada profesional.Begitu tiba di ruang divisi arsitek, Suri langsung mengingatkan timnya. Kemudian, ia pergi ke toilet untuk mengganti pakaian dengan blus berwarna jingga dan celana panjang hitam yang memberikan kesan nyaman. Selesai berganti pakaian, Suri melanjutkan pekerjaannya hingga waktu menunjukkan pukul lima.Ketika semua orang telah bersiap, Suri memimpin timnya turun ke basement. Di sana, mereka bersiap menaiki mobil kantor yang telah disediakan. Namun, Sagara tiba-tiba menghampiri Suri.“Ikut mobil saya saja, Suri. Mobil