Tanpa menunggu lebih lama, Suri menarik tangan Raysa, mengajaknya masuk ke rumah. Raysa melirik Romeo sekilas, memberikan senyum kecil yang tampak penuh arti, sebelum mengikuti langkah Suri.Romeo hanya berdiri di dekat pintu, mengamati kedua wanita itu dengan tatapan tak percaya. Alis tebalnya semakin melengkung saat Suri membawa Raysa ke ruang makan, di mana meja sudah penuh dengan makanan yang telah disiapkan pelayan.Di meja makan, Raysa memulai percakapan ringan, berpura-pura santai sambil menyantap kudapan kecil. “Suri, siapa yang menyiapkan makanan ini? Rasanya sangat enak,” ucap Raysa sambil mengunyah makanan.“Ada pelayan yang datang ke sini setiap pagi. Mereka membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan memasak,” jawab Suri sambil menyodorkan minuman dingin kepada Raysa“Wah, kalau begitu aku bisa makan malam di rumahmu setiap hari,” canda Raysa sengaja memanaskan suasana. “Aku tahu besok kamu ada presentasi besar untuk proyek kota mandiri. Aku ingin menemanimu, supaya kamu b
Suri dan Raysa masih duduk di meja makan, mengobrol santai sambil menikmati hidangan. Di tengah kehangatan obrolan mereka, suara air mengalir dari kamar mandi terdengar samar-samar. Romeo sedang mandi, mencoba mendinginkan kepalanya dari rasa jengkel.Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah kamar mandi. Romeo keluar dengan mengenakan kaos santai, dan langsung berjalan menuju teras rumah. Ia duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponsel, wajahnya terlihat masih kesal.Suri melirik ke arah teras, hatinya mulai terusik. Meski ia berusaha menghindari Romeo, tetapi ia tidak tega membiarkan suaminya itu kelaparan. Pada akhirnya, Suri berkata terus terang kepada Raysa.“Aku ajak Romeo makan dulu. Kasihan dia belum makan malam.”Raysa tersenyum sambil mengangguk. “Aku pindah ke ruang tamu saja, sekalian menonton drama di sana.”Suri mengangguk, lalu berjalan pelan ke teras. Ia melihat Romeo masih terpaku pada layar ponselnya, seolah tidak peduli dengan keadaan sekitar. “Romeo, a
Raysa mencoba fokus pada jalan di depannya, berusaha menghilangkan bayangan wajah Kenzo yang tersenyum penuh percaya diri. Kenzo adalah kakak kelas yang ia benci, dan sekarang pria itu kembali muncul dalam hidupnya dengan sikap yang sama.Rasa kesalnya semakin memuncak ketika ia merasa seperti sedang diawasi. Ia melirik kaca spion dan mendapati mobil Kenzo masih berada di belakangnya."Dasar menyebalkan!" gumamnya kesal. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin terlibat dengan pria seperti Kenzo.Raysa sengaja mempercepat laju mobilnya, berharap Kenzo akan kehilangan jejak dan berhenti mengikutinya. Sayangnya, upaya itu sia-sia. Kenzo tetap berada di belakang, seolah tidak berniat menyerah begitu saja.Setelah beberapa menit, Raysa akhirnya tiba di apartemen tempat tinggalnya di pusat kota. Ia memarkir mobilnya dan keluar dengan langkah cepat, berharap bisa menghilang sebelum Kenzo sempat mendekat.Sayangnya, Kenzo tidak memberinya kesempatan. Ia turun dari mobilnya dengan santai dan memangg
Mendengar alasan Romeo, Suri merasa ada yang aneh. Namun, ia enggan memperpanjang pembicaraan karena ingin fokus pada presentasi hari ini. Sebelum Suri sempat berkata apa-apa, Romeo menepuk pundaknya pelan. "Jadera City akan menjadi milik istriku, Dewi Infinity. Aku menunggumu di mobil," katanya.Wajah Suri langsung memerah, tak menyangka Romeo akan memberinya semangat. Ia menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan rasa malunya. Romeo, yang jelas menyadari hal itu, tersenyum tipis sebelum beranjak ke pintu. Sendirian di kamar, Suri menghela napas panjang sambil menatap bayangannya di cermin. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan setiap helai rambut tertata rapi dan riasan di wajahnya tidak terlalu mencolok. Ia tahu presentasi ini sangat penting, dan kegagalannya bisa berarti hilangnya peluang besar untuk perusahaan.Setelah cukup yakin, Suri mengambil tas kerjanya lalu melangkah keluar dari rumah. Ia melihat Romeo sudah menunggu di balik kemudi mobil. Tanpa berkata-kata,
Suri menghentikan pekerjaannya untuk menjawab panggilan itu. Sebelum ia sempat menyapa, suara Raysa terdengar dengan nada tergesa-gesa. “Suri, kamu sudah membuka media sosial hari ini?” tanyanya tanpa basa-basi.“Belum,” jawab Suri sambil mengerutkan kening. Tangannya masih sibuk merapikan slide presentasi di laptop. “Aku sedang mempersiapkan dokumen dan slide untuk presentasi. Sekitar satu jam lagi, aku akan berangkat ke Continental Hall bersama Pak Sagara.”Ada jeda sejenak di seberang sana. Suri mendengar Raysa menghela napas panjang, seolah prihatin akan sesuatu.“Nanti saja kamu buka media sosial, setelah selesai presentasi. Jangan pikirkan yang lain. Aku yakin kamu bisa memenangkan tender ini. Semangat, Suri!” ujar Raysa mengubah nada suaranya menjadi ceria. Suri terdiam sejenak, mencoba membaca perubahan intonasi suara sahabatnya yang terdengar janggal. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. “Terima kasih, Raysa. Aku akan melakukan yang terbaik.”Usai telepon te
Suri mengangguk walaupun hatinya terasa remuk redam. Perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak bisa membiarkan masalah pribadi menghancurkan kariernya. Dengan keyakinan baru, ia berdiri dari kursi, membawa tas dan semua dokumen yang telah dipersiapkan, lalu mengikuti Sagara keluar dari ruangan.Di dalam hati, Suri berjanji pada dirinya sendiri untuk berkonsentrasi penuh dalam presentasi. Meski badai gosip menghantam, ia tidak akan membiarkan diri tenggelam. Ia akan berdiri tegak, menunjukkan bahwa dirinya lebih kuat dari semua tuduhan dan hinaan yang ditujukan kepadanya. Bersama Sagara, Suri melewati lorong kantor menuju lift. Sepanjang jalan, ia bisa merasakan tatapan para karyawan yang memperhatikan mereka. Namun, Suri tidak mau ambil pusing. Baginya, tak ada lagi orang di dunia ini yang bisa melukainya lebih dalam daripada Romeo. Saat pintu lift terbuka, Suri tersentak kaget. Tanpa peringatan, Sagara tiba-tiba meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Refleks, Suri menata
Romeo memejamkan mata sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Kenzo. “Aku belum tahu soal itu. Akan kucari tahu,” jawabnya dengan nada datar, tetapi dalam hatinya mulai muncul keresahan.Kenzo menambahkan, “Berhati-hatilah, Romeo. Jika berita ini tidak benar, kau harus segera mengatasinya. Ini bisa merusak reputasimu dan Suri.”Panggilan pun berakhir. Romeo menghembuskan napas panjang, mencoba menata emosinya. Kemudian, ia membuka laptop dan mulai mencari berita yang dimaksud oleh Kenzo. Sementara, Aira tetap duduk di kursinya, merasa terjebak dalam suasana yang semakin panas.Dalam sekejap, layar laptopnya menunjukkan salah satu artikel berita yang sedang viral. Mata Romeo langsung menyipit membaca judul besar yang terpampang: “Diva Adinda Memiliki Hubungan Spesial dengan Pengusaha Properti Ternama, Romeo Albantara, dan akan Segera Menikah.”Romeo menggenggam meja dengan kuat, rahangnya mengeras. Foto-foto dirinya bersama Diva yang keluar dari kantor juga disertakan d
Area parkir Continental Hall dipenuhi deretan mobil mewah yang berkilauan di bawah sinar matahari. Gedung pertemuan itu berdiri megah dengan dinding kaca yang menjulang tinggi. Para tamu yang hadir tak kalah mengesankan—CEO ternama, pengusaha senior, hingga pejabat pemerintah Kota Velmora yang menjadi tokoh penting dalam proyek ini, tampak berbincang di depan pintu masuk. Beberapa di antaranya didampingi oleh para ajudan yang bersiap mengawal keamanan. Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan lobi utama. Pintu belakang terbuka, dan Suri keluar dengan langkah ragu, memandang megahnya gedung sekaligus keriuhan yang terjadi di sekitarnya.Para undangan dengan pakaian formal sedang bercengkerama, sementara beberapa staf panitia sibuk memastikan acara berjalan lancar. Suasana ini membuat napas Suri terasa lebih berat.Di sisi lain mobil, Sagara juga melangkah keluar. Pria itu tampak percaya diri dengan setelan jas abu-abu yang rapi. Ia memberi isyarat kepada sopirnya. “Tunggu di si
Aira melangkah keluar dari mansion dengan tergesa, sengaja menyembunyikan matanya yang sembap di balik kacamata hitam. Pikirannya penuh dengan kecemasan, tetapi ia berusaha menjaga langkahnya tetap stabil, agar para pelayan tidak menaruh curiga. Namun, saat ia hampir mencapai halaman, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat mobil ibunya, Nyonya Valerie, telah terparkir di sana. Aira pun mempercepat langkah, berharap bisa pergi sebelum sang ibu melihatnya."Aira, mau ke mana kamu?" panggil Nyonya Valerie.Aira berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum yang dipaksakan. "Aku mendapat undangan ulang tahun dari teman, Ma. Aku hampir terlambat."Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Aira masuk ke mobil dan menyalakan mesin dengan terburu-buru. Dari kaca spion, ia melihat ibunya mengernyit, tampak curiga dengan tingkahnya. Namun, ia mengabaikan hal itu, dan langsung mengemudikan mobilnya keluar dari gerbang mansion. Tak berselang lama, Aira tiba di apartemen Lili. Gadis itu sudah berdiri
“Pergilah ke luar negeri, Diva, setidaknya sampai situasi benar-benar aman,” ucap Randy yang ikut merasa ketakutan. Diva mengernyit, menatap Randy penuh keraguan. "Pergi? Sekarang?""Semakin cepat, semakin baik! Kalau Toni sampai membuka mulut, kamu bisa ditangkap polisi.”Diva menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk. Pergi ke luar negeri mungkin pilihan terbaik, tetapi itu juga berarti ia harus meninggalkan semua yang ia miliki di sini, termasuk karier dan kehidupannya yang sudah nyaman. Tenggorokannya terasa kering. Ia mengepalkan tangan, berusaha meredam kegelisahan yang meluap-luap di dadanya. Beberapa saat kemudian, Diva mengangkat wajahnya, kedua matanya menyala penuh tekad. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum menemukan Kak Romeo,” pungkas Diva. Seringai tipis muncul di sudut bibirnya. “Aku sudah bertindak sejauh ini, Randy. Aku tidak akan menyerah terlalu cepat."Tanpa menunggu tanggapan dari asistennya, Diva segera menundukkan kepala dan menekan nomor ponsel seseor
Dada Romeo bergemuruh hebat, tangannya mencengkeram erat jemari Suri, seakan takut kenyataan ini hanyalah mimpi yang bisa lenyap kapan saja. Napasnya tersengal, dan sebaris senyum penuh haru perlahan merekah di bibirnya. Sementara matanya mulai terasa panas, digenangi air mata kebahagiaan yang sulit dibendung. "Apa...? K-kita punya anak kembar?" tanya Romeo terbata-bata. Setiap kata yang terucap mengandung guncangan emosional yang begitu dalam.Suri mengangguk sambil tersenyum di tengah air matanya. "Ya, Romeo... kita punya dua bayi, satu laki-laki dan satu perempuan. Nama mereka Jevandro dan Jeandra.”Romeo tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia menarik Suri ke dalam pelukan, seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Tangisnya pecah di pundak istrinya."Jadi, dugaanku benar... Saat aku koma, kamu tengah mengandung anak kita."Suri terkejut, dahinya mengernyit penuh tanda tanya. "Dari mana kamu tahu? Apa Yonas yang memberitahumu?"Romeo menggeleng, bibirnya membentuk senyum samar. "Tid
Suri tidak dapat menahan air matanya lagi. Perasaan haru dan syukur bercampur menjadi satu dalam dadanya, ketika mengetahui Romeo sudah bisa melihat.Tanpa banyak bicara, ia langsung merengkuh sang suami dalam pelukan erat, tubuhnya berguncang oleh tangis yang tak terbendung. Sambil menangis tersedu, Suri membenamkan wajahnya di bahu Romeo, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu nyata, begitu hidup. Selama ini, ia takut kehilangan Romeo, takut segalanya akan berakhir dalam perpisahan yang menyakitkan. Tak disangka, kini ia berada dalam dekapan Romeo, mendengar suara beratnya yang penuh kepastian.Romeo membalas pelukan itu, membiarkan Suri menangis di pelukannya. Ia mengusap lembut punggung sang istri, berusaha menenangkan tubuhnya yang gemetar. Setelah beberapa saat menyelami kehangatan yang indah, Romeo menyeringai kecil dan berkata dengan nada menggoda."Sayang, jangan terlalu erat. Dadaku masih nyeri, lenganku juga pegal karena terbentur tanah."Suri langsung terkejut dan mel
Di dalam ruang kerja yang sunyi, Suri menghela napas lega usai berhasil memompa ASI. Hasilnya, tiga botol kecil susu tersusun rapi di atas meja, siap untuk disimpan.Dengan hati-hati, Suri menyimpan kembali pompa ASI ke dalam tas, memastikan semuanya tetap bersih dan rapi. Rasa lelah sedikit menyergapnya, tetapi ada kepuasan tersendiri melihat stok ASI bertambah. Baju atasan yang ia kenakan telah basah, meninggalkan bercak yang cukup kentara di kainnya. Mau tak mau, Suri mengambil kemeja bersih yang sudah ia siapkan untuk berjaga-jaga. Begitu berganti pakaian, Suri merapikan rambutnya sejenak, lalu bersiap untuk keluar.Pelan-pelan, Suri membuka pintu ruang kerja, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik. Ia melangkah perlahan, hampir mengendap-endap, menuju dapur dengan tujuan menyimpan stok ASI ke dalam freezer. Matanya sesekali melirik ke sekeliling, memastikan bahwa Romeo tidak mendengar pergerakannya. Begitu sampai di dapur, Suri membuka pintu freezer dan menyimpan bot
Di dalam kamar dengan pencahayaan redup, Aira duduk di atas kloset dengan wajah pucat. Tangannya sedikit gemetar saat ia membuka kemasan test pack yang sejak tadi ia pegang. Jemarinya yang dingin berusaha tetap stabil, dalam menggenggam alat kecil berwarna putih yang akan menentukan masa depannya. Ia mengumpulkan keberanian, lalu menampung urine di wadah kecil sebelum mencelupkan test pack ke dalamnya. Selama beberapa detik, Aira tidak bisa bernapas dengan normal. Ia merasa seperti menunggu vonis yang akan menentukan nasibnya. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Aira menutup mata erat-erat, enggan melihat hasilnya. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanya keterlambatan biasa, bahwa ia hanya terlalu stres belakangan ini. Namun, saat ia membuka mata, garis pertama muncul dengan cepat—tanda bahwa test pack berfungsi. Dan tak lama kemudian… Garis kedua muncul begitu saja. Dua garis merah yang sangat nyata, seakan-akan menertawakan hidupnya yang baru saja terjungkal dalam jura
Meskipun jantungnya berdegup kencang, Suri berupaya menemukan alasan yang masuk akal sebelum Romeo mencurigai sesuatu. Beruntung, sebuah ide cemerlang melintas di benaknya pada waktu yang tepat."Ah... ini hanya keringat biasa, Tuan Romeo," katanya berusaha terdengar santai. "Saya kepanasan karena terlalu lama berdiri di bawah terik matahari. Setelah sampai di apartemen, saya akan langsung ganti baju.”Mendengar jawaban Suri, Romeo hanya menatap lurus ke depan tanpa mengatakan apa-apa. Suri pun menarik napas lega. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar, karena Romeo tiba-tiba memberikan perintah kepada sopirnya."Berhenti di restoran sushi. Aku ingin makan sebelum ke apartemen." Panik mulai menjalari pikiran Suri. Jika ditunda lebih lama, mungkin ia tidak akan tahan menanggung rasa nyeri yang kian menyiksa. Ditambah lagi, bajunya yang semakin basah akan mengundang perhatian banyak orang.“Tuan Romeo, bagaimana kalau saya memesan sushi lewat layanan delivery? Lebih praktis d
Mata Suri membelalak, seolah telinganya baru saja menangkap sesuatu yang tidak seharusnya. Ia tidak yakin apakah ia benar-benar mendengar atau hanya berhalusinasi, tetapi suara itu begitu jelas, begitu nyata. Romeo memanggilnya ‘Sayang’. Jantung Suri berdegup lebih cepat, seperti ingin berontak dari dalam dadanya. Jemarinya yang masih menggenggam lengan Romeo sedikit gemetar, tetapi ia berusaha menenangkan diri dengan berdehem."Tuan Romeo," panggil Suri terdengar ragu. "Apa yang baru saja Anda katakan?" Romeo menoleh dengan ekspresi datar seperti biasa. Ia bahkan tidak terlihat menyadari kegelisahan yang melanda Suri. Dengan nada polos, Romeo malah balik bertanya, "Memangnya aku mengatakan apa?" Suri mengernyit, mencoba mencari tanda-tanda bahwa Romeo sedang mempermainkannya. Namun, ekspresi pria itu tetap tenang, seolah ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. "Aku hanya meminta dukungan dan bantuan darimu supaya tidak gugup," lanjut Romeo ringan.Suri menatapny
Di kediaman keluarga Albantara, suasana terasa hening. Nyonya Valerie duduk dengan gelisah di sofa. Di tangannya, secangkir teh chamomile mengepul hangat, tetapi ia sama sekali tak berniat menyesapnya. Pintu utama terbuka, dan seorang pelayan masuk, membungkuk sopan sebelum mengumumkan kedatangan tamu. "Nyonya, Nona Diva telah tiba," katanya dengan nada hormat. Tak lama, Diva masuk sambil mengulum senyum, tetapi ada kilatan ambisi dalam sorot matanya. Wanita itu berjalan mendekati Nyonya Valerie, dan tanpa basa-basi langsung menanyakan tentang Romeo."Bagaimana hasilnya, Tante? Apakah detektif yang Tante sewa sudah menemukan Kak Romeo?" Nyonya Valerie menegakkan punggungnya, lalu menghela napas pelan. Ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja kaca sebelum menjawab dengan nada datar. "Belum," jawabnya singkat. "Sepertinya Romeo belum meninggalkan tempat persembunyiannya. Tapi, dia akan keluar untuk mengurus pekerjaan. Saat itulah, detektif kita bisa menemukan jejak Romeo."