Raysa mencoba fokus pada jalan di depannya, berusaha menghilangkan bayangan wajah Kenzo yang tersenyum penuh percaya diri. Kenzo adalah kakak kelas yang ia benci, dan sekarang pria itu kembali muncul dalam hidupnya dengan sikap yang sama.Rasa kesalnya semakin memuncak ketika ia merasa seperti sedang diawasi. Ia melirik kaca spion dan mendapati mobil Kenzo masih berada di belakangnya."Dasar menyebalkan!" gumamnya kesal. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin terlibat dengan pria seperti Kenzo.Raysa sengaja mempercepat laju mobilnya, berharap Kenzo akan kehilangan jejak dan berhenti mengikutinya. Sayangnya, upaya itu sia-sia. Kenzo tetap berada di belakang, seolah tidak berniat menyerah begitu saja.Setelah beberapa menit, Raysa akhirnya tiba di apartemen tempat tinggalnya di pusat kota. Ia memarkir mobilnya dan keluar dengan langkah cepat, berharap bisa menghilang sebelum Kenzo sempat mendekat.Sayangnya, Kenzo tidak memberinya kesempatan. Ia turun dari mobilnya dengan santai dan memangg
Mendengar alasan Romeo, Suri merasa ada yang aneh. Namun, ia enggan memperpanjang pembicaraan karena ingin fokus pada presentasi hari ini. Sebelum Suri sempat berkata apa-apa, Romeo menepuk pundaknya pelan. "Jadera City akan menjadi milik istriku, Dewi Infinity. Aku menunggumu di mobil," katanya.Wajah Suri langsung memerah, tak menyangka Romeo akan memberinya semangat. Ia menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan rasa malunya. Romeo, yang jelas menyadari hal itu, tersenyum tipis sebelum beranjak ke pintu. Sendirian di kamar, Suri menghela napas panjang sambil menatap bayangannya di cermin. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan setiap helai rambut tertata rapi dan riasan di wajahnya tidak terlalu mencolok. Ia tahu presentasi ini sangat penting, dan kegagalannya bisa berarti hilangnya peluang besar untuk perusahaan.Setelah cukup yakin, Suri mengambil tas kerjanya lalu melangkah keluar dari rumah. Ia melihat Romeo sudah menunggu di balik kemudi mobil. Tanpa berkata-kata,
Suri menghentikan pekerjaannya untuk menjawab panggilan itu. Sebelum ia sempat menyapa, suara Raysa terdengar dengan nada tergesa-gesa. “Suri, kamu sudah membuka media sosial hari ini?” tanyanya tanpa basa-basi.“Belum,” jawab Suri sambil mengerutkan kening. Tangannya masih sibuk merapikan slide presentasi di laptop. “Aku sedang mempersiapkan dokumen dan slide untuk presentasi. Sekitar satu jam lagi, aku akan berangkat ke Continental Hall bersama Pak Sagara.”Ada jeda sejenak di seberang sana. Suri mendengar Raysa menghela napas panjang, seolah prihatin akan sesuatu.“Nanti saja kamu buka media sosial, setelah selesai presentasi. Jangan pikirkan yang lain. Aku yakin kamu bisa memenangkan tender ini. Semangat, Suri!” ujar Raysa mengubah nada suaranya menjadi ceria. Suri terdiam sejenak, mencoba membaca perubahan intonasi suara sahabatnya yang terdengar janggal. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. “Terima kasih, Raysa. Aku akan melakukan yang terbaik.”Usai telepon te
Suri mengangguk walaupun hatinya terasa remuk redam. Perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak bisa membiarkan masalah pribadi menghancurkan kariernya. Dengan keyakinan baru, ia berdiri dari kursi, membawa tas dan semua dokumen yang telah dipersiapkan, lalu mengikuti Sagara keluar dari ruangan.Di dalam hati, Suri berjanji pada dirinya sendiri untuk berkonsentrasi penuh dalam presentasi. Meski badai gosip menghantam, ia tidak akan membiarkan diri tenggelam. Ia akan berdiri tegak, menunjukkan bahwa dirinya lebih kuat dari semua tuduhan dan hinaan yang ditujukan kepadanya. Bersama Sagara, Suri melewati lorong kantor menuju lift. Sepanjang jalan, ia bisa merasakan tatapan para karyawan yang memperhatikan mereka. Namun, Suri tidak mau ambil pusing. Baginya, tak ada lagi orang di dunia ini yang bisa melukainya lebih dalam daripada Romeo. Saat pintu lift terbuka, Suri tersentak kaget. Tanpa peringatan, Sagara tiba-tiba meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Refleks, Suri menata
Romeo memejamkan mata sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Kenzo. “Aku belum tahu soal itu. Akan kucari tahu,” jawabnya dengan nada datar, tetapi dalam hatinya mulai muncul keresahan.Kenzo menambahkan, “Berhati-hatilah, Romeo. Jika berita ini tidak benar, kau harus segera mengatasinya. Ini bisa merusak reputasimu dan Suri.”Panggilan pun berakhir. Romeo menghembuskan napas panjang, mencoba menata emosinya. Kemudian, ia membuka laptop dan mulai mencari berita yang dimaksud oleh Kenzo. Sementara, Aira tetap duduk di kursinya, merasa terjebak dalam suasana yang semakin panas.Dalam sekejap, layar laptopnya menunjukkan salah satu artikel berita yang sedang viral. Mata Romeo langsung menyipit membaca judul besar yang terpampang: “Diva Adinda Memiliki Hubungan Spesial dengan Pengusaha Properti Ternama, Romeo Albantara, dan akan Segera Menikah.”Romeo menggenggam meja dengan kuat, rahangnya mengeras. Foto-foto dirinya bersama Diva yang keluar dari kantor juga disertakan d
Area parkir Continental Hall dipenuhi deretan mobil mewah yang berkilauan di bawah sinar matahari. Gedung pertemuan itu berdiri megah dengan dinding kaca yang menjulang tinggi. Para tamu yang hadir tak kalah mengesankan—CEO ternama, pengusaha senior, hingga pejabat pemerintah Kota Velmora yang menjadi tokoh penting dalam proyek ini, tampak berbincang di depan pintu masuk. Beberapa di antaranya didampingi oleh para ajudan yang bersiap mengawal keamanan. Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan lobi utama. Pintu belakang terbuka, dan Suri keluar dengan langkah ragu, memandang megahnya gedung sekaligus keriuhan yang terjadi di sekitarnya.Para undangan dengan pakaian formal sedang bercengkerama, sementara beberapa staf panitia sibuk memastikan acara berjalan lancar. Suasana ini membuat napas Suri terasa lebih berat.Di sisi lain mobil, Sagara juga melangkah keluar. Pria itu tampak percaya diri dengan setelan jas abu-abu yang rapi. Ia memberi isyarat kepada sopirnya. “Tunggu di si
Sagara berdiri perlahan, menyesuaikan jasnya sebelum melangkah ke depan. Dengan senyum yang terukur, ia memulai presentasi di hadapan para penilai.“Selamat siang, Bapak dan Ibu sekalian. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mempresentasikan konsep dan rencana proyek kota mandiri Jadera City. Izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu, saya Sagara Pradipta, CEO Pradipta Group.”Ia melanjutkan dengan suara tenang namun penuh keyakinan. “Pradipta Group Group adalah perusahaan pengembang terpercaya yang telah beroperasi selama lebih dari dua dekade. Kami telah menyelesaikan berbagai proyek besar dengan reputasi unggul,” ujarnya memperkenalkan profil perusahaan.“Komitmen kami tidak hanya pada penyelesaian proyek tepat waktu, tetapi juga pada keselamatan pekerja dan keberlanjutan lingkungan hidup. Kami percaya, setiap proyek yang kami tangani tidak hanya harus memuaskan para pemangku kepentingan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat.”Sagara
Suri mundur selangkah, menepis kasar tangan Romeo. “Untuk apa kamu di sini?”“Aku ingin bicara denganmu, hanya kita berdua. Aku harus meluruskan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman,” jawab Romeo dengan nada serius.“Aku tidak peduli, Romeo. Kembalilah ke kantormu dan jangan ganggu aku. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”Suri hendak berjalan pergi, berusaha untuk menyembunyikan rasa sakit di balik ekspresinya yang dingin. Namun, Romeo tidak menyerah. Ia kembali menahan lengan Suri agar bersedia memberinya kesempatan untuk bicara. “Suri, tolong dengarkan aku. Berita yang beredar di internet itu tidak benar. Itu rumor bohong belaka,” Romeo bersikeras, suaranya mulai terdengar putus asa.Di dalam mobil, Sagara mengamati situasi di depannya dengan tatapan tajam. Melihat Romeo terus memaksa Suri, ia pun keluar dari mobil. Dengan langkah lebar, Sagara berjalan mendekat dan berdiri di samping Suri. “Romeo, apa yang kau lakukan?” tegurnya dingin. “Tidak pantas kau datang k
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.“Saya tidak mau makan malam bersama Bapak,” tolak Jeandra tegas. “Saya lebih suka makan sendiri.”Kenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. “Baiklah,” sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.”Kenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. “Jangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.”“Ya, ya,” jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.“Ini,” ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. “Draft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.”Jeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.“Dalam perjanjian ini,” lanjut Kenan tenang, “disepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.”Jeandra membelalak. “Enam bulan?” Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.“Bu Jeandra! Akhirnya datang juga,” seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. “Kami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,” tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. “Aku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besar—membuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti ini—sejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.“Terima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.“Tatap mataku, Serin,” tukas Jeandra. “Jawab aku dengan jujur… apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?”Serin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara —tanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.“Terima kasih… telah menerima saya di sini.”Tak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.“Serin,” panggilnya tenang. “Benarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?” “Iya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asing—megah dan berkelas—yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumah—melainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak