Terima kasih. Semoga suka.
Mahira benar-benar kesal. Dia menghempaskan tubuh di atas kasur. Memukul bantal dan guling. Menghamburkan kakinya.“Aarggh! Elvis sialan!” teriak Mahira seorang diri di kasur.“Pria itu benar-benar sudah gila. Dua tahun membiarkan diriku tanpa arti, tetapi ketika aku keluar rumah, dia menahanku.” Mahira dibuat bingung oleh sikap Elvis.Pintu apartemen Mahira diketuk. Bel pun berbunyi. Dia beranjak dari kasur dan berjalan mendekati pintu.“Rino.” Mahira terkejut melihat Rino yang berdiri di depan pintu rumahnya.“Bu, Pak Elvis sakit,” ucap Rino.“Kenapa memberitahu padaku? Bawa saja ke rumah sakit,” tegas Mahira.“Pak Elvis sakit perut karena tidak makan dengan benar. Dia tidak mau dibawa ke rumah sakit.” Rino terlihat khawatir.“Itu bukan urusanku,” tegas Mahira.“Bu, tolong. Pak Elvis masih di mobil. Dia mau bertemu dengan Anda,” ucap Rino.“Dia mau ngapain ke sini?” tanya Mahira masuk ke dalam kamar. Dia mengambil kotak medis.“Mari kita periksa.” Mahira mengikuti Rino turun ke tempa
Mahira terlihat biasa saja berada di antara dua pria. Wanita itu menyelesaikan makan malam dan bersiap memberekan meja. Dia juga langsung mencuci piring.“Aku bantu,” ucap Feliz dan Elvis bersama. Dua pria itu saling lihat.“Elvis, kamu harus istirahat. Dan Feliz, Anda bisa menemai Elvis di ruang tamu. Jadi, biar aku sendiri saja di sini.” Mahira tersenyum. Wanita itu beranjak dari kursi dan membawa piring kotor menuju tempat pencucian.“Tidak masalah.” Feliz segera membawa beberapa piring kotor dan menyusul Mahira.“Aku akan membantu kamu. Ini terlalu banyak. Bukankah dulu kita sering melakukannya bersama.” Feliz tersenyum dan melihat pada Elvis yang masih duduk di kursinya. Pria itu menatap tajam pada lelaki yang datang dari masa lalu istrinya.“Ya. Kita sering makan bersama keluarga.” Mahira tersenyum.“Ehem.” Elvis masih bertahan di kursi. Melihat kebersamaan istri dan pria lain.“Hati-hati. Nanti baju kamu basah,” ucap Mahira.“Tidak. Aku hanya bertugas mengeringkan piring saja.”
Mahira tertidur di sofa. Dia telah mematikan lampu utama sehingga ruangan itu tampak remang. Elvis terbangun dari tidur dan berjalan keluar dari kamar.“Mahira tidur di mana?” Elvis melihat Mahira yang meringkuk di sofa. Pria itu segera menggendongnya dan membawa ke kamar. “Bukankah kita sudah terbiasa tidur satu ranjang berdua.” Elvis merebahkan diri di samping Mahira. Dia menyelimuti tubuh mereka berdua. “Mahira, alasanku tidak menyentuhmu adalah berharap kamu sendiri yang menyerahkan diri padaku, tetapi dua tahun itu tetap menjadi penikahan yang dingin. Tidak ada cinta darimu untukku.” Elvis mencium dahi Mahira. Dia memeluk wanita itu dan memejamkan matanya.Sasa masih menunggu kedatangan Elvis. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah penginapan sederhana yang cukup jauh dari pusat kota sehingga dia tidak bisa mendapatkan bahan bakar kendaraanya.“Kenapa Kak Elvis lama sekali? Aku sudah mempesiapkan diri untuk menghabiskan malam bersamanya di sini.” Sasa mengenakan pakaian yang se
Langkah kaki Elvis terhenti karena mendengarkan dering ponselnya yang ditinggalkan di ruang tengah. Pria itu memberikan nada khusus untuk panggilan dari Relia.“Relia.” Elvis segera menuju ponsel yang ada di ruang tengah. Pria itu menerima panggilan dari nomor Relia.Melihat Elvis yang tidak lagi mengejarnya. Mahira kembali ke kamar dengan tidak lupa mengunci pintu. Dia segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Wanita itu cukup lama di dalam kamar.“Mahira.” Elvis mengetuk pintu kamar Mahira. “Sebaiknya kamu segera pulang,” ucap Mahira dari dalam kamar.“Aku akan pulang setelah sarapan.” Elvis duduk di sofa. Dia dengan sabar menunggu Mahira. “Aku akan buatkan sarapan, tetapi kamu harus membuka blokir akunku.” Mahira berdiri di depan Elvis. Wanita itu mengenakan celana jeans panjang dan kaos putih lengan pendek. Dia sangat menyukai warna putih sesuai dengna profesinya seorang dokter.“Ya, tetapi kamu harus mengirimkan makan siang kepadaku selama seminggu.” Elvis tersenyum. “Apa?
Sasa dan Elvita sarapan berdua saja. Tidak ada Relia dan Elvis sehingga membuat pagi yang sepi.“Tante, kemana Kak Elvis? Aku tidak melihatnya dari semalam,” ucap Sasa.“Tante juga tidak tahu. Mungkin sudah pergi kerja. Sekarang, Elvis tidak berselera untuk makan. Dia benar-benar sudah terbiasa dengan masakan Mahira.” Elvita menggelengkan kepalanya. Dia sadar, Elvis berubah sejak Mahira pergi dari rumah mereka.“Apa?” Sasa terkejut dengan kejujuran Elvita yang seakan tidak peduli dengan perasaannya.“Tante juga baru sadar. Ternyata, Mahira sangat pandai memasak. Padahal dia seorang dokter dan bukan hanya ibu rumah tangga.” Elvita tersenyum.“Itu karena dia terbiasa hidup sendiri, Tan. Berbeda dengan diriku yang semuanya dilayani pelayan.” Sasa benar-benar tidak suka mendengar pujian Elvita untuk Mahira.“Benar. Dia terbiasa hidup miskin karena tidak punya orang tua lengkap.” Elvita tersenyum dan beranjak dari kursi. Mereka sudah selesai sarapan.Relia sarapan di kantin kampus. Wanita m
Mahira pulang ke rumah untuk membuatkan menu makan siang. Wanita itu benar-benar menuruti keinginan Elvis agar bisa mendapatkan kebebasan dari suaminya. Perempuan yang telah terluka akan sulit untuk memaafkan. Apalagi berhubungan dengan peselingkuhan.“Ah, aku lupa meminta mobilku dari Elvis. Dasar pria kejam itu.” Mahira harus memanggil taksi untuk bisa pergi ke kantor Elvis. Dia bersyukur karena kartunya sudah bisa digunakan sehingga tidak kesulitan dalam urusan uang.Elvis duduk di ruang tunggu. Pria itu benar-benar rela turun ke bawah untuk menyambut Mahira. Dia sudah tidak sabar ingin makan masakan sang istri yang sangat dirindukannya.“Siapa yang ditunggu Pak Elvis?” tanya para karyawan berbisik.“Aku tidak tahu. Baru kali ini Pak Elvis turun ke bawah dan duduk di ruang tunggu,” jawab rekannya.“Apa Ibu Sasa ya? Dia kan kekasih Pak Elvis.” Para karyawan tersenyum.“Ah, senangnya bisa dicintai Pak Elvis secara ugal-ugalan seperti ini,” ucap yang lain.“Tidak mungkin menunggu Ibu S
Mahira terus berlari. Dia sadar akan statusnya seorang dokter yang harus bergerak cepat sehingga tidak tertarik untuk menggunakan sepatu tinggi.“Tolong, korban terjebit di dalam mobil!” teriak seorang pria.“Kenapa mereka tidak membuka jalan untuk ambulan?” Mahira memperhatikan sekeliling. Dia segera menghubungi pihak rumah sakit dan juga mobil pemadam kebakaran.“Aarggh!” Rangga kesulitan untuk keluar. Tidak ada yang berani mendekat karena mobil yang sudah berasap.“Ada tiga mobil. Bagaimana bisa terjadi kecelakaan beruntun di jalan yang lurus?” Mahira harus memahami situasi. Dia mencari korban yang berada pada posisi paling berbahaya.“Mobil putih sudah berasap. Ah, ini pasti karena mobil dengan bawaan yang berat.” Mahira melewati mobil merah dan berlari menuju mobil putih yang berada di depan.“Kak Mahira,” sapa Relia pelan. Dia benar-benar bisa mengenali kakak iparnya.“Mm. Kak Mahira seorang dokter. Pasti lebih mengutamakan korban yang paling berbahaya.” Relia tersenyum. Dia berh
Ambulan yang membawa Relia dan Rangga serta korban lain sudah tiba di rumah sakit. Para perawat dan dokter yang piket bergerak cepat. “Dokter Mahira.” Dokter dan perawat terkejut melihat Mahira yang turun dari mobil. Mereka juga sangat kagum karena para korban telah ditangani dengan sangat baik dan tepat oleh wanita mud aitu. “Ada pasien harus segera diopearsi. Kaki mereka cidera. Aku sudah menghentikan pendarahan dan memberikan obat bius,” jelas Mahira.“Baik, Dok. Kami akan memeriksa pasien dan mempersiapkan ruangan operasi dan tim dokter.” Para perawat yang bertugas segera bekerja dengan cekatan. “Aku akan ikut dalam daftar operasi,” ucap Mahira.“Iya, Dok. Itu sudah pasti.” Ela tersenyum. Tidak ada yang mampu menandingi kemampuan bedah Mahira yang menyatuhan ilmu teknologi dan tradisional.Kemampuan yang sangat dibutuhkan di dunia kesehatan yang modern. Pengurangan penggunaan bahan kimia agar tidak memberikan efek samping yang buruk. Pemulihan yang cepat dan sangat dimintai Masy
Elvis tiba di bandara. Dia segera pergi ke lokasi Mahira diculik. Pria itu tidak peduli pada apa pun. Ada khawatir yang tidak bisa diungkapkan. “Tuan. Kami mendapatkan bahwa Nyonya dibawa ke gubuk dekat hutan, tetapi….” Kalimat pria itu terhenti. “Apa?” tanya Elvis dengan bentakan. “Kami hanya menemukan ini.” Pria itu memberikan tas Mahira yang selalu dibawa karena berisi perlengkapan medisnya. “Apa?” Elvis memberikan pukulan kuat pada perut pria itu hingga tersungkur ke lantai. “Apa kamu bodoh sehingga tidak bisa menemukan Mahira?” bentak Elvis. Dia mencekik pria di depan yang hanya pasrah karena tidak berani melawan. “Susuri lokasi terakhir dan temukan Mahira. Jika gagal, kalian akan mendapatkan hukuman yang tidak bisa dibayangkan,” tegas Elvis. “Baik, Bos.” Pria itu mengangguk dan beranjak. “Bawa aku ke sana!” perintah Elvis. “Ya.” Rino segera menyiapkan mobil untuk Elvis. Mereka pergi ke ujung kota. Tempat sunyi dan tidak berpenghuni. Rumah-rumah tua yang telah ditinggal
Relia benar-benar ketakutan. Dia tidak bisa pergi karena di depan dan belakang mobilnya telah dikhalangi.“Halo, Nona Relia. Kami adalah anak buah Pak Elvis,” ucap pria yang menghubungi Relia dari ponsel.“Apa?” Relia terkejut. Dia segera membuka pintu dan memukul pria itu dengan kesal.“Ah. Ada apa?” Sang pria menatap pada Relia.“Gara-gara panggilan kamu. Ponselku terputus dengan Kak Mahira,” bentak Relia dengan wajah basah penuh air mata.“Maaf, Nona. Berikan ponsel Anda. Kami akan melacaknya.” Pria itu menadahkan tangannya. Dia tidak membalas pukulan Relia. “Apa kalian benar anak buah kakak ku?” tanya Relia.“Tentu saja. Kami datang untuk mencari Nyonya Mahira,” jawab pria itu mengambil cepat ponsel dari tangan Relia.“Eh.” Relia terkejut.“Kamu mau kemana?” Relia segera mengikuti pria yang masuk ke dalam mobil lain. “Wah.” Relia melihat pria itu sudah menghubungkan ponselnya dengan computer.“Lokasi terakhir ditemukan. Tim satu segera ke tempat!” perintah pria yang lain yang ber
Manisa menghentikan mobil tepat di ujung gang yang buntu. Wanita itu memutar kendaraanya dengan tenang.“Tidak ada siapa pun di sini,” ucap Mahira.“Iya. Kita kembali saja. Mungkin dia sibuk.” Manisa tersenyum dan berhasil memutar arah mobil.“Nanti aku coba hubungi dia lagi dan dibayar dengan cara transfer saja.” Manisa mematikan mesin mobil. “Apa bisa minta nomor ponsel Kak Mahira? Nanti aku kirim nomor rekeningnya,” ucap Manisa. “Scan saja.” Mahira mengeluarkan ponsel dan mendekatkan dengan ponsel Manisa.“Ada jaringan,” ucap Mahira karena Manisa berhasil menscan nomornya.“Iya kebetulan. Aku simpan ya, Kak.” Manisa membuka kunci pintu mobil tanpa sepengetahuan Mahira.“Ada banyak panggilan dari Elvis dan Relia.” Mahira bingung.“Aku telpon ulang Relia saja. Aku tidak mau berurusan dengan Elvis.” Mahira mencoba melakukan panggilan ulang ke nomor ponsel Relia.“Keluar!” Pria bertopeng membuka pintu Manisa dan Mahira.“Hah!” Mahira terkejut hingga ponsel terjatuh ke tanah. Tubuhnya
Mirna pergi ke rumah keluarga Elvis. Wanita itu sangat kesal karena tidak mendapatkan kiriman uang lagi dari Mahira dan menantunya. Dia tidak bisa menghubungi anak tiri serta menantunya.“Aku terus menunggu hingga saldo kami terkuras dan belum ada uang masuk.” Mirna turun dari mobil yang berhenti halaman rumah keluarga Elvis.“Permisi. Spada.” Mirna menekan bel.“Ada apa, Bu? Anda mencari siapa?” tanya pelayan. “Aku mau bertemu dengan Elvis,” jawab Mirna.“Silakan masuk.” Pelayan sangat mengenal mama tiri Mahira yang dulu sering datang meminta uang kepada Elvis.“Pak Elvis sedang tidak di rumah,” ucap pelayan kepada Mirna yang sudah duduk di sofa mewah.“Kemana dia?” tanya Mirna dengan sombong.“Pak Elvis pergi ke luar kota dan sudah beberapa hari tidak pulang,” jawab pelayan.“Oh. Pantas saja dia belum mengirimkan uang. Mungkin karena sibuk dengan pekerjaan,” ucap Mirna tanpa malu.“Apa Mahira ikut Elvis?” tanya Mirna.“Itu tidak mungkin. Mahira hanya wanita buangan yang terpaksa din
Mahira mendapatkan pesan dari Rangga. Pemuda itu mengundang Mahira untuk makan malam. Dia akan menjemput di pukul tujuh.“Maaf. Aku tidak bisa.” Mahira menolak undangan Rangga.“Aku sudah menerima ucapan terima kasih dari kamu dan keluarga. Aku rasa itu saja sudah cukup,” balas Mahira lagi pada pesan Rangga.“Benar-benar tidak mudah.” Rangga tersenyum melihat pesan penolakan dari Mahira.“Aku penasaran. Apa hubungan Dokter Mahira dengan Relia? Mereka terlihat dekat,” ucap Rangga yang masih berada di kampus. Pemuda itu cukup sibuk karena dia akan segera lulus kuliah.“Aku akan meminta Mama langsung menghubungi dokter Mahira. Pasti dia tidak bisa menolak.” Rangga beranjak dari kursi dan pergi ke tempat parkir. Pemuda itu sudah bersiap untuk pulang.“Kak Rangga.” Manisa tersenyum pada Rangga.“Ya. Kamu siapa?” tanya Rangga.“Ah, aku Manisa. Adiknya dokter Mahira.” Manisa mengulurkan tangannya. Wanita muda itu sudah lama mengikuti Rangga dan menunggu kesempatan untuk mendekat.“Oh. Benarka
Relia memperhatikan Rangga yang tidak mengalihkan pandangan dari Mahira. Pemuda itu pun senyum dengan tulus dan tidak seperti biasanya.“Kak, aku mau bicara dengan Kak Mahira berdua,” ucap Relia.“Tentu saja.” Mahira memang mau berbicara dengan Relia agar gadis muda itu bisa membawanya keluar dari rumah.“Kak Rangga, aku bicara sebentar dengan Kak Mahira.” Relia menarik tangan Mahira menjauh dari Rangga. Mereka pergi ke taman samping.“Kak, apa Kakak sudah balikan dengan Kak Elvis?” tanya Relia.“Tidak. Makanya, aku mau minta tolong sama kamu untuk bawa aku pergi dari rumah ini. Aku tidak mau bersama Elvis lagi,” jelas Mahira.“Kenapa?” Relia menatap Mahira.“Tidak apa. Aku tidak mau kembali bersmaa Elvis. Itu saja dan tidak ada alasan lain,” tegas Mahira.“Jadi, tolong kamu bawa aku keluar dari rumah ini. Ya.” Mahira memelas.“Ya.” Relia mengangguk. Mereka kembali kepada Rangga yang hanya duduk diam. “Apa sudah selesai?” tanya Rangga.“Sudah,” jawab Relia.“Ayo kita pergi,” ajak Mahi
Elvis pergi ke luar kota tanpa memberitahu Mahira. Pria itu terbang dengan pesawat pribadinya dan ponsel pun dimatikan.“Hey, pria gila. Kenapa ponsel kamu mati? Aku bisa ikut gila terus berada di dalam rumah ini.” Mahira duduk di sofa. Dia melihat ada buah-buahan di atas meja.“Nyonya, ini jus buah Anda dan juga kue yang masih panas.” Pelayan meletakkan banyak makanan di atas meja.“Terima kasih.” Mahira menatap bibi yang tersenyum.“Hm.” Mahira memakan buah-buahan yang ada di atas meja.“Enak,” ucap Mahira. Dia yang dulu pernah diperlakukan seperti pembantu kini menjadi Nyonya besar dan dilayani dengan baik oleh para pelayan. Wanita itu bahkan dijaga oleh para penjaga.“Jadi Nyonya, tetapi terkurung. Dulu jadi pembantu, tetapi bisa pergi ke pasar.” Mahira membandingkan kehidupan dua tahun lalu dan saat ini.“Perubahan yang sangat signifikan,” ucap Mahira. Dia tersenyum tipis.“Tetapi akum au bebas tanpa terikat dengan siapa pun. Aku lelah dengan kehidupan dua tahun terakhir. Aku mau
Mahira kembali ke kamar. Dia berganti pakaian. Wanita itu mengambil tas dan mengisi dengan perlengkapan medisnya. Membawa ponsel dan menghubungi Ela. “Halo, Ela. Aku akan mengirim alamatku. Apa kamu bisa menjemputku?” tanya Mahira.“Anda di mana, Dok?” Ela balik bertanya. “Aku akan sharea lokasi,” ucap Mahira.“Baik, Dok.” Ela bingung.“Apa Dokter Mahira di Indonesia?” tanya Ela yang menunggu pesan dari Mahira.“Benar. Lokasi ini tidak terlalu jauh. Aku akan berikan kepada Pak Feliz.” Ela meneruskan pesan Mahira kepada Feliz.Mahira keluar dari kamar tanpa membawa apa pun kecuali ponsel dan tas miliknya. Dia berjalan menuju pintu utama.“Anda mau kemana, Nyonya?” tanya pelayan.“Saya bukan Nyonya di rumah ini.” Mahira tersenyum dan melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti.“Maaf, Bu. Anda dilarang meninggalkan rumah tanpa izin Pak Elvis.” Dua orang pengawal pria berdiri di depan Mahira.“Apa? Dia tidak punya hak menghentikan aku. Kalian menyingkirlah!” Mahira menatap tajam pada
Sasa membuka mata. Wanita itu turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi tanpa kursi roda karena dia memang tidak lumpuh.“Segarnya.” Sasa keluar dari kamar mandi dengan baju handuk. Dia duduk di depan cermin dan merias diri.“Kapan Kak Elvis akan pulang? Apa dia menyusul Mahira di Jepang?” Sasa mengambil ponsel dan menerima panggilan dari seseorang.“Halo, Bu. Pak Elvis sudah kembali ke Indonesia,” ucap seorang pria dari ponsel.“Kapan?” tanya Sasa.“Semalam. Dia membawa Ibu Mahira ikut serta,” jawab pria itu. “Apa?” Sasa yang duduk segera berdiri. Dia sangat marah karena berpikir Mahira telah pergi jauh ke luar negeri.“Apa dia pulang ke rumah Elvis?” tanya Sasa.“Tidak, Bu. Kami melihat Pak Elvis pergi ke rumah lain,” jelas pria itu.“Kirim alamat rumah itu,” tegas Sasa.“Baik, Bu.” Panggilan terputus. “Mahira, seharusnya kamu tidak pernah kembali ke Indonesia. Aku hampir mendapatkan Elvis. Arrggh!” Sasa menghambur tempat tidur. Melempar bantal dan guling ke lantai. “Aku akan memb