Abiyya berjalan cepat ke arah lift. Dengan sesekali merapihkan rambutnya yang sudah berantakan. Hari ini Abiyya bangun kesiangan yang membuatnya terlambat berangkat ke kantor. Pintu lift terbuka dengan menampilkan sosok tinggi yang sedang menatapnya tajam juga tangan yang di masukkan ke dalam saku celananya. Di belakangnya juga ada orang yang sempat Abiyya temui beberapa waktu yang lalu.
Abiyya menunduk, tak berani menatap Jeffin karena untuk pertama kalinya bertemu dengan lelaki itu di kantor. Apalagi dengan kondisinya yang baru saja datang dan dirinya sudah telat selama satu jam. “Saya tunggu kamu di ruangan saya nanti. Gaji kamu bulan ini saya potong,” katanya yang membuat mata Abiyya melotot. Ketika hendak protes, Jeffin sudah terlebih dahulu pergi dengan diikuti Ajen yang sempat sedikit meledek Abiyya.
“Bisa-bisanya lo telat heh?” tanya Shida heran ketika Abiyya selesai menghadap Mbak Nami yang tentu saja tak terlepas dari teguran. Apalagi Abiyya masih terbilang karyawan baru di kantor ini.
“Entahlah, terlalu nyenyak tidur kayanya. Tadi juga sempat ketemu Pak Jeffin dan di suruh ke ruangannya nanti.” Abiyya menghembuskan napasnya lelah. Merasa sial sekali pada hari ini.
“Serius? Lo ketemu Pak Jeffin. Siap-siap ajalah lo kena teguran sama dia. Syukur-syukur lo nggak sampai di pecat.” Tanggapan Shida membuat Abiyya sangat menyesali perbuatannya hari ini.
“Jangan nakut-nakutin gitu dong.”
“Gue nggak nakut-nakutin ya, cuma kasih tahu saja sama lo. Karena biasanya Pak Jeffin nggak pernah ikut campur masalah beginian.”
“Shida, gimana dong,” rengek Abiyya sambil memegangi lengan Shida dan menggoyangkannya pelan.
Shida mengangkat bahunya. “Ya coba aja deh, gimana nanti kalau lo udah ketemu sama Pak Jeffin.” Abiyya hanya mengangguk pasrah.
“Abiyya, ada pesan di suruh ke ruangannya Pak Jeffin sekarang ya,” ucap Mbak Nami menghampiri Abiyya ketika akan memasuki jam istirahat.
“Oh, iya Mbak Nami, makasih ya.”
“Gih pergi,” usir Shida tetapi wajahnya meledek Abiyya.
“Mau nemenin nggak?” Shida menggelengkan kepalanya. Abiyya segera pergi ke ruangan Jeffin yang ada di lantai paling atas.
“Eh, Abiyya nanti mau makan apa, biar gue pesanin deh. Takut lo nggak keburu nanti.”
“Apa aja deh Shida, yang penting bisa di makan.”
Abiyya berjalan di lorong menuju ruangan Jeffin yang tidak terlalu ramai. Sesampainya di depan ruangan Jeffin, ada Ajen yang sedang duduk terfokus pada layar komputer. Abiyya menghembuskan napas lalu menghampiri Ajen.
“Permisi.” Tanpa menjawab sapaan Abiyya, Ajen langsung mempersilahkan Abiyya untuk segera masuk karena Jeffin sudah menunggunya.
“Mas Ajen,” panggil Abiyya yang kali ini membuat Ajen mengalihkan pandangannya dari layar dan kini menatap Abiyya.
“Masuk saja, lo udah ditungguin soalnya.”
“Bukan itu, eee ... saya minta maaf ya soal yang waktu itu, saya merasa nggak enak banget belum minta maaf sama Mas Ajen.”
“Iya udah gue maafin, masuk sana.”
“Makasih Mas Ajen sebelumnya.”
Abiyya membuka pelan pintu ruangan Jeffin setelah tadi sudah mengetuk pintu dan mendapat izin masuk dari pemiliknya. Bisa Abiyya lihat Jeffin masih sibuk dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya. Abiyya berdiri diam di hadapan meja Jeffin. Memilih untuk menunggu Jeffin yang berbicara terlebih dahulu.
“Duduk!” Perintah Jeffin setelah beberapa saat hanya ada keheningan yang tercipta.
Kembali tidak ada pembicaraan. Jeffin yang kembali fokus lagi membaca dokumen yang ada di tangannya. Abiyya yang terlalu bosan menunggu Jeffin selesai, mengayunkan kedua kakinya.
Ajen masuk ke ruangan Jeffin dengan membawa makanan yang sebelumnya sudah Jeffin pesan padanya. Setelah meletakkan makanan di meja yang terletak di depan meja kerja Jeffin, Ajen langsung pergi. Abiyya sempat mengucapkan terima kasih karena Jeffin yang tak mengucapkan apapun pada sekretarisnya itu.
Jeffin merapikan dokumen yang ada di mejanya menjadi satu. “Ayo makan,” ajak Jeffin yang kini sudah berdiri.
“Hah?”
“Makan. Temani saya makan.”
“Tapi, kenapa harus di temani sih. Kan bisa makan sendiri atau ajak Mas Ajen?” tanya Abiyya bingung. Matanya bertemu dengan mata Jeffin yang terlihat seperti tidak menerima penolakan apapun dari Abiyya. “Ya udah, oke. Tapi jangan natap kayak gitu.”
Ternyata Abiyya tidak hanya di suruh menemani Jeffin makan, tetapi juga di suruh ikut makan. Katanya makanan sebanyak itu tidak mungkin Jeffin habiskan sendirian. Abiyya sempat menolak dengan alasan ia sudah menitip makanan pada Shida. Tapi lagi-lagi Abiyya hanya menurut saja ketika Jeffin menyuruhnya makan karena tatapan tajam matanya yang tidak Abiyya suka. Entah kenapa Abiyya tidak suka ketika Jeffin memberikan tatapan seperti itu.
“Eee... Jeffin, soal yang tadi pagi nggak beneran kan?” tanya Abiyya saat keduanya masih menikmati makanan di atas meja.
“Soal apa?”
“Yang tadi pagi kata kamu gaji bulan ini di potong.”
“Oh.”
“Cuma oh doang? Jadi nggak beneran kan?”
“Gaji kamu tetap di potong.”
“Loh, jangan gitu dong, ya ya ya ya.”
“Waktu adalah uang. Kamu tahu itu dan kamu terlambat berarti sudah siap dengan resiko yang terjadi.”
“Huft.”
Abiyya membersihkan sampah-sampah makanan yang tak terasa sudah habis. “Kalau gitu, aku balik kerja lagi. Makasih untuk makan siangnya. Permisi.” Abiyya keluar dari ruangan Jeffin tanpa menunggu balasan dari lelaki itu. Jam makan siang sudah habis tetapi Abiyya lebih memilih untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sebelum kembali ke ruangan dimana dirinya bekerja.
Ketika ingin mencuci tangan di westafel, Abiyya di hadang oleh dua orang perempuan yang waktu itu ia lihat di kantin yang sedang membahas Jeffin. Ah, padahal waktu itu Abiyya ingin bertanya pada Jeffin tentang wanita ini tetapi ia malah lupa. “Permisi,” ucap Abiyya sesopan mungkin, takut jika nanti di anggap tidak punya sopan santun ketika bertemu dengan orang yang lebih dulu bekerja di tempat ini.
“Lo siapanya Pak Jeffin?” tanya wanita yang Abiyya kira punya hubungan dengan Jeffin beberapa waktu lalu, kedua tangan terlipat di depan dadanya.
“Maaf, maksudnya apa ya Mbak?” tanya Abiyya bingung.
“Tadi gue liat lo keluar dari ruangan Pak Jeffin sesudah jam istirahat selesai dan lo masuk sebelum jam istirahat,” jelas wanita yang satunya lagi. Yang Abiyya ketahui sebelumnya dari Shida bahwa kedua wanita itu adalan Vian dan Lili.
“Lalu?” tanya Abiyya pura-pura tidak mengerti maksud dari kedua orang ini. Ini yang Abiyya takutkan sebelumnya. Mana mungkin orang setampan Jeffin tidak ada yang mengagumi atau menyukainya.
“Ya lo siapanya Pak Jeffin?” tanya Vian mengulangi pertanyaan sebelumnya, namun kali ini memakai penekanan di setiap kata yang di ucapkannya.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Abiyya singkat dan berniat untuk melanjutkan mencuci tangannya. Namun, tak disangka Vian malah mendorong bahunya sampai Abiyya sedikit kehilangan keseimbangan tubuhnya. Untung saja tangan Abiyya berpegangan pada tembok, kalau tidak maka Abiyya bisa jatuh tersungkur. Merasa tidak mendapatkan jawaban yang pasti, Lili mengajak Vian untuk segera pergi karena ada seseorang yang ingin masuk ke toilet juga. Sementara itu Abiyya melihat ke arah kakinya yang tadi sepertinya sedikit terkilir.
🌾🌾🌾
Abiyya menahan rasa sakit di pergelangan kakinya yang baru saja ia rasakan. Abiyya rasa karena kejadian di toilet tadi. Baru terasa sekarang karena mungkin tadi Abiyya disibukkan dengan pekerjaannya.
Abiyya berjalan pelan ketika mendengar suara pintu terbuka. Menampilkan sosok Jeffin yang masih berpakaian lengkap dengan Ajen yang mengikutinya di belakang. Abiyya memilih pergi ke arah dapur karena tiba-tiba saja dirinya merasa haus. Dapat dilihat Ajen yang sudah duduk santai di sofa dan Abiyya tidak bisa melihat sosok Jeffin, yang sepertinya sudah masuk ke dalam kamar.
Jeffin keluar dengan celana jeans selutut dan kaos berwarna hitam. Rambutnya yang masih terlihat sedikit basah menandakan bahwa pria itu sudah membersihkan diri. “Mau di bahas sekarang?” tanya Jeffin ketika sudah duduk di hadapan Ajen.
“Nanti saja, tadi gue liat cewek lo jalan pincang. Lo samperin dia dulu aja.” Jeffin mengernyitkan dahinya tidak mengerti, padahal tadi siang Abiyya masih baik-baik saja.
“Gue samperin dulu.”
Jeffin membuka pintu kamar Abiyya tanpa permisi. Abiyya yang terlihat sedang memijat kakinya pelan merasa kaget karena pintu kamarnya terbuka secara tiba-tiba. “Kenapa?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kaki lo kenapa? Tadi kata Ajen, lo jalannya pincang.”
“Ah, nggak papa kok. Mungkin karena capek aja.”
“Nggak bohong?” tanya Jeffin memastikan.
“Ng-nggak?”
“Benar?” sekali lagi Jeffin memastikan.
“Oke-oke, iya tadi jalannya pincang sedikit. Sedikit doang kok, nggak tahu kenapa tadi tiba-tiba kerasa sakit aja.”
“Panggil dokter aja ya?” Entah kenapa saat ini Jeffin merasa sedikit khawatir tentang Abiyya.
“Nggak usah deh, besok juga kayaknya udah nggak sakit lagi kok.”
“Yakin?”
“Iya. Sudah sana kasihan ada Mas Ajen yang udah nungguin kamu.”
“Kalau ada apa-apa, bilang sama saya.”
“Iya.” Abiyya merasakan hal yang berbeda ketika Jeffin bersikap lembut seperti tadi. Hatinya merasa senang karena mendapatkan perhatian dari Jeffin yang tidak pernah ia terima setelah kematian orang tua angkatnya.
Keesokan paginya, ternyata sakit di kakinya malah jadi lebih terasa. Abiyya mencoba berpegangan pada apa saja agar bisa keluar dari kamar. Semoga saja Abiyya masih sempat bertemu dengan Jeffin.
“Sebentar?” suara di dalam membuat Abiyya menghembuskan napas lega karena Jeffin belum berangkat bekerja. “Kenapa?” Abiyya mendongakkan kepalanya menatap Jeffin yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dapat dilihat dari tatapan Jeffin yang seolah menanyakan kenapa Abiyya masih memakai pakaian tidurnya.
“Mau minta tolong buat izin nggak masuk kerja bisa? Soalnya kakiku terasa makin nyeri padahal kemarin enggak.”
“Kenapa baru bilang sekarang, kan saya sudah bilang semalam ....”
“Ya karena baru kerasa sakitnya banget sekarang,” ucap Abiyya memotong kalimat Jeffin yang belum selesai. Tanpa pikir panjang, Jeffin langsung mengangkat tubuh Abiyya dan membawanya kembali ke dalam kamar yang ditempati Abiyya. Abiyya menahan napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali sampai suara Jeffin yang menegurnya untuk bernapas kembali terdengar di telinga Abiyya.
Jantung Abiyya berdetak sangat kencang. Tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya. Dapat dilihat Jeffin dengan ponsel yang menempel di telinganya. Sepertinya sedang memanggil seorang dokter. Setelah itu terdengar menelepon Ajen untuk menunda meeting paginya hari ini.
“Jeffin.” Panggilan Abiyya menarik perhatian Jeffin terbukti dengan pria itu yang berjalan ke arah tempat tidurnya. “Kalau ada meeting mending kamu berangkat aja. Aku nggak apa-apa kok.”
“Nggak usah mikirin kerjaan saya, cukup diam saja sampai dokter datang Abiyya.”
“Maaf jadi ngerepotin.” Abiyya menunduk sambil memainkan jari-jari tangannya.
“Ada yang mengganggu kamu?”
Abiyya mendongak menatap Jeffin. “Nggak ada.”
“Yakin? Tapi saya nggak percaya. Kalau kamu nggak mau jujur, saya bisa cari tahu sendiri.”
“Jangan!”
“Jadi benar ada yang mengganggu kamu?”
“Nggak bisa dibilang mengganggu juga sih, soalnya kemarin ada yang tanya ada hubungan apa antara aku sama kamu, maaf.”
“Siapa?”
“Hah?”
“Siapa yang tanya soal itu ke kamu?”
“Emang mau di apain?”
“Mau saya kasih pengertian ke mereka.”
“Pengertian apa coba. Nggak usah macam-macam, mending kamu berangkat aja deh.” Tanpa menjawab perkataan Abiyya, Jeffin malah duduk di ranjang dekat kaki Abiyya.
Tak berapa lama dokter pun datang. Langsung saja dokter itu memeriksa kaki Abiyya. Menjelaskan pada Jeffin, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab dalam beberapa hari ke depan kondisi kaki Abiyya sudah bisa seperti biasa. Setelah memberikan obat pereda nyeri, dokter itu pun langsung pamit pergi.
🌾🌾🌾
Beberapa hari tidak masuk, membuat Abiyya tidak tahu apa yang terjadi. Pagi ini semua orang terlihat sangat aneh. Saat melihatnya mereka semua langsung tersenyum menyapa lalu menundukkan kepalanya. Sesampainya di meja kerja, Abiyya langsung mendapat kerumunan dari teman-temannya yang penasaran dengan gosip yang beredar.
“Lo beneran tunangannya Pak Jeffin?”
“Hah? Apaan deh.”
“Kemarin ada Bu Aera yang datang ke sini terus bilang kalau karyawan yang namanya Abiyya itu tunangan anaknya. Dan nama Abiyya di kantor ini, itu cuma lo doang ya,” jelas Putri yang menjawab pertanyaan Abiyya sekaligus menjelaskan mewakili teman-temannya yang lain.
“Ngaco deh lo semua.”
“Beneran Abiyya. Ini gosip udah menyebar luas di kantor ini ya, nggak ada satupun orang yang nggak tahu tentang ini,” sahut temannya yang lain.
“Ini gue baru tahu,” sahut Abiyya polos.
Semua orang yang mengerubunginya memutar bola mata mereka. Merasa gemas sendiri dengan respon Abiyya. “Ada apa ini? Kenapa berkerumun seperti itu?” suara Mbak Nami membuat semuanya membubarkan diri menuju meja kerja masing-masing.
“Abiyya, ikut saya.” Abiyya menatap ke arah Shida dan temannya yang lain seolah bertanya kenapa Mbak Nami memanggilnya. Mereka semua hanya mengangkat bahu secara kompak menandakan tidak tahu.
“Duduk!”
“Mbak Nami, kenapa saya di panggil ya? Saya ada salah apa ya Mbak?”
Mbak Nami hanya tersenyum tipis. “Nggak ada apa-apa Abiyya, saya cuma memanggil kamu supaya mereka semua tidak menanyakan lagi hal pribadi kamu.”
“Oh, kalau begitu terima kasih ya Mbak. Saya balik ke meja saya dulu,” pamit Abiyya. Dan sebelumnya Abiyya sempat bertukar senyum dengan Mbak Nami, barulah Abiyya keluar dari ruangan Mbak Nami.
Namun bukannya kembali ke tempat kerjanya, Abiyya malah menuju ke ruangan Jeffin. Meminta penjelasan akan yang ia lalui pagi ini. Setelah memastikan lelaki itu berada di dalam, kali ini tanpa permisi Abiyya langsung masuk begitu saja. Abiyya terdiam ketika mendapati Jeffin tidak hanya sendiri, tetapi ada Aera juga yang ada di sana. Abiyya merutuki dirinya di dalam hati.
“Maaf mengganggu, kalau begitu nanti saya kembali lagi saja.” Belum sempat Abiyya keluar, Aera sudah menyuruhnya terlebih dahulu untuk tetap berada di sana.
“Kenapa buru-buru keluar? Nggak kangen sama mama ya?” tanya Aera ketika Abiyya sudah duduk di sampingnya. Aera mengabaikan keberadaan Jeffin dan asyik bercerita dengan Abiyya.
Jeffin memperhatikan ibunya yang masih saja mengobrol dengan Abiyya. Sebelumnya Jeffin sudah menyuruh Ajen untuk memberitahukan pada Nami bahwa Abiyya izin sementara. Ibunya terlihat sangat bahagia ketika berbicara pada gadis yang ia kenalkan pada Aera sebagai kekasihnya. Jeffin jadi teringat pertama kali ia bertemu dengan Abiyya dengan pakaian wanita yang akan menikah. Lalu potongan-potongan kejadian dari awal mereka bertemu sampai pada akhirnya takdir seolah memaksa mereka untuk saling membantu.
Hubungan timbal balik di antara keduanya yang terlihat sangat menguntungkan tetapi jelas memiliki berbagai resiko. Jeffin yang memilih memberikan kesempatan Abiyya untuk memulai hidupnya yang baru dan memenuhi segala kebutuhan gadis itu. Dan Abiyya yang menggantungkan hidupnya pada Jeffin dengan cara berpura-pura untuk menjadi pasangan lelaki itu. Entah apa yang akan terjadi ketika semua kesepakatan di antara keduanya diketahui oleh orang lain terlebih orang tua Jeffin.
“Jadi mau kapan, main ke rumah lagi?”
“Kalau udah nggak sibuk, soalnya kan kemarin Abiyya sudah izin nggak masuk jadi pasti kerjaan Abiyya numpuk banget.”
“Ya udah deh, tapi janji ya bakal datang ke rumah lagi,” ucap Aera seolah mengerti mengapa Abiyya izin dari kemarin.
“Pasti, Ma.”
“Ma? Udah ngobrolnya? Abiyya masih banyak kerjaan yang lagi nungguin dia,” ucap Jeffin yang membuat Aera memukul paha putranya itu.
“Ma?” protes Jeffin yang membuat Aera tertawa.
“Biarin Abiyya nemenin mama sampai jam istirahat, habis itu mama nggak akan ganggu lagi. Kalau kamu mau kerja ya sana kerja aja, mama masih mau sama Abiyya. Masih kangen soalnya.”
“Astaga mama, Jeffin bilangin ke papa ya kalau gangguin Abiyya kerja.”
“Aduin aja, pasti papa juga berpihak ke mama. Udah ah sana, balik kerja aja kamu, ganggu waktu mama sama Abiyya aja.”
Jeffin berdecak pelan sebelum pada akhirnya ia beranjak ke meja kerjanya. Mencoba fokus pada laporan-laporan yang sedang di periksa di tengah obrolan Aera dan Abiyya. Meskipun berusaha untuk tidak mendengarkan, tetap saja telinganya tidak bisa lepas untuk tidak mendengarkan. Dari pada ia membuat kesalahan karena ikut mendengarkan obrolan dua orang wanita yang sepertinya tidak menganggap keberadaannya di ruangan ini, lebih baik Jeffin ia mengerjakan pekerjaannya nanti saja.
Sampai dimana satu pertanyaan muncul dari Aera membuat Abiyya terdiam. “Kapan kalian bakal nikah? Mama udah nggak sabar lihat kalian menikah.”
“Ma!”
“Iya Jef?”
“Abiyya kamu kembali saja ke ruangan kamu.” Belum sempat menjawab, Jeffin sudah memberikan tatapan tajamnya. Setelah berpamitan pada Aera, Abiyya langsung pergi meninggalkan ruangan Jeffin. “Kan udah dibahas sebelumnya. Abiyya baru aja lulus dan belum lama ini baru bekerja. Tolonglah, jangan tanya hal itu terus, Ma,” lanjut Jeffin ketika Abiyya sudah tak terlihat lagi.
“Mau sampai kapan? Toh kalian udah tinggal bareng kan, ya udah menikah saja sekalian. Lagian Abiyya masih bisa kerja dan cari pengalaman seperti yang kamu bilang sebelumnya.”
“Oke, nanti aku bicarakan dulu sama Abiyya. Jangan paksa kami buat menikah lagi, kalau sudah waktunya Abiyya siap, Jeffin bakal kasih tahu mama sebagai orang yang tahu untuk pertama kali.”
“Benar loh ya?” Jeffin mengangguk. “Ya udah nanti kamu bicarakan lagi sama Abiyya. Janji sama mama?”
“Iya, Jeffin janji.”
Setelah itu Aera pamit untuk pulang. Aera juga sempat menitip pesan maaf pada Abiyya perihal pertanyaan tadi. Jeffin merasa lega ketika Aera sudah pergi. Jeffin menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya, merasa lelah padahal tidak melakukan apa-apa.
Crystal melangkahkan kakinya dengan anggun menuju ruangan Jeffin yang sudah biasa ia datangi. Bisa di bilang dulu ia sering datang sebelum Jeffin memperkenalkan seorang gadis sebagai kekasihnya kepada orang tuanya. Lalu ia juga merasakan bahwa Jeffin menghindarinya beberapa saat lalu bahkan sebelum ia membawa Abiyya ke rumah. Entah apa yang membuat Jeffin menghindarinya seperti itu membuat Crystal bertanya-tanya tetapi ketika menanyakan hal itu pada Jeffin, Crystal sama sekali tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.“Kak Jeffin ada?” tanyanya pada Ajen yang sudah ia kenal bahkan sebelum cowok itu bekerja di kantor ini.“Eh, ada si cantik Crystal.” Alih-alih menjawab, Ajen malah menggoda Crystal. Sudah lama juga Ajen tidak bertemu dengan gadis cantik yang selalu mengikuti kemanapun Jeffin pergi. Dan yang Ajen tahu gadis ini juga menyukai sahabat mereka, yaitu Freja. Karena sejauh ini, Crystal kerap kali meminta Jeffin untuk mendekatkannya dengan Freja.“Kak Jeffin ada apa enggak?” ul
Malam ini Jeffin mengiyakan ajakan Freja untuk berkumpul di tempat yang sudah biasa mereka kunjungi. Kalau diingat-ingat sudah lama juga Jeffin tidak bertemu dengan Freja. Berbeda dengan Ajen yang memang bekerja dengannya, setiap saat pasti bertemu sampai rasanya enggan bertemu ketika diluar kantor.Selalu Ajen yang meramaikan suasana di antara mereka. Seperti sekarang ini, Ajen sedang menceritakan segala hal tentang pekerjaan sampai hal yang sama sekali tidak penting bagi Jeffin dan Freja. Meskipun begitu keduanya tetap betah untuk bersahabat dengan Ajen bahkan sampai saat ini. Terkadang pikiran Ajen yang tidak terduga bisa membuat Jeffin ataupun Freja berpikir keras untuk bisa menanggapinya.“Jef.” Suara Freja yang memanggilnya membuat Jeffin menatap pria di depannya itu. Kini hanya ada mereka berdua, sementara Ajen sedang pergi sebentar entah kemana. “Lo masih jauhin Crystal?”“Bukan jauhin, gue cuma mundur secara perlahan.” Jawaban Jeffin membuat Freja mengernyitkan dahinya, tidak
Menikah? Dengan tanpa adanya cinta? Dua orang yang hanya saling memanfaatkan satu sama lain segera terikat dalam sebuah pernikahan. Hubungan yang seharusnya menjadi sesuatu yang sakral bagi dua orang yang terlibat di dalamnya. Namun, tidak dengan apa yang terjadi pada Abiyya dan Jeffin. Keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius karena keadaan dari keduanya yang saling membutuhkan.Abiyya yang membutuhkan Jeffin agar tidak berhubungan lagi dengan kakaknya. Lalu Jeffin yang membutuhkan Abiyya untuk menghindari perjodohan yang biasanya dilakukan oleh ibunya. Tuntutan dari ibunya juga yang menyuruhnya untuk segera menikah membuat Jeffin memanfaatkan Abiyya yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kehidupannya. Kemudian ada alasan lain juga kenapa ia berani melakukan hal seperti ini untuk hidupnya.Baik Abiyya maupun Jeffin sudah sepakat untuk menjalin hubungan seperti ini. Hubungan yang tidak pernah diinginkan oleh keduanya. Tetapi seolah takdir membuat mereka harus memutusk
Aera melihat Crystal sedang duduk di ruang keluarga dengan santai. Tidak biasanya ia melihat anak gadisnya seperti ini. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat Crystal tengah santai di rumah dan berada di ruangan ini. Karena biasanya Crystal lebih memilih untuk bersantai di kamarnya. Seolah menyadari kedatangan Aera, Crystal pun menyapanya. “Habis darimana, Ma?” “Habis urusin buat pernikahan kakak kamu,” jawab Aera lalu duduk di samping Crystal. “Tumben kamu santai di sini, biasanya juga lebih pilih di kamar.” “Kangen sama mama, lama ya kita nggak ngobrol berdua gini?” Dapat Crystal rasakan tangan Aera yang mengelus lembut kepalanya, menyalurkan rasa sayang yang Crystal terima dari Aera. “Iya ya, udah lama. Kamu udah besar ya sekarang, udah jadi perempuan cantik, padahal dulu kamu masih kecil,” kata Aera menatap lekat Crystal, tak percaya gadis kecilnya kini sudah berubah menjadi perempuan dewasa. “Kan aku tumbuh, masa kecil terus sih.” Perkataan Crystal membuat Aera tertawa ke
Abiyya berjalan menuruni anak tangga. Pagi ini merupakan hari kembalinya Abiyya untuk bekerja setelah mengambil hari libur beberapa hari setelah menikah. Berbeda dengan Jeffin yang keesokan harinya sudah bekerja kembali karena katanya ada masalah yang sedang diurus.Kesibukan Abiyya untuk menghabiskan hari-harinya kemarin hanya tidur, makan, berjalan mengitari rumah, menyiram bunga-bunga di taman, juga membereskan barang-barang yang perlu di tata. Meskipun bosan, Abiyya tetap menikmatinya. Apalagi Jeffin yang selalu pulang larut setelah dirinya tidur.Kemarin, Jeffin mengajaknya untuk berangkat bersama dan tidak menerima penolakan. Sekarang Abiyya sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Jeffin sekalian. Meskipun mereka hanya menikah karena sebuah kesepakatan, tetapi Abiyya akan berusaha untuk menjadi istri yang baik.“Mau bikin kopi nggak?” tanya Abiyya ketika Jeffin mendudukkan dirinya di kursi meja makan.“Nggak perlu,” jawabnya sambil mulai menyendokkan nasi go
Abiyya merenung. Memikirkan apa yang akan dilakukannya di sini selama satu minggu. Apakah hanya akan ada di dalam kamar? Entahlah Abiyya tidak mau terlalu pusing memikirkan itu. Abiyya akan menikmati apa saja yang akan terjadi. Bolehkah Abiyya berharap jika Jeffin akan mengajaknya jalan-jalan?Plak. Abiyya menepuk pipinya. Kemudian membatin, memikirkan apa kamu Abiyya? Mana mungkin coba. Tapi mungkin aja kan.“Kenapa kamu?”“Hah? Nggak. Nggak apa-apa.”“Aneh.”Abiyya tidak membalas perkataan Jeffin. Abiyya memilih bermain dengan ponselnya. Terkadang Abiyya lupa kalau sekarang dia memiliki ponsel yang mempunyai banyak kegunaan.Seperti sebelumnya, Abiyya memilih untuk menonton konten-konten dari grup yang ia cari tahu beberapa waktu lalu. Banyak sekali konten yang ternyata mengundang tawa. Tanpa sadar Abiyya tersenyum sendiri saat menontonnya bahkan sesekali tertawa kecil. Hal itu menarik perhatian Jeffin yang kini mengalihkan pandangannya menatap Abiyya.“Abiyya?”“Ya?” jawab Abiyya s
Setelah makan malam, Abiyya dan Jeffin duduk bersama di atas tempat tidur. Abiyya memperhatikan Jeffin yang kembali sibuk dengan pekerjaannya. Entah apa yang sedang diperiksanya yang pasti semua berkaitan dengan perusahaan. Jeffin yang menyadari Abiyya tengah memperhatikannya, menoleh. Membuat Abiyya langsung memalingkan wajahnya gugup karena ketahuan sedang memperhatikan Jeffin. Jeffin yang melihatnya hanya tertawa kecil. Wajah Abiyya terlihat lucu. “Kakinya masih sakit?” tanya Jeffin seraya menatap Abiyya lembut. “Hmm, baik kok,” jawab Abiyya. “Lain kali nggak usah dipaksain kayak tadi.” “Ih, orang dianya nyebelin gitu. Mana kayak suka sama kamu lagi, padahal kan udah punya suami,” balas Abiyya kesal. “Cemburu?” “Hah? Enggak, siapa coba yang cemburu, maksudnya dia udah suami kok bisa gitu sih,” jawab Abiyya cepat. “Yakin nih nggak cemburu?” goda Jeffin. “Enggak kok,” balas Abiyya sambil memandangi langit-langit kamar karena Jeffin yang sekarang tengah memperhatikannya. “Oke
Seorang pria dengan kaos oblong dan celana jeans belel berjalan tidak tentu arah. Wajahnya terlihat sangat kusut. Matanya berkeliaran mencari seseorang yang seharusnya bisa membantunya untuk membayar hutang-hutangnya. Perempuan yang di angkat oleh orang tuanya dan menjadi adiknya itu sekarang entah berada di mana. Sudah lama ia mencari tetapi belum membuahkan hasil.Yasa, nama pria itu. Merutuki dirinya karena sampai dua kali kecolongan saat gadis itu kabur darinya. Saat pertama kabur, gadis itu kembali dengan sendirinya. Tetapi untuk kedua kalinya, Yasa tidak bisa menemukan keberadaannya sampai sekarang.“Arghh!” Yasa mengacak rambutnya kasar. Menyesal karena niatnya buruknya tidak bisa tercapai.Kini Yasa hanya bisa luntang-lantung di jalanan. Sebab rumah peninggalan orang tuanya sudah di ambil oleh orang-orang yang memberinya pinjaman. Sampai waktu yang di tentukan, Yasa tidak bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya sehingga seperti inilah hidupnya sekarang. Saat ini Yasa hanya in
Jeffin menatap wajah Abiyya yang masih terlelap dengan lengannya yang menjadi bantalan. Meski terasa kebas, namun tak masalah bagi Jeffin. Jeffin yang melihat ada pergerakan dari Abiyya, berpura-pura dengan memejamkan matanya kembali.Jeffin merasakan tangan Abiyya yang perlahan mengusap bagian wajahnya. Dapat Jeffin dengar bahwa Abiyya mengucapkan kata-kata yang membuatnya juga merasakan hal yang sama. Betapa bersyukurnya dan bahagianya mereka sekarang bisa saling mengenal juga memiliki.“Eh.” Abiyya langsung menarik tangan dari wajah Jeffin ketika matanya terbuka.“Mau kemana?” tanya Jeffin saat Abiyya sudah akan siap beranjak meninggalkan tempat tidur. Namun, dengan sigap Jeffin langsung menarik tangan Abiyya hingga Abiyya jatuh menimpa tubuhnya.“Jeffin!”“Hmm.”“Ngeselin, malu tahu,” lirih Abiyya yang masih bisa didengar oleh Jeffin.Lelaki itu tertawa pelan dengan mata yang kembali terpejam dan juga tangannya yang memeluk tubuh Abiyya. “Jangan kemana-mana dulu, sebentar aja kayak
Memulai sesuatu yang baru dalam hidup bukanlah suatu hal yang mudah. Semua yang terjadi membutuhkan waktu untuk menyesuaikan segalanya. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada Abiyya dan Jeffin. Setelah banyak hal yang terjadi, mereka berdua memutuskan untuk memulai kembali melanjutkan kehidupan pernikahan mereka. Awalnya memang terasa canggung ketika keduanya melakukan hal seperti selayaknya suami istri pada umumnya yang saling membutuhkan satu sama lain. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya mulai menikmati kebiasan itu. Seoerti yang dilakukan oleh Jeffin pagi ini, saat Abiyya ingin beranjak dari tempat tidur, tetapi Jeffin menahannya dengan memeluk tubuh Abiyya. Meski Abiyya berusaha untuk melepaskan diri yang pada akhirnya dirinya tetap berada di tempat tidur. “Bisa lepas dulu nggak?” gumam Abiyya pelan sembari pelan-pelan memindahkan tangan Jeffin yang berada di pinggangnya. “Jeffin,” panggil Abiyya yang hanya dibalas dengan gumaman pelan. “Aku hitung sampai tiga, kalau n
Tidak ada seorang pun yang menyukai kehilangan sesuatu. Hanya bisa menerima dan mencoba merelakan adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. Tidak dengan melupakan atau membenci keadaan karena kehilangan. Sama seperti yang Abiyya lakukan saat ini. Menata kembali hidupnya bersama Jeffin yang mau berada di sampingnya saja sudah lebih dari cukup.Abiyya merasa sikap Jeffin terasa jauh lebih hangat mampu membuat Abiyya merasakan perasaan yang tidak seperti biasanya. Segala perhatian yang Jeffin berikan mampu membuat hatinya berbunga-bunga. Abiyya menatap tangannya yang berada dalam genggaman erat tangan Jeffin membuat Abiyya terus menahan senyumnya agar tidak terlihat aneh ketika ada yang menatapnya.Seperti yang sudah dijanjikan oleh Jeffin bahwa mereka akan menjenguk Ajen, kini Abiyya bersama Jeffin sudah berada di depan kamar rawat Ajen. Abiyya dengan sekeranjang buah-buahan yang berada di tangannya, mengikuti langkah Jeffin yang langsung masuk begitu saja tanpa permisi dahulu. Abiyya te
“Abiyya, maafin semua perbuatan Crystal selama ini ke kamu ya.” Aera menggenggam tangan Abiyya setelah Freja keluar untuk mengejar Crystal. “Mama ngga tahu kalau selama ini Crystal memperlakukan kamu dengan tidak baik.”Abiyya tersenyum seraya membalas genggaman tangan Aera. “Abiyya udah maafin semua perlakuan Crystal sama Abiyya, Mama nggak perlu minta maaf. Ini semua bukan salah Crystal, ini salah Abiyya karena tiba-tiba masuk ke kehidupan keluarga kalian. Maaf karena Abiyya semuanya malah jadi kayak gini.”Aera menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak, kamu sama sekali nggak salah, Abiyya. Mama sama Papa malah berterima kasih sama kamu karena udah jadi bagian dari keluarga ini. Walaupun ada beberapa alasan yang membuat kamu harus menjadi bagian dari kita.”“Maafin Abiyya sama Jeffin kalau semua ini berawal dari kebohongan yang kita ciptakan. Makasih juga karena udah terima Abiyya menjadi bagian dari kalian, meski sebenarnya Abiyya sendiri bukan dari keluarga yang jelas asal-usulnya.”
Keesokan paginya, setelah sarapan selesai, Reksa memanggil Crystal untuk menemuinya di ruang kerjanya. Apapun kesalahan yang sudah diperbuat Crystal, Crystal tetaplah putrinya yang sudah ia dan Aera rawat sejak kecil. Tidak ada perlakuan berbeda untuk memenuhi segala kebutuhan Crystal. Baik Reksa ada Aera selalu memperlakukan gadis kecil yang dulu mereka ambil dari sebuah panti sama seperti mereka memperlakukan Jeffin.Sampai tidak terasa, ternyata gadis kecil itu sudah beranjak dewasa. Namun, semua perlakuan yang Reksa dan Aera berikan, serta semua didikannya tidak membuat gadis itu menjadi anak yang selalu baik. Nyatanya ada kala dimana ternyata Crystal berbuat sesuatu yang tidak pernah mereka duga.Lantunan musik klasik yang sengaja Reksa setel untuk menemaninya menunggu kedatangan Crystal terdengar menenangkan. Matanya terpejam sembari mengingat kembali masa-masa dimana Crystal yang masih menjadi gadis kecil lucu yang selalu mengikuti kemana saja Jeffin pergi. Bagaimana suara lemb
Tidak semua hal yang ada di dunia bisa kita ketahui. Akan ada banyak hal yang terkadang datang dalam kehidupan tanpa terduga. Seperti akan jadi apa kita setelah dilahirkan ke dunia, dengan siapa kita hidup berdampingan, dan banyak hal lainnya yang sudah di atur oleh Tuhan bahkan tentang kehilangan. Kita hanya bisa berusaha menjalani hidup dengan baik dan bisa bertahan hidup bagaimanapun kondisinya.“Gimana, Ma?” tanya Jeffin.Aera menggeleng pelan. “Masih belum mau makan,” jawab Aera sembari melirik makanan yang ada di nakas samping brankar. Matanya terus tertuju pada Abiyya yang tengah berbaring dengan mata terpejam. Saat Aera meminta Abiyya untuk makan, Abiyya hanya menjawabnya belum merasa lapar dan ingin beristirahat.“Ya udah, mending sekarang Mama pulang dulu aja, ini udah malam. Biar nanti Jeffin yang bujuk Abiyya buat makan.”“Mama di sini aja nemenin Abiyya.”“Ma, besok aja datang lagi ke sini, biar Mama istirahat juga.” Aera mengangguk dan mengiyakan permintaan Jeffin.“Mama
Bi Er yang baru saja tiba di depan rumah merasa heran kenapa pintu depan terbuka namun tidak ada orang di sekitar halaman rumah. Dengan cepat wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya untuk masuk. Seketika barang-barang belanjaan yang ada di tangannya terlepas begitu saja saat melihat Abiyya yang terkapar di lantai dengan tangan yang memegang perutnya. Yang membuat Bi Er semakin khawatir karena Abiyya yang sepertinya sudah kehilangan kesadaran.“Astaga Mbak Abiyya,” panggil Bi Er sembari mengguncang pelan tubuh Abiyya. Tak mendapatkan respon dari Abiyya, mata Bi Er beralih pada ponsel yang ada di dekat Abiyya. Dengan cepat Bi Er membuka ponsel tersebut dan mencari panggilan terakhir yang ada di sana.“Tunggu sebentar lagi saya sampai,” ucap dari orang yang mengangkat panggilan yang dihubungi oleh Bi Er.Benar saja, tidak lama kemudian seorang laki-laki dengan setelan kerjanya datang dengan berlari masuk ke dalam rumah. “Kenapa bisa sampai kayak gini?” tanyanya pada Bi Er apalagi sete
Abiyya bersama Jeffin saat ini sedang berada di kediaman orang tua Jeffin. Sudah satu minggu baik orang-orang Jeffin, Reksa, dan Freja belum menunjukkan hasil dimana keberadaan Crystal. Hal itu membuat Aera jatuh sakit. Beberapa hari yang lalu juga Saga sudah di jemput oleh Nandi yang katanya keadaan suaminya sudah berangsur membaik.“Crystal,” gumam Aera saat duduk di sofa yang yang ada di kamar Jeffin dulu. Jeffin membawa Abiyya ke kamarnya setelah tadi sempat menemui Aera yang terbaring di atas ranjang.“Jeff, ini belum ada kabar tentang Crystal?” tanya Abiyya yang saat ini hanya berdua bersama Jeffin. “Sama sekali nggak ada?”“Nggak usah dipikirin, nanti pasti bisa ketemu,” jawab Jeffin seperti biasa dengan pembawaannya yang tenang.“Jeff, aku mau jujur boleh?”“Apa?”“Ada kaitannya sama Crystal.” Jeffin mengernyitkan dahinya yang kemudian mendekat ke arah Abiyya dan duduk di sampingnya.“Crystal kenapa?”“Waktu itu, pas malam kamu dapat kabar dari mama, sebelum jam makan siang Cr
Crystal membanting pintu mobilnya dengan kasar. Langkahnya dengan cepat mencari keberadaan Aera. Beberapa kali Crystal berteriak memanggil-manggil Aera, namun tidak ada sahutan sama sekali.“Mama mana?” tanya Crystal pada salah satu pekerja yang kebetulan berpapasan dengannya.“Nyonya ada di belakang, Non,” jawabnya. Tanpa menanggapi lagi Crystal langsung berjalan menuju dimana Aera berada. Dan benar saja Crystal melihat Aera yang tengah bersantai dengan memandang layar ponselnya.“Ma, ada yang mau Crystal bicarakan,” ucap Crystal sembari duduk di kursi sebelah Aera tanpa basa-basi terlebih dahulu.“Kenapa, Crys? Tadi Mama juga dengar kamu teriak-teriak panggil Mama.”“Ma, Crystal mau kasih tahu kalau sebenarnya Kak Jeffin dan Abiyya cuma menikah pura-pura.” Melihat ekspresi biasa saja dari Aera tentu membuat Crystal semakin kesal. “Ma, mereka udah bohongin Mama sama Papa!” seru Crystal yang membuat Aera menatap putrinya.“Mama udah tahu,” balas Aera santai.“Apa? Mama tahu darimana?”