Menikah? Dengan tanpa adanya cinta? Dua orang yang hanya saling memanfaatkan satu sama lain segera terikat dalam sebuah pernikahan. Hubungan yang seharusnya menjadi sesuatu yang sakral bagi dua orang yang terlibat di dalamnya. Namun, tidak dengan apa yang terjadi pada Abiyya dan Jeffin. Keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius karena keadaan dari keduanya yang saling membutuhkan.
Abiyya yang membutuhkan Jeffin agar tidak berhubungan lagi dengan kakaknya. Lalu Jeffin yang membutuhkan Abiyya untuk menghindari perjodohan yang biasanya dilakukan oleh ibunya. Tuntutan dari ibunya juga yang menyuruhnya untuk segera menikah membuat Jeffin memanfaatkan Abiyya yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kehidupannya. Kemudian ada alasan lain juga kenapa ia berani melakukan hal seperti ini untuk hidupnya.
Baik Abiyya maupun Jeffin sudah sepakat untuk menjalin hubungan seperti ini. Hubungan yang tidak pernah diinginkan oleh keduanya. Tetapi seolah takdir membuat mereka harus memutuskan untuk melakukan hal ini.
Setelah Jeffin memberitahukan pada Aera tentang berita keduanya yang memutuskan untuk menikah, Aera langsung meminta untuk bertemu dengan keduanya. Di sinilah ketiga orang tersebut bertemu guna membahas segala hal untuk pernikahan Abiyya dan Jeffin. Aera sangat bersemangat membahas semua yang berkaitan dengan pernikahan. Dan semua urusan pernikahan Jeffin serahkan pada Aera yang disambut gembira perempuan paruh baya itu.
“Jadi benar, semua diserahkan ke Mama aja?” tanya Aera memastikan sekali lagi.
“Iya, Ma. Jeffin dan Abiyya akan senang kalau mama yang urus itu semua, biar kita tinggal pilih aja apa yang udah mama pilihin.”
“Abiyya, nggak keberatan kan sayang?” tanya Aera sambil menatap Abiyya.
Abiyya tersenyum. “Nggak apa-apa, Ma. Tapi maaf ya kalau aku sama Jeffin jadi ngerepotin mama.”
“Sama sekali nggak repot, mama malah senang kalian percaya sama mama.” Aera meraih tangan Jeffin dan Abiyya lalu menyatukannya dalam genggaman tangannya. “Terima kasih ya, mama bahagia sekali dengan semua ini.”
🌾🌾🌾
Shida melirik ke arah Abiyya. Memastikan sekali lagi dari raut wajahnya yang tampak terlihat tidak baik-baik saja. Ingin bertanya tapi Shida takut jika Abiyya merasa terganggu akan pertanyaannya. Tapi, jika tidak bertanya maka rasa ingin tahunya jadi lebih besar.
Shida meyakinkan dirinya jika Abiyya mau berbagi cerita, pasti nanti akan bercerita. Namun, Shida tidak bisa seperti itu. Ah, bodo amat deh.
“Lo, kalau butuh teman buat cerita, cari gue aja, Abiyya.” Akhirnya Shida hanya mengatakan itu, takut jika Abiyya mengira dirinya mencampuri urusan pribadinya.
“Ah, makasih, Shida. Kalau gitu nanti aku mau cerita ya?”
“Boleh-boleh, siapa tahu nanti lo jadi lega dan kalau gue bisa bantu pasti bantu lo kok.”
“Makasih ya, Shida.”
Seperti yang dibicarakan sebelumnya, bahwa Abiyya ingin bercerita pada Shida. Di sinilah mereka berdua. Memilih tempat yang paling pojok dari kantin setelah membeli makanan.
“Jadi?” tanya Shida memulai pembicaraan. “Kalau belum mau cerita sekarang juga nggak apa-apa,” lanjutnya ketika Abiyya masih belum mau mengeluarkan suaranya.
“Tapi kamu jangan kaget ya?” Shida menganggukkan kepalanya sembari mengunyah makanannya. “Jadi, aku sama Jeffin, udah memutuskan buat menikah.”
“Apa? Menikah?” Abiyya langsung menutup mulut Shida dengan tangan kanannya. Tubuhnya yang condong ke arah Shida, bergumam agar tidak berbicara keras.
“Oke-oke. Seriusan?”
“Heem.”
“Terus masalahnya dimana? Bukannya kalian emang udah berhubungan, maksudnya udah punya ikatan gitu kan sebelumnya. Jadi nggak ada masalah kan harusnya?”
Abiyya mendesah lelah.“Panjang ceritanya.” Abiyya mulai bercerita sejak pertama kali dirinya bertemu dengan Jeffin. Lalu bagaimana bisa sampai akhirnya begini.
Abiyya entah kenapa bisa bercerita semua hal itu pada Shida. Abiyya hanya merasa Shida bisa dipercaya olehnya. Sejak pertama ia bertemu Shida, Shida berlaku sangat baik padanya. Juga Shida biasanya menceritakan apa saja yang berhubungan dengannya. Jadi tidak ada salahnya kan, jika Abiyya juga ingin mempercayai Shida dan menceritakan semua hal tentang hidupnya pada Shida.
“Jadi, hubungan lo sama Pak Jeffin itu cuma kebohongan semata di depan Bu Aera biar beliau nggak melakukan perjodohan lagi ke Pak Jeffin?” Abiyya mengangguk membenarkan. “Terus kalian berdua terpaksa memutuskan untuk menikah.”
“Ya kira-kira begitulah.”
“Kalau gitu, kenapa nggak lo bikin buat Pak Jeffin jatuh cinta sama lo. Maksudnya kalau ada cinta di antara kalian meskipun cuma dari satu pihak, seenggaknya kehidupan pernikahan kalian tersasa sedikit lebih baik kan.”
“Jadi, aku harus berusaha buat Jeffin jatuh cinta sama aku? Terus kalau aku yang jatuh cinta sama dia gimana dong?”
“Lebih bagus kalau kalian berdua saling jatuh cinta.”
“Harus banget ya?”
“Itu kembali lagi ke lo sih, kalau lo nggak mau pernikahan kalian cuma sebatas buat permainan, lebih baik kalian berusaha buat saling mencintai satu sama lain. Toh nggak ada salahnya, nanti kalian udah menikah ini.”
“Huft.”
“Semoga lancar ya buat pernikahanya,” goda Shida membuat Abiyya salah tingkah terlihat dari pipinya yang sedikit memerah.
Setelah itu Shida bercerita tentang apa aja yang ia alami ketika pertama kali bekerja. Sampai hal-hal lucu yang membuat Abiyya tertawa mendengarkan cerita dari Shida. Abiyya merasa beruntung bisa bertemu dengan Shida. Dengan pembawaannya yang ceria dan terlihat seperti tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Bibirnya terus tersenyum dan tertawa seolah tidak ada beban di dalam dirinya, namun Abiyya tahu bahwa setiap orang pasti memiliki masalah dalam hidupnya.
🌾🌾🌾
Abiyya menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan Crystal di rumah orang tua Jeffin yang menatapnya tampak tidak bersahabat. Ah, Crystal memang selalu menatapnya seperti itu sejak pertama kali mereka bertemu. Abiyya yang berusaha meyakinkan dirinya sebelumnya, ketika akan menyapa Crystal, gadis itu sudah berlalu begitu saja. Abiyya sadar jika Crystal memang tidak menyukai kehadirannya dalam kehidupan keluarganya.
Hari ini memang Abiyya memiliki janji dengan Aera. Setalah mendapat izin sehabis makan siang tidak kembali ke kantor, Abiyya pergi ke rumah orang tua Jeffin untuk bertemu dengan Aera. Abiyya memilih untuk datang menghampiri Aera di rumah, daripada Aera yang datang ke kantor. Bukannya apa-apa, hanya saja Abiyya merasa tidak nyaman dengan orang-orang di kantor.
“Siang, Om Reksa,” sapa Abiyya ketika mendapati Reksa yang tengah bersantai di kursinya sambil menonton sebuah acara di televisi. Tadi Abiyya di suruh Aera untuk datang saja ke ruang keluarga yang ada di rumah ini.
“Eh, udah sampai Abiyya. Duduk dulu, saya panggil Aera dulu. Kayaknya masih siap-siap.”
“Nggak usah, Om. Nggak apa-apa, Abiyya nunggu aja.”
“Mau minum apa? Biar nanti dibikinin.”
“Nggak usah repot-repot, Om.”
“Ya udah, kalau minum bikin sendiri aja ya ke dapur, anggap aja rumah sendiri. Nanti juga kamu bakal jadi bagian dari keluarga ini.”
“Iya, Om,” balas Abiyya sambil tersenyum canggung. Selama ini Abiyya hanya mengobrol banyak bersama Aera.
Dapat Abiyya lihat, Aera yang sedang turun dari anak tangga dengan sedikit buru-buru. Sampai suara Reksa memperingatkan Aera agar tidak perlu terburu-buru, toh Abiyya tidak akan meninggalkannya. Tentu saja Abiyya hanya menampilkan senyumnya ketika mendengar hal itu dari mulut Reksa. Setelah itu Aera berpamitan pada Reksa untuk pergi bersama Abiyya. Tak lupa Abiyya juga ikut berpamitan.
Kini Aera dan Abiyya tengah duduk kursi belakang mobil Aera. Ada Pak Bani, sopir Aera yang mengemudi. Aera menunjukkan beberapa desain undangan di iPad-nya pada Abiyya.
“Abiyya suka yang mana? Tadi pas Mama tanya ke Jeffin, katanya suruh tanya ke kamu, biar kamu yang pilih mau yang mana.”
“Boleh Abiyya lihat-lihat sekali lagi?”
“Ya boleh dong, sayang.”
Abiyya melihat-lihat semua desain sekali lagi dengan seksama. Semuanya terlihat sangat bagus. Abiyya sedikit kebingungan untuk memilihnya. Namun, matanya jatuh pada satu desain yang menurutnya tidak terlalu berlebihan. Tampak sederhana tetapi memiliki kesan yang begitu elegan.
“Gimana? Udah milih?”
“Udah, Ma. Abiyya pilih yang ini aja.”
“Benar yang ini?” tanya Aera memastikan sekali lagi dan Abiyya mengiyakan.
Seperti yang sudah direncanakan, Aera mengajak Abiyya untuk pergi ke butik. Tentu untuk memilih gaun yang mana saja yang akan dipakai oleh Abiyya untuk serangkaian acara dalam pernikahan. Seharusnya Jeffin juga ikut pergi bersama dua perempuan tersebut, namun masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aera menyuruhnya untuk memilih sendiri gaun mana yang diinginkan oleh Abiyya. Sembari menunggu Abiyya, Aera terlihat sedang berbicara dengan orang yang ada di sana dengan wajah yang bersinar. Sungguh, Abiyya jadi merasa bersalah akan pernikahan yang akan dijalani dengan Jeffin hanyalah untuk menyenangkan wanita itu. Abiyya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Aera ketika mengetahui hal yang sebenarnya.
“Abiyya? Gimana udah ada pilihan yang menarik buat kamu?” pertanyaan dari Aera membuyarkan segala hal yang sedang dipikirkannya.
“Hm, tadi ada beberapa sih yang udah Abiyya lihat dan kelihatan menarik gitu, tapi Abiyya masih mau lihat-lihat yang lain dulu ya, Ma, nggak apa-apa, kan?”
“Ya nggak apa-apa dong, sayang.”
“Menurut mama bagusan yang ini atau yang ini?” tanya Abiyya yang ingin mendapatkan pendapat dari Aera tentang dua gaun yang sedari tadi dilihatnya.
“Dua-duanya bagus kok. Apalagi kalau yang pakai kamu, pasti lebih bagus,” jawab Aera dengan senyum lebar di bibirnya yang membuat Abiyya merasa sangat bersalah sekali sudah membohongi wanita yang ada dihadapannya.
“Di pakai sama mama juga pasti lebih bagus,” ujar Abiyya.
“Bisa saja kamu ini.”
“Hehe.”
Setelah itu Abiyya berkata jika akan lebih baik ia akan bertanya dulu pada Jeffin mengenai gaunnya. Takutnya jika nanti Jeffin tidak suka, maka Abiyya masih bisa memilih yang lain. Aera yang mengerti pun hanya mengiyakan. Lalu Aera mengajak Abiyya untuk berjalan sebentar ke arah taman terdekat untuk menghirup udara sore hari yang terlihat cerah. Semilir angin yang menerpa wajah cantik keduanya semakin membuat mereka berdua terlihat lebih cantik.
Sepanjang perjalanan menuju taman, tangan Aera tak lepas sedikitpun dari lengan Abiyya. Abiyya pun tak merasa keberatan. Malah Abiyya merasa senang, akhirnya ia bisa kembali merasakan kelembutan dan kehangatan dari seorang ibu. Jujur saja Abiyya sangat merindukan perlakuan seperti itu dari ibu angkatnya. Meskipun Abiyya hanya angkat, namun ayah dan ibunya sangat menyayanginya. Abiyya mengusap air matanya yang tak sengaja jatuh.
🌾🌾🌾
Setelah mendengar kabar tentang pernikahan kakaknya, gadis yang sedang berada di apartemennya terlihat sangat kacau. Beberapa barang sudah berserakan di lantai. Bahkan penampilan gadis itu juga terlihat sangat berantakan. Rambut panjangnya sudah tak beraturan.
Setelah berhasil membuang barang-barangnya di lantai, Crystal duduk bersandar pada tempat tidurnya dan menekuk kedua lututnya. Crystal hanya berpikir ketika Jeffin menikah nanti, maka Jeffin akan semakin jauh darinya. Apalagi sekarang Crystal sangat-sangat sadar jika Jeffin sedang menjauhinya. Crystal tentu tidak ingin Jeffin meninggalkannya.
Sedari kecil Crystal sangat bergantung pada Jeffin. Kemanapun lelaki itu pergi, dirinya pasti ikut. Hanya saja setelah mereka dewasa, kerap kali Crystal meminta Jeffin untuk membuatnya dengan salah satu sahabatnya.
“Astaga, Crystal!” Teriakan itu membuat Crystal mengangkat kepalanya. Menatap seorang laki-laki yang tadi sempat dihubunginya. Tanpa memberitahukan dimana keberadaannya, lelaki itu mampu menemukannya.
“Kenapa lo lakuin ini hah!” Lelaki itu berjongkok di hadapan Crystal. Tangannya meraih dagu Crystal dan mengangkatnya agar matanya bisa menatap tepat di mata gadis itu.
‘Benar-benar kacau,' gumamnya dalam hati.
“Kenapa? Lo bisa cerita sama gue, nggak perlu ngelakuin hal kayak ini.” Suaranya yang berubah menjadi lembut membuat Crystal membawa tubuhnya ke dalam tubuh pria itu. Terdengar sedikit isakan yang keluar dari mulut Crystal dalam pelukan laki-laki tadi.
🌾🌾🌾
Abiyya melangkahkan kakinya menuju kamar. Abiyya merasa sepertinya Jeffin sudah pulang. Tanpa pikir panjang, Abiyya masuk ke dalam kamar dan membersihkan dirinya. Setelah selesai Abiyya menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang ada di kepalanya. Kemudian membuka ponsel siapa tahu ada pesan atau suatu hal lain.
Abiyya yang hendak mengeluarkan sesuatu dari kulkas, tersentak kaget ketika Jeffin sudah berdiri di belakangnya. Tangannya hendak meraih sebuah botol minuman soda membuat Abiyya sedikit menggeser tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan Jeffin. Abiyya juga berusaha mengatur napasnya yang seketika merasa sesak.
“Nggak usah masak, saya udah pesan makanan.” Abiyya mengerjapkan matanya, lalu menatap punggung Jeffin yang sudah berlalu dan duduk di sofa. Lalu meminum botol yang ada di tangannya.
“Huh.”
“Tolong buka pintunya,” perintah Jeffin ketika ada yang memencet bel, katanya siapa tahu itu makanan yang sudah dipesannya datang.
Namun bukan makanan yang datang, melainkan sosok yang langsung masuk begitu saja setelah pintu dibuka oleh Abiyya. Dengan tidak sopannya juga merampas botol yang ada di tangan Jeffin dan meminumnya. Abiyya membuka mulutnya sedikit, merasa keget dengan apa yang dilakukan tamu yang tidak ada sopannya sama sekali.
Meski dapat Abiyya lihat bahwa Jeffin merasa kesal, tetapi pria itu tidak marah pada Ajen. Ya, Ajendra, sahabat Jeffin yang menjelma sebagai sekretaris pria itu yang datang barusan. Abiyya tidak menyangka jika Ajen ternyata bersikap seperti itu ketika berada di luar kantor.
Tak berapa lama setelah kedatangan Ajen, makanan yang di pesan Jeffin datang. Seolah tahu akan kedatangan tamu yang tidak ada sopannya, Jeffin memesan lebih banyak makanan dari biasanya. Abiyya segera menyiapkannga di piring lalu memanaskannya di microwave.
“Hai, Abiyya,” sapa Ajen ketika mereka sudah duduk tenang di meja makan. Jeffin dan Abiyya tampak sangat menikmati makanannya. Lain hal dengan Ajen yang makan sambil banyak bicara.
“Awas Mas, nanti kesedak kalau makan sambil ngomong terus,” tegur Abiyya yang sedari tadi sudah gatal ingin menyuruh Ajen diam ketika makan. Dan benar saja setelah Abiyya mengucapkan hal itu, Ajen langsung tersedak dan kelimpungan mencari air minum.
“Lo nyumpahin gue ya?” tudu Ajen ketika berhasil menenggak satu gelas air.
“Lo yang banyak omong, makanya kesedak. Nggak usah nyalahin orang,” tegur Jeffin yang akhirnya membuka suaranya.
“Nye nye nye nye.”
“Pulang gih abis makan,” usir Jeffin setelah menyelesaikan makannya.
“Iya deh tahu, yang cuma pengen berduaan tanpa adanya orang lain,” balas Ajen sembari menyindir.
Abiyya hanya menunduk. Tak berani menatap Ajen, terlebih Jeffin. Abiyya membereskan piringnya dan Jeffin, membawanya ke arah westafel, membiarkan Ajen menyelesaikan makannya sendiri. Ketika hendak mencucinya, suara Jeffin membuatnya menatap Ajen.
“Biarin aja Ajen yang cuci piringnya.”
“Beneran, Mas Ajen yang mau cuci piringnya?” tanya Abiyya pada Ajen yang masih asyik menikmati makanannya.
“Yo, tinggalin aja, biar gue yang cuci piringnya,” jawab Ajen.
“Beneran, Mas? Nggak apa-apa?” tanya Abiyya memastikan kembali.
“Iya, udah santai aja si, kayak sama siapa aja lo.”
“Makasih ya, Mas, sebelumnya maaf jadi malah tamu yang beres-beres.”
“Santai aja, anggap aja karena gue udah numpang makan jadinya gue yang beres-beres.”
Setelah itu Abiyya pamit untuk kembali ke kamarnya. Lagian Abiyya merasa tidak nyaman berada di dekat dua orang itu. Kemudian Abiyya memilih untuk melanjutkan menonton konten boygrup yang membuatnya tertarik.
Ajen menghampiri Jeffin yang masih duduk di sofa. Namun, kali ini ada iPad yang ada di tangannya. Ajen hanya melirik sekilas tak ingin mengganggu kemudian menyalakan televisi.
Kedatangannya kali ini hanya ingin bertemu dengan Jeffin. Ingin memastikan jika Abiyya benar-benar tinggal bersama sahabatnya itu. Dan Ajen bisa melihat sendiri bagaimana hubungan keduanya yang sepertinya hanya berbicara seperlunya saja.
“Jeff,” panggil Ajen.
“Hmm.”
“Lo, yakin buat ngejalanin pernikahan sama Abiyya? Maksud gue, lo sama dia aja kayak nggak pernah ngobrol kecuali kalau ada yang penting.”
Tak ada balasan dari Jeffin. Namun Ajen bisa melihat jika Jeffin merasa terganggu dengan perkataannya. Terbukti dengan Jeffin yang mengabaikan layar iPad-nya. Kepalanya terangkat, menatap kosong langit-langit atas ruang tamu.
“Kalau emang nggak yakin, nggak usah dilanjut. Nanti malah jadi boomerang sendiri buat lo.” Terkadang Jeffin merasa beruntung memiliki sahabat seperti Ajen dan Freja. Keduanya bisa menjadi tempatnya berbagi cerita dan memberinya saran. “Apalagi lo sama Abiyya saling nggak ada rasa satu sama lain. Kalau lo emang mau bantu Abiyya, lo bisa bantu tanpa melibatkan dia dalam masalah lo.”
“Thanks buat sarannya, Jen.”
Aera melihat Crystal sedang duduk di ruang keluarga dengan santai. Tidak biasanya ia melihat anak gadisnya seperti ini. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat Crystal tengah santai di rumah dan berada di ruangan ini. Karena biasanya Crystal lebih memilih untuk bersantai di kamarnya. Seolah menyadari kedatangan Aera, Crystal pun menyapanya. “Habis darimana, Ma?” “Habis urusin buat pernikahan kakak kamu,” jawab Aera lalu duduk di samping Crystal. “Tumben kamu santai di sini, biasanya juga lebih pilih di kamar.” “Kangen sama mama, lama ya kita nggak ngobrol berdua gini?” Dapat Crystal rasakan tangan Aera yang mengelus lembut kepalanya, menyalurkan rasa sayang yang Crystal terima dari Aera. “Iya ya, udah lama. Kamu udah besar ya sekarang, udah jadi perempuan cantik, padahal dulu kamu masih kecil,” kata Aera menatap lekat Crystal, tak percaya gadis kecilnya kini sudah berubah menjadi perempuan dewasa. “Kan aku tumbuh, masa kecil terus sih.” Perkataan Crystal membuat Aera tertawa ke
Abiyya berjalan menuruni anak tangga. Pagi ini merupakan hari kembalinya Abiyya untuk bekerja setelah mengambil hari libur beberapa hari setelah menikah. Berbeda dengan Jeffin yang keesokan harinya sudah bekerja kembali karena katanya ada masalah yang sedang diurus.Kesibukan Abiyya untuk menghabiskan hari-harinya kemarin hanya tidur, makan, berjalan mengitari rumah, menyiram bunga-bunga di taman, juga membereskan barang-barang yang perlu di tata. Meskipun bosan, Abiyya tetap menikmatinya. Apalagi Jeffin yang selalu pulang larut setelah dirinya tidur.Kemarin, Jeffin mengajaknya untuk berangkat bersama dan tidak menerima penolakan. Sekarang Abiyya sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Jeffin sekalian. Meskipun mereka hanya menikah karena sebuah kesepakatan, tetapi Abiyya akan berusaha untuk menjadi istri yang baik.“Mau bikin kopi nggak?” tanya Abiyya ketika Jeffin mendudukkan dirinya di kursi meja makan.“Nggak perlu,” jawabnya sambil mulai menyendokkan nasi go
Abiyya merenung. Memikirkan apa yang akan dilakukannya di sini selama satu minggu. Apakah hanya akan ada di dalam kamar? Entahlah Abiyya tidak mau terlalu pusing memikirkan itu. Abiyya akan menikmati apa saja yang akan terjadi. Bolehkah Abiyya berharap jika Jeffin akan mengajaknya jalan-jalan?Plak. Abiyya menepuk pipinya. Kemudian membatin, memikirkan apa kamu Abiyya? Mana mungkin coba. Tapi mungkin aja kan.“Kenapa kamu?”“Hah? Nggak. Nggak apa-apa.”“Aneh.”Abiyya tidak membalas perkataan Jeffin. Abiyya memilih bermain dengan ponselnya. Terkadang Abiyya lupa kalau sekarang dia memiliki ponsel yang mempunyai banyak kegunaan.Seperti sebelumnya, Abiyya memilih untuk menonton konten-konten dari grup yang ia cari tahu beberapa waktu lalu. Banyak sekali konten yang ternyata mengundang tawa. Tanpa sadar Abiyya tersenyum sendiri saat menontonnya bahkan sesekali tertawa kecil. Hal itu menarik perhatian Jeffin yang kini mengalihkan pandangannya menatap Abiyya.“Abiyya?”“Ya?” jawab Abiyya s
Setelah makan malam, Abiyya dan Jeffin duduk bersama di atas tempat tidur. Abiyya memperhatikan Jeffin yang kembali sibuk dengan pekerjaannya. Entah apa yang sedang diperiksanya yang pasti semua berkaitan dengan perusahaan. Jeffin yang menyadari Abiyya tengah memperhatikannya, menoleh. Membuat Abiyya langsung memalingkan wajahnya gugup karena ketahuan sedang memperhatikan Jeffin. Jeffin yang melihatnya hanya tertawa kecil. Wajah Abiyya terlihat lucu. “Kakinya masih sakit?” tanya Jeffin seraya menatap Abiyya lembut. “Hmm, baik kok,” jawab Abiyya. “Lain kali nggak usah dipaksain kayak tadi.” “Ih, orang dianya nyebelin gitu. Mana kayak suka sama kamu lagi, padahal kan udah punya suami,” balas Abiyya kesal. “Cemburu?” “Hah? Enggak, siapa coba yang cemburu, maksudnya dia udah suami kok bisa gitu sih,” jawab Abiyya cepat. “Yakin nih nggak cemburu?” goda Jeffin. “Enggak kok,” balas Abiyya sambil memandangi langit-langit kamar karena Jeffin yang sekarang tengah memperhatikannya. “Oke
Seorang pria dengan kaos oblong dan celana jeans belel berjalan tidak tentu arah. Wajahnya terlihat sangat kusut. Matanya berkeliaran mencari seseorang yang seharusnya bisa membantunya untuk membayar hutang-hutangnya. Perempuan yang di angkat oleh orang tuanya dan menjadi adiknya itu sekarang entah berada di mana. Sudah lama ia mencari tetapi belum membuahkan hasil.Yasa, nama pria itu. Merutuki dirinya karena sampai dua kali kecolongan saat gadis itu kabur darinya. Saat pertama kabur, gadis itu kembali dengan sendirinya. Tetapi untuk kedua kalinya, Yasa tidak bisa menemukan keberadaannya sampai sekarang.“Arghh!” Yasa mengacak rambutnya kasar. Menyesal karena niatnya buruknya tidak bisa tercapai.Kini Yasa hanya bisa luntang-lantung di jalanan. Sebab rumah peninggalan orang tuanya sudah di ambil oleh orang-orang yang memberinya pinjaman. Sampai waktu yang di tentukan, Yasa tidak bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya sehingga seperti inilah hidupnya sekarang. Saat ini Yasa hanya in
“Gimana, Jen?” Jeffin membuka pembicaraan dengan Ajen setelah menyelesaikan pekerjaannya. Kali ini bukan masalah pekerjaan yang membuat Jeffin duduk berhadapan dengan Ajen.Setelah mendengar cerita dari Abiyya, Jeffin langsung menyuruh Ajen untuk menyelediki apakah yang dikatakan oleh Abiyya itu benar atau hanya perasaan dari gadis itu saja. Tanpa pengetahuan Abiyya, Jeffin melakukan itu. Kata Jeffin hanya untuk berjaga-jaga saja ketika Ajen bertanya perihal itu.“Seperti yang lo bilang dari cerita Abiyya, emang ada yang ngikutin dia.”“Lo tahu orangnya?”“Bentar, gue belum selesai kasih laporannya, dengerin dulu,” jawab Ajen ketika Jeffin secara cepat langsung tanya begitu saja. “Cowok, gue nggak tahu itu siapa, atau mungkin dia ada hubungan keluarga sama Abiyya, Jeff. Gue cuma cari tahu seperti apa yang lo perintahkan.”“Oke, sekarang gue minta lo cari tahu orang itu, Jen.”“Oke, siap.”“Lo boleh pulang.”“Duluan, Jeff,” pamit Ajen.Jeffin menatap kepergian Ajen sampai tak terlihat
Hari libur seperti ini, membuat Jeffin setidaknya menyempatkan waktu untuk berolahraga dan kali ini Jeffin mengajak Abiyya. Meski mereka bersama-sama, namun tidak ada yang berbicara. Terlebih Jeffin, pembicaraan bersama Abiyya beberapa hari lalu sedikit membuat pikirannya terganggu. Bahkan sampai saat ini, Ajen belum ada kabar mengenai keberadaan Yasa.Jeffin mengajak Abiyya untuk lari pagi di taman dekat perumahan mereka. Ternyata banyak juga orang-orang yang sedang berolahraga. Bahkan ada ibu-ibu yang lari pagi bersama anak mereka. Dengan earphone di telinganya, Jeffin menikmati angin pagi yang terasa menyegarkan. Menghirup udara pagi membuatnya tenang.“Capek,” keluh Abiyya sambil meletakkan kedua tangannya pada lutut. Napasnya bergerak tidak beraturan.Jeffin yang melihat itu hanya terkekeh geli. “Ketahuan jarang olahraga kan,” ledek Jeffin yang membuat Abiyya menegakkan tubuhnya menatap Jeffin lalu berkacak pinggang.“Enak aja bilang nggak pernah olahraga. Orang capek emang mau g
Setelah Jeffin mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya akan pernikahanya dengan Abiyya dan Abiyya yang menyetujuinya, Jeffin memutuskan agar Abiyya pindah ke kamarnya saja. Awalnya Abiyya sempat menolak karena bisa saja mereka menjalani kehidupan pernikahan tanpa tidur dalam satu kamar. Namun, pada akhirnya Jeffin mampu meyakinkan Abiyya bahwa mereka hanya sebatas tidur dalam satu tempat tidak lebih.Mulai malam ini Abiyya akan tidur di kamar Jeffin. Ketika masuk untuk yang kedua kalinya, Abiyya memperhatikan setiap detail kamar yang akan di tempatinya itu. Ada rasa canggung saat Abiyya berdua dalam satu kamar. Oke, mungkin ini bukan untuk yang pertama kalinya Abiyya berada di tempat yang sama dengan Jeffin. Tetapi untuk saat ini rasanya berbeda. Apalagi bukan terpaksa karena keadaan melainkan karena keinginan mereka berdua.Abiyya mendudukkan tubuhnya di pinggiran tempat tidur sembari menunggu kehadiran Jeffin yang saat ini berada di ruang kerjanya. Meski tidak ada pemilik kamar,
Jeffin menatap wajah Abiyya yang masih terlelap dengan lengannya yang menjadi bantalan. Meski terasa kebas, namun tak masalah bagi Jeffin. Jeffin yang melihat ada pergerakan dari Abiyya, berpura-pura dengan memejamkan matanya kembali.Jeffin merasakan tangan Abiyya yang perlahan mengusap bagian wajahnya. Dapat Jeffin dengar bahwa Abiyya mengucapkan kata-kata yang membuatnya juga merasakan hal yang sama. Betapa bersyukurnya dan bahagianya mereka sekarang bisa saling mengenal juga memiliki.“Eh.” Abiyya langsung menarik tangan dari wajah Jeffin ketika matanya terbuka.“Mau kemana?” tanya Jeffin saat Abiyya sudah akan siap beranjak meninggalkan tempat tidur. Namun, dengan sigap Jeffin langsung menarik tangan Abiyya hingga Abiyya jatuh menimpa tubuhnya.“Jeffin!”“Hmm.”“Ngeselin, malu tahu,” lirih Abiyya yang masih bisa didengar oleh Jeffin.Lelaki itu tertawa pelan dengan mata yang kembali terpejam dan juga tangannya yang memeluk tubuh Abiyya. “Jangan kemana-mana dulu, sebentar aja kayak
Memulai sesuatu yang baru dalam hidup bukanlah suatu hal yang mudah. Semua yang terjadi membutuhkan waktu untuk menyesuaikan segalanya. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada Abiyya dan Jeffin. Setelah banyak hal yang terjadi, mereka berdua memutuskan untuk memulai kembali melanjutkan kehidupan pernikahan mereka. Awalnya memang terasa canggung ketika keduanya melakukan hal seperti selayaknya suami istri pada umumnya yang saling membutuhkan satu sama lain. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya mulai menikmati kebiasan itu. Seoerti yang dilakukan oleh Jeffin pagi ini, saat Abiyya ingin beranjak dari tempat tidur, tetapi Jeffin menahannya dengan memeluk tubuh Abiyya. Meski Abiyya berusaha untuk melepaskan diri yang pada akhirnya dirinya tetap berada di tempat tidur. “Bisa lepas dulu nggak?” gumam Abiyya pelan sembari pelan-pelan memindahkan tangan Jeffin yang berada di pinggangnya. “Jeffin,” panggil Abiyya yang hanya dibalas dengan gumaman pelan. “Aku hitung sampai tiga, kalau n
Tidak ada seorang pun yang menyukai kehilangan sesuatu. Hanya bisa menerima dan mencoba merelakan adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. Tidak dengan melupakan atau membenci keadaan karena kehilangan. Sama seperti yang Abiyya lakukan saat ini. Menata kembali hidupnya bersama Jeffin yang mau berada di sampingnya saja sudah lebih dari cukup.Abiyya merasa sikap Jeffin terasa jauh lebih hangat mampu membuat Abiyya merasakan perasaan yang tidak seperti biasanya. Segala perhatian yang Jeffin berikan mampu membuat hatinya berbunga-bunga. Abiyya menatap tangannya yang berada dalam genggaman erat tangan Jeffin membuat Abiyya terus menahan senyumnya agar tidak terlihat aneh ketika ada yang menatapnya.Seperti yang sudah dijanjikan oleh Jeffin bahwa mereka akan menjenguk Ajen, kini Abiyya bersama Jeffin sudah berada di depan kamar rawat Ajen. Abiyya dengan sekeranjang buah-buahan yang berada di tangannya, mengikuti langkah Jeffin yang langsung masuk begitu saja tanpa permisi dahulu. Abiyya te
“Abiyya, maafin semua perbuatan Crystal selama ini ke kamu ya.” Aera menggenggam tangan Abiyya setelah Freja keluar untuk mengejar Crystal. “Mama ngga tahu kalau selama ini Crystal memperlakukan kamu dengan tidak baik.”Abiyya tersenyum seraya membalas genggaman tangan Aera. “Abiyya udah maafin semua perlakuan Crystal sama Abiyya, Mama nggak perlu minta maaf. Ini semua bukan salah Crystal, ini salah Abiyya karena tiba-tiba masuk ke kehidupan keluarga kalian. Maaf karena Abiyya semuanya malah jadi kayak gini.”Aera menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak, kamu sama sekali nggak salah, Abiyya. Mama sama Papa malah berterima kasih sama kamu karena udah jadi bagian dari keluarga ini. Walaupun ada beberapa alasan yang membuat kamu harus menjadi bagian dari kita.”“Maafin Abiyya sama Jeffin kalau semua ini berawal dari kebohongan yang kita ciptakan. Makasih juga karena udah terima Abiyya menjadi bagian dari kalian, meski sebenarnya Abiyya sendiri bukan dari keluarga yang jelas asal-usulnya.”
Keesokan paginya, setelah sarapan selesai, Reksa memanggil Crystal untuk menemuinya di ruang kerjanya. Apapun kesalahan yang sudah diperbuat Crystal, Crystal tetaplah putrinya yang sudah ia dan Aera rawat sejak kecil. Tidak ada perlakuan berbeda untuk memenuhi segala kebutuhan Crystal. Baik Reksa ada Aera selalu memperlakukan gadis kecil yang dulu mereka ambil dari sebuah panti sama seperti mereka memperlakukan Jeffin.Sampai tidak terasa, ternyata gadis kecil itu sudah beranjak dewasa. Namun, semua perlakuan yang Reksa dan Aera berikan, serta semua didikannya tidak membuat gadis itu menjadi anak yang selalu baik. Nyatanya ada kala dimana ternyata Crystal berbuat sesuatu yang tidak pernah mereka duga.Lantunan musik klasik yang sengaja Reksa setel untuk menemaninya menunggu kedatangan Crystal terdengar menenangkan. Matanya terpejam sembari mengingat kembali masa-masa dimana Crystal yang masih menjadi gadis kecil lucu yang selalu mengikuti kemana saja Jeffin pergi. Bagaimana suara lemb
Tidak semua hal yang ada di dunia bisa kita ketahui. Akan ada banyak hal yang terkadang datang dalam kehidupan tanpa terduga. Seperti akan jadi apa kita setelah dilahirkan ke dunia, dengan siapa kita hidup berdampingan, dan banyak hal lainnya yang sudah di atur oleh Tuhan bahkan tentang kehilangan. Kita hanya bisa berusaha menjalani hidup dengan baik dan bisa bertahan hidup bagaimanapun kondisinya.“Gimana, Ma?” tanya Jeffin.Aera menggeleng pelan. “Masih belum mau makan,” jawab Aera sembari melirik makanan yang ada di nakas samping brankar. Matanya terus tertuju pada Abiyya yang tengah berbaring dengan mata terpejam. Saat Aera meminta Abiyya untuk makan, Abiyya hanya menjawabnya belum merasa lapar dan ingin beristirahat.“Ya udah, mending sekarang Mama pulang dulu aja, ini udah malam. Biar nanti Jeffin yang bujuk Abiyya buat makan.”“Mama di sini aja nemenin Abiyya.”“Ma, besok aja datang lagi ke sini, biar Mama istirahat juga.” Aera mengangguk dan mengiyakan permintaan Jeffin.“Mama
Bi Er yang baru saja tiba di depan rumah merasa heran kenapa pintu depan terbuka namun tidak ada orang di sekitar halaman rumah. Dengan cepat wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya untuk masuk. Seketika barang-barang belanjaan yang ada di tangannya terlepas begitu saja saat melihat Abiyya yang terkapar di lantai dengan tangan yang memegang perutnya. Yang membuat Bi Er semakin khawatir karena Abiyya yang sepertinya sudah kehilangan kesadaran.“Astaga Mbak Abiyya,” panggil Bi Er sembari mengguncang pelan tubuh Abiyya. Tak mendapatkan respon dari Abiyya, mata Bi Er beralih pada ponsel yang ada di dekat Abiyya. Dengan cepat Bi Er membuka ponsel tersebut dan mencari panggilan terakhir yang ada di sana.“Tunggu sebentar lagi saya sampai,” ucap dari orang yang mengangkat panggilan yang dihubungi oleh Bi Er.Benar saja, tidak lama kemudian seorang laki-laki dengan setelan kerjanya datang dengan berlari masuk ke dalam rumah. “Kenapa bisa sampai kayak gini?” tanyanya pada Bi Er apalagi sete
Abiyya bersama Jeffin saat ini sedang berada di kediaman orang tua Jeffin. Sudah satu minggu baik orang-orang Jeffin, Reksa, dan Freja belum menunjukkan hasil dimana keberadaan Crystal. Hal itu membuat Aera jatuh sakit. Beberapa hari yang lalu juga Saga sudah di jemput oleh Nandi yang katanya keadaan suaminya sudah berangsur membaik.“Crystal,” gumam Aera saat duduk di sofa yang yang ada di kamar Jeffin dulu. Jeffin membawa Abiyya ke kamarnya setelah tadi sempat menemui Aera yang terbaring di atas ranjang.“Jeff, ini belum ada kabar tentang Crystal?” tanya Abiyya yang saat ini hanya berdua bersama Jeffin. “Sama sekali nggak ada?”“Nggak usah dipikirin, nanti pasti bisa ketemu,” jawab Jeffin seperti biasa dengan pembawaannya yang tenang.“Jeff, aku mau jujur boleh?”“Apa?”“Ada kaitannya sama Crystal.” Jeffin mengernyitkan dahinya yang kemudian mendekat ke arah Abiyya dan duduk di sampingnya.“Crystal kenapa?”“Waktu itu, pas malam kamu dapat kabar dari mama, sebelum jam makan siang Cr
Crystal membanting pintu mobilnya dengan kasar. Langkahnya dengan cepat mencari keberadaan Aera. Beberapa kali Crystal berteriak memanggil-manggil Aera, namun tidak ada sahutan sama sekali.“Mama mana?” tanya Crystal pada salah satu pekerja yang kebetulan berpapasan dengannya.“Nyonya ada di belakang, Non,” jawabnya. Tanpa menanggapi lagi Crystal langsung berjalan menuju dimana Aera berada. Dan benar saja Crystal melihat Aera yang tengah bersantai dengan memandang layar ponselnya.“Ma, ada yang mau Crystal bicarakan,” ucap Crystal sembari duduk di kursi sebelah Aera tanpa basa-basi terlebih dahulu.“Kenapa, Crys? Tadi Mama juga dengar kamu teriak-teriak panggil Mama.”“Ma, Crystal mau kasih tahu kalau sebenarnya Kak Jeffin dan Abiyya cuma menikah pura-pura.” Melihat ekspresi biasa saja dari Aera tentu membuat Crystal semakin kesal. “Ma, mereka udah bohongin Mama sama Papa!” seru Crystal yang membuat Aera menatap putrinya.“Mama udah tahu,” balas Aera santai.“Apa? Mama tahu darimana?”