"Ada apa, Pak Asep? Oke, Bapak sudah tahu Pak Fandy bersembunyi di mana? Baik, saya segera ke sana. Jaga diri Bapak baik-baik juga." Raline mengembuskan napas penuh beban. Axel akan menghabisi Pak Fandy rupanya. Ia tidak akan tinggal diam. Ia harus ikut walaupun hanya menjadi pemain cadangan. Ia tidak bisa membiarkan Axel terluka. "Rick, satu jam kita semua akan bergerak. Supir Pak Fandy sudah mengirimkan alamat persembunyian. Nanti gue SMS alamatnya. Lo dan pengawal utama atur strategi 8 penjuru mata angin. Ingat, jangan sampai bini gue tahu tentang operasi ini. Dia sedang hamil. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa."Hening. Sepertinya sekarang giliran Erick yang tengah berbicara."Kita cuma punya waktu empat jam untuk melumpuhkan Pak Fandy. Karena jam 05.30 WIB nanti, gue akan mengantarkan Raline ke dokter."Hening lagi."Nggak, Rick. Seperti yang gue bilang kemarin. Gue yang akan mengeksekusi. Lo dan anak-anak cukup mengawasi gue dari jauh aja. Udah ya, gue SMS lo dulu lokasinya. Lo
"Ya, gue lupa kalo lagi pake jaket kulit. Kagak ada kancingnya," keluh Raline. "Oke gue keluar aja berjaga di Barat Daya. Tapi masalahnya Barat Daya itu di sebelah mana? Gue kagak tahu," keluh Raline bingung."Apa sebaiknya gue telepon si Badai aja. Biar ntar kalo ada apa-apa, polisi yang turun tangan. Ia sebaiknya begitu." Raline segera mencari kontak nama Badai di ponsel Pak Hamid."Kagak ada nama Badai di huruf B. Pak Hamid nyimpen kontak Badai pake nama apa sih?" Raline berdecak. Pada saat genting seperti ini ia paling benci kalau nama orang diganti-ganti. "Apa Pak Polisi ya?" Raline menekan kontak dengan huruf awal P. "Kagak ada juga." Raline mendesah kecewa."Jangan-jangan disimpan nama jabatannya." Raline teringat bahwa Pak Hamid pernah memanggil Badai dengan sebutan Pak KomJend. Ia pun segera mencari huruf K."Dapet juga akhirnya." Pak Hamid menyimpan nama Badai dengan sebutan KomjendPol 1. Raline segera menelepon Badai."Ya, ada apa, Pak Hamid?"Bener. Ini suara Badai!"Da
"Bawa dia pergi dari hadapan gue, sebelum gue meremas wajahnya, Rick." Axel membuang muka. Sungguh saat ini perasaannya bercampur baur antara tegang, lega dan amarah luar biasa. Di tengah suara sirene mobil polisi, bentakan para penegak hukum serta suasana yang mendadak ramai, Axel berupaya menjaga kewarasan otaknya. Sebaiknya Raline menjauh dulu darinya. Ia takut kalimat-kalimat tidak terkontrolnya akan melukai hati Raline. Jikalau sedang marah, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya memang cenderung gila. "Kalau mau meremas gue, pilih tempat yang enak dan empuk dong, Mas Suami. Kayak yang biasa lo lakuin malem-malem. Kalo muka gue yang lo remes, ntar susunan muka gue jadi petot-petot." Raline protes. Ini orang kagak ada terima kasih-terima kasihnya. Udah ditolongin malah diusir."Tembak gue, Rick." Axel mengacuhkan racauan Raline. Axel ingin memberi pelajaran pada Raline, agar lain kali ia tidak melakukan kebodohan seperti ini lagi."Heh, tembak? Gue bertaruh nyawa nyelametin e
"Ayo, Istriku. Kita memberi keterangan di kantor polisi dulu. Badai kalo dalam mode senggol bacok begini sebaiknya jangan dibantah." Axel menghela bahu Raline. Beriringan mereka berjalan keluar. Para anak buah Pak Fandy mau pun anak buahnya sendiri sudah dikumpulkan pada satu mobil. Satu hal yang membuat Axel kesal, Pak Fandy tidak tampak di mana pun. Lagi lagi Pak Fandy berhasil kabur."Masuk ke mobil!" perintah Badai lagi. Axel membuka pintu mobil baris kedua. Membantu Raline terlebih dahulu baru dirinya menyusul duduk di sebelahnya. Erick sudah lebih dulu ada di dalam mobil. Erick duduk di samping Badai yang pengemudi mobil. Sejurus kemudian mobil melaju meninggalkan halaman rumah Pak Fandy."Nanti kalo gue dan anak-anak ditahan di kantor polisi, lo periksa ke rumah sakitnya dengan Lily aja ya?" bisik Axel lirih. Ia memberikan sedikit gambaran pada Raline jikalau dirinya kemungkinan besar akan ditahan di kantor polisi."Ya, udah. Gue periksanya ntar nunggu lo pulang aja. Gue mau ik
"Gue suami, Raline. Lo mau ngejebak gue lagi? Pasti saat ini lo bokap sedang mengacungkan senjata seperti yang ia lakuin pada Pak Asep." Axel memancing Randy untuk berbicara."Nggak, Om. Ayah ada di bunker bersama Tante Wita dan Bang Dafa. Mereka sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang akan dibawa kabur. Mengenai Pak Asep, beliau sudah nggak ada. Ayah menembaknya sesaat setelah Pak Asep menghubungi Om."Suara Randy tersendat. Tangis telah membuat suaranya bergelombang."Ayahmu, gila!" rutuk Axel gemas."Benar, Om. Makanya saya memutuskan untuk menyerahkan ayah saya sendiri ke polisi, agar korban tidak bertambah banyak.""Jangan terlalu gampang percaya padanya. Pancing bocah itu berbicara lebih banyak. Kalau ia kepeleset kata, itu artinya ia dalam penguasaan ayahnya. Hidupkan speaker ponsel." Badai berbisik di sisi telinga Axel. Axel pun mengikuti instruksi Badai. Ia mengaktifkan speaker ponsel."Bukannya lo pernah bilang ponsel lo disita bokap lo. Lantas bagaimana sekarang lo
"Tapi gue nggak tahu di mana pintu bunkernya." Raline memindai sekitar ruangan. Tidak ada lemari di sini. Jikalau di rumah Pak Riswan pintu bunker itu di balik lemari, namun di sini tidak ada lemari apapun."Eh, ada suara apa itu ya?" Raline mengernyit. Ia seperti mendengar suara pukulan dan teriakan samar."Itu semua urusan saya. Kamu balik saja ke mobil. Rick, antar Raline ke mobil dan pastikan aman." Badai menekankan kata aman. Ia sudah tahu di mana letak pintu bunker. Ia ingin lebih bekerja dengan tenang.Erick mengerti kode Badai. Ia segera mengawal Raline kembali ke mobil. Setelah bayangan Raline dan Erick tidak terlihat, Badai mendekati meja kayu jati. Ia kemudian menggesernya ke samping. Dugaan Badai benar. Ada pintu kecil yang tergembok di sana."Buka pintunya! Kohar, Hari, buka pintu. Kalian ke mana? Mengapa pintu dikunci?!"Badai dan Axel saling memandang. Randy memang tidak bohong rupanya. Badai mencabut pistol. Ia bermaksud menembak gembok. "Ini kuncinya, Pak Polisi." S
"Dai, gue bisa minta tolong nggak sama lo." Setelah menimbang-nimbang sekian menit Axel bersuara."Bilang aja langsung. Bukan karakter lo merangkai-rangkai kalimat sopan. Pokoknya selama bisa gue bantu, pasti gue upayakan." Sembari terus menyetir, Badai memantau mobil yang membawa Pak Fandy beserta istri dan anak sambungnya."Gue ingin menemani Raline check up ke rumah sakit untuk pertama kalinya. Gue ingin mendengar dengan mata dan kepala gue sendiri kalau Raline benar-benar mengandung. Lo bisa meluluskan keinginan gue nggak, Dai?" pinta Axel lirih. Seumur-umur ia tidak pernah memohon-mohon pada orang lain. "Bisa. Tapi lo hanya bisa menemani paling lama tiga puluh menit. Setelah itu lo langsung ikut gue ke kantor. Raline akan dianter pulang oleh anak buah gue. Bagaimana, Xel? Cuma itu yang bisa gue bantu." "Oke. Begitu aja gue udah terima kasih banget. Bini gue ntar pulangnya sama adek gue aja. Gue telpon Lily dulu." Axel meraih ponsel. Ia bermaksud menelepon Lily."Gue sama Lily a
"Gue ikut masuk ya, Kak?" Lily beringsut dari kursi. Ia ingin menemani kakak iparnya. "Kamu di sini aja, Sayang. Jangan bilang kamu ingin mengelus-elus otot-otot si Saka juga?" ancam Heru."Tidak, Mas. Niatku murni ingin menemani, Kakak Ipar. Suwer tak ewer-ewer." Lily membuat gerakan peace dengan jemarinya."Yang murni itu cuma air mineral. Ya sudah kalau kamu memang cuma ingin menemani, Raline. Tapi ingat, jangan macam-macam." Heru kembali memperingati Lily."Siap, Mas Ayang." Lily membuat gerakan hormat ala polisi.Bertiga mereka masuk ke dalam ruang praktek dokter Saka."Hallo, Boss Axel. Udah lama banget kita nggak ketemu. Apa kabar?" dokter Saka menyambut kedatangan Axel dengan cengiran. "Sejauh ini baik. Akan jadi nggak baik kalo lo salah mendiagnosa bini gue." Axel langsung memperingati dokter Saka. Axel juga diam-diam melirik ke arah Raline. Ia takut istrinya terpesona melihat ketampanan dan kemachoan dokter Saka. Syukurlah, air muka istrinya datar-datar saja. Axel pun mena
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta