"Tapi gue nggak tahu di mana pintu bunkernya." Raline memindai sekitar ruangan. Tidak ada lemari di sini. Jikalau di rumah Pak Riswan pintu bunker itu di balik lemari, namun di sini tidak ada lemari apapun."Eh, ada suara apa itu ya?" Raline mengernyit. Ia seperti mendengar suara pukulan dan teriakan samar."Itu semua urusan saya. Kamu balik saja ke mobil. Rick, antar Raline ke mobil dan pastikan aman." Badai menekankan kata aman. Ia sudah tahu di mana letak pintu bunker. Ia ingin lebih bekerja dengan tenang.Erick mengerti kode Badai. Ia segera mengawal Raline kembali ke mobil. Setelah bayangan Raline dan Erick tidak terlihat, Badai mendekati meja kayu jati. Ia kemudian menggesernya ke samping. Dugaan Badai benar. Ada pintu kecil yang tergembok di sana."Buka pintunya! Kohar, Hari, buka pintu. Kalian ke mana? Mengapa pintu dikunci?!"Badai dan Axel saling memandang. Randy memang tidak bohong rupanya. Badai mencabut pistol. Ia bermaksud menembak gembok. "Ini kuncinya, Pak Polisi." S
"Dai, gue bisa minta tolong nggak sama lo." Setelah menimbang-nimbang sekian menit Axel bersuara."Bilang aja langsung. Bukan karakter lo merangkai-rangkai kalimat sopan. Pokoknya selama bisa gue bantu, pasti gue upayakan." Sembari terus menyetir, Badai memantau mobil yang membawa Pak Fandy beserta istri dan anak sambungnya."Gue ingin menemani Raline check up ke rumah sakit untuk pertama kalinya. Gue ingin mendengar dengan mata dan kepala gue sendiri kalau Raline benar-benar mengandung. Lo bisa meluluskan keinginan gue nggak, Dai?" pinta Axel lirih. Seumur-umur ia tidak pernah memohon-mohon pada orang lain. "Bisa. Tapi lo hanya bisa menemani paling lama tiga puluh menit. Setelah itu lo langsung ikut gue ke kantor. Raline akan dianter pulang oleh anak buah gue. Bagaimana, Xel? Cuma itu yang bisa gue bantu." "Oke. Begitu aja gue udah terima kasih banget. Bini gue ntar pulangnya sama adek gue aja. Gue telpon Lily dulu." Axel meraih ponsel. Ia bermaksud menelepon Lily."Gue sama Lily a
"Gue ikut masuk ya, Kak?" Lily beringsut dari kursi. Ia ingin menemani kakak iparnya. "Kamu di sini aja, Sayang. Jangan bilang kamu ingin mengelus-elus otot-otot si Saka juga?" ancam Heru."Tidak, Mas. Niatku murni ingin menemani, Kakak Ipar. Suwer tak ewer-ewer." Lily membuat gerakan peace dengan jemarinya."Yang murni itu cuma air mineral. Ya sudah kalau kamu memang cuma ingin menemani, Raline. Tapi ingat, jangan macam-macam." Heru kembali memperingati Lily."Siap, Mas Ayang." Lily membuat gerakan hormat ala polisi.Bertiga mereka masuk ke dalam ruang praktek dokter Saka."Hallo, Boss Axel. Udah lama banget kita nggak ketemu. Apa kabar?" dokter Saka menyambut kedatangan Axel dengan cengiran. "Sejauh ini baik. Akan jadi nggak baik kalo lo salah mendiagnosa bini gue." Axel langsung memperingati dokter Saka. Axel juga diam-diam melirik ke arah Raline. Ia takut istrinya terpesona melihat ketampanan dan kemachoan dokter Saka. Syukurlah, air muka istrinya datar-datar saja. Axel pun mena
Raline menatap rumah megah berpagar tinggi di depannya. Tiga bulan telah berlalu sejak ditangkapnya Pak Fandy dan komplotannya. Hari ini Randy mengundangnya di acara ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Penampakan rumah Randy saat ini sangat berbeda dengan dulu. Saat pertama kali ia berkunjung ke rumah ini bersama Randy sebagai seorang badut. Dulu rumah ini terkesan dingin dan misterius karena sepi. Hanya ada dua pengawal rumah berwajah sangar yang berjaga di pintu masuk. Kini kesan itu telah berubah. Rumah ini sekarang terlihat hangat dan bersahabat. Dari luar saja sudah terdengar suara musik seronok dan juga canda tawa banyak orang. Ditambahnya banyaknya mobil, motor dan alas kaki di depan pintu, semakin menambah meriah suasana. Raline tersenyum haru melihat beberapa sandal sederhana yang sangat ia kenal si depan pintu. Sandal-sandal itu adalah milik anak-anak jalanan yang bermarkas di rumah Bang Ali. Randy ternyata tidak melupakan teman-teman lamanya di hari istimewanya ini. Di sa
"Kak Raline. Apa kabar? Tiga bulan tidak bertemu kakak makin cantik saja." Randy yang melihat kehadiran Raline dan Axel segera menyapa. Tiga bulan penuh tidak bertemu, Raline sekarang terlihat menggemaskan dengan pipi yang chubby dan perut yang sedikit membukit. "Kamu juga makin ganteng. Nampak dewasa lagi. Bagaimana kabarmu sekarang, Ran?" Raline menyalami Randy."Baik, Kak. Sangat baik. Saya kembali sekolah walau harus mengulang kelas. Saya juga mulai mengembangkan usaha ayah dengan cara yang halal. Ya, kecil-kecilan lah, Kak. Sambil mengasuh adik juga. Ismi sekarang jadi penakut. Setiap ada suara ribut-ribut, ia trauma.""Bagus, Randy. Kakak bangga sekali padamu. Kamu adalah kakak yang baik untuk Ismi." Raline menepuk-nepuk bahu Randy. Bayangkan anak yang hari ini tepat berusia tujuh belas tahun, sudah bisa berpikiran sedewasa ini. Sembari mengasuh adik Balita lagi."Ayahmu bagaimana?" Raline teringat pada Pak Fandy."Ayah akan dihukum mati sepertinya, Kak. Tapi pengacara bilang,
"Mas, kemarin dulu gue 'kan udah berhasil mengalahkan rasa minder gue menghadapi Senja, Lia, Marilyn dan lainnya. Nah, kalo gue nguji nyali lagi dengan ikut menghadiri reuni SMA, boleh nggak, Mas?" Raline mengelus-elus dada Axel dengan gerakan abstrak. Sejak hamil ia memang mempunyai hobby baru sebelum tidur. Yaitu menyentuh setiap bagian dari tubuh suaminya. Baik itu yang aman disentuh, ataupun yang beresiko membuat suaminya mengerang-erang seperti orang yang kepedasan."Tentu saja boleh, Istriku. Memangnya acaranya kapan? Biar gue atur dulu waktunya." Axel merem melek dielus-elus Raline. Begini rasanya mempunyai teman tidur. Seperti memiliki selimut kulit pribadi yang harum, lembut dan hangat."Sabtu depan, Mas. Mas mau nemenin gue 'kan?" Raline mengelus rahang Axel yang dihiasi bakal cambang sehari. Dalam keadaan setengah mengantuk begini, wajah Axel terlihat tampan sekali."Ganteng bener laki gue, ya Allah. Amal ibadah apa yang udah gue lakuin sampai gue dapet laki pake komplit b
"Hush, tidak baik menyumpahi orang tua, Istriku." Axel memperingati Raline. "Iya, Mas. Maaf. Tapi emang gue gedeg banget sama itu orang. Ya udah, Mas ke sana aja. Lebih cepat pergi 'kan lebih cepet juga pulangnya.""Iya. Gue pergi dulu." Axel berjalan keluar diikuti oleh Raline. Axel tiba di garasi bertepatan saat Pak Hamid mengeluarkan mobil. Dalam hitungan detik keduanya berlalu."Setdah gue jahat banget ya ngedoain orang mati?" Sembari kembali ke kamarRaline berbicara sendiri. "Tapi kayaknya ucapan gue nggak terkabul deh. Soalnya orang jahat 'kan matinya susah." Raline menghibur dirinya sendiri."Tapi kok perasaan gue kagak enak ya? Jangan-jangan ini jebakan lagi?" Raline tidak jadi merebahkan dirinya di ranjang. Hati kecilnya mengatakan ada yang salah dengan kepergian Axel."Nggak bisa. Gue nggak tenang kalau nggak mencari tahu." Raline meraih ponsel dan menelepon Erick. Raline sadar kalau dirinya sekarang berbadan dua. Ia tidak boleh sembarang bertindak sekarang."Rick, gue in
"Saya ikut masuk atau menunggu di parkiran saja, Boss," tanya Pak Hamid setelah memarkir kendaraan."Bapak tunggu di sini saja. Gue nggak lama kok. Gue mau ngeliat keadaan Om Theo dulu. Kalo keadaannya serius, gue akan memindahkannya ke rumah sakit yang lebih baik. Tapi kalo ini cuma akal-akalan Om Theo aja, gue akan langsung balik ke sini." Axel melepas jaket kulitnya. Tidak etis rasanya menggunakan jaket kulit berpaku di dalam rumah sakit. Jiwa premannya akan ia tinggalkan dulu."Baik, Boss. Saya akan menunggu di Pos Satpam saja. Kebetulan saya mengenal Satpamnya.""Oke. Gue masuk dulu." Axel keluar dari mobil. Pak Hamid mengunci mobil dan berjalan ke Pos Satpam. Budi, sang Satpam adalah teman lamanya.Sementara Axel bergegas menghampiri Nurse Station. Suasana rumah sakit sangat sepi. Hanya ada dua orang suster yang duduk terkantuk-kantuk di counter Nurse Station. Dalam hati Axel heran. Mengapa Om Theo memilih rumah sakit yang secara kualitas kurang baik. Padahal biasanya Om Theo it