Raline terbangun saat mendengar ponselnya berbunyi. Pandangan Raline refleks terarah memindai jam dinding. Pukul 02.45 WIB dini hari. Siapa yang meneleponnya malam-malam begini? Teringat sesuatu Raline menoleh ke sampingnya. Axel tidak ada di sana! Ia sudah bisa menduga siapa yang meneleponnya. Pasti Axel."Hallo, Mas. Jangan bilang kalo lo mau nginep di rumah sakit nemenin Om Theo ya? Gue kedinginan di mari. Pulang sekarang, Mas." Raline mengomeli Axel.Klik. Panggilan tiba-tiba diputus. "Emang ini mas suami kagak ada sopan-sopannya sama istri. Dia yang nelpon, eh dia yang mutusin telepon gitu aja. Mesti dirukyah ini orang." Raline bersiap menelepon Axel kembali. "Lho kok nama Pak Hamid?" Raline heran saat memeriksa nama penelponnya. Ternyata yang meneleponnya adalah Pak Hamid. Bukan Axel."Padahal mereka tadi pergi berdua. Jangan... jangan..." Raline merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia pun segera menelepon Pak Hamid kembali. Tut... tut... tut...Ponsel Pak Hamid sibuk. Raline
Byur!Axel gelagapan. Ia menendang kuat ke dalam air sebelum berjuang keras meraih udara. Ia ditenggelamkan musuh ayahnya ke dalam danau. Axel baru meraih udara saat ia kembali ditenggelamkan dengan dayung kayu. Ia sempat mendengar musuh-musuh sang ayah tertawa di atas perahu saat ia berhasil meraih udara tadi. Byur!"Bangun, jagoan! Jangan tidur terus!" Axel seketika membuka mata. Ia mengedip-ngedipkan matanya sejenak karena kehilangan orientasi sebelum dengan cepat menyadari keadaannya. Dirinya saat ini terikat di sebuah kursi dalam posisi duduk.Seseorang telah menyiramkan seember air ke wajahnya. Dan orang itu ternyata adalah Om Theo. Benak Axel dengan cepat menyusun rangkaian kejadian di mana terakhir dirinya masih sadar. Telepon dari rumah sakit. Menjenguk Om Theo. Kedatangan dokter dan suster serta injeksi yang dilakukan oleh suster dan dokter tersebut padanya sehingga ia kehilangan kesadaran. Om Theo telah mempecundanginya!"Bagaimana, Jagoan. Tidak mengira bahwa Om bisa memp
"Nah, Axel, karena kamu sering memberi Om uang, Om tidak mau membunuhmu. Om hanya minta kamu menandatangi berkas pengalihan harta ini. Om baik 'kan?" Om Theo cengengesan. Bayangan akan menjadi orang kaya membuat moodnya membaik."Jafar, geser meja kecil itu ke hadapan Axel. Keponakan saya ini kalau menandatangani sesuatu harus di meja, biar tanda tangannya jelas," ejek Om Theo.Dokter gadungan itu ternyata memang bernama Jafar."Nggak perlu, Om. Aku tidak akan menandatangani apapun." Axel menggerak-gerakkan bahunya yang pegal. Terdengar suara kertakan tulang yang membuat Jafar sejenak jiper. Istimewa Axel menatapnya seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup. Jafar sebenarnya adalah seorang mahasiswa fakultas kedokteran. Ia kehabisan uang untuk membayar uang kuliahnya, sehingga ia bersedia direkrut Om Theo untuk bekerjasama. Hanya saja ia tidak mengira kalau kerjasama yang mereka sepakati sampai sejauh ini. Jafar mulai menyesal."Kamu lebih sayang pada hartamu daripada nyawamu, keponak
Raline langsung membuka pintu ketika dua buah mobil memasuki halaman. Dadanya membuncah bahagia membayangkan Erick cs akhirnya berhasil membawa Axel pulang. Namun harapannya punah karena ia tidak melihat keberadaan Axel. Hingga penumpang terakhir turun, Axel tidak ada dalam rombongan. Para pengawal utama Axel ini gagal!"Kalian tidak berhasil membawa Mas Axel pulang bukan?" Raline menghadang rombongan di depan pintu. "Belum, Nyonya Boss. Bukannya tidak berhasil. Kami ingin merembukkan strategi baru dulu." Erick mengoreksi kalimat Raline."Nilai bahasa Indonesia gue di sekolah memang tidak bagus. Tapi gue tahu kalau belum dan tidak berhasil itu artinya gagal pada saat ini. Janjinya kalian akan membawa Mas Axel pulang sekarang bukan?" amuk Raline."Tentu, Nyonya Boss. Tapi biarkan kami masuk dulu dan membangun strategi baru. Nyonya Boss tenang saja." Erick mencoba membujuk Raline. Mereka menemui jalan buntu karena tidak menemukan baik Axel maupun Om Theo di rumah sakit. CCTV rumah sak
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang