"Ayo, Istriku. Kita memberi keterangan di kantor polisi dulu. Badai kalo dalam mode senggol bacok begini sebaiknya jangan dibantah." Axel menghela bahu Raline. Beriringan mereka berjalan keluar. Para anak buah Pak Fandy mau pun anak buahnya sendiri sudah dikumpulkan pada satu mobil. Satu hal yang membuat Axel kesal, Pak Fandy tidak tampak di mana pun. Lagi lagi Pak Fandy berhasil kabur."Masuk ke mobil!" perintah Badai lagi. Axel membuka pintu mobil baris kedua. Membantu Raline terlebih dahulu baru dirinya menyusul duduk di sebelahnya. Erick sudah lebih dulu ada di dalam mobil. Erick duduk di samping Badai yang pengemudi mobil. Sejurus kemudian mobil melaju meninggalkan halaman rumah Pak Fandy."Nanti kalo gue dan anak-anak ditahan di kantor polisi, lo periksa ke rumah sakitnya dengan Lily aja ya?" bisik Axel lirih. Ia memberikan sedikit gambaran pada Raline jikalau dirinya kemungkinan besar akan ditahan di kantor polisi."Ya, udah. Gue periksanya ntar nunggu lo pulang aja. Gue mau ik
"Gue suami, Raline. Lo mau ngejebak gue lagi? Pasti saat ini lo bokap sedang mengacungkan senjata seperti yang ia lakuin pada Pak Asep." Axel memancing Randy untuk berbicara."Nggak, Om. Ayah ada di bunker bersama Tante Wita dan Bang Dafa. Mereka sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang akan dibawa kabur. Mengenai Pak Asep, beliau sudah nggak ada. Ayah menembaknya sesaat setelah Pak Asep menghubungi Om."Suara Randy tersendat. Tangis telah membuat suaranya bergelombang."Ayahmu, gila!" rutuk Axel gemas."Benar, Om. Makanya saya memutuskan untuk menyerahkan ayah saya sendiri ke polisi, agar korban tidak bertambah banyak.""Jangan terlalu gampang percaya padanya. Pancing bocah itu berbicara lebih banyak. Kalau ia kepeleset kata, itu artinya ia dalam penguasaan ayahnya. Hidupkan speaker ponsel." Badai berbisik di sisi telinga Axel. Axel pun mengikuti instruksi Badai. Ia mengaktifkan speaker ponsel."Bukannya lo pernah bilang ponsel lo disita bokap lo. Lantas bagaimana sekarang lo
"Tapi gue nggak tahu di mana pintu bunkernya." Raline memindai sekitar ruangan. Tidak ada lemari di sini. Jikalau di rumah Pak Riswan pintu bunker itu di balik lemari, namun di sini tidak ada lemari apapun."Eh, ada suara apa itu ya?" Raline mengernyit. Ia seperti mendengar suara pukulan dan teriakan samar."Itu semua urusan saya. Kamu balik saja ke mobil. Rick, antar Raline ke mobil dan pastikan aman." Badai menekankan kata aman. Ia sudah tahu di mana letak pintu bunker. Ia ingin lebih bekerja dengan tenang.Erick mengerti kode Badai. Ia segera mengawal Raline kembali ke mobil. Setelah bayangan Raline dan Erick tidak terlihat, Badai mendekati meja kayu jati. Ia kemudian menggesernya ke samping. Dugaan Badai benar. Ada pintu kecil yang tergembok di sana."Buka pintunya! Kohar, Hari, buka pintu. Kalian ke mana? Mengapa pintu dikunci?!"Badai dan Axel saling memandang. Randy memang tidak bohong rupanya. Badai mencabut pistol. Ia bermaksud menembak gembok. "Ini kuncinya, Pak Polisi." S
"Dai, gue bisa minta tolong nggak sama lo." Setelah menimbang-nimbang sekian menit Axel bersuara."Bilang aja langsung. Bukan karakter lo merangkai-rangkai kalimat sopan. Pokoknya selama bisa gue bantu, pasti gue upayakan." Sembari terus menyetir, Badai memantau mobil yang membawa Pak Fandy beserta istri dan anak sambungnya."Gue ingin menemani Raline check up ke rumah sakit untuk pertama kalinya. Gue ingin mendengar dengan mata dan kepala gue sendiri kalau Raline benar-benar mengandung. Lo bisa meluluskan keinginan gue nggak, Dai?" pinta Axel lirih. Seumur-umur ia tidak pernah memohon-mohon pada orang lain. "Bisa. Tapi lo hanya bisa menemani paling lama tiga puluh menit. Setelah itu lo langsung ikut gue ke kantor. Raline akan dianter pulang oleh anak buah gue. Bagaimana, Xel? Cuma itu yang bisa gue bantu." "Oke. Begitu aja gue udah terima kasih banget. Bini gue ntar pulangnya sama adek gue aja. Gue telpon Lily dulu." Axel meraih ponsel. Ia bermaksud menelepon Lily."Gue sama Lily a
"Gue ikut masuk ya, Kak?" Lily beringsut dari kursi. Ia ingin menemani kakak iparnya. "Kamu di sini aja, Sayang. Jangan bilang kamu ingin mengelus-elus otot-otot si Saka juga?" ancam Heru."Tidak, Mas. Niatku murni ingin menemani, Kakak Ipar. Suwer tak ewer-ewer." Lily membuat gerakan peace dengan jemarinya."Yang murni itu cuma air mineral. Ya sudah kalau kamu memang cuma ingin menemani, Raline. Tapi ingat, jangan macam-macam." Heru kembali memperingati Lily."Siap, Mas Ayang." Lily membuat gerakan hormat ala polisi.Bertiga mereka masuk ke dalam ruang praktek dokter Saka."Hallo, Boss Axel. Udah lama banget kita nggak ketemu. Apa kabar?" dokter Saka menyambut kedatangan Axel dengan cengiran. "Sejauh ini baik. Akan jadi nggak baik kalo lo salah mendiagnosa bini gue." Axel langsung memperingati dokter Saka. Axel juga diam-diam melirik ke arah Raline. Ia takut istrinya terpesona melihat ketampanan dan kemachoan dokter Saka. Syukurlah, air muka istrinya datar-datar saja. Axel pun mena
Raline menatap rumah megah berpagar tinggi di depannya. Tiga bulan telah berlalu sejak ditangkapnya Pak Fandy dan komplotannya. Hari ini Randy mengundangnya di acara ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Penampakan rumah Randy saat ini sangat berbeda dengan dulu. Saat pertama kali ia berkunjung ke rumah ini bersama Randy sebagai seorang badut. Dulu rumah ini terkesan dingin dan misterius karena sepi. Hanya ada dua pengawal rumah berwajah sangar yang berjaga di pintu masuk. Kini kesan itu telah berubah. Rumah ini sekarang terlihat hangat dan bersahabat. Dari luar saja sudah terdengar suara musik seronok dan juga canda tawa banyak orang. Ditambahnya banyaknya mobil, motor dan alas kaki di depan pintu, semakin menambah meriah suasana. Raline tersenyum haru melihat beberapa sandal sederhana yang sangat ia kenal si depan pintu. Sandal-sandal itu adalah milik anak-anak jalanan yang bermarkas di rumah Bang Ali. Randy ternyata tidak melupakan teman-teman lamanya di hari istimewanya ini. Di sa
"Kak Raline. Apa kabar? Tiga bulan tidak bertemu kakak makin cantik saja." Randy yang melihat kehadiran Raline dan Axel segera menyapa. Tiga bulan penuh tidak bertemu, Raline sekarang terlihat menggemaskan dengan pipi yang chubby dan perut yang sedikit membukit. "Kamu juga makin ganteng. Nampak dewasa lagi. Bagaimana kabarmu sekarang, Ran?" Raline menyalami Randy."Baik, Kak. Sangat baik. Saya kembali sekolah walau harus mengulang kelas. Saya juga mulai mengembangkan usaha ayah dengan cara yang halal. Ya, kecil-kecilan lah, Kak. Sambil mengasuh adik juga. Ismi sekarang jadi penakut. Setiap ada suara ribut-ribut, ia trauma.""Bagus, Randy. Kakak bangga sekali padamu. Kamu adalah kakak yang baik untuk Ismi." Raline menepuk-nepuk bahu Randy. Bayangkan anak yang hari ini tepat berusia tujuh belas tahun, sudah bisa berpikiran sedewasa ini. Sembari mengasuh adik Balita lagi."Ayahmu bagaimana?" Raline teringat pada Pak Fandy."Ayah akan dihukum mati sepertinya, Kak. Tapi pengacara bilang,
"Mas, kemarin dulu gue 'kan udah berhasil mengalahkan rasa minder gue menghadapi Senja, Lia, Marilyn dan lainnya. Nah, kalo gue nguji nyali lagi dengan ikut menghadiri reuni SMA, boleh nggak, Mas?" Raline mengelus-elus dada Axel dengan gerakan abstrak. Sejak hamil ia memang mempunyai hobby baru sebelum tidur. Yaitu menyentuh setiap bagian dari tubuh suaminya. Baik itu yang aman disentuh, ataupun yang beresiko membuat suaminya mengerang-erang seperti orang yang kepedasan."Tentu saja boleh, Istriku. Memangnya acaranya kapan? Biar gue atur dulu waktunya." Axel merem melek dielus-elus Raline. Begini rasanya mempunyai teman tidur. Seperti memiliki selimut kulit pribadi yang harum, lembut dan hangat."Sabtu depan, Mas. Mas mau nemenin gue 'kan?" Raline mengelus rahang Axel yang dihiasi bakal cambang sehari. Dalam keadaan setengah mengantuk begini, wajah Axel terlihat tampan sekali."Ganteng bener laki gue, ya Allah. Amal ibadah apa yang udah gue lakuin sampai gue dapet laki pake komplit b