Raline memegang test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah! Ia hamil! Bagaimana ini? Raline membuang test pack ke sudut kamar mandi. Setelahnya ia membuka keran air agar test pack tersebut masuk ke sanitasi air. Ia tidak mau melihat test pack itu lagi. Raline trauma. Di masa lalu ia tidak bisa menjaga kandungannya, hingga akhirnya kehilangan sang jabang bayi. Bagaimana kalau bayinya ini kembali meninggal dalam kandungan? Bagaimana juga kalau dirinya nanti tidak bisa menjadi ibu yang baik? Raline berkeringat dingin. Bayangan masa lalu berhamburan bagai slide film di benaknya. Dikejar bayangan masa lalu, Raline keluar dari kamar mandi bagai dikejar hantu. Axel yang bermaksud masuk ke kamar mandi, nyaris ditabrak oleh Raline. Beruntung Axel sempat menahan bahunya. "Astaga, Istriku. Lo kenapa?" Axel menahan bahu Raline. "Kagak kenapa-napa." Raline menepis tangan Axel. Ia butuh udara segar untuk mengalihkan pemikiran-pemikiran gila ini."Tunggu dulu. Ada apa istriku? Apa yang mem
"Kalo oon-nya kayak gue juga bagaimana? Ntar lo nggak sayang lagi sama anak kita?" pungkas Raline dengan suara tersendat. Ia teringat pada masa kecilnya yang penuh dengan umpatan dan cibiran. Ia kurang cerdas, sehingga kerap membuat kedua orang tuanya malu. Tidak ada satu hal pun yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bagaimana kalau nanti anaknya mengulang masa kecilnya yang kelam?"Kalo gue nantinya nggak bisa jadi ibu yang baik, bagaimana? Kasihan anak kita kan, Mas?" Kali ini suara Raline sudah dibarengi dengan tangis. "Kalau anak ini keguguran seperti anak gue yang lalu bagaimana juga?" Raline kini menangis sesenggukan. Ia mengeluarkan semua isi hatinya. "Oke... oke... kita bahas satu-satu ya? Duduk dulu yuk?" Axel mendudukkan Raline kembali. Axel menyusul duduk di sebelahnya."Kita bahas masalah pertama dulu mengenai kekurang cerdasan. Dengar sayang, tidak ada bayi yang langsung terlahir cerdas. Ada memang beberapa yang diberi anugerah seperti itu. Tapi jumlahnya hanya segelintir
"Ada apa, Pak Asep? Oke, Bapak sudah tahu Pak Fandy bersembunyi di mana? Baik, saya segera ke sana. Jaga diri Bapak baik-baik juga." Raline mengembuskan napas penuh beban. Axel akan menghabisi Pak Fandy rupanya. Ia tidak akan tinggal diam. Ia harus ikut walaupun hanya menjadi pemain cadangan. Ia tidak bisa membiarkan Axel terluka. "Rick, satu jam kita semua akan bergerak. Supir Pak Fandy sudah mengirimkan alamat persembunyian. Nanti gue SMS alamatnya. Lo dan pengawal utama atur strategi 8 penjuru mata angin. Ingat, jangan sampai bini gue tahu tentang operasi ini. Dia sedang hamil. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa."Hening. Sepertinya sekarang giliran Erick yang tengah berbicara."Kita cuma punya waktu empat jam untuk melumpuhkan Pak Fandy. Karena jam 05.30 WIB nanti, gue akan mengantarkan Raline ke dokter."Hening lagi."Nggak, Rick. Seperti yang gue bilang kemarin. Gue yang akan mengeksekusi. Lo dan anak-anak cukup mengawasi gue dari jauh aja. Udah ya, gue SMS lo dulu lokasinya. Lo
"Ya, gue lupa kalo lagi pake jaket kulit. Kagak ada kancingnya," keluh Raline. "Oke gue keluar aja berjaga di Barat Daya. Tapi masalahnya Barat Daya itu di sebelah mana? Gue kagak tahu," keluh Raline bingung."Apa sebaiknya gue telepon si Badai aja. Biar ntar kalo ada apa-apa, polisi yang turun tangan. Ia sebaiknya begitu." Raline segera mencari kontak nama Badai di ponsel Pak Hamid."Kagak ada nama Badai di huruf B. Pak Hamid nyimpen kontak Badai pake nama apa sih?" Raline berdecak. Pada saat genting seperti ini ia paling benci kalau nama orang diganti-ganti. "Apa Pak Polisi ya?" Raline menekan kontak dengan huruf awal P. "Kagak ada juga." Raline mendesah kecewa."Jangan-jangan disimpan nama jabatannya." Raline teringat bahwa Pak Hamid pernah memanggil Badai dengan sebutan Pak KomJend. Ia pun segera mencari huruf K."Dapet juga akhirnya." Pak Hamid menyimpan nama Badai dengan sebutan KomjendPol 1. Raline segera menelepon Badai."Ya, ada apa, Pak Hamid?"Bener. Ini suara Badai!"Da
"Bawa dia pergi dari hadapan gue, sebelum gue meremas wajahnya, Rick." Axel membuang muka. Sungguh saat ini perasaannya bercampur baur antara tegang, lega dan amarah luar biasa. Di tengah suara sirene mobil polisi, bentakan para penegak hukum serta suasana yang mendadak ramai, Axel berupaya menjaga kewarasan otaknya. Sebaiknya Raline menjauh dulu darinya. Ia takut kalimat-kalimat tidak terkontrolnya akan melukai hati Raline. Jikalau sedang marah, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya memang cenderung gila. "Kalau mau meremas gue, pilih tempat yang enak dan empuk dong, Mas Suami. Kayak yang biasa lo lakuin malem-malem. Kalo muka gue yang lo remes, ntar susunan muka gue jadi petot-petot." Raline protes. Ini orang kagak ada terima kasih-terima kasihnya. Udah ditolongin malah diusir."Tembak gue, Rick." Axel mengacuhkan racauan Raline. Axel ingin memberi pelajaran pada Raline, agar lain kali ia tidak melakukan kebodohan seperti ini lagi."Heh, tembak? Gue bertaruh nyawa nyelametin e
"Ayo, Istriku. Kita memberi keterangan di kantor polisi dulu. Badai kalo dalam mode senggol bacok begini sebaiknya jangan dibantah." Axel menghela bahu Raline. Beriringan mereka berjalan keluar. Para anak buah Pak Fandy mau pun anak buahnya sendiri sudah dikumpulkan pada satu mobil. Satu hal yang membuat Axel kesal, Pak Fandy tidak tampak di mana pun. Lagi lagi Pak Fandy berhasil kabur."Masuk ke mobil!" perintah Badai lagi. Axel membuka pintu mobil baris kedua. Membantu Raline terlebih dahulu baru dirinya menyusul duduk di sebelahnya. Erick sudah lebih dulu ada di dalam mobil. Erick duduk di samping Badai yang pengemudi mobil. Sejurus kemudian mobil melaju meninggalkan halaman rumah Pak Fandy."Nanti kalo gue dan anak-anak ditahan di kantor polisi, lo periksa ke rumah sakitnya dengan Lily aja ya?" bisik Axel lirih. Ia memberikan sedikit gambaran pada Raline jikalau dirinya kemungkinan besar akan ditahan di kantor polisi."Ya, udah. Gue periksanya ntar nunggu lo pulang aja. Gue mau ik
"Gue suami, Raline. Lo mau ngejebak gue lagi? Pasti saat ini lo bokap sedang mengacungkan senjata seperti yang ia lakuin pada Pak Asep." Axel memancing Randy untuk berbicara."Nggak, Om. Ayah ada di bunker bersama Tante Wita dan Bang Dafa. Mereka sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang akan dibawa kabur. Mengenai Pak Asep, beliau sudah nggak ada. Ayah menembaknya sesaat setelah Pak Asep menghubungi Om."Suara Randy tersendat. Tangis telah membuat suaranya bergelombang."Ayahmu, gila!" rutuk Axel gemas."Benar, Om. Makanya saya memutuskan untuk menyerahkan ayah saya sendiri ke polisi, agar korban tidak bertambah banyak.""Jangan terlalu gampang percaya padanya. Pancing bocah itu berbicara lebih banyak. Kalau ia kepeleset kata, itu artinya ia dalam penguasaan ayahnya. Hidupkan speaker ponsel." Badai berbisik di sisi telinga Axel. Axel pun mengikuti instruksi Badai. Ia mengaktifkan speaker ponsel."Bukannya lo pernah bilang ponsel lo disita bokap lo. Lantas bagaimana sekarang lo
"Tapi gue nggak tahu di mana pintu bunkernya." Raline memindai sekitar ruangan. Tidak ada lemari di sini. Jikalau di rumah Pak Riswan pintu bunker itu di balik lemari, namun di sini tidak ada lemari apapun."Eh, ada suara apa itu ya?" Raline mengernyit. Ia seperti mendengar suara pukulan dan teriakan samar."Itu semua urusan saya. Kamu balik saja ke mobil. Rick, antar Raline ke mobil dan pastikan aman." Badai menekankan kata aman. Ia sudah tahu di mana letak pintu bunker. Ia ingin lebih bekerja dengan tenang.Erick mengerti kode Badai. Ia segera mengawal Raline kembali ke mobil. Setelah bayangan Raline dan Erick tidak terlihat, Badai mendekati meja kayu jati. Ia kemudian menggesernya ke samping. Dugaan Badai benar. Ada pintu kecil yang tergembok di sana."Buka pintunya! Kohar, Hari, buka pintu. Kalian ke mana? Mengapa pintu dikunci?!"Badai dan Axel saling memandang. Randy memang tidak bohong rupanya. Badai mencabut pistol. Ia bermaksud menembak gembok. "Ini kuncinya, Pak Polisi." S