"Udah, Xel. Lo jangan membuat masalah yang nggak perlu." Badai merebut senjata Axel. Inilah yang ia takutkan. Axel kehilangan kontrol sehingga prosedur kerjanya jadi berantakan. "Gue cuma menembak kakinya. Jadi dia nggak akan mati sebelum persidangan." Axel kembali melayangkan kepalan tangannya ke wajah Pak Riswan. Darah seketika mengucur dari hidung dan sudur bibirnya."Udah ya, Xel. Udah. Kalo lo macam-macam, lo yang akan gue tangkep," ancam Badai tegas. Axel menutup mulutnya. Kalau Badai sudah mengeluarkan suara tegas khas aparatnya, itu artinya sahabatnya ini dalam mode serius. Oleh karenanya Axel diam dan hanya memandang geram saat Pak Riswan digelandang keluar ruangan."Eh, Pak Polisi, Pak Riswannya jangan dibawa pergi dulu. Kunci borgol masih ada padanya." Raline berteriak. Ia takut borgol tangannya tidak bisa dibuka."Axel bisa membukanya tanpa kunci, Bu Raline. Tenang saja." Badai melanjutkan langkahnya menggelandang Pak Riswan."Oh ya, Xel. Lo dan Raline tunggu di sini seb
Axel membelai rambut lembab Raline yang tertidur di bahunya. Raline baru saja selesai memberi keterangan di kantor polisi. Raline menceritakan secara langsung kronologis peristiwa penculikannya. Sekarang Raline tertidur kelelahan di dalam mobil yang dikemudikan oleh Erick. Axel sengaja duduk dibaris kedua mobil, agar dapat duduk bersisian dengan Raline. Ia mengkhawatirkan keadaan istrinya. Pak Riswan beserta beberapa anak buahnya telah berhasil diringkus. Namun Pak Fandy, Tatang dan Engkus berhasil melarikan diri. Padahal Pak Fandy lah yang menculiknya pertama sekali. Selain itu Raline menceritakan bahwa ada satu orang lagi yang terlibat. Seseorang yang sepertinya dalang dari semua peristiwa ini.Gerakan Axel terhenti ketika tangannya tersangkut pada helaian rambut yang sedikit lengket oleh darah yang mengering. Ada benjolan juga di sana. Axel mengusap benjolan itu perlahan sembari memisahkan helaian rambut yang lengket. Walaupun sudah diobati oleh perawat di ambulance tadi, ternyata
"Mulut si Made ini memang kaleng rombeng." Erick memaki pelan. Pasti Made yang telah membocorkan rahasianya. Karena Made ada bersamanya saat Mei Mei sesenggukan ia bentak-bentak. "Gue nggak punya perasaan apa pun pada Mei Mei. Kalau perasaan Mei Mei pada gue, ia bukan urusan gue," Erick mengelak halus."Heleh, nggak punya perasaan apapun. Tapi lo matahin tangan preman yang nyolek si Mei Mei minggu lalu di pasar," sindir Axel."Itu karena si preman sialan itu kurang ajar. Gue akan melakukan hal yang sama jikalau preman itu mencolek gadis-gadis lain," bantah Erick kesal. Emosinya bangkit kembali saat mengingat betapa kurang ajarnya si preman pasar yang mencolek pipi putih Mei Mei. "Ngeles aja terus sampai ikan cupang bisa terbang," ejek Axel. "Gue emang lumayan suka sama si Mei Mei. Tapi gue udah bilang padanya kemarin agar nggak usah ngarepin gue. Gue nggak akan membalas cintanya." Erick memutuskan untuk jujur. Ia tahu berbohong dan menutupi perasaannya pada Mei Mei pun tidak bergun
Raline memegang test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah! Ia hamil! Bagaimana ini? Raline membuang test pack ke sudut kamar mandi. Setelahnya ia membuka keran air agar test pack tersebut masuk ke sanitasi air. Ia tidak mau melihat test pack itu lagi. Raline trauma. Di masa lalu ia tidak bisa menjaga kandungannya, hingga akhirnya kehilangan sang jabang bayi. Bagaimana kalau bayinya ini kembali meninggal dalam kandungan? Bagaimana juga kalau dirinya nanti tidak bisa menjadi ibu yang baik? Raline berkeringat dingin. Bayangan masa lalu berhamburan bagai slide film di benaknya. Dikejar bayangan masa lalu, Raline keluar dari kamar mandi bagai dikejar hantu. Axel yang bermaksud masuk ke kamar mandi, nyaris ditabrak oleh Raline. Beruntung Axel sempat menahan bahunya. "Astaga, Istriku. Lo kenapa?" Axel menahan bahu Raline. "Kagak kenapa-napa." Raline menepis tangan Axel. Ia butuh udara segar untuk mengalihkan pemikiran-pemikiran gila ini."Tunggu dulu. Ada apa istriku? Apa yang mem
"Kalo oon-nya kayak gue juga bagaimana? Ntar lo nggak sayang lagi sama anak kita?" pungkas Raline dengan suara tersendat. Ia teringat pada masa kecilnya yang penuh dengan umpatan dan cibiran. Ia kurang cerdas, sehingga kerap membuat kedua orang tuanya malu. Tidak ada satu hal pun yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bagaimana kalau nanti anaknya mengulang masa kecilnya yang kelam?"Kalo gue nantinya nggak bisa jadi ibu yang baik, bagaimana? Kasihan anak kita kan, Mas?" Kali ini suara Raline sudah dibarengi dengan tangis. "Kalau anak ini keguguran seperti anak gue yang lalu bagaimana juga?" Raline kini menangis sesenggukan. Ia mengeluarkan semua isi hatinya. "Oke... oke... kita bahas satu-satu ya? Duduk dulu yuk?" Axel mendudukkan Raline kembali. Axel menyusul duduk di sebelahnya."Kita bahas masalah pertama dulu mengenai kekurang cerdasan. Dengar sayang, tidak ada bayi yang langsung terlahir cerdas. Ada memang beberapa yang diberi anugerah seperti itu. Tapi jumlahnya hanya segelintir
"Ada apa, Pak Asep? Oke, Bapak sudah tahu Pak Fandy bersembunyi di mana? Baik, saya segera ke sana. Jaga diri Bapak baik-baik juga." Raline mengembuskan napas penuh beban. Axel akan menghabisi Pak Fandy rupanya. Ia tidak akan tinggal diam. Ia harus ikut walaupun hanya menjadi pemain cadangan. Ia tidak bisa membiarkan Axel terluka. "Rick, satu jam kita semua akan bergerak. Supir Pak Fandy sudah mengirimkan alamat persembunyian. Nanti gue SMS alamatnya. Lo dan pengawal utama atur strategi 8 penjuru mata angin. Ingat, jangan sampai bini gue tahu tentang operasi ini. Dia sedang hamil. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa."Hening. Sepertinya sekarang giliran Erick yang tengah berbicara."Kita cuma punya waktu empat jam untuk melumpuhkan Pak Fandy. Karena jam 05.30 WIB nanti, gue akan mengantarkan Raline ke dokter."Hening lagi."Nggak, Rick. Seperti yang gue bilang kemarin. Gue yang akan mengeksekusi. Lo dan anak-anak cukup mengawasi gue dari jauh aja. Udah ya, gue SMS lo dulu lokasinya. Lo
"Ya, gue lupa kalo lagi pake jaket kulit. Kagak ada kancingnya," keluh Raline. "Oke gue keluar aja berjaga di Barat Daya. Tapi masalahnya Barat Daya itu di sebelah mana? Gue kagak tahu," keluh Raline bingung."Apa sebaiknya gue telepon si Badai aja. Biar ntar kalo ada apa-apa, polisi yang turun tangan. Ia sebaiknya begitu." Raline segera mencari kontak nama Badai di ponsel Pak Hamid."Kagak ada nama Badai di huruf B. Pak Hamid nyimpen kontak Badai pake nama apa sih?" Raline berdecak. Pada saat genting seperti ini ia paling benci kalau nama orang diganti-ganti. "Apa Pak Polisi ya?" Raline menekan kontak dengan huruf awal P. "Kagak ada juga." Raline mendesah kecewa."Jangan-jangan disimpan nama jabatannya." Raline teringat bahwa Pak Hamid pernah memanggil Badai dengan sebutan Pak KomJend. Ia pun segera mencari huruf K."Dapet juga akhirnya." Pak Hamid menyimpan nama Badai dengan sebutan KomjendPol 1. Raline segera menelepon Badai."Ya, ada apa, Pak Hamid?"Bener. Ini suara Badai!"Da
"Bawa dia pergi dari hadapan gue, sebelum gue meremas wajahnya, Rick." Axel membuang muka. Sungguh saat ini perasaannya bercampur baur antara tegang, lega dan amarah luar biasa. Di tengah suara sirene mobil polisi, bentakan para penegak hukum serta suasana yang mendadak ramai, Axel berupaya menjaga kewarasan otaknya. Sebaiknya Raline menjauh dulu darinya. Ia takut kalimat-kalimat tidak terkontrolnya akan melukai hati Raline. Jikalau sedang marah, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya memang cenderung gila. "Kalau mau meremas gue, pilih tempat yang enak dan empuk dong, Mas Suami. Kayak yang biasa lo lakuin malem-malem. Kalo muka gue yang lo remes, ntar susunan muka gue jadi petot-petot." Raline protes. Ini orang kagak ada terima kasih-terima kasihnya. Udah ditolongin malah diusir."Tembak gue, Rick." Axel mengacuhkan racauan Raline. Axel ingin memberi pelajaran pada Raline, agar lain kali ia tidak melakukan kebodohan seperti ini lagi."Heh, tembak? Gue bertaruh nyawa nyelametin e