Axel menghentikan laju mobilnya tepat di Jalan Pertempuran nomor lima belas. Seperti yang dideskripsikan Pak Adjie, ada sebuah pagar hitam tinggi di depannya. Saat ini Axel membawa lima orang bersamanya. Erick, Bang Raju, Beli Made, Kang Endang dan juga Badai Putra Alam. Polisi sekaligus teman baiknya. Saat ini Badai berpakaian preman. Sebenarnya Axel tidak mau membawa Badai. Karena menurutnya, ia bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Namun Erick berpendapat lain. Menurut Erick akan lebih mudah menggoalkan Pak Riswan jika ada Badai dalam operasi ini. Axel akhirnya setuju. Walau ia tahu sebenarnya tujuan utama Erick adalah agar ia tidak memporak-porandakan kediaman Pak Riswan. Dengan adanya Badai, semua hal harus mengikuti prosedur dan tidak boleh melanggar hukum. Badai akan menggerem aksi hukum rimbanya. "Kita hancurkan dengan Excavator atau geruduk langsung saja rumah si Riswan dengan mobil, Dai?" Setelah semua penghuni mobil keluar, Axel menggerak-gerakkan bahunya. Melakukan pe
"Kamu memang tidak tahu diri ya, Raline?" Pak Riswan merebut ponsel dari tangan Raline. Ia kemudian membanting ponsel tersebut ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ia menyesali kecerobohannya melepaskan borgol dari tangan anak si Adjie ini. Ia tidak menyangka kalau dibalik kenaifannya, Raline ini ternyata cerdas juga. "Yang tidak tahu diri itu, Bapak. Sudah diberi Tuhan kesehatan dan umur panjang, bukannya melakukan kebaikan disisa usia, eh Bapak malah terus memupuk kejahatan." Raline balas mengomeli Pak Riswan. "Kalau tidak segera bertobat nanti Bapak ruginya dua kali tahu." Walau Pak Riswan orang jahat, Raline tetap berusaha menyadarkannya. Menurut alim ulama, sampaikanlah kebenaran walau pada orang jahat bukan? Masalah mereka menerima nasehatnya atau tidak, itu urusan belakangan."Rugi dua kali apa maksudmu?" Pak Riswan menjinjitkan alis kombinasi hitam putihnya. "Rugi yang pertama, Bapak akan dihukum di dunia alias masuk penjara. Rugi yang kedua, Bapak akan dihukum di akhir
"Udah, Xel. Lo jangan membuat masalah yang nggak perlu." Badai merebut senjata Axel. Inilah yang ia takutkan. Axel kehilangan kontrol sehingga prosedur kerjanya jadi berantakan. "Gue cuma menembak kakinya. Jadi dia nggak akan mati sebelum persidangan." Axel kembali melayangkan kepalan tangannya ke wajah Pak Riswan. Darah seketika mengucur dari hidung dan sudur bibirnya."Udah ya, Xel. Udah. Kalo lo macam-macam, lo yang akan gue tangkep," ancam Badai tegas. Axel menutup mulutnya. Kalau Badai sudah mengeluarkan suara tegas khas aparatnya, itu artinya sahabatnya ini dalam mode serius. Oleh karenanya Axel diam dan hanya memandang geram saat Pak Riswan digelandang keluar ruangan."Eh, Pak Polisi, Pak Riswannya jangan dibawa pergi dulu. Kunci borgol masih ada padanya." Raline berteriak. Ia takut borgol tangannya tidak bisa dibuka."Axel bisa membukanya tanpa kunci, Bu Raline. Tenang saja." Badai melanjutkan langkahnya menggelandang Pak Riswan."Oh ya, Xel. Lo dan Raline tunggu di sini seb
Axel membelai rambut lembab Raline yang tertidur di bahunya. Raline baru saja selesai memberi keterangan di kantor polisi. Raline menceritakan secara langsung kronologis peristiwa penculikannya. Sekarang Raline tertidur kelelahan di dalam mobil yang dikemudikan oleh Erick. Axel sengaja duduk dibaris kedua mobil, agar dapat duduk bersisian dengan Raline. Ia mengkhawatirkan keadaan istrinya. Pak Riswan beserta beberapa anak buahnya telah berhasil diringkus. Namun Pak Fandy, Tatang dan Engkus berhasil melarikan diri. Padahal Pak Fandy lah yang menculiknya pertama sekali. Selain itu Raline menceritakan bahwa ada satu orang lagi yang terlibat. Seseorang yang sepertinya dalang dari semua peristiwa ini.Gerakan Axel terhenti ketika tangannya tersangkut pada helaian rambut yang sedikit lengket oleh darah yang mengering. Ada benjolan juga di sana. Axel mengusap benjolan itu perlahan sembari memisahkan helaian rambut yang lengket. Walaupun sudah diobati oleh perawat di ambulance tadi, ternyata
"Mulut si Made ini memang kaleng rombeng." Erick memaki pelan. Pasti Made yang telah membocorkan rahasianya. Karena Made ada bersamanya saat Mei Mei sesenggukan ia bentak-bentak. "Gue nggak punya perasaan apa pun pada Mei Mei. Kalau perasaan Mei Mei pada gue, ia bukan urusan gue," Erick mengelak halus."Heleh, nggak punya perasaan apapun. Tapi lo matahin tangan preman yang nyolek si Mei Mei minggu lalu di pasar," sindir Axel."Itu karena si preman sialan itu kurang ajar. Gue akan melakukan hal yang sama jikalau preman itu mencolek gadis-gadis lain," bantah Erick kesal. Emosinya bangkit kembali saat mengingat betapa kurang ajarnya si preman pasar yang mencolek pipi putih Mei Mei. "Ngeles aja terus sampai ikan cupang bisa terbang," ejek Axel. "Gue emang lumayan suka sama si Mei Mei. Tapi gue udah bilang padanya kemarin agar nggak usah ngarepin gue. Gue nggak akan membalas cintanya." Erick memutuskan untuk jujur. Ia tahu berbohong dan menutupi perasaannya pada Mei Mei pun tidak bergun
Raline memegang test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah! Ia hamil! Bagaimana ini? Raline membuang test pack ke sudut kamar mandi. Setelahnya ia membuka keran air agar test pack tersebut masuk ke sanitasi air. Ia tidak mau melihat test pack itu lagi. Raline trauma. Di masa lalu ia tidak bisa menjaga kandungannya, hingga akhirnya kehilangan sang jabang bayi. Bagaimana kalau bayinya ini kembali meninggal dalam kandungan? Bagaimana juga kalau dirinya nanti tidak bisa menjadi ibu yang baik? Raline berkeringat dingin. Bayangan masa lalu berhamburan bagai slide film di benaknya. Dikejar bayangan masa lalu, Raline keluar dari kamar mandi bagai dikejar hantu. Axel yang bermaksud masuk ke kamar mandi, nyaris ditabrak oleh Raline. Beruntung Axel sempat menahan bahunya. "Astaga, Istriku. Lo kenapa?" Axel menahan bahu Raline. "Kagak kenapa-napa." Raline menepis tangan Axel. Ia butuh udara segar untuk mengalihkan pemikiran-pemikiran gila ini."Tunggu dulu. Ada apa istriku? Apa yang mem
"Kalo oon-nya kayak gue juga bagaimana? Ntar lo nggak sayang lagi sama anak kita?" pungkas Raline dengan suara tersendat. Ia teringat pada masa kecilnya yang penuh dengan umpatan dan cibiran. Ia kurang cerdas, sehingga kerap membuat kedua orang tuanya malu. Tidak ada satu hal pun yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bagaimana kalau nanti anaknya mengulang masa kecilnya yang kelam?"Kalo gue nantinya nggak bisa jadi ibu yang baik, bagaimana? Kasihan anak kita kan, Mas?" Kali ini suara Raline sudah dibarengi dengan tangis. "Kalau anak ini keguguran seperti anak gue yang lalu bagaimana juga?" Raline kini menangis sesenggukan. Ia mengeluarkan semua isi hatinya. "Oke... oke... kita bahas satu-satu ya? Duduk dulu yuk?" Axel mendudukkan Raline kembali. Axel menyusul duduk di sebelahnya."Kita bahas masalah pertama dulu mengenai kekurang cerdasan. Dengar sayang, tidak ada bayi yang langsung terlahir cerdas. Ada memang beberapa yang diberi anugerah seperti itu. Tapi jumlahnya hanya segelintir
"Ada apa, Pak Asep? Oke, Bapak sudah tahu Pak Fandy bersembunyi di mana? Baik, saya segera ke sana. Jaga diri Bapak baik-baik juga." Raline mengembuskan napas penuh beban. Axel akan menghabisi Pak Fandy rupanya. Ia tidak akan tinggal diam. Ia harus ikut walaupun hanya menjadi pemain cadangan. Ia tidak bisa membiarkan Axel terluka. "Rick, satu jam kita semua akan bergerak. Supir Pak Fandy sudah mengirimkan alamat persembunyian. Nanti gue SMS alamatnya. Lo dan pengawal utama atur strategi 8 penjuru mata angin. Ingat, jangan sampai bini gue tahu tentang operasi ini. Dia sedang hamil. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa."Hening. Sepertinya sekarang giliran Erick yang tengah berbicara."Kita cuma punya waktu empat jam untuk melumpuhkan Pak Fandy. Karena jam 05.30 WIB nanti, gue akan mengantarkan Raline ke dokter."Hening lagi."Nggak, Rick. Seperti yang gue bilang kemarin. Gue yang akan mengeksekusi. Lo dan anak-anak cukup mengawasi gue dari jauh aja. Udah ya, gue SMS lo dulu lokasinya. Lo
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta