"Kita menunggu kakak saya ke ruang kerja saja, Tang." Pak Fandy dan Tatang meninggalkan Engkus."Ayo Neng. Lewat sini jalannya." Engkus menghela lengan Raline. Raline tidak langsung berjalan. Ia sengaja menunggu sampai langkah-langkah kaki Pak Fandy dan Tatang tidak terdengar, baru ia melangkah terseok-seok."Pak Engkus. Daripada Bapak nuntun-nuntun saya kayak orang buta, bagusan Bapak buka aja penutup mata saya. Kan kita sama-sama enak jadinya." Raline membujuk Pak Engkus. Pak Engkus ini kelihatannya sedikit lebih baik."Memang lebih enak sih, Neng. Jadi nggak nyusahin saya. Tapi 'kan nanti si Eneng jadi bisa ngeliat suasana rumah. Nanti saya diamuk sama boss besar." Pak Engkus galau. "Ya jangan dibilangin atuh, Pak. Kan jadinya si boss kagak tau." Raline mengikuti logak Pak Engkus. "Iya juga ya? Sini saya bukain kainnya." Pak Engkus membuka kain penutup mata Raline. Ia kemudian menyampirkan kain ke bahunya."Ikuti saya, Neng. Biar cepet selesai urusannya." Pak Engkus berjalan terl
Suara decitan ban yang nyaring menyadarkan Pak Hamid akan satu hal. Bahwa boss besarnya telah tiba di lokasi kejadian. Pak Hamid dan Ali masih shock karena gagal menyelamatkan Raline. Mereka berdua tidak berhasil mengejar mobil yang menculik Raline karena dihalangi dua unit mobil lainnya. Para penculik Raline ini sepertinya terdiri dari banyak orang. Akhirnya mereka kembali ke tempat kejadian, agar Axel bisa memeriksa TKP.Sejurus kemudian terdengar suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup secara bersamaan, diikuti dua pasang langkah-langkah kaki yang mendekat. Pasti itu adalah Axel dan Erick. Pak Hamid dan Ali membalikkan badannya. "Apa yang terjadi, Pak Hamid? Bapak punya gambaran tidak siapa yang menculik istri saya?" Axel menghampiri Pak Hamid. Ia mengabaikan Ali. Dari keterangan Pak Hamid saat meneleponnya tadi, Axel tahu kalau Pak Hamid bersama dengan Ali saat ini. Ali telah menyelamatkan Raline saat baku tembak di pasar."Maafkan saya, Boss. Saya tidak berhasil membawa pulan
Axel menghentikan laju mobilnya tepat di Jalan Pertempuran nomor lima belas. Seperti yang dideskripsikan Pak Adjie, ada sebuah pagar hitam tinggi di depannya. Saat ini Axel membawa lima orang bersamanya. Erick, Bang Raju, Beli Made, Kang Endang dan juga Badai Putra Alam. Polisi sekaligus teman baiknya. Saat ini Badai berpakaian preman. Sebenarnya Axel tidak mau membawa Badai. Karena menurutnya, ia bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Namun Erick berpendapat lain. Menurut Erick akan lebih mudah menggoalkan Pak Riswan jika ada Badai dalam operasi ini. Axel akhirnya setuju. Walau ia tahu sebenarnya tujuan utama Erick adalah agar ia tidak memporak-porandakan kediaman Pak Riswan. Dengan adanya Badai, semua hal harus mengikuti prosedur dan tidak boleh melanggar hukum. Badai akan menggerem aksi hukum rimbanya. "Kita hancurkan dengan Excavator atau geruduk langsung saja rumah si Riswan dengan mobil, Dai?" Setelah semua penghuni mobil keluar, Axel menggerak-gerakkan bahunya. Melakukan pe
"Kamu memang tidak tahu diri ya, Raline?" Pak Riswan merebut ponsel dari tangan Raline. Ia kemudian membanting ponsel tersebut ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ia menyesali kecerobohannya melepaskan borgol dari tangan anak si Adjie ini. Ia tidak menyangka kalau dibalik kenaifannya, Raline ini ternyata cerdas juga. "Yang tidak tahu diri itu, Bapak. Sudah diberi Tuhan kesehatan dan umur panjang, bukannya melakukan kebaikan disisa usia, eh Bapak malah terus memupuk kejahatan." Raline balas mengomeli Pak Riswan. "Kalau tidak segera bertobat nanti Bapak ruginya dua kali tahu." Walau Pak Riswan orang jahat, Raline tetap berusaha menyadarkannya. Menurut alim ulama, sampaikanlah kebenaran walau pada orang jahat bukan? Masalah mereka menerima nasehatnya atau tidak, itu urusan belakangan."Rugi dua kali apa maksudmu?" Pak Riswan menjinjitkan alis kombinasi hitam putihnya. "Rugi yang pertama, Bapak akan dihukum di dunia alias masuk penjara. Rugi yang kedua, Bapak akan dihukum di akhir
"Udah, Xel. Lo jangan membuat masalah yang nggak perlu." Badai merebut senjata Axel. Inilah yang ia takutkan. Axel kehilangan kontrol sehingga prosedur kerjanya jadi berantakan. "Gue cuma menembak kakinya. Jadi dia nggak akan mati sebelum persidangan." Axel kembali melayangkan kepalan tangannya ke wajah Pak Riswan. Darah seketika mengucur dari hidung dan sudur bibirnya."Udah ya, Xel. Udah. Kalo lo macam-macam, lo yang akan gue tangkep," ancam Badai tegas. Axel menutup mulutnya. Kalau Badai sudah mengeluarkan suara tegas khas aparatnya, itu artinya sahabatnya ini dalam mode serius. Oleh karenanya Axel diam dan hanya memandang geram saat Pak Riswan digelandang keluar ruangan."Eh, Pak Polisi, Pak Riswannya jangan dibawa pergi dulu. Kunci borgol masih ada padanya." Raline berteriak. Ia takut borgol tangannya tidak bisa dibuka."Axel bisa membukanya tanpa kunci, Bu Raline. Tenang saja." Badai melanjutkan langkahnya menggelandang Pak Riswan."Oh ya, Xel. Lo dan Raline tunggu di sini seb
Axel membelai rambut lembab Raline yang tertidur di bahunya. Raline baru saja selesai memberi keterangan di kantor polisi. Raline menceritakan secara langsung kronologis peristiwa penculikannya. Sekarang Raline tertidur kelelahan di dalam mobil yang dikemudikan oleh Erick. Axel sengaja duduk dibaris kedua mobil, agar dapat duduk bersisian dengan Raline. Ia mengkhawatirkan keadaan istrinya. Pak Riswan beserta beberapa anak buahnya telah berhasil diringkus. Namun Pak Fandy, Tatang dan Engkus berhasil melarikan diri. Padahal Pak Fandy lah yang menculiknya pertama sekali. Selain itu Raline menceritakan bahwa ada satu orang lagi yang terlibat. Seseorang yang sepertinya dalang dari semua peristiwa ini.Gerakan Axel terhenti ketika tangannya tersangkut pada helaian rambut yang sedikit lengket oleh darah yang mengering. Ada benjolan juga di sana. Axel mengusap benjolan itu perlahan sembari memisahkan helaian rambut yang lengket. Walaupun sudah diobati oleh perawat di ambulance tadi, ternyata
"Mulut si Made ini memang kaleng rombeng." Erick memaki pelan. Pasti Made yang telah membocorkan rahasianya. Karena Made ada bersamanya saat Mei Mei sesenggukan ia bentak-bentak. "Gue nggak punya perasaan apa pun pada Mei Mei. Kalau perasaan Mei Mei pada gue, ia bukan urusan gue," Erick mengelak halus."Heleh, nggak punya perasaan apapun. Tapi lo matahin tangan preman yang nyolek si Mei Mei minggu lalu di pasar," sindir Axel."Itu karena si preman sialan itu kurang ajar. Gue akan melakukan hal yang sama jikalau preman itu mencolek gadis-gadis lain," bantah Erick kesal. Emosinya bangkit kembali saat mengingat betapa kurang ajarnya si preman pasar yang mencolek pipi putih Mei Mei. "Ngeles aja terus sampai ikan cupang bisa terbang," ejek Axel. "Gue emang lumayan suka sama si Mei Mei. Tapi gue udah bilang padanya kemarin agar nggak usah ngarepin gue. Gue nggak akan membalas cintanya." Erick memutuskan untuk jujur. Ia tahu berbohong dan menutupi perasaannya pada Mei Mei pun tidak bergun
Raline memegang test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah! Ia hamil! Bagaimana ini? Raline membuang test pack ke sudut kamar mandi. Setelahnya ia membuka keran air agar test pack tersebut masuk ke sanitasi air. Ia tidak mau melihat test pack itu lagi. Raline trauma. Di masa lalu ia tidak bisa menjaga kandungannya, hingga akhirnya kehilangan sang jabang bayi. Bagaimana kalau bayinya ini kembali meninggal dalam kandungan? Bagaimana juga kalau dirinya nanti tidak bisa menjadi ibu yang baik? Raline berkeringat dingin. Bayangan masa lalu berhamburan bagai slide film di benaknya. Dikejar bayangan masa lalu, Raline keluar dari kamar mandi bagai dikejar hantu. Axel yang bermaksud masuk ke kamar mandi, nyaris ditabrak oleh Raline. Beruntung Axel sempat menahan bahunya. "Astaga, Istriku. Lo kenapa?" Axel menahan bahu Raline. "Kagak kenapa-napa." Raline menepis tangan Axel. Ia butuh udara segar untuk mengalihkan pemikiran-pemikiran gila ini."Tunggu dulu. Ada apa istriku? Apa yang mem