Axel memaki dirinya sendiri saat melihat pemandangan di hadapannya. Raline berdiri setengah tegak setengah miring dengan bantuan bahu Erick di tengah hujan deras. Cia walau berdiri tegak, tapi tangannya terus memperbaiki poni rambutnya yang terbelah dua bagai jendela terbuka. Sahabat adiknya ini memang paling takut terlihat jelek. Istimewa di depan Bima. Sementara Lily sudah raib. Axel yakin, Lily telah diamankan oleh Heru. "Mas, mataharinya belum tenggelam kok Mas sudah datang?" Walau kesadarannya sudah tinggal separuh, Raline tetap menyapa Axel. Ia ingin tampak kuat di hadapan suaminya. Masa iya istri mafia letoi? Tidak bisa!"Eh, Mas ngapain ikut berdiri di sini? Mas 'kan tidak ikut dihukum. Masuk saja ke dalam rumah. Ini lagi hu--hujan deras. Nanti M--as sa--kit." Raline kesulitan menahan getaran dalam suaranya. Ia kelelahan dan kedinginan. Ditambah denyut nyeri dari luka-lukanya, badan Raline tidak karuan rasanya."Rick--""Boss, bawa nyonya boss masuk dulu. Nyonya boss demam ti
Axel yang melihat tatapan liar Raline, segera menahan laju tubuh sang istri. Ada sesuatu yang salah di sini. Raline jelas terlihat ketakutan pada dokter Aldrich."Ada apa, Istriku? Sini, jangan takut. Ada gue di sini." Axel memeluk tubuh Raline yang gemetaran hebat. Tatapan horor di mata Raline menyakitkan hatinya. "Jangan bunuh! Jangan! Tolonglah, jangan bunuh dia. Kalau pun ada yang harus mati, biar gue aja. Please... please... don't kill him, Doctor!" Raline merangkapkan tangan di dada. Ia memohon-mohon pada siapa pun yang ada dalam kamar agar tidak melenyapkan anaknya. Dirinya yang bersalah. Anaknya tidak tahu apa-apa. Jangan membunuh nyawa yang tidak berdosa."Tidak ada yang akan membunuh siapa pun di sini, Sayang. Jangan takut. Lihat gue, lihat baik-baik. Selama gue masih hidup tidak ada satu orang pun yang bisa melukaimu. Gue bersumpah, Istriku!" Axel menangkup wajah Raline dengan kedua tangannya. Hatinya sakit mendapati wajah Raline basah oleh air mata. Satu lagi yang membua
"Sini istriku." Axel yang sudah lebih dulu naik ke atas ranjang, menepuk-nepuk pangkal lengannya. "Sebentar ya, Mas. Gue make minyak telon dulu. Biar anget perut gue." Raline yang baru saja selesai mandi, membalurkan minyak telon di sekitar perutnya. Kebiasaannya jikalau mandi lebih malam dari biasa. Dirinya memang gampang sekali masuk angin. "Nyamannya." Raline bergelung di lengan Axel yang langsung memeluknya erat. Raline paling menyukai waktu-waktu seperti ini. Di mana Axel telah menyelesaikan semua pekerjaan, dan hanya tinggal tidur bersama. "Lo nggak pengen nanyain gue apa-apa gitu soal kejadian di rumah Lily?" Raline membuat gerakan-gerakan abstrak di dada Axel. Lingkaran, zig zag, jajaran genjang atau hanya sekedar mengelus-elus manja. Seminggu telah berlalu sejak kasus dirinya bertemu kembali dengan dokter Aldrich. Dan selama seminggu itu pula Axel sama sekali tidak menanyakan perihal masa lalunya. Yang Axel tanyakan hanya soal luka-lukanya. Padahal Raline sudah menunggu-
"Wanita cantik dan baik nggak akan membuat pria setia, Istriku. Wanita yang cantik, baik, pintar dan perhatian pun belum tentu akan membuat seorang pria setia.""Begitu ya? Lantas apa yang bisa membuat mereka setia?" Raline makin penasaran. Kalau yang baik, cantik, pintar dan perhatian saja tidak akan membuat laki-laki setia, lantas apa? Awas saja kalau Axel menjawab tidak akan ada!"Jawabannya adalah dirinya sendiri," jawab Axel yakin."Heh, maksudnya?" Raline terduduk. Ia tahu cara berpikirnya mungkin memang sedikit di bawah rata-rata. Ia menginginkan penjelasan yang lebih dalam lagi."Begini, Sayang. Seorang pria akan setia, jika dia memang ingin setia. Kalau tidak, yang diberi wanita cantik, baik, pintar, perhatian dan sesempurna apapun, ia tidak akan pernah merasa cukup. Sebaliknya jika dia memang ingin setia, wanitanya tidak cantik, tidak pintar, tidak perhatian dan segala minusnya, ia akan tetap setia. Seperti gue yang tiap hari dikelilingi oleh wanita-wanita cantik di club. Ta
"Ayo kebut, Pak!" Raline menyemangati Pak Hamid. Ia memindai ada dua buah mobil yang mengejar tepat di belakang mereka."Lo santai aja, Raline. Pak Hamid dan mobil itu ibarat darah dan nadinya. Cara mengemudi Pak Hamid nggak usah lo raguin lagi." Ali memperingati Raline. Ali paham apabila sedang berkendara dirusuhi akan membuat si pengemudi gugup."Astaganaga!" Raline terperanjat saat laju mobil melaju kencang dengan ritme tidak biasa. Selain kencang, Pak Hamid berbelok tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun. Suara decit ban yang bergesekan dengan aspal, membuat gigi Raline linu. Pengejarnya pasti kaget karena Pak Hamid berbelok dengan kecepatan seperti cahaya. Sejurus kemudian mobil berjalan zig zag demi menghindari tabrakan dengan pengguna jalan lainnya. Selanjutnya Pak Hamid kembali melesat kencang, meninggalkan penguntit di belakangnya. Kedua mobil penguntitnya sudah tidak terlihat lagi. "Selamettt..." Raline mengelus dada. Ia baru berani menghembuskan napas dengan lega. Selama
"Kita langsung pulang aja ya, Nya? Kita harus segera melaporkan peristiwa penyerangan ini pada boss besar. Penjagaan pada Nyonya boss harus diperketat lagi," usul Pak Hamid."Bagaimana bagusnya menurut Bapak sajalah. Sebenarnya sih saya tidak suka menyusahkan Mas Axel. Masalah Mas Axel sudah banyak. Saya tidak ingin membebani pikirannya lagi. Lagi pula toh kita sudah selamat." Raline memberikan pendapatnya pada Pak Hamid."Tidak bisa, Nya. Kalau kita menyembunyikannya, justru akan membahayakan diri Nyonya sendiri. Lagi pula boss besar bilang, masalah sekecil apapun yang menimpa Nyonya, harus saya laporkan. Ini Nyonya sampai mau ditembak orang. Masa tidak saya laporkan?Boss besar takut kecolongan. Ingat, saat ini musuh-musuh boss besar sedang berkolaborasi untuk menyerang boss besar. Biasakan untuk tidak menyembunyikan sesuatu apalagi bertindak ceroboh. Nyawa taruhannya, Nya." Pak Hamid menasehati Raline tegas."Iya juga. Nanti kita sama-sama saja melaporkannya. Saya juga akan meminta
Raline seperti sedang berjalan di atas awan. Langkahnya mengawang, tidak menginjak bumi. Ia sedang berada di mana sebenarnya? Sayup-sayup ia mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat diiringi beberapa orang berbicara dari kejauhan. Tidak... tidak... jauh. Rasanya malah berada di sampingnya. Saat Raline ingin menggerakkan tubuhnya, ada sesuatu yang aneh. Ia tidak bisa bergerak sama sekali!"Jadi kami bawa ke mana gadis ini, Pak?"Suara Pak Fandy!Ingatan Raline yang tercecer mulai terkumpul satu persatu. Ia tengah diculik oleh Pak Fandy cs. Saat ini ia sedang berada di dalam mobil, sementara Pak Fandy menelepon seseorang. Demi keamanan jiwa raga, Raline memilih untuk pura-pura masih pingsan saja. Dengan begitu ia bisa menguping lebih lama."Apa? Dibunuh saja? Apa tidak lebih baik kita sandera saja, sampai Axel masuk dalam jebakan. Setelahnya kita siksa dia pelan-pelan. Apa? Sebentar, suara Bapak tidak jelas. Saya mengaktifkan speaker dulu. "Mereka ingin melenyapkannya ternyata! Si
"Kita menunggu kakak saya ke ruang kerja saja, Tang." Pak Fandy dan Tatang meninggalkan Engkus."Ayo Neng. Lewat sini jalannya." Engkus menghela lengan Raline. Raline tidak langsung berjalan. Ia sengaja menunggu sampai langkah-langkah kaki Pak Fandy dan Tatang tidak terdengar, baru ia melangkah terseok-seok."Pak Engkus. Daripada Bapak nuntun-nuntun saya kayak orang buta, bagusan Bapak buka aja penutup mata saya. Kan kita sama-sama enak jadinya." Raline membujuk Pak Engkus. Pak Engkus ini kelihatannya sedikit lebih baik."Memang lebih enak sih, Neng. Jadi nggak nyusahin saya. Tapi 'kan nanti si Eneng jadi bisa ngeliat suasana rumah. Nanti saya diamuk sama boss besar." Pak Engkus galau. "Ya jangan dibilangin atuh, Pak. Kan jadinya si boss kagak tau." Raline mengikuti logak Pak Engkus. "Iya juga ya? Sini saya bukain kainnya." Pak Engkus membuka kain penutup mata Raline. Ia kemudian menyampirkan kain ke bahunya."Ikuti saya, Neng. Biar cepet selesai urusannya." Pak Engkus berjalan terl