Raline serasa sedang mengikuti formula F1 saat Axel mengebut di jalan raya. Untung saja malam ini lalu lintas lancar jaya. Sehingga waktu untuk menolong Randy bisa lebih dipercepat. "Astaga, awas Mas!" Raline menjerit ngeri tatkala Axel berbelok ke kanan tanpa mengurangi kecepatan. Sungguh, Raline takut jantungnya pindah tempat karena posisi duduknya yang terus terpental-pental."Masuk ke perumahan depan itu, Mas!" Raline menunjuk perumahan mewah kediaman Pak Fandy. Axel melambatkan laju kendaraan. Memasuki perumahan memang ada aturan tersendiri. Ia harus mengikuti peraturan demi tercapainya misi ini. Axel mengklakson pos Satpam dua kali sebelum memasuki perumahan. "Perempatan depan belok kiri, Mas." Raline kembali memberi ancer-ancer. "Nah itu rumah si Fandy, Mas." Raline menunjuk sebuah mewah yang berpagar tinggi. Ia ingat sekali rumah ini karena pagarnya paling rapat dan juga paling tinggi. Semoga saja Randy tidak kenapa-kenapa di dalam sana. "Heh, rumah Randy? Kenapa kita ke r
"Aku memang menggelandang, Pak. Tapi aku punya kehormatan dan harga diri. Aku tidak suka uang haram yang berasal dari bisnis pelacuran ibuku," pungkas Ali dingin."Waduh! Bisnis pelacuran katanya, Mas?" Raline menunjuk Ali yang saat ini tengah berhadapan dengan Pak Fandy. "Diam, calon istri. Gue nggak tuli. Justru kalau lo heboh begini, gue jadi nggak bisa konsentrasi mengamati. Duduk diam, dan tontonlah dengan tentram." Axel meluruskan kepala Raline agak menghadap ke depan. "Teruslah bertingkah idealis. Sampai harta ibumu habis dinikmati oleh ayah tiri berondongmu," ejek Pak Fandy."Apa bedanya dengan Om. Alih-alih membahagiakan darah daging sendiri, Om malah mengempani orang lain. Ibu dan anak lagi. Double jackpot," Ali balas mengejek.""Biarkan aku pergi, Yah! Aku tidak mau di sini." Randy kembali berteriak."Kamu tetap di sini. Kembali bersekolah dan menata masa depan. Bawa Randy kembali ke kamarnya yang dulu, Pak Asep." Pak Fandy kembali meneriakkan perintah."Ayo kita pulang,
Raline mondar mandir di dapur. Dirinya diminta membuat kopi oleh ayahnya. Ayahnya ingin berbicara berdua dengan Axel katanya. Ayahnya yang memberi perintah, tapi Raline yang bingung. Masa mafia disuguhi kopi dan biskuit Khong Guan? Apa pantes coba?"Tungguin air panasnya, Line. Ngapain kamu ngintip-ngintip begitu? Nanti juga kamu bakalan dipanggil ayahmu." Bu Lidya yang sedang membuat makanan kecil pesanan Bu Wahyu mengomeli Raline. Putrinya ini tingkahnya seperti cacing kepanasan alias tidak bisa diam."Raline penasaran, Bu. Kira-kira mereka ngomongin apa ya? Terus ayah minta persyaratan apa aja. Ibu kan tahu sendiri kalau ayah semangat sekali membahas perkara uang," ungkap Raline apa adanya.Kalimat Raline membuat Bu Lidya yang sedang menguleni tepung menghentikan kegiatannya. Putrinya naifnya ini memang seperti ini adanya. Selalu mengatakan apa yang ada dalam benaknya. Dulu, dirinya pasti mengamuk jikalau putrinya nyeletuk seperti ini. Namun sekarang tidak lagi. Ia mulai belajar
"Duduk, Raline. Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang istri. Jangan bersikap serampangan lagi ya? Tidak baik." Pak Adjie menasehati putrinya lembut. Mata tuanya berair membayangkan putri satu-satunya akan segera meninggalkannya. Akan halnya Raline, ia termangu. Hatinya bergetar mendengar nasehat ayahnya yang diucapkan dengan lembut. Seperti ini rasanya disayang tanpa syarat. "Iya, Yah. Iya. Raline akan memperbaiki diri biar Ayah senang." Raline menjawab dengan senyum terkembang. Sejurus kemudian air mukanya berubah serius. Ia harus memperingati ayahnya akan satu hal."Tapi Ayah nggak boleh meminta dana pada Mas Axel perihal pernikahan Raline ya, Yah? Kan kita sudah sepakat kalau kita akan berusaha sendiri." Raline mengingatkan janji sang ayah yang telah mereka sepakati sebelumnya. "Iya... iya... Ayah tahu," kata Pak Ajie."Nah, Axel, kamu dengar sendiri kan kalau kami sekarang ingin berjuang sendiri dalam hal apapun. Bapak tidak menginginkan bantuan dana darimu. Bagi Bapak, asal
Raline merasa bagai perawan, eh perempuan di sarang penyamun di acara ijab kabulnya ini. Sedari pagi buta ia sudah diangkut dari rumah menuju ke kediaman Axel di jalan Kemuning. Dan sekarang dua jam kemudian, ia masih saja didandani oleh Marlene, Make Up Artist kondang yang tidak bosan-bosannya menggambari wajahnya. Sedangkan asisten Marlene Sapto eh Septi, terus saja menyasak dan menarik-narik rambutnya ganas. Alasan Septi agar sanggulnya tampak rapi namun tetap terlihat natural. Sungguh ingin tampak cantik itu memang tidak mudah. Selain siap sakit kantong, juga harus kuat sakit fisik. Beauty is pain, memanglah benar adanya."Mbak Raline, jangan kedap kedip terus. Nanti eyelinernya belepotan," tegur Marlene cemas."Maaf, Mbak Marlene, mata gue perih dicolok-colok begini. Tuh sampai keluar air mata kan?" Raline sungguh tersiksa setiap kali harus memakai eyeliner bawah mata. Bayangkan, waterline yang notabene dekat sekali dengan bola mata, digaris-garis presisi dengan pensil eyeliner.
Akan halnya Raline, ia sejenak kehilangan orientasi. Axel itu memang sudah tampan sejak pertama kali ia melihatnya di rumah sakit, kala menjenguk Heru. Hanya saja dulu ia takut pada Axel. Karena sikap kaku dan mulutnya yang tidak kompromi. Tapi semakin mengenalnya Raline menjadi semakin respek pada Axel. Axel memang cuek seperti mantan-mantannya terdahulu. Namun ada satu hal yang membuat Axel istimewa. Dalam kecuekannya Axel peduli. Axel membereskan semua masalahnya dalam diam melalui jalur belakang. Inilah yang membuat Raline terkadang ketakutan. Ia takut jatuh cinta sungguhan pada Axel. Karena ia sudah berjanji. Bahwa ia tidak ingin jatuh cinta sendirian lagi. Istimewa ia sekarang mempunyai kekurangan."Boss, penghulunya udah nunggu. Tapi kalo Boss masih mau tatap-tatapan, gue ke depan dulu. Minta penghulunya nunggu sebentar." Erick yang berdiri di belakang Axel terpaksa turun tangan. Penghulu di depan, sudah tidak sabar karena harus menikahkan pasangan lain. Kalau acara tatap-tatap
"Saya terima nikah dan kawinnya Raline Raharjo Soeryo Sumarno binti Adjie Raharjo Soeryo Sumarno dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Axel mengucap ijab kabul dengan lantang dalam satu tarikan napas. Raline yang duduk di samping Axel menghembuskan napas lega. Sedari tadi ia memang menahan napas. Ia takut kalau Axel salah mengucapkan namanya. Ternyata ketakutannya tidak beralasan. Axel bisa juga mengucapkan nama lengkapnya dengan lancar jaya seperti jalan tol bebas hambatan.Sejurus kemudian terdengar kata sah yang menggema di seantero ruangan. Raline menangis haru. Akhirnya ada juga laki-laki yang mau menikahinya. Merasa tidak percaya, Raline mencubit lengan kirinya. Sakit! Itu artinya ia tidak bermimpi. Dirinya benar-benar sudah menjadi istri orang sekarang alhamdullilah. "Lo ngapain, istiku0? Kok nyubit diri sendiri?" Axel mengelus lengan Raline, saat istrinya itu mendesis kesakitan setelah mencubit diri sendiri. Ada-ada saja."Kagak ngapa-ngapa. Gue cuma meyakinkan diri send
Raline diam. Namun sesungguhnya ia merasa aneh. Saat ini semua orang panik. Air muka maupun bahasa tubuh bodyguard-bodyguard lain semua dalam keadaan tegang. Namun bodyguard di sebelah kanan Axel yang bernama Calvin, begitu santai alih-alih siaga satu. Feeling Raline tidak enak. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Hanya saja instingnya mengatakan bahwa ia harus melindungi Axel. Kecurigaannya terbukti tatkala ia melihat Calvin merogoh sesuatu dibalik jasnya.Sebilah belati! Sepertinya Calvin berniat menusuk punggung Axel dalam posisi tiarap. Raline ingin berteriak memperingati Axel. Namun ia khawatir kalau peringatannya akan terlambat. Lebih baik ia segera beraksi saja. "Jangan!" Raline merebut belati yang siap dihujamkan Calvin di punggung Axel. Akibatnya cukup fatal. Raline merasa daging telapak tangannya teriris karena menggenggam belati dengan erat. Anehnya ia tidak merasa sakit. Ia hanya merasakan ada cairan hangat yang mengalir melalui jari jemarinya."Bajingan!"Krak!Raline