Raline mondar mandir di dapur. Dirinya diminta membuat kopi oleh ayahnya. Ayahnya ingin berbicara berdua dengan Axel katanya. Ayahnya yang memberi perintah, tapi Raline yang bingung. Masa mafia disuguhi kopi dan biskuit Khong Guan? Apa pantes coba?"Tungguin air panasnya, Line. Ngapain kamu ngintip-ngintip begitu? Nanti juga kamu bakalan dipanggil ayahmu." Bu Lidya yang sedang membuat makanan kecil pesanan Bu Wahyu mengomeli Raline. Putrinya ini tingkahnya seperti cacing kepanasan alias tidak bisa diam."Raline penasaran, Bu. Kira-kira mereka ngomongin apa ya? Terus ayah minta persyaratan apa aja. Ibu kan tahu sendiri kalau ayah semangat sekali membahas perkara uang," ungkap Raline apa adanya.Kalimat Raline membuat Bu Lidya yang sedang menguleni tepung menghentikan kegiatannya. Putrinya naifnya ini memang seperti ini adanya. Selalu mengatakan apa yang ada dalam benaknya. Dulu, dirinya pasti mengamuk jikalau putrinya nyeletuk seperti ini. Namun sekarang tidak lagi. Ia mulai belajar
"Duduk, Raline. Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang istri. Jangan bersikap serampangan lagi ya? Tidak baik." Pak Adjie menasehati putrinya lembut. Mata tuanya berair membayangkan putri satu-satunya akan segera meninggalkannya. Akan halnya Raline, ia termangu. Hatinya bergetar mendengar nasehat ayahnya yang diucapkan dengan lembut. Seperti ini rasanya disayang tanpa syarat. "Iya, Yah. Iya. Raline akan memperbaiki diri biar Ayah senang." Raline menjawab dengan senyum terkembang. Sejurus kemudian air mukanya berubah serius. Ia harus memperingati ayahnya akan satu hal."Tapi Ayah nggak boleh meminta dana pada Mas Axel perihal pernikahan Raline ya, Yah? Kan kita sudah sepakat kalau kita akan berusaha sendiri." Raline mengingatkan janji sang ayah yang telah mereka sepakati sebelumnya. "Iya... iya... Ayah tahu," kata Pak Ajie."Nah, Axel, kamu dengar sendiri kan kalau kami sekarang ingin berjuang sendiri dalam hal apapun. Bapak tidak menginginkan bantuan dana darimu. Bagi Bapak, asal
Raline merasa bagai perawan, eh perempuan di sarang penyamun di acara ijab kabulnya ini. Sedari pagi buta ia sudah diangkut dari rumah menuju ke kediaman Axel di jalan Kemuning. Dan sekarang dua jam kemudian, ia masih saja didandani oleh Marlene, Make Up Artist kondang yang tidak bosan-bosannya menggambari wajahnya. Sedangkan asisten Marlene Sapto eh Septi, terus saja menyasak dan menarik-narik rambutnya ganas. Alasan Septi agar sanggulnya tampak rapi namun tetap terlihat natural. Sungguh ingin tampak cantik itu memang tidak mudah. Selain siap sakit kantong, juga harus kuat sakit fisik. Beauty is pain, memanglah benar adanya."Mbak Raline, jangan kedap kedip terus. Nanti eyelinernya belepotan," tegur Marlene cemas."Maaf, Mbak Marlene, mata gue perih dicolok-colok begini. Tuh sampai keluar air mata kan?" Raline sungguh tersiksa setiap kali harus memakai eyeliner bawah mata. Bayangkan, waterline yang notabene dekat sekali dengan bola mata, digaris-garis presisi dengan pensil eyeliner.
Akan halnya Raline, ia sejenak kehilangan orientasi. Axel itu memang sudah tampan sejak pertama kali ia melihatnya di rumah sakit, kala menjenguk Heru. Hanya saja dulu ia takut pada Axel. Karena sikap kaku dan mulutnya yang tidak kompromi. Tapi semakin mengenalnya Raline menjadi semakin respek pada Axel. Axel memang cuek seperti mantan-mantannya terdahulu. Namun ada satu hal yang membuat Axel istimewa. Dalam kecuekannya Axel peduli. Axel membereskan semua masalahnya dalam diam melalui jalur belakang. Inilah yang membuat Raline terkadang ketakutan. Ia takut jatuh cinta sungguhan pada Axel. Karena ia sudah berjanji. Bahwa ia tidak ingin jatuh cinta sendirian lagi. Istimewa ia sekarang mempunyai kekurangan."Boss, penghulunya udah nunggu. Tapi kalo Boss masih mau tatap-tatapan, gue ke depan dulu. Minta penghulunya nunggu sebentar." Erick yang berdiri di belakang Axel terpaksa turun tangan. Penghulu di depan, sudah tidak sabar karena harus menikahkan pasangan lain. Kalau acara tatap-tatap
"Saya terima nikah dan kawinnya Raline Raharjo Soeryo Sumarno binti Adjie Raharjo Soeryo Sumarno dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Axel mengucap ijab kabul dengan lantang dalam satu tarikan napas. Raline yang duduk di samping Axel menghembuskan napas lega. Sedari tadi ia memang menahan napas. Ia takut kalau Axel salah mengucapkan namanya. Ternyata ketakutannya tidak beralasan. Axel bisa juga mengucapkan nama lengkapnya dengan lancar jaya seperti jalan tol bebas hambatan.Sejurus kemudian terdengar kata sah yang menggema di seantero ruangan. Raline menangis haru. Akhirnya ada juga laki-laki yang mau menikahinya. Merasa tidak percaya, Raline mencubit lengan kirinya. Sakit! Itu artinya ia tidak bermimpi. Dirinya benar-benar sudah menjadi istri orang sekarang alhamdullilah. "Lo ngapain, istiku0? Kok nyubit diri sendiri?" Axel mengelus lengan Raline, saat istrinya itu mendesis kesakitan setelah mencubit diri sendiri. Ada-ada saja."Kagak ngapa-ngapa. Gue cuma meyakinkan diri send
Raline diam. Namun sesungguhnya ia merasa aneh. Saat ini semua orang panik. Air muka maupun bahasa tubuh bodyguard-bodyguard lain semua dalam keadaan tegang. Namun bodyguard di sebelah kanan Axel yang bernama Calvin, begitu santai alih-alih siaga satu. Feeling Raline tidak enak. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Hanya saja instingnya mengatakan bahwa ia harus melindungi Axel. Kecurigaannya terbukti tatkala ia melihat Calvin merogoh sesuatu dibalik jasnya.Sebilah belati! Sepertinya Calvin berniat menusuk punggung Axel dalam posisi tiarap. Raline ingin berteriak memperingati Axel. Namun ia khawatir kalau peringatannya akan terlambat. Lebih baik ia segera beraksi saja. "Jangan!" Raline merebut belati yang siap dihujamkan Calvin di punggung Axel. Akibatnya cukup fatal. Raline merasa daging telapak tangannya teriris karena menggenggam belati dengan erat. Anehnya ia tidak merasa sakit. Ia hanya merasakan ada cairan hangat yang mengalir melalui jari jemarinya."Bajingan!"Krak!Raline
Raline membuka mata perlahan. Seketika ia kembali menutup mata saat ruangan terasa berputar. Apa ada dengan dirinya? "Masih pusing, Tuan Putri?" Tuan Putri?Suara bariton yang rasanya familiar di telinga, membuat Raline kembali memaksa membuka mata. Apalagi mendengar panggilan tuan putri ini. Satu-satunya orang yang memanggilnya tuan putri di dunia ini adalah Teguh Hartawan. Kakak kelasnya yang culun namun pintarnya luar biasa."Lo kok bisa di sini sih, Guh?" Raline keheranan. Dugaannya benar. Orang yang memanggilnya tuan putri adalah Teguh. Raline nyaris tidak mengenali Teguh yang sekarang terlihat tampan nan rupawan. Hanya saja saat Teguh tersenyum, Raline langsung mengingatnya. Senyum khas Teguh tetap sama seperti dulu. Yaitu tersenyum hingga ke matanya. Raline tidak bisa mendeskripsikannya dalam kalimat. Tapi yang jelas, setiap kali Teguh tersenyum, matanya menyipit hingga terlihat seperti tersenyum juga. "Ya, bisalah. Kan gue sekarang dokter. Jadi gue bisa ada di mana pun, sel
"Mas Axel, gue udah sadar. Sini cepet, gue mau liat keadaan lo. Gue mau ngecek sendiri, lo baik-baik aja apa kagak?" seru Raline lega. Untung saja Axel tidak kenapa-kenapa."Heh, terbalik, Tuan Putri. Axel yang seharusnya melihat keadaan lo. Bukannya lo yang mengecek dia." Teguh menggelengkan kepala seraya membuka pintu kaca. Axel pun segera menyerbu masuk ke ruang periksa."Mas, lo nggak apa-apa? Lo bikin gue jantungan aja!" Raline menarik Axel mendekat. Memeriksa keadaan Axel menyeluruh melalui tatapan matanya. Syukurlah suaminya dalam keadaan baik-baik saja. Tetap gagah, tampan dan rupawan seperti biasanya."Dark banget tuturnya. Udah manggil Mas eh pake lo lagi." Teguh berdecak."Gue nggak apa-apa istriku. Yang harusnya khawatir itu gue, bukan lo." Axel mengelus sayang puncak kepala Raline. Ia tidak bisa mengelus rambut ikal istrinya. Soalnya rambut istrinya sedang di sanggul."Bener-bener dark. Udah manggil istriku, eh pake lo juga." Teguh benar-benar terkesan dengan tutur pasang