"Apa?!" Mira terkejut bukan main mendengar permintaan bapaknya. Bahkan mulut Mira sampai menganga lebar dengan mata terbelalak. "Bapak yakin meminta Mira jadi istri kedua Mas Alka?" tanya Mira dengan suara bergetar menahan gemuruh di dadanya. Dia menjeda ucapannya sesaat, lalu kembali berkata, "Mira tidak mau, bahkan Mira juga tidak sudi menjadi istri kedua untuk siapapun!" Tidak bisa menahan rasa terkejut sekaligus rasa sedih dan kecewa yang bercampur aduk menjadi satu, tanpa disadari Mira berbicara dengan nada tinggi pada bapaknya. Bahkan seumur hidupnya, baru kali ini intonasi tinggi itu keluar dari mulut Mira ketika berbicara dengan orang tuanya. Kedatangan Tuan Maheer Wiraatmadja dan Nyonya Salma kali ini bagaikan malapetaka bagi Mira. Bagaimana tidak, Mira yang tidak pernah bermimpi ingin menjadi madu untuk perempuan lain, malah kini dia diminta bapaknya untuk menikah dengan pria beristri. "Mira!" hardik Pak Darma yang tidak terima anaknya melawan dengan suara keras seper
"Iya, sekarang kita masih bisa membicarakannya dengan baik. Dan jika kita menundanya, boleh jadi tak ada lagi waktu untuk selamat." Alka tak membiarkan istrinya menyelesaikan kata-katanya. Dan ia telah melangkahkan kedua kaki panjangnya hendak keluar dari kamar. Melihat itu, Amina segera menyingkap selimut besar yang membungkus dirinya. Ia lalu bergerak cepat menuruni ranjangnya hingga seluruh gerakan tubuhnya menjadi tak terkontrol, kemudian dalam satu adegan yang begitu cepat, ia jatuh tepat di bawah kedua kaki Alka. Karena sudah terjatuh, dan saat pertama kali membuka mata Amina melihat kedua kaki Alka, ia segera memeluk kedua kaki itu dengan erat, "ku mohon Mas jangan lakukan hal itu!" Ia terisak di bawah kaki suaminya sendiri. Memohon dengan hati yang paling dalam. Alka membeku, ia tadi mendengar dengan jelas suara gedebuk ketika istrinya terjatuh. Boleh jadi, besok ia akan melihat adanya luka pada tubuh istrinya, dan ia tentu tak bisa merelakan hal itu. Maka dari itu,
Sementara di kamarnya Mira menangis sendirian, di sisi lain, masih di dalam rumah besar yang sama, tepat di samping kamar tamu, tempat kamar utama kedua setelah kamar tuan dan nyonya Maheer, Amina juga tengah meremas dada sesaknya. Angin malam berhembus menusuk hati, menikam perasaan, membelenggu segala pemikiran baik, dan menonjolkan pikiran negatif dalam diri. Ketika pernikahan itu benar-benar terjadi, ketika untuk pertama kalinya dalam empat tahun ini, ia akan menghabiskan malam tanpa suaminya, dan ketika suasana malam begitu romantis menyambut hari pernikahan, ia hanya bisa tergugu sendiri, memeluk erat bantal yang biasanya di pakai oleh suaminya, dan menenggelamkan wajahnya di sana, menghirup aroma yang di tinggalkan. Malam ini, Amina tetap pada posisinya itu hingga pukul dua dini hari! Ia menegakkan tubuhnya, Kerongkongannya terasa kering. Ia pun turun dari ranjang, bagaimana pun, ia tak boleh menangis semalaman penuh, karena kalau ia melakukannya, boleh jadi besok Al
Di dalam hatinya, padahal Mira sedang mengkal dan sama sekali tak ingin di ganggu. Namun, dengan kehadiran Nyonya Salma yang terhormat ini, bagaimana pula ia bisa menolak? "Panggil aku Ibu, Nak! sekarang aku adalah Ibumu!" sebenarnya, Nyonya Salma sungguh berniat baik dengan mendatangi kamar Mira. Hanya saja, Mira yang memang sedang tak bisa berfikir dengan lebih baik, justru membenakkan kata-kata yang buruk di hatinya, yaahh, walau pada permukaan ia masih bisa menampilkan 'sedikit' senyuman. Mira, "Bagaimana Mira bisa, Nyonya?" Nyonya Salma tersenyum, ia bukannya tidak tahu kalau Mira sedang ingin sendiri. Namun jika anak itu tak segera mampu beradaptasi dengan keluarganya, bagaimana pula ia akan menjalankan kehidupan pernikahannya? "Pasti bisa! karena mulai sekarang, aku adalah Ibumu dimana pun berada." Mira terdiam, menenggelamkan kepalanya di antara lutut yang ia lipat. Bila saja ia mendengar kata-kata itu dalam keadaan yang berbeda, boleh jadi ia akan sangat meng
Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah keluarga Tuan Maheer, mereka makan dengan meninggalkan salah satu anggota keluarga yang tak memiliki udzur apapun. Dan ketika Alka dan Tuan Maheer telah berangkat kerja, saat itulah Nyonya Salma mendekati Amina di ruang tamu. Amina, "tidak, sebaiknya semua bunga itu kalian taruh saja di luar! Dan rangkailah beberapa tangkai yang masih cantik untuk hiasan di beberapa titik! Lalu buang saja yang lain! " Si pelayan yang di ajak bicara, "baik, Bu..." Pelayan itu sudah hendak pergi melakukan apa yang Amina katakan, sebelum kemudian ia kembali lagi seolah baru saja melupakan sesuatu, "lalu bagaimana dengan gabus-gabus besar itu?" Amina melihat gabus berukuran besar yang melengkapi dekorasi nikahan suaminya kemarin. berfikir sejenak, lalu berkata, "kau bakar sajalah, lagipun seperti nya kita tak akan menggunakannya lagi." Si pelayan, "baik, Bu." Amina melangkahkan dua kaki jenjangnya ke depan, hendak memeriksa bagaimana kondisi di luar.
Amina, "aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik, dan tak akan berubah hingga kapanpun!" Mendengar itu, perlahan Mira membuka bibirnya, hendak mengucapkan sesuatu, "sungguh kah?" Amina mengangguk dengan keras, "sungguh!" Mira, "sampai kapanpun kau akan tetap menjadi Mbak Amina ku yang baik hati? Yang terus memperhatikanku?" Amina, "sampai kapanpun! Kau akan selalu menjadi adikku satu-satunya!" Mira, "maukah kau berjanji?" Dan hari itu, mereka berjanji dengan kelingking untuk selalu akur selamanya! Dengan perjanjian itu, setidaknya Mira tak perlu khawatir akan pemikiran buruk tentang Madunya yang jahat. dan kalaupun di kemudian hari ia merasa sedih, setidaknya ia tahu, akan selalu ada tempat untuk bersandar. Namun siapa yang tahu, sakit hati dan rasa cemburu akan mengubah semua itu dalam sekejap? Dan Mira harus kembali menahan nafas saat waktu itu datang! **** Sore harinya, ketika tuan Maheer kembali dari kantor, ia melihat istrinya tengah melamun di dalam ka
Tuan Maheer memang menasihati istrinya untuk memberi waktu pada Mira, namun dalam hatinya (sebagai kepala keluarga utama rumah besar itu) ia tentu tak bisa menerima sikap Mira yanng menurutnya egois itu. Baginya, bila sudah menikah maka harus bisa menerima segala kekurangan suami dan keluarganya. Tapi lihatlah apa yang Mira lakukan! Di hari pertama bahkan ia telah berani melanggar tradisi keluarga yang paling di hormati semua orang hanya karena mementingkan perasaannya sendiri, bukankah itu adalah perlakuan egois dan sangat tidak pantas? Seumur hidup, Tuan Maheer telah di ajarkan untuk disiplin dan benar-benar mematuhinya hingga kini usianya telah mencapai kepala lima. Maka dari itu, ketika Nyonya Salma memejamkan kedua mata khawatir nya, ia beranjak keluar dari kamar utama tanpa membersihkan badan terlebih dahulu. Di depan pintu, ia melihat seorang pelayan yang tengah membersihkan meja hias, "apakah Nona Mira telah keluar?" Pelayan itu menunduk, menunjukkan rasa hormat ya
Sementara Amina terus memikirkan bagaimana pernikahan suaminya dengan Mira, di dalam kamarnya, Mira justru masih bertahan terdiam di sana. Malam telah kembali menyapa, sedang ia tak kunjung bisa memuaskan hatinya yang lara. Makanan di meja telah dingin sejak beberapa jam yang lalu, itu adalah makanan kedua yang Amina kirim untuknya, dan ia sama sekali tak berselera dengan makanan yang kaya akan rasa itu. Tok! Tok! Tok! Mira menghela nafasnya, hari ini, terhitung lebih dari sepuluh kali pintu kamarnya di ketuk. Dan pelakunya siapa lagi, kalau bukan Amina atau pelayan? Amina berjalan mendekat setelah menghidupkan sakelar lampu sebelah pintu, dan terlihatlah Mira yang masih setia duduk memeluk kakinya di atas ranjang. "Kau bahkan sama sekali tak menyentuh makananmu?" Mira mendongak, melihat Amina yang tersenyum dengan senampan makanan yang masih mengeluarkan kepulan uap di atasnya. Huh, Lagi-lagi tentang makan! Amina, "kau boleh marah pada semua orang, bahkan tidak ter
Renjana berhenti, menatap kebelakang, tanpa senyum menggoda seperti biasa, hanya senyum sopan sebagai seorang pria. "Kalau kau ingin memarahiku, silahkan saja. Bagaimana pun aku juga ada salah, telah menggoda istri orang."Mira menahan senyumnya, ternyata pria ini memiliki sedikit rasa empati juga! Ia mengulurkan tangan ke arah Renjana, "saat pertama kali aku melihatmu, aku memang sangat marah. Bahkan, baru saja aku juga merasa begitu. Hanya saja, setelah aku pikir-pikir, dari seluruh orang yang berada di dalam kapal raksasa ini sekarang, hanya kau orang yang ku kenal. Jadi, mungkin kita bisa berteman?"Renjana menatap uluran tangan Mira sebentar, mengedikkan bahu, membalas uluran tangannya, "aku tidak biasa berteman dengan seorang wanita sebagaimana mestinya, kau tentu tahu itu. Tapi bagi seorang wanita terhormat seperti mu, hatiku meminta pengecualian."Sebenarnya Mira lumayan faham dengan apa yang Renjana katakan. Hanya saja, karena takut salah menebak, Mira perlu memastikannya, "
"Kenapa? Kau sakit jantung?"Renjana menggeleng sedih, "bukan jantung, tapi hati."Setelah di dorong oleh Renjana tadi, jarak antara Mira dan pintu menjadi agak jauh. Dan sekarang Mira kembali berjalan mendekati pintu dan membukanya, "aku bukan dokter! Kalau kau sakit cepat pergi ke ruang kesehatan, kalau kau tak tahu jalannya, kau lurus saja dari sini, nanti naik ke lantai dua, di sana ada ruang kesehatan paling luas di kapal!"Wajah Renjana jadi muram, "aku tak mau ke dokter!""Kenapa? Kau bukan orang miskin yang kekurangan uang! Lagi pun, bagi pelanggan VIP, fasilitas kesehatan itu bisa kau ambil secara gratis!"Renjana terlihat tak ingin menjawab perkataan Mira. Ia malah berjalan santai ke arah kasur gadis itu. Mira yang tak menduga apa yang akan Renjana lakukan sebelumnya merasa kaget, "apa yang kau lakukan? Pergi dari sana!"Dengan santai Renjana melepas sepatunya dan berbaring di ranjang Mira, "kau sama sekali tak tahu masalah hati antara pria dan wanita ya?"Merasa khawatir,
Drrrt drrt drrtt! Sedari tadi ia berjalan menuju kamarnya, Renjana terus merasa kan ponselnya bergetar asa yang menelpon. Namun memang sengaja tak ia angkat kala mengetahui siapa sumber dari suara itu. Sekarang ketika ia berbaring dengan lelah di atas kasurnya, ponsel itu tak henti mengeluarkan getaran menyebalkan! Dan ketika Renjana hendak menonaktifkan ponselnya, sebuah pesan dengan huruf besar-besar muncul, "ANGKAT TELPONNYA BODOH!!!" Renjana tak ingin menghiraukannya. Namun tangannya gatal untuk menekan ikon hijau dan mendengar apa yang akan orang itu katakan, {"AKU MENYURUHMU KE KOTA RINTIS DAN MENGAMBIL ALIH TANAH KELUARGA MAHEER, BUKAN MALAH NGELAYAP DENGAN KAPAL ITU!!!"} Suara teriakan itu, membuat Renjana langsung menjauhkan ponselnya dari telinga, ia menjawab dengan tenang, "kau hampir membuatku tuli!" Si penelepon, Tuan Daksa, yang apalah daya adalah ayahnya sendiri di sebrang sana tengah uring-uringan. Ia tadi mendapat kabar dari asisten nya bahwa Renjana mengung
"Tapi itu fitnah!" Renjana sudah akan memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Tiba-tiba ia seolah dapat ide besar, "kalau begitu, bagaimana kalau kita jadikan itu tidak fitnah?" Mira memikirkan dengan baik apa yang di maksud dengan ucapan Renjana. Dan ketika ia menyadari nya, ia hampir berteriak karena kesal! Untung saja, pikiran normalnya mampu menganalisis keadaan sehingga tam melakukan hal bodoh itu. Dan sebagai gantinya, Mira menatap Renjana penuh remeh, "jadi, begitu caramu merayu semua wanita?" Dengan ringan Renjana menjawab, "tidak juga, kebanyakan mereka yang menggodaku. Boleh di bilang, aku baru melakukan ini untukmu saja!" Mira mendengus dengan mulut penuh, sama sekali tak percaya yang Renjana katakan, "omong kosong!" "Kata siapa omong kosong?" "Kataku, tentu saja!" Renjana menaikkan sebelah alisnya, "kau tak lihat apa yang barusan Maria lakukan padaku?" "Namanya Ling Ling!" "Ya itu dia, Ling Ling!" "Tidak!" Dengan segera Renjana meletakkan alat
Habis sudah seluruh kata-kata dalam benak Mira. Bagaimana bisa ada orang yang begitu mudah berkata ingin menjadi pacarnya! Renjana, "pertama-tama, aku ingin tahu siapa namamu dulu?"Lihatlah! Ia bahkan tak tahu siapa namanya! Renjana kembali meneruskan kata-kata nya, "jadi, mari kita lupakan masalah kemarin dan berkenalan dengan lebih baik. Namaku Renjana..." Ia mengulurkan tangannya ke arah Mira. Mira, "...."Entah mengapa pria itu selalu bisa membuat mulutnya terbungkam! Renjana, "ayolah, kita berdua sama-sama telah dewasa, lupakan masalah kemarin, bukankah kita berdua sama-sama salah? Kau salah memasuki kabinku, dan aku salah mengenalimu sebagai gadis penghibur."Mira telah membuka mulutnya hendak protes, namun sebuah suara yang sangat merdu menginterupsi nya, "kak Renjana, kau ada di sini juga?"Seorang gadis berwajah oriental yang khas, berkulit putih dengan mata sipit dan tubuh ramping, datang dan langsung mendudukkan dirinya di pangkuan Renjana. Renjana sama sekali tak me
Malam harinya, Mira kembali membersihkan diri dan keluar untuk makan. Sejak pagi tadi, karena merasa terlalu kesal, Mira bahkan sampai tam merasakan lapar sama sekali. Namun sekarang justru perutnya terasa keroncongan. Di kapal itu sebenarnya menyediakan layanan antar makanan hingga ke kamar. Tapi karena Mira sudah merasa sumpek di kamar seharian, ia memilih keluar sekalian jalan-jalan. Untung saja ketika kemarin ia memutari hampir setengah isi kapal demi mencari kamarnya, ia sempat melihat restauran besar di bagian tengah. Jadi, ketika sekarang akan keluar, Mira tak perlu khawatir tersesat. Mira mengedarkan pandangannya, tempat makan itu begitu luas, mewah, dan sangat bersih. Banyak sekali orang dari kalangan elit tengah makan di jam ini. Meskipun begitu, masih terlihat beberapa meja kosong di bagian ia berdiri. Mira tersenyum, "bahkan sebuah kapal bisa memiliki restauran seluas pasar!""Tentu saja, Nona. Kapal ini sangat besar, dengan sembilan ratus tiga puluh kamar, bisa me
Setelah berganti pakaian, Mira merasa sedikit lebih baik, meski rasa jengkel masih menancap di hatinya. Ia lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan menatap dompet tebal dari Alka, "ternyata dia mewarisi sikap keras kepala ibunya,"Ia lalu membuka dompet itu, dan terbengong melihat segepok uang di dalamnya, "di malam pertama kau memberiku kartu bank, dan sekarang memberiku banyak uang!" Apakah Alka hanya memperistri nya untuk berfoya-foya? Mira mengedikkan bahunya, biarlah apa yang Alka lakukan! Selagi pria itu tak berbuat jahat, Mira bisa menerimanya. Ketika Mira hendak menutup dompet itu kembali, ia melihat sebuah kertas yang lain berada di baris paling pojok uang itu. Seperti memang berniat agar ia bisa melihatnya. Baiklah, apa lagi kali ini? Ia membuka selembar kertas putih itu, dan terlihatlah tulisan tangan yang rapi dan berkarakter! [Ini nomorku, telepon aku jika terjadi sesuatu!] lalu di bawahnya tertera nomor yang berjumlah dua belas. Mira tersenyum, "jadi, beginik
Setelah suara itu lenyap, Renjana segera kembali ke arah pintu dan menempelkan kartunya di sana. Setelah terdengar bunyi klik, ia menyeringai kecil, dan kembali menutup pintunya dari dalam. Maka, saat itulah ia melihat koper milik Mira yang masih tergeletak di pojok ruangan! "Saking kesalnya padaku, dia bahkan lupa membawa koper miliknya. Lalu, ia akan ganti pakai apa?"Renjana mengingat nomor kabin Mira dengan baik. Ia berjalan maju, meraih koper itu dan segera menggeretnya pelan. Namun, setelah di pikir-pikir. Bukankah akan lebih baik jika membiarkannya yang datang sendiri untuk mengambil? Memikirkan dapat melihat wajah memelas gadis keras kepala itu, wajah Renjana menyeringai senang. "Sepertinya, liburan kali ini tak akan pernah merasa bosan!"****Mira masih berada di jalan ketika pengumuman itu bergema di seluruh kapal. Dan saat ia telah mencapai pintu, salah satu di antara petugas yang mengantarnya berkata, "Nona, untuk memastikan sekali lagi bahwa ini adalah kabinmu yang
Mira merasakan dunianya tiba-tiba berputar dan hampir limbung karenanya. Dengan segera ia meraih tiket miliknya untuk ia baca berulang kali. Sayangnya, entah seratus kali pun ia membaca, tulisan di sana juga tak akan berubah dalam sekejap. Ia menghembuskan nafas berat, melirik tajam ke arah Renjana yang menatap penuh kemenangan. Lalu, dengan begitu impulsif ia berjalan hendak keluar dari kamar itu. Nyatanya, Mira melupakan bahwa ia sama sekali tak tahu di mana letak persisnya kamar VIP B nomor 12 itu. Dan ketika ingat, tangannya yang telah meraih handle pintu terhenti, "kalau begitu, bisakah kalian antar saya ke kamar ini?" Ia melambaikan tiket ~yang andai kata mampu, akan langsung ia telah hingga remuk~ di depan wajahnya. Salah satu petugas mengangguk penuh sopan, ia lalu mempersilahkan Mira untuk berjalan lebih dulu. Namun, baru saja Mira berhasil kembali meraih handle pintu, suara Renjana menginterupsi, "kau yakin akan k