Share

bab 3; hati yang tak rela

Sementara di kamarnya Mira menangis sendirian, di sisi lain, masih di dalam rumah besar yang sama, tepat di samping kamar tamu, tempat kamar utama kedua setelah kamar tuan dan nyonya Maheer, Amina juga tengah meremas dada sesaknya.

Angin malam berhembus menusuk hati, menikam perasaan, membelenggu segala pemikiran baik, dan menonjolkan pikiran negatif dalam diri.

Ketika pernikahan itu benar-benar terjadi, ketika untuk pertama kalinya dalam empat tahun ini, ia akan menghabiskan malam tanpa suaminya, dan ketika suasana malam begitu romantis menyambut hari pernikahan, ia hanya bisa tergugu sendiri, memeluk erat bantal yang biasanya di pakai oleh suaminya, dan menenggelamkan wajahnya di sana, menghirup aroma yang di tinggalkan.

Malam ini, Amina tetap pada posisinya itu hingga pukul dua dini hari!

Ia menegakkan tubuhnya, Kerongkongannya terasa kering. Ia pun turun dari ranjang, bagaimana pun, ia tak boleh menangis semalaman penuh, karena kalau ia melakukannya, boleh jadi besok Alka akan menyadarinya dan sesuatu yang tak di inginkan akan terjadi.

Maka ia langkahkan kakinya menuju meja di sudur ruangan, meraih teko air, namun karena teko itu sempurna kosong, ia pun melangkah keluar, hendak mengambil air di dapur.

Mendengar suara pintu di buka, kedua mata berat Nyonya Salma langsung terbuka, dan ia mendapati menantu pertamanya tertegun melihat kehadirannya.

"Ibu? Kenapa Ibu ada di sini?"Amina menanyakan pertanyaan itu, padahal dalam hatinya ia tentu tahu alasan Nyonya Salma tertidur di balik pintu kamarnya.

" Kau butuh apa-apa nak? Ada yang bisa Ibu bantu?"

Amina menggeleng, merasa sangat terharu dengan mertuanya itu, "tidak, Bu. Amina hanya ingin mengambil air di dapur."

"Kalau begitu biar Ibu ambilkan, kau tunggu saja di sini, ya?" Ia segera melangkahkan kedua kakinya, namun belum genap langkah kedua, Amina telah mencekal lengannya.

"Amina bisa sendiri, Bu."Amina lalu mencoba menuntun mertuanya ke arah kamar utama, " Ibu istirahat saja, tak perlu khawatirkan Amina."

"Tapi, Nak. Di jam segini dan cuaca yang dingin seperti ini, tidak baik bagimu mengenakan pakaian tipis ini. Kau harus lebih mementingkan kesehatanmu dengan menambah pakaian yang kau miliki."

"Iya, Bu. Nanti Amina pakai baju tiga lapis." Ia tersenyum, menyuruh mertuanya memasuki kamar lewat isyarat tangan dengan sopan.

Amina ingat, dua bulan setelah pernikahannya dengan Alka dulu, ia sempat mengalami demam tinggi akibat cuaca yang terlampau dingin.

Saat itu, Nyonya Salma dengan telaten membuatkannya minuman jahe dan memberinya pakaian yang lebih banyak.

Waktu itu, Amina kira Nyonya Salma hanya menyuruh pelayan yang membuatkan minuman jahe itu, kemudian beliau yang memberikannya padanya. Namun siapa sangka, jika ternyata Nyonya Salma benar-benar membuat minuman jahe itu dengan kedua tangannya sendiri? Dan Amina baru mengetahui kenyataan itu setelah seorang pelayan yang mengatakannya padanya.

Di kota kami, siapa yang tak kenal keluarga Tuan Maheer Wiraatmadja yang arif dan terhormat itu? Keluarga pemilik tanah seluas tujuh puluh hektare yang mereka tempati, pemilik ladang-ladang yang mereka garap untuk mengais rezeki. Kalian sebutkan saja salah satu nama mereka di pasar, di sawah, di peternakan, bahkan di gang sempit tempat para pemuda nakal menegak minuman terlarang mereka, maka dengan segan mereka akan mendengarkan.

Dan untuk kesekian kalinya, Amina harus merasa bersyukur, telah menjadi salah satu bagian dari keluarga baik ini.

Tiba-tiba kedua mata Nyonya Salma mengembun, lalu sedetik kemudian ia memeluk erat tubuh menantu pertamanya itu, "maafkan Ibu, nak. Maaf..."

"Tak ada yang perlu di maafkan, Bu. Amina... Baik-baik saja."

Amina berkata ia baik-baik saja, namun suaranya jelas terasa bergetar di telinga Nyonya Salma, "dalam hal ini, kau patut menyalahkan Ibu, Nak! Ibu lah yang terlalu egois menginginkan seorang keturunan!"

Amina membalas pelukan Nyonya Salma tak kalah erat, namun ia sama sekali tak menitihkan air matanya. Karena jika ia menangis, boleh jadi mertuanya itu akan semakin khawatir.

"Tidak, Bu! Ibu sama sekali tak bersalah. Amina juga ingin menimang seorang anak. Dan boleh jadi, ini adalah cara sang Maha Kuasa untuk memenuhi keinginan Amina itu."

Kedua mata Nyonya Salma yang memang telah mengembun, tak lagi mampu membendung air di dalamnya, "tapi kau harus mengorbankan perasaanmu sendiri, Ibu sungguh minta maaf, Nak. "

Tanpa mereka sadari, di belakang mereka, tepatnya di sela-sela pintu kamar tamu yang tak di tutup rapat, terdapat sepasang mata berembun yang mengamati mereka dengan perasaan haru. Dan lagi-lagi, pemilik mata itu harus membenak: kenapa semua wanita harus selalu mengorbankan perasaan mereka dan menyalahkan diri sendiri?

Ia tetap mengawasi dua wanita yang sangat ia cintai itu dari jauh. Lalu sebelah tangannya menekan jari manis yang kini memakai dua cincin pernikahan.

****

Pagi harinya, sudah menjadi tradisi keluarga besar Tuan Maheer untuk selalu melakukan sarapan bersama. Dan sudah dua kali seorang pelayan bolak balik ke kamar Mira untuk mengingatkan hal itu, namun Mira sama sekali tak mengindahkannya, dan ia justru hanya duduk termenung di atas kasurnya saja.

Ketika pelayan itu kembali ke ruang makan, dan melaporkan hasil yang ia dapat dari kamar Mira, semuanya sama sekali belum menggerakkan tangan untuk makan.

Demi mendengar hal itu, Nyonya Salma langsung berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah kamar Mira.

Tok tok tok!

Dari dalam, Mira mendengar pintu kamarnya di ketuk, namun karena menduga bahwa mungkin yang mengetuk itu hanyalah pelayan yang telah dua kali masuk pagi ini, ia tak menghiraukannya.

Tok tok tok!

Terserahlah! Entah seratus kalipun pelayan itu mengetuk pintu, Mira juga tak mau membukakannya, karena ia tahu, pelayan itu hanya akan menyuruhnya makan! padahal rasa mual di hatinya telah merambat hingga ke seluruh bagian tubuh, dan ia tak mampu membayangkan jika ada makanan barang secuilpun masuk ke dalam mulutnya.

Ia sungguh tak merasa lapar, meski terkahir kali ia makan di pagi hari sebelum hari pernikahan. Itu artinya, dua hari sudah perut Mira tak kemasukan apapun!

Ceklek!

Mendengar pintunya yang di buka dari luar, Mira mendecih kecil. Lihatlah! Pelayan itu bahkan sangat memaksanya untuk hanya sekedar makan! bagi seseorang yang terbiasa hidup sederhana, hal itu terasa sangat mengganggu baginya.

"Mira!"

Suara itu? Mira sangat mengenalinya, dan ia segera membenarkan posisi duduknya ketika sang pemilik suara mulai maju mendekatinya (itu adalah gerakan reflek yang sering di lakukan orang-orang di desanya ketika tahu, salah satu dari keluarga terhormat Tuan Maheer datang).

"Nyonya Salma!"

Nyonya Salma tersenyum, mendaratkan dirinya tepat di samping Mira dan mengelus pelan rambut halusnya, "mari sarapan!"

Mira ingat, ini bukanlah pertama kalinya nyonya Salma memegang kepalanya, dulu, saat ia bersedia meneruskan sekolah dengan di biayai oleh keluarga nya, Nyonya Salma juga melakukan hal yang sama.

Bahkan, Nyonya Salma mendo'akannya dengan begitu tulus, agar dapat meraih kebahagiaan di masa depan.

"Tapi, Nyonya, Mira tidak lapar."

"Jangan panggil aku Nyonya sayang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status