Share

Bab 2; Antara pernikahan dan perasaan

"Iya, sekarang kita masih bisa membicarakannya dengan baik. Dan jika kita menundanya, boleh jadi tak ada lagi waktu untuk selamat." Alka tak membiarkan istrinya menyelesaikan kata-katanya. Dan ia telah melangkahkan kedua kaki panjangnya hendak keluar dari kamar.

Melihat itu, Amina segera menyingkap selimut besar yang membungkus dirinya. Ia lalu bergerak cepat menuruni ranjangnya hingga seluruh gerakan tubuhnya menjadi tak terkontrol, kemudian dalam satu adegan yang begitu cepat, ia jatuh tepat di bawah kedua kaki Alka.

Karena sudah terjatuh, dan saat pertama kali membuka mata Amina melihat kedua kaki Alka, ia segera memeluk kedua kaki itu dengan erat, "ku mohon Mas jangan lakukan hal itu!" Ia terisak di bawah kaki suaminya sendiri. Memohon dengan hati yang paling dalam.

Alka membeku, ia tadi mendengar dengan jelas suara gedebuk ketika istrinya terjatuh. Boleh jadi, besok ia akan melihat adanya luka pada tubuh istrinya, dan ia tentu tak bisa merelakan hal itu.

Maka dari itu, Alka menjatuhkan seluruh badannya, dan memeluk Amina di atas lantai dingin kamar mereka, "tapi Mas harus melakukannya, Mas sungguh hanya memiliki satu hati, dan telah di penuhi sesak olehmu!"

Amina menggeleng cepat, "tapi Mas tidak boleh melakukannya! Sore tadi Ayah dan Ibu telah berangkat ke rumah Mira, mereka telah mengatakan niat baik itu pada mereka! "

"Niat baik kau bilang?" Alka menatap istrinya tak percaya. Menjadikan seorang gadis baik-baik sebagai seorang istri kedua, mana bisa di bilang sebagai niat baik? "Dengar, boleh jadi memang Ayah dan Ibu telah menyampaikan lamaran itu pada keluarga mereka, tapi Mas yakin! Mereka pasti belum menjawabnya sekarang!"

Amina memohon dengan tangisan di dada Alka, "maka dari itu, Mas! Jika dalam keadaan ini Mas justru datang dan mematahkan niat itu sepihak, bukankah akan sangat merendahkan keluarga mereka?"

"Bukankah akan lebih merendahkan ketika Mas menikahinya hanya untuk memproduksi seorang bayi? Itukah yang kau inginkan? Kau ingin menyakiti hati wanita lain demi kebahagiaan keluarga kita? "

Amina menggeleng putus asa, bukan itu yang ia maksud. Kedua tangannya mencengkeram erat pinggiran baju suaminya, dan ia tak akan membiarkan Alka pergi barang satu langkahpun!

Alka menghembuskan nafasnya, mendongak ke arah langit.

Ia tahu, sungguh teramat tahu, apa yang istrinya pikirkan saat ini. Maka dari itu, melihat istrinya yang begitu putus asa di dadanya, ia tak tahan untuk tidak menggerakkan kedua tangannya dan memeluk hangat tubuh istrinya dan berbisik, "maafkan Mas, Mas yang telah salah, sama sekali tak mau mengerti perasaan mu. " Ia mengelus pelan pundak Amina, dan dalam satu gerakan yang dramatis, mengecup kening Amina lama sekali, "Mas akan menikahinya, tapi ingatlah! Hal ini Mas lakukan semata-mata hanya demi dirimu. "

****

"Apa yang ingin kau katakan!?" Renjana menatap dingin orang yang duduk di kursi kebesaran yang tak jauh di depannya.

"Aku telah memikirkan ucapanmu kemarin, tentang membebaskan 'dia' dari rumah bordil itu." Orang itu, yang apalah daya adalah ayah Renjana sendiri, menghisap rokoknya dalam sekali.

"Kau... " Renjana ragu-ragu sejenak, ia takut dirinya hanya di jebak oleh ayahnya sendiri, seperti yang telah sudah-sudah, "kau sungguh akan membebaskannya?"

Orang itu mengangguk kecil, "aku akan membebaskannya, dengan syarat kau harus mengambil alih tanah seluas tujuh puluh hektare milik keluarga Maheer!"

Kedua tangan Renjana mengepal di dua sisi. Ia tahu, orang itu, yang bahkan tak sudi ia menyebutkan namanya, pasti akan meminta sesuatu yang muluk darinya.

"Kau telah mendapatkan begitu banyak selama ini dariku, bahkan itu semua tak sanggup membebaskannya?"

"Aku telah memberimu jalan keluar, tentang mau atau tidak, itu semua terserah padamu! Lagipun, selama ini juga kamu telah mendapat banyak dari kerja kerasmu itu. Bukankah kau selalu di kenal sebagai Tuan Muda Renjana?"

Renjana mendecih, semua itu tak berarti karena ia tak ubahnya 'kacung' yang melayani keluarga bahagia ayahnya dan Ibu tirinya.

"Mari kita buat surat kesepakatan bermaterai!" Ucap Renjana kemudian.

"Oh, hei! Kau bahkan butuh surat bermaterai untuk mengancam Ayahmu?"

Kedua mata seindah bunga persik milik Renjana menyipit penuh kebencian,"Kau sungguh menganggap dirimu sebagai Ayahku?"

"Aku memang Ayahmu!"

"Tapi aku bukan Anakmu!"

Orang itu menghela nafasnya, merasa percuma berdebat dengan anaknya, "kalau begitu, terserah padamu!" kemudian ia menarik sebuah kertas putih dan menempelkan materai di sana, kemudian menuliskan kesepakatan itu dan menyodorkan nya ke arah Renjana.

Renjana menerima kertas itu, membacanya dengan teliti, kemudian menambahkan kata 'harus' untuk menggantikan kata 'akan' pada kalimat: 'akan membebaskan Ningrum'.

****

Dua minggu kemudian. Tujuh mobil mewah datang dari rumah besar keluarga Tuan Maheer untuk menjemput mempelai wanita dan kerabatnya.

Mira telah memakai pakaian pengantin yang begitu indah, anggun, berkelas, dan sangat sedap di pandang mata.

Wulan, ~adik perempuan Miraa~ meremas pelan tangan kakaknya. Ia tahu apa yang terjadi, namun memutuskan untuk bungkam, dan seolah tak mengerti apa-apa. Sedang ke empat adik laki-laki mereka justru tengah bergaya dengan jas yang di berikan Nyonya Salma seminggu yang lalu.

Butuh waktu satu jam, hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah yang begitu megah.

Kedatangan keluarga dari kalangan rendah itu di sambut hangat oleh tuan rumah. Nyonya Salma bahkan langsung menghampiri Miraa dan mencium wajahnya. (Eh, maksudnya, mencium kain yang menutupi wajah Mira) dengan suka cita.

Mira dan para tamu kemudian di giring memasuki ruang tamu keluarga yang telah di sulap sedemikian rupa, lengkap dengan sebuah satir setinggi satu setengah meter di tengah-tengah mereka.

Aisha kemudian di dudukkan di kursi paling depan dan langsung di sambut oleh sepasang tangan hangat di sampingnya, "Mira, aku senang kau akan segera menjadi adikku. "

Tanpa perlu Mira membuka kain yang menutupi wajahnya, ia tahu siapa yang tengah mengajaknya bicara.

Itu Amina, siapa lagi?

Amina kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Mira yang tertutup kain, "di masa mendatang, jika butuh sesuatu, maka tak perlu sungkan untuk mencari ku, ya! "

Tak perlu menunggu lama, suara penghulu terdengar dari pengeras suara yang telah di siapkan, lalu terdengarlah suara Alka yang tegas berwibawa, "saya terima nikah dan kawinnya Almira Bestari binti Bapak Darma dengan mas kawin tersebut, tunai. " Dan para tamu menggumamkan kata 'sah' yang hanya terdengar dari telinga kanan Mira dan keluar lewat telinga kiri.

Amina menggenggam tangan Mira, ia dengan setulus hati mengucapkan, "selamat datang di keluarga kami, Mira. "

Mira masih tetap terdiam, telinganya tiba-tiba tuli dengan gema ucapan 'sah' yang baru saja ia dengar. dan sekali lagi, ia harus merasa bersyukur karena baju pengantinnya yang di lengkapi dengan kain penutup wajah. Karena jika tidak, entah bagaimana ia harus menyembunyikan wajahnya sekarang ini?

"Mbak Amina, " Tanpa sadar, Mira memanggil Amina di sebelahnya.

"Iya, Mira? "

Mira ingin mengucapkan sesuatu, Kata-kata itu telah sampai di tenggorokannya, namun tertelan kembali ketika telah sampai di ambang mulut. Ia semakin menundukkan kepalanya, dan sebagai gantinya, justru berkata, "mohon bimbingannya, " Dengan suara agak sedikit bergetar.

Hari itu, ketika orang-orang bersuka cita dengan pernikahannya, memakan berbagai macam hidangan yang tak mungkin bisa mereka makan di kehidupan sehari-hari, Mira malah sibuk sekali dengan pemikirannya sendiri. Ia bahkan sampai tak menyadari, bagaimana keseluruhan acara itu di langsungkan, bagaimana para tamu (yang bagi keluarga Tuan Maheer tak seberapa, namun bagi keluarga Mira sangat banyak) itu pamit pulang.

Dan yang paling miris, ia bahkan tak menyadari bagaimana bisa ia kini telah berada di sebuah kamar yang begitu luas? Dengan sebuah ranjang king size dengan kasur empuk di atasnya, dan entah bagaimana hari sudah begitu gelap? Matahari yang bersinar terang tadi siang, telah berganti dengan cahaya rembulan yang menyabit indah.

Dengan langkah pelan, Mira mendekatkan diri dengan jendela yang menjulang dari lantai ke langit-langit. Ia meletakkan telapak tangannya pada kaca dingin itu, merasakan cahaya rembulan yang tak mungkin ia gapai.

Tok! Tok! Tok!

Miraa masih sangat asik melihat rembulan di langit, sama sekali tak memperdulikan siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya, karena ia tahu siapa yang akan masuk.

Ceklek!

Pintu kamarnya terbuka, seseorang masuk, kemudian tertutup lagi, dan Mira masih enggan mengalihkan pandangannya.

"Maaf, karena tak menunggu jawaban darimu terlebih dahulu, dan aku langsung masuk begitu saja, " Dan suara seindah gesekan biola milik Alka terdengar di telinga Mira.

Alka berdiri tepat di depan pintu. Sama sekali tak berniat melangkah lebih dekat ke arah Mira. Ia pun mulai berbicara di sana, "suatu ketika aku pernah mendengar seseorang berkata: hanya seorang wanita yang mengerti perasaan wanita lain. Namun aku tidak tahu, bagaimana kalian para wanita dengan begitu mudahnya mengorbankan perasaan kalian sendiri? "

Alka berdeham pelan, sosok tinggi tegapnya tetap tak berniat melangkah maju. Kedua mata cokelatnya mengikuti arah pandang Mira, memandang rembulan yang menyabit indah, sama sekali tak berniat menatap punggung Mira yang indah berbalut baju pernikahan.

"Hari ini mungkin aku memang menikahi mu, tapi jujur saja, aku sangat mencintai istriku hingga rasanya mustahil hatiku menerima kehadiran hati yang lain. Setiap hari, setiap waktu, aku selalu bisa mencintai istriku tanpa syarat... Aku tahu, mungkin ini memang tak mudah bagimu, namun sekarang akan aku katakan. Amina membagi waktuku untuk kalian berdua dengan begitu adil, semalam di kamarnya, dan semalam lagi di kamarmu, namun karena kita baru saja menikah, maka dalam waktu seminggu ini aku sempurna milikmu."

Terdengar helaan nafas berat, sebelum Alka melanjutkan, "namun hatiku mengatakan agar jangan terlalu egois. Dengan meniduri mu yang boleh jadi tak bisa menerima ketidak berdayaan ku ini, bukankah sama saja aku hanya memanfaatkan mu? Aku melihatmu begitu baik, bahkan, setiap kali Amina berbicara tentangmu, aku selalu berfikir betapa kau adalah seorang gadis yang cantik dan pintar.

Mengingat itu, entah bagaimana cara Ibu membujuk mu, hingga akhirnya kau mau menerima pernikahan yang tak akan pernah sempurna ini?

Maka dari itu aku memutuskan, setiap kali giliran tidur di kamarmu datang, aku akan tidur di kamar tamu. Dan suatu saat, setelah kita bisa lebih bersahabat dengan takdir, dan saat kau telah mau menerima ketidak berdayaan ku ini, maka datanglah ke kamar tamu, dan mari kita lakukan."

Alka berjalan dua langkah ke depan, meraih kartu bank di sakunya, dan meletakkannya di atas meja, dekat dengan buku nikah milik Mira, "di dalam kartu ini, terdapat uang yang akan ku tambah setiap harinya. Kau gunakanlah uang itu! Sandinya 222222."

Setelah mengucapkan hal itu, Alka membalikkan badannya, hendak keluar dari kamar Mira. Namun ketika tangannya telah berhasil memegang handle pintu, ia berhenti, membasahi bibirnya dengan tak nyaman dan berkata, "selamat malam, Mira." Lalu ia benar-benar meninggalkan Mira di malam pertama!

Mira masih terus menatap rembulan dari balik dinding kaca kamarnya. Namun kini pandangan matanya mulai mengembun, membuat kabur bayangan rembulan sabit itu, dan satu tetes air mata lolos membasahi pipinya, menggenang terlebih dahulu di pangkal dagu, kemudian meluncur bebas ke bawah, membasahi lantai murmer yang begitu terasa dingin di kaki telanjangnya.

Malam itu, bahkan langit yang semula cerah tak tersapu awan tiba-tiba menggelap. Bagai ada yang usil menuangkan tinta hitam di sana, maka, hilang sudah rembulan sabit itu, juga jutaan atau bahkan miliaran bintang yang mengiringinya, tergantikan dengan awan hitam pekat sepekat hati Mira.

Lalu perlahan, beberapa tetes air hujan mulai turun, membasahi kota kami dengan begitu murah hati.

Lihatlah! Jika saja Mira memiliki pernikahan yang lebih baik, bukankah segala suasana ini teramat sempurna? Malam yang dingin di sertai suara hujan sebagai musik alami.

Namun sayangnya, Miraa tak bisa merasakan bagaimana indahnya malam pertama yang sering ia baca di novel romansa. Segala suasana malam ini malah terasa begitu memilukan baginya, membuat hati yang menangis kian menjerit, dan membuat mata yang memanas kian memburam.

dalam hatinya, mau tak mau Mira terus membenak: 'Lagi-lagi keluarga ini memberiku uang, menumpukkan rasa perlu membalas budi hingga mungkin bukan hanya aku, bahkan seluruh dunia pun rela bersujud di hadapan mereka! '

Ia berjalan perlahan ke arah meja, meraih kartu bank dan akta nikahnya, lalu memasukkan keduanya ke dalam satu kantung hitam.

Malam ini, Miraa sempurna menghabiskan waktu dengan menangis dan terus menangis.

Di sisi lain, Alka keluar dari kamar Mira dengan hati sesak, dan ketika ia telah berhasil melewati pintu, mau tak mau kedua netranya memandang kamar Amina yang berada tepat di samping kamar tamu. Tanpa sadar kakinya melangkah ke sana, namun ketika ia telah berhasil mencapai depan pintu, akal sehatnya memancarkan sinyal ketidakmungkinan yang kuat, hingga dapat mengendalikan diri untuk tidak menggapai handle kamar yang setiap hari ia buka tanpa perlu mengetuk terlebih dahulu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status