Di dalam hatinya, padahal Mira sedang mengkal dan sama sekali tak ingin di ganggu.
Namun, dengan kehadiran Nyonya Salma yang terhormat ini, bagaimana pula ia bisa menolak? "Panggil aku Ibu, Nak! sekarang aku adalah Ibumu!" sebenarnya, Nyonya Salma sungguh berniat baik dengan mendatangi kamar Mira. Hanya saja, Mira yang memang sedang tak bisa berfikir dengan lebih baik, justru membenakkan kata-kata yang buruk di hatinya, yaahh, walau pada permukaan ia masih bisa menampilkan 'sedikit' senyuman. Mira, "Bagaimana Mira bisa, Nyonya?" Nyonya Salma tersenyum, ia bukannya tidak tahu kalau Mira sedang ingin sendiri. Namun jika anak itu tak segera mampu beradaptasi dengan keluarganya, bagaimana pula ia akan menjalankan kehidupan pernikahannya? "Pasti bisa! karena mulai sekarang, aku adalah Ibumu dimana pun berada." Mira terdiam, menenggelamkan kepalanya di antara lutut yang ia lipat. Bila saja ia mendengar kata-kata itu dalam keadaan yang berbeda, boleh jadi ia akan sangat menghargainya dan merasa terharu dengan ketulusannya. Tapi lihatlah apa yang Mira lakukan sekarang! ia justru menunduk dalam-dalam seolah kedatangan Nyonya Salma mengganggu saja. Ia bahkan dengan begitu kentara, menghela nafasnya. Sungguh! Mira tak memiliki maksud lain, ia juga tak ingin menyakiti hati selembut sutra Nyonya Salma. Hanya saja, ketika mendengar kata-kata tulus dari mulut Nyonya Salma, Mira tak lagi bisa membendung air matanya, dan ia tak mau Nyonya Salma mengetahui hal itu. maka dari itu, Satu-satunya yang bisa Mira lakukan hanyalah terus menenggelamkan kepalanya dan tak berniat menjawab perkataan dari Nyonya Salma. Karena selama ia bisa menutup mulut, maka Nyonya Salma tak akan menyadari tangisannya. Nyonya Salma, "Baiklah kalau tidak mau makan sekarang, Ibu akan menyuruh mereka untuk makan terlebih dahulu, dan menyuruh pelayan untuk membawakan makanan untukmu." Mira masih tetap diam. Membiarkan Nyonya Salma mengecup puncak kepalanya dan kembali berkata, "namun ingatlah, Nak! di rumah kami, tak akan ada yang menyentuh makanan ketika meja makan belum lengkap! Jadi, Ibu harap kau jangan biarkan kesedihanmu bertahan begitu lama, dan membuat semua orang ikut bersedih." Dengan itu, Mira akhirnya mendengar langkah kaki Nyonya Salma yang menjauhinya, kemudian pintu terbuka dan tertutup kembali. Bagi Mira, bagaimana ia bisa menunjukkan diri di depan suami yang bahkan sama sekali tak mengharapkan kehadirannya? Waktu itu, saat Mira akhirnya menyetujui pernikahan ini, dalam otaknya ia membenak, 'jika memang aku hanya akan di jadikan mesin reproduksi bagi suamiku kelak, maka tak apa, aku akan terima. Karena setidaknya, aku yang miskin ini masih ada gunanya di rumah besar yang terhormat itu'. Tapi lihatlah! Bahkan semalam suaminya sendiri yang bilang, bahwa dia tak akan menyentuhnya bila ia yang tak datang sendiri! Dan itu semua, dia lakukan untuk istri tercintanya! Dia bahkan tega sekali berkata tak akan pernah mengisi hatinya untuk yang lain lagi! Lalu bagaimana pula Mira akan mendatanginya? Ia akan datang seperti wanita penggoda dan menawarkan rahim untuk benih dari orang yang sama sekali tak menginginkannya? Bukankah itu terlalu bodoh untuk di lakukan? *** Nyonya Salma kembali ke meja makan. Wajahnya terlihat sedih, dan ia langsung mendekati Alka di samping Amina. "Mira tak mau makan bersama, kau datanglah ke kamarnya, dan bujuk ia!" Mendengar itu, Alka justru mengedikkan bahunya acuh, "dia sudah besar, Bu. sepertinya terlalu berlebihan bila harus memaksanya untuk hanya sekedar makan." Nyonya Salma, "tapi dia istrimu, kau harus lebih memperhatikannya. Bagaimana jika ia tumbuh begitu kurus setelah baru saja memasuki keluarga kita?" Alka, "Tentang ia akan menjadi kurus atau tidak, itu bukan lagi urusan kita, bukankah sudah terhitung lebih dari tiga kali pelayan kita mengingatkan untuk bersegera makan?" Di tempat duduknya, Amina menundukkan kepalanya dalam, sama sekali tak berani ikut dalam pembicaraan. Tuan Maheer berdeham kecil, "saat kau menawarinya makan tadi, apa yang dia katakan?" Nyonya Salma, "dia hanya bilang belum lapar," Alka, "kalau begitu, bukankah memang boleh jadi dia tidak mau makan hanya karena belum lapar? lalu apa yang perlu kita pusingkan?" Nyonya Salma memandang putra satu-satunya itu dengan heran, "apakah kau lupa tentang kebiasaan keluarga kita?" Alka membuang nafasnya. Sedari kecil, ia telah di ajarkan untuk selalu menunggu yang lain di tempat makan. lalu, setelah ia telah melakukan tradisi itu hingga lebih dari dua puluh tahun, bagaimana pula ia akan lupa dalam sekejap? Alka, "aku tidak pernah lupa, Bu" ia menggerakkan tangannya untuk meraih centong nasi dan mulai mengambil nasi juga lauk yang ada ke atas piring, "tapi aku tak bisa membiarkan perutku kosong lebih lama hanya karena keegoisan orang baru." Setelahnya, Alka meletakkan piring itu ke depan Amina, "makanlah, jangan biarkan dirimu lemas karena lapar." Melihat itu, Nyonya Salma mengkal sekali, "kau bahkan belum mencoba membujuknya, dan dengan mudah kau mengatakan bahwa dia egois? Dengar Nak! tak Pernah ada wanita egois yang rela menjadi istri dari pria yang telah menikah dengan lapang dada, sedang ia tahu boleh jadi tujuan dari pernikahan ini semata-mata karena istri pertama dari pria itu mandul!" Mendengar itu, hati Amina tersentak dalam hingga merasa tak habis fikir. Dulu, bahkan setidaknya hingga kemarin, tak pernah ada satupun di keluarga ini yang dengan tega mengungkit dirinya yang mandul. Dan sekarang, ketika seorang menantu baru datang, entah mengapa kata-kata itu yang hanya di ucapkan sekali oleh Nyonya Salma seolah terdengar ribuan kali di telinga Amina. Namun ia tetap menundukkan kepalanya dalam, menyadari bahwa itu memanglah keadaannya! Tuan Maheer berdiri, menyadari bahwa menantu pertamanya tersinggung dengan ucapan istrinya, "duduklah dulu, Bu! Ayah rasa apa yang di ucapkan Alka ada benarnya juga, kita tak bisa menyiksa perut semua orang sekarang." Di tempat duduknya, Diam-diam Alka meraih jemari Amina di bawah meja. Ia tadi sudah akan memprotes ucapan Ibunya kalau Ayahnya tak segera berdiri dan menghentikan niatnya itu. Nyonya Salma, "tapi Yah, Ibu hanya tidak mau kalau di kemudian hari...." Tuan Maheer, "Bu..." Ia memberi tanda bahwa apa yang ia ucapkan telah menyakiti menantu pertama mereka dengan kedipan mata, dan hal itu langsung di sadari oleh Nyonya Salma. Nyonya Salma, "astaga Amina, maaf... Ibu... e- Ibu tidak bermaksud untuk..." Amina segera memotong ucapan Nyonya Salma, ia tahu Nyonya Salma tak sengaja mengucapkan hal itu di depannya, "tak apa, Bu. Menurut Amina Mas Alka dan Ayah ada benarnya juga, kita harus makan sekarang, dan setelah itu, biar Amina yang membujuk Mira untuk makan. Karena bagaimana pun, di antara semua orang disini, Aminalah orang terdekat bagi Mira."Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah keluarga Tuan Maheer, mereka makan dengan meninggalkan salah satu anggota keluarga yang tak memiliki udzur apapun. Dan ketika Alka dan Tuan Maheer telah berangkat kerja, saat itulah Nyonya Salma mendekati Amina di ruang tamu. Amina, "tidak, sebaiknya semua bunga itu kalian taruh saja di luar! Dan rangkailah beberapa tangkai yang masih cantik untuk hiasan di beberapa titik! Lalu buang saja yang lain! " Si pelayan yang di ajak bicara, "baik, Bu..." Pelayan itu sudah hendak pergi melakukan apa yang Amina katakan, sebelum kemudian ia kembali lagi seolah baru saja melupakan sesuatu, "lalu bagaimana dengan gabus-gabus besar itu?" Amina melihat gabus berukuran besar yang melengkapi dekorasi nikahan suaminya kemarin. berfikir sejenak, lalu berkata, "kau bakar sajalah, lagipun seperti nya kita tak akan menggunakannya lagi." Si pelayan, "baik, Bu." Amina melangkahkan dua kaki jenjangnya ke depan, hendak memeriksa bagaimana kondisi di luar.
Amina, "aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik, dan tak akan berubah hingga kapanpun!" Mendengar itu, perlahan Mira membuka bibirnya, hendak mengucapkan sesuatu, "sungguh kah?" Amina mengangguk dengan keras, "sungguh!" Mira, "sampai kapanpun kau akan tetap menjadi Mbak Amina ku yang baik hati? Yang terus memperhatikanku?" Amina, "sampai kapanpun! Kau akan selalu menjadi adikku satu-satunya!" Mira, "maukah kau berjanji?" Dan hari itu, mereka berjanji dengan kelingking untuk selalu akur selamanya! Dengan perjanjian itu, setidaknya Mira tak perlu khawatir akan pemikiran buruk tentang Madunya yang jahat. dan kalaupun di kemudian hari ia merasa sedih, setidaknya ia tahu, akan selalu ada tempat untuk bersandar. Namun siapa yang tahu, sakit hati dan rasa cemburu akan mengubah semua itu dalam sekejap? Dan Mira harus kembali menahan nafas saat waktu itu datang! **** Sore harinya, ketika tuan Maheer kembali dari kantor, ia melihat istrinya tengah melamun di dalam ka
Tuan Maheer memang menasihati istrinya untuk memberi waktu pada Mira, namun dalam hatinya (sebagai kepala keluarga utama rumah besar itu) ia tentu tak bisa menerima sikap Mira yanng menurutnya egois itu. Baginya, bila sudah menikah maka harus bisa menerima segala kekurangan suami dan keluarganya. Tapi lihatlah apa yang Mira lakukan! Di hari pertama bahkan ia telah berani melanggar tradisi keluarga yang paling di hormati semua orang hanya karena mementingkan perasaannya sendiri, bukankah itu adalah perlakuan egois dan sangat tidak pantas? Seumur hidup, Tuan Maheer telah di ajarkan untuk disiplin dan benar-benar mematuhinya hingga kini usianya telah mencapai kepala lima. Maka dari itu, ketika Nyonya Salma memejamkan kedua mata khawatir nya, ia beranjak keluar dari kamar utama tanpa membersihkan badan terlebih dahulu. Di depan pintu, ia melihat seorang pelayan yang tengah membersihkan meja hias, "apakah Nona Mira telah keluar?" Pelayan itu menunduk, menunjukkan rasa hormat ya
Sementara Amina terus memikirkan bagaimana pernikahan suaminya dengan Mira, di dalam kamarnya, Mira justru masih bertahan terdiam di sana. Malam telah kembali menyapa, sedang ia tak kunjung bisa memuaskan hatinya yang lara. Makanan di meja telah dingin sejak beberapa jam yang lalu, itu adalah makanan kedua yang Amina kirim untuknya, dan ia sama sekali tak berselera dengan makanan yang kaya akan rasa itu. Tok! Tok! Tok! Mira menghela nafasnya, hari ini, terhitung lebih dari sepuluh kali pintu kamarnya di ketuk. Dan pelakunya siapa lagi, kalau bukan Amina atau pelayan? Amina berjalan mendekat setelah menghidupkan sakelar lampu sebelah pintu, dan terlihatlah Mira yang masih setia duduk memeluk kakinya di atas ranjang. "Kau bahkan sama sekali tak menyentuh makananmu?" Mira mendongak, melihat Amina yang tersenyum dengan senampan makanan yang masih mengeluarkan kepulan uap di atasnya. Huh, Lagi-lagi tentang makan! Amina, "kau boleh marah pada semua orang, bahkan tidak ter
Sedang di seberang kota Rintis, tempat tinggal Mira dan keluarga tuan Maheer berada, Renjana baru saja keluar dari sebuah kamar VIP di suatu club malam. Jam dua dini hari, dan ia telah membayar untuk wanita langganannya untuk semalam full, namun ia telah keluar dan di sambut dengan banyak sekali gadis di luar kamar itu.Luna, salah satu di antara para gadis duduk tak jauh dari mereka. Melihat Tuan Muda yang selalu di kaguminya itu tengah mencumbu beberapa di antara mereka. Gadis satu, "Tuan Muda, kau begitu tampan dan kaya, dan aku juga tidak buruk. Bagaimana jika menjadikan ku simpanan keduamu?"Gadis dua, "jangan hanya dia, aku juga.""Lalu bagaimana denganku?""Aku juga mau!"Renjana tertawa, mengangguk-anggukkan kepalanya, "kalian para gadis cantik," Ia mendongak, melihat seorang gadis yang juga ingin mendekatinya namun seperti nya takut? "Kemarilah sayang! Kenapa tidak ikut bergabung?"Gadis yang takut itu, jika di bandingkan dengan para gadis yang tengah bergelanyut manja pada
Sebenarnya Amina tak ada masalah jika Mira memang ingin berjalan kaki. Hanya saja, ia takut Mira melakukannya karena merasa tak layak menggunakan mobil keluarga. Karena itulah, dengan penuh ragu Amina bertanya, "kau yakin?" Yang kemudian mendapat jawaban mantap dari Mira, "yakin!"Dengan itu, Mira langsung mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke kantor Alka. Dalam perjalanan, Mira hanya perlu bertanya satu kali pada seorang pejalan kaki. Orang itu menjelaskan dengan cukup gamblang, dan Mira juga memiliki otak yang cepat tanggap. Jadi, setelah dua puluh menit berjalan kaki dengan langkah lebar, Mira pun sampai di depan gedung kantor Alka.Mira menghembuskan nafasnya, bahkan hanya di lihat dari luarnya saja, gedung itu terasa besar sekali untuk bisa ia gapai dengan tangan mungilnya. Tak sangka, justru kini ia menyandang status sebagai istri kedua pemilik gedung lima lantai itu. Alka baru saja kembali dari meeting di luar, dan saat ia berdiri di depan resepsionis dengan asisten
Karena efek berjalan mengantarkan makan siang Alka tadi siang, malam harinya Mira merasa hatinya jauh lebih baik saat berada di rumah besar keluarga Tuan Maheer. Bahkan ketika makan malam tiba, walau ia sepenuhnya belum bisa menatap Alka, setidaknya ia sedikit lebih bisa membuka diri pada Nyonya Salma dan Tuan Maheer yang sesekali bertanya. Menyadari hal itu, Nyonya Salma memandang penuh arti pada menantu pertamanya, dan ia percaya bahwa putra dan menantu keduanya benar-benar akan segera melakukan perjalanan bulan madu dalam waktu dekat. Ketika makan malam berakhir, justru Amina yang merasa tertekan akibat ucapan impulsif-nya siang tadi. Maka, di sinilah ia sekarang. Berjalan mondar-mandir tepat di depan kamar Mira. Dan ketika tangannya telah mengambang ke udara hendak mengetuk, si pintu itu justru telah terbuka dengan sendirinya dari dalam. Mira terbengong di tempat berdirinya, "Kak Amina? Baru saja aku hendak mencarimu."Amina gelagapan, "o-oh iya? Ada perlu apa?"Mira sadar a
Karena Mira telah setuju, maka, dua hari kemudian Nyonya Salma dengan hati yang begitu senang memberikan hasil belanjanya semalam pada mereka berdua. Dan karena kapal pesiar yang akan mereka tumpangi baru bisa kembali berlabuh di tempat semula dua belas hari kemudian, maka tak heran jika belanjaan itu bisa lebih dari empat koper besar. Alka menggaruk tekuknya dengan kurang enak, "Bu, kita hanya akan pergi selama dua belas hari, bukannya dua belas tahun!"Di belakang Nyonya Salma, bahkan Tuan Maheer pun ikut meringis. Jika untuk liburan keluarga istrinya lebih bisa menghemat uang, kenapa tiba-tiba sekarang ia jadi sangat boros hanya untuk bulan madu dua orang?Nyonya Salma tak menghiraukan ucapan Alka, "Ibu tak bisa membiarkan menantu Ibu kekurangan apapun di perjalanan nanti."Perlakuan Nyonya Salma itu, bahkan membuat Amina sempat merasakan cemburu dan mengingat masa lalunya. Dulu, Nyonya Salma juga berbuat dan berkata demikian kala dirinya dan Alka akan berangkat bulan madu. Mi
Renjana berhenti, menatap kebelakang, tanpa senyum menggoda seperti biasa, hanya senyum sopan sebagai seorang pria. "Kalau kau ingin memarahiku, silahkan saja. Bagaimana pun aku juga ada salah, telah menggoda istri orang."Mira menahan senyumnya, ternyata pria ini memiliki sedikit rasa empati juga! Ia mengulurkan tangan ke arah Renjana, "saat pertama kali aku melihatmu, aku memang sangat marah. Bahkan, baru saja aku juga merasa begitu. Hanya saja, setelah aku pikir-pikir, dari seluruh orang yang berada di dalam kapal raksasa ini sekarang, hanya kau orang yang ku kenal. Jadi, mungkin kita bisa berteman?"Renjana menatap uluran tangan Mira sebentar, mengedikkan bahu, membalas uluran tangannya, "aku tidak biasa berteman dengan seorang wanita sebagaimana mestinya, kau tentu tahu itu. Tapi bagi seorang wanita terhormat seperti mu, hatiku meminta pengecualian."Sebenarnya Mira lumayan faham dengan apa yang Renjana katakan. Hanya saja, karena takut salah menebak, Mira perlu memastikannya, "
"Kenapa? Kau sakit jantung?"Renjana menggeleng sedih, "bukan jantung, tapi hati."Setelah di dorong oleh Renjana tadi, jarak antara Mira dan pintu menjadi agak jauh. Dan sekarang Mira kembali berjalan mendekati pintu dan membukanya, "aku bukan dokter! Kalau kau sakit cepat pergi ke ruang kesehatan, kalau kau tak tahu jalannya, kau lurus saja dari sini, nanti naik ke lantai dua, di sana ada ruang kesehatan paling luas di kapal!"Wajah Renjana jadi muram, "aku tak mau ke dokter!""Kenapa? Kau bukan orang miskin yang kekurangan uang! Lagi pun, bagi pelanggan VIP, fasilitas kesehatan itu bisa kau ambil secara gratis!"Renjana terlihat tak ingin menjawab perkataan Mira. Ia malah berjalan santai ke arah kasur gadis itu. Mira yang tak menduga apa yang akan Renjana lakukan sebelumnya merasa kaget, "apa yang kau lakukan? Pergi dari sana!"Dengan santai Renjana melepas sepatunya dan berbaring di ranjang Mira, "kau sama sekali tak tahu masalah hati antara pria dan wanita ya?"Merasa khawatir,
Drrrt drrt drrtt! Sedari tadi ia berjalan menuju kamarnya, Renjana terus merasa kan ponselnya bergetar asa yang menelpon. Namun memang sengaja tak ia angkat kala mengetahui siapa sumber dari suara itu. Sekarang ketika ia berbaring dengan lelah di atas kasurnya, ponsel itu tak henti mengeluarkan getaran menyebalkan! Dan ketika Renjana hendak menonaktifkan ponselnya, sebuah pesan dengan huruf besar-besar muncul, "ANGKAT TELPONNYA BODOH!!!" Renjana tak ingin menghiraukannya. Namun tangannya gatal untuk menekan ikon hijau dan mendengar apa yang akan orang itu katakan, {"AKU MENYURUHMU KE KOTA RINTIS DAN MENGAMBIL ALIH TANAH KELUARGA MAHEER, BUKAN MALAH NGELAYAP DENGAN KAPAL ITU!!!"} Suara teriakan itu, membuat Renjana langsung menjauhkan ponselnya dari telinga, ia menjawab dengan tenang, "kau hampir membuatku tuli!" Si penelepon, Tuan Daksa, yang apalah daya adalah ayahnya sendiri di sebrang sana tengah uring-uringan. Ia tadi mendapat kabar dari asisten nya bahwa Renjana mengung
"Tapi itu fitnah!" Renjana sudah akan memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Tiba-tiba ia seolah dapat ide besar, "kalau begitu, bagaimana kalau kita jadikan itu tidak fitnah?" Mira memikirkan dengan baik apa yang di maksud dengan ucapan Renjana. Dan ketika ia menyadari nya, ia hampir berteriak karena kesal! Untung saja, pikiran normalnya mampu menganalisis keadaan sehingga tam melakukan hal bodoh itu. Dan sebagai gantinya, Mira menatap Renjana penuh remeh, "jadi, begitu caramu merayu semua wanita?" Dengan ringan Renjana menjawab, "tidak juga, kebanyakan mereka yang menggodaku. Boleh di bilang, aku baru melakukan ini untukmu saja!" Mira mendengus dengan mulut penuh, sama sekali tak percaya yang Renjana katakan, "omong kosong!" "Kata siapa omong kosong?" "Kataku, tentu saja!" Renjana menaikkan sebelah alisnya, "kau tak lihat apa yang barusan Maria lakukan padaku?" "Namanya Ling Ling!" "Ya itu dia, Ling Ling!" "Tidak!" Dengan segera Renjana meletakkan alat
Habis sudah seluruh kata-kata dalam benak Mira. Bagaimana bisa ada orang yang begitu mudah berkata ingin menjadi pacarnya! Renjana, "pertama-tama, aku ingin tahu siapa namamu dulu?"Lihatlah! Ia bahkan tak tahu siapa namanya! Renjana kembali meneruskan kata-kata nya, "jadi, mari kita lupakan masalah kemarin dan berkenalan dengan lebih baik. Namaku Renjana..." Ia mengulurkan tangannya ke arah Mira. Mira, "...."Entah mengapa pria itu selalu bisa membuat mulutnya terbungkam! Renjana, "ayolah, kita berdua sama-sama telah dewasa, lupakan masalah kemarin, bukankah kita berdua sama-sama salah? Kau salah memasuki kabinku, dan aku salah mengenalimu sebagai gadis penghibur."Mira telah membuka mulutnya hendak protes, namun sebuah suara yang sangat merdu menginterupsi nya, "kak Renjana, kau ada di sini juga?"Seorang gadis berwajah oriental yang khas, berkulit putih dengan mata sipit dan tubuh ramping, datang dan langsung mendudukkan dirinya di pangkuan Renjana. Renjana sama sekali tak me
Malam harinya, Mira kembali membersihkan diri dan keluar untuk makan. Sejak pagi tadi, karena merasa terlalu kesal, Mira bahkan sampai tam merasakan lapar sama sekali. Namun sekarang justru perutnya terasa keroncongan. Di kapal itu sebenarnya menyediakan layanan antar makanan hingga ke kamar. Tapi karena Mira sudah merasa sumpek di kamar seharian, ia memilih keluar sekalian jalan-jalan. Untung saja ketika kemarin ia memutari hampir setengah isi kapal demi mencari kamarnya, ia sempat melihat restauran besar di bagian tengah. Jadi, ketika sekarang akan keluar, Mira tak perlu khawatir tersesat. Mira mengedarkan pandangannya, tempat makan itu begitu luas, mewah, dan sangat bersih. Banyak sekali orang dari kalangan elit tengah makan di jam ini. Meskipun begitu, masih terlihat beberapa meja kosong di bagian ia berdiri. Mira tersenyum, "bahkan sebuah kapal bisa memiliki restauran seluas pasar!""Tentu saja, Nona. Kapal ini sangat besar, dengan sembilan ratus tiga puluh kamar, bisa me
Setelah berganti pakaian, Mira merasa sedikit lebih baik, meski rasa jengkel masih menancap di hatinya. Ia lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan menatap dompet tebal dari Alka, "ternyata dia mewarisi sikap keras kepala ibunya,"Ia lalu membuka dompet itu, dan terbengong melihat segepok uang di dalamnya, "di malam pertama kau memberiku kartu bank, dan sekarang memberiku banyak uang!" Apakah Alka hanya memperistri nya untuk berfoya-foya? Mira mengedikkan bahunya, biarlah apa yang Alka lakukan! Selagi pria itu tak berbuat jahat, Mira bisa menerimanya. Ketika Mira hendak menutup dompet itu kembali, ia melihat sebuah kertas yang lain berada di baris paling pojok uang itu. Seperti memang berniat agar ia bisa melihatnya. Baiklah, apa lagi kali ini? Ia membuka selembar kertas putih itu, dan terlihatlah tulisan tangan yang rapi dan berkarakter! [Ini nomorku, telepon aku jika terjadi sesuatu!] lalu di bawahnya tertera nomor yang berjumlah dua belas. Mira tersenyum, "jadi, beginik
Setelah suara itu lenyap, Renjana segera kembali ke arah pintu dan menempelkan kartunya di sana. Setelah terdengar bunyi klik, ia menyeringai kecil, dan kembali menutup pintunya dari dalam. Maka, saat itulah ia melihat koper milik Mira yang masih tergeletak di pojok ruangan! "Saking kesalnya padaku, dia bahkan lupa membawa koper miliknya. Lalu, ia akan ganti pakai apa?"Renjana mengingat nomor kabin Mira dengan baik. Ia berjalan maju, meraih koper itu dan segera menggeretnya pelan. Namun, setelah di pikir-pikir. Bukankah akan lebih baik jika membiarkannya yang datang sendiri untuk mengambil? Memikirkan dapat melihat wajah memelas gadis keras kepala itu, wajah Renjana menyeringai senang. "Sepertinya, liburan kali ini tak akan pernah merasa bosan!"****Mira masih berada di jalan ketika pengumuman itu bergema di seluruh kapal. Dan saat ia telah mencapai pintu, salah satu di antara petugas yang mengantarnya berkata, "Nona, untuk memastikan sekali lagi bahwa ini adalah kabinmu yang
Mira merasakan dunianya tiba-tiba berputar dan hampir limbung karenanya. Dengan segera ia meraih tiket miliknya untuk ia baca berulang kali. Sayangnya, entah seratus kali pun ia membaca, tulisan di sana juga tak akan berubah dalam sekejap. Ia menghembuskan nafas berat, melirik tajam ke arah Renjana yang menatap penuh kemenangan. Lalu, dengan begitu impulsif ia berjalan hendak keluar dari kamar itu. Nyatanya, Mira melupakan bahwa ia sama sekali tak tahu di mana letak persisnya kamar VIP B nomor 12 itu. Dan ketika ingat, tangannya yang telah meraih handle pintu terhenti, "kalau begitu, bisakah kalian antar saya ke kamar ini?" Ia melambaikan tiket ~yang andai kata mampu, akan langsung ia telah hingga remuk~ di depan wajahnya. Salah satu petugas mengangguk penuh sopan, ia lalu mempersilahkan Mira untuk berjalan lebih dulu. Namun, baru saja Mira berhasil kembali meraih handle pintu, suara Renjana menginterupsi, "kau yakin akan k