Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah keluarga Tuan Maheer, mereka makan dengan meninggalkan salah satu anggota keluarga yang tak memiliki udzur apapun.
Dan ketika Alka dan Tuan Maheer telah berangkat kerja, saat itulah Nyonya Salma mendekati Amina di ruang tamu. Amina, "tidak, sebaiknya semua bunga itu kalian taruh saja di luar! Dan rangkailah beberapa tangkai yang masih cantik untuk hiasan di beberapa titik! Lalu buang saja yang lain! " Si pelayan yang di ajak bicara, "baik, Bu..." Pelayan itu sudah hendak pergi melakukan apa yang Amina katakan, sebelum kemudian ia kembali lagi seolah baru saja melupakan sesuatu, "lalu bagaimana dengan gabus-gabus besar itu?" Amina melihat gabus berukuran besar yang melengkapi dekorasi nikahan suaminya kemarin. berfikir sejenak, lalu berkata, "kau bakar sajalah, lagipun seperti nya kita tak akan menggunakannya lagi." Si pelayan, "baik, Bu." Amina melangkahkan dua kaki jenjangnya ke depan, hendak memeriksa bagaimana kondisi di luar. Namun belum ada lima langkah ia berjalan, tangannya telah di cekal oleh sebuah tangan yang tak lagi mulus, "Bu?" Nyonya Salma tersenyum hangat, "kau telah bekerja keras beberapa hari ini, tubuhmu pasti lelah, jadi biar saja bagian membersihkan ini Ibu yang urus, kamu istirahat lah!" "Amina senang melakukannya, Bu. Lagipun setiap hari hampir tak ada hal lain yang bisa Amina lakukan selain bebersih dan memasak. itupun Amina lakukan hanya dengan menyuruh pelayan." Nyonya Salma kembali tersenyum. Maksudnya mendatangi Amina sebenarnya bukan tak lain untuk meminta maaf, ia sadar betul apa yang ia katakan di meja makan tadi benar-benar menyakiti hati menantu pertamanya itu. Nyonya Salma, "Tapi kau tentu tak boleh mengabaikan tubuhmu yang meminta jatah istirahat setiap harinya." Amina tersenyum, ia tahu apa yang mengganjal di hati ibu mertuanya itu, "Ibu tenang saja, Amina tak akan mudah di serang penyakit." Nyonya Salma, "Nak, tentang apa yang Ibu katakan di meja makan tadi..." Amina, "Bu, Amina sudah lupa. Jadi sebaiknya Ibu juga tak perlu membebani diri dengan hal itu lagi." Nyonya Salma tersenyum penuh haru, "entah bagaimana caraku mengungkapkan betapa kau sungguh permata yang bersinar cerah dimanapun berada." Amina mengangguk, meski dalam hatinya membalas kata-kata pujian Nyonya Salma dengan ungkapan kesedihan akan nasibnya. Orang-orang memang akan selalu memujinya di permukaan, namun di seluruh kota, siapa pula yang akan memandang wanita mandul dengan penuh penghargaan? Merasa boleh jadi mertuanya tak akan bisa dengan mudah melupakan apa yang terjadi di meja makan tadi, Amina segera pamit untuk memberikan ruang pada Nyonya Salma. "Sudah pukul setengah sepuluh, Amina akan ke atas dulu, siapa tahu kali ini Mira mau membuka diri dan makan dengan baik." Karena Amina sudah berkata begitu, Nyonya Salma pun tak ingin menahannya lebih lama, "kalau begitu kau berusahalah! Ibu akan ke depan dulu." Amina, "kalau begitu nanti Amina susul setelah turun." Nyonya Salma semakin tersenyum tulus, membelai lembut separuh wajah menantu pertamanya. **** Di depan pintu kamar Mira, Amina menghela nafas terlebih dahulu sebelum menggerakkan tangannya untuk menekan handel pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Di dalam, suasana kamar Mira begitu suram dan gelap. Gorden tebal masih sempurna menutup kaca yang menjulang dari lantai ke langit-langit, Mira juga tak menyalakan lampunya, sehingga tak ada cahaya apapun di sana. Amina berjalan maju, dan karena ialah yang menata kamar itu sebelum di tempati Mira, maka ia hafal seluruh tempat tanpa merasa kesusahan berjalan di dalam kegelapan, "sudah pukul setengah sepuluh, dan kau bahkan tak berniat menerangi kamarmu." Amina tahu Mira dapat mendengar apa yang ia ucapkan, namun entah mengapa gadis itu tetap diam. Sementara di sisinya, Mira masih tetap duduk dengan memeluk dua lututnya di atas kasur. Amina, "kau tidak mau makan, juga tidak mau menampakkan dirimu sendiri di kamarmu, jadi apa yang kau mau?" Sreeekkk! Mira sedikit menyipitkan matanya kala cahaya hangat matahari masuk begitu Amina membuka kordennya. Dan ia masih enggan untuk bergeming! Amina, "kau tak mau berbicara dengan pelayan, begitu juga dengan Ibu, tapi, denganku kau harus berbicara!" Ia menampakkan sedikit senyuman, dan berjalan dengan sabar ke arah Mira, "bukankah kita teman?" Mira memperhatikan bagaimana Amina dengan begitu anggun meletakkan dirinya di sampingnya. Amina, "dulu, saat pertama kali aku berkunjung kerumahmu bersama Ayah dan Ibu, aku langsung mengagumimu pada pandangan pertama. Ku pikir, bagaimana bisa ada seorang gadis yang begitu berani menyampaikan sebuah pendapat? Dan saat memikirkan hal itu kembali, aku masih mengingat bahwa kau adalah seorang gadis yang cerdas." Mira hendak menghela nafasnya dalam-dalam. Namun karena khawatir Amina akan mempertanyakan hal itu, ia urung melakukannya. Tentu saja Mira ingat hari itu! Waktu itu juga ia sangat mengagumi menantu keluarga Maheer yang cantik itu. Selain cantik, Amina bahkan berkenan menyapanya terlebih dahulu. Sejak pandangan pertama Mira pada Amina, ia tak pernah menemukan setitik keburukan pun darinya. Amina, "kau tahu? Sejak saat itu, aku seolah merasakan sebuah takdir yang kuat atas dirimu, dan lihatlah! Bukankah dulu kau sering berandai-andai jika saja aku menjadi seorang kakak bagimu? Dan bukankah sekarang semua itu menjadi kenyataan?" Mira memandang lamat wajah Amina yang selalu bersinar di matanya, menatap kedua mata yang selalu melihatnya penuh penghargaan, kemudian bibirnya terbuka dan mengucapkan satu kata, "mbak..." Amina, "iya?" Melihat ketulusan hati Amina, entah mengapa membuat kedua mata Mira yang telah mengering kembali memanas. Merasa sebentar lagi Mira akan segera menangis, Amina segera membawanya ke dalam pelukan hangatnya, "dengar, pernikahan ini mungkin memang berat bagimu, tapi Mbak mohon, berusahalah menerimanya dan hadirkanlah kebahagiaan yang tak akan pernah bisa Mbak wujudkan di keluarga ini." Mira tak mengucapkan apapun, ia hanya menenggelamkan dirinya ke dalam pelukan Amina dan terus mendengarkan. Lihatlah! Dulu ia ingin sekali di peluk saat menangis, dan bukankah sekarang hal itu menjadi kenyataan? Ia di peluk oleh tubuh hangat yang tak pernah berbuat buruk padanya selama ini. Dan karena Mira terus diam tanpa berniat membalas ucapan Amina, Amina pun meneruskan, "tolong tutuplah kekurangan Mbak yang tak sempurna ini. Dan sebagai balasannya, kau boleh meminta apapun! Sungguh, kau boleh meminta apapun!" Mira, "....." kalau saja hal itu di ucapkan oleh Alka atau keluarga yang lain, mungkin Mira akan merasa bahwa ia benar-benar di nikahkan di keluarga terhormat itu hanya untuk menjual rahimnya dengan budi. Namun karena yang mengucapkannya adalah seseorang yang selama ini ia hargai, entah mengapa ia tak menganggapnya demikian.Amina, "aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik, dan tak akan berubah hingga kapanpun!" Mendengar itu, perlahan Mira membuka bibirnya, hendak mengucapkan sesuatu, "sungguh kah?" Amina mengangguk dengan keras, "sungguh!" Mira, "sampai kapanpun kau akan tetap menjadi Mbak Amina ku yang baik hati? Yang terus memperhatikanku?" Amina, "sampai kapanpun! Kau akan selalu menjadi adikku satu-satunya!" Mira, "maukah kau berjanji?" Dan hari itu, mereka berjanji dengan kelingking untuk selalu akur selamanya! Dengan perjanjian itu, setidaknya Mira tak perlu khawatir akan pemikiran buruk tentang Madunya yang jahat. dan kalaupun di kemudian hari ia merasa sedih, setidaknya ia tahu, akan selalu ada tempat untuk bersandar. Namun siapa yang tahu, sakit hati dan rasa cemburu akan mengubah semua itu dalam sekejap? Dan Mira harus kembali menahan nafas saat waktu itu datang! **** Sore harinya, ketika tuan Maheer kembali dari kantor, ia melihat istrinya tengah melamun di dalam ka
Tuan Maheer memang menasihati istrinya untuk memberi waktu pada Mira, namun dalam hatinya (sebagai kepala keluarga utama rumah besar itu) ia tentu tak bisa menerima sikap Mira yanng menurutnya egois itu. Baginya, bila sudah menikah maka harus bisa menerima segala kekurangan suami dan keluarganya. Tapi lihatlah apa yang Mira lakukan! Di hari pertama bahkan ia telah berani melanggar tradisi keluarga yang paling di hormati semua orang hanya karena mementingkan perasaannya sendiri, bukankah itu adalah perlakuan egois dan sangat tidak pantas? Seumur hidup, Tuan Maheer telah di ajarkan untuk disiplin dan benar-benar mematuhinya hingga kini usianya telah mencapai kepala lima. Maka dari itu, ketika Nyonya Salma memejamkan kedua mata khawatir nya, ia beranjak keluar dari kamar utama tanpa membersihkan badan terlebih dahulu. Di depan pintu, ia melihat seorang pelayan yang tengah membersihkan meja hias, "apakah Nona Mira telah keluar?" Pelayan itu menunduk, menunjukkan rasa hormat ya
Sementara Amina terus memikirkan bagaimana pernikahan suaminya dengan Mira, di dalam kamarnya, Mira justru masih bertahan terdiam di sana. Malam telah kembali menyapa, sedang ia tak kunjung bisa memuaskan hatinya yang lara. Makanan di meja telah dingin sejak beberapa jam yang lalu, itu adalah makanan kedua yang Amina kirim untuknya, dan ia sama sekali tak berselera dengan makanan yang kaya akan rasa itu. Tok! Tok! Tok! Mira menghela nafasnya, hari ini, terhitung lebih dari sepuluh kali pintu kamarnya di ketuk. Dan pelakunya siapa lagi, kalau bukan Amina atau pelayan? Amina berjalan mendekat setelah menghidupkan sakelar lampu sebelah pintu, dan terlihatlah Mira yang masih setia duduk memeluk kakinya di atas ranjang. "Kau bahkan sama sekali tak menyentuh makananmu?" Mira mendongak, melihat Amina yang tersenyum dengan senampan makanan yang masih mengeluarkan kepulan uap di atasnya. Huh, Lagi-lagi tentang makan! Amina, "kau boleh marah pada semua orang, bahkan tidak ter
Sedang di seberang kota Rintis, tempat tinggal Mira dan keluarga tuan Maheer berada, Renjana baru saja keluar dari sebuah kamar VIP di suatu club malam. Jam dua dini hari, dan ia telah membayar untuk wanita langganannya untuk semalam full, namun ia telah keluar dan di sambut dengan banyak sekali gadis di luar kamar itu.Luna, salah satu di antara para gadis duduk tak jauh dari mereka. Melihat Tuan Muda yang selalu di kaguminya itu tengah mencumbu beberapa di antara mereka. Gadis satu, "Tuan Muda, kau begitu tampan dan kaya, dan aku juga tidak buruk. Bagaimana jika menjadikan ku simpanan keduamu?"Gadis dua, "jangan hanya dia, aku juga.""Lalu bagaimana denganku?""Aku juga mau!"Renjana tertawa, mengangguk-anggukkan kepalanya, "kalian para gadis cantik," Ia mendongak, melihat seorang gadis yang juga ingin mendekatinya namun seperti nya takut? "Kemarilah sayang! Kenapa tidak ikut bergabung?"Gadis yang takut itu, jika di bandingkan dengan para gadis yang tengah bergelanyut manja pada
Sebenarnya Amina tak ada masalah jika Mira memang ingin berjalan kaki. Hanya saja, ia takut Mira melakukannya karena merasa tak layak menggunakan mobil keluarga. Karena itulah, dengan penuh ragu Amina bertanya, "kau yakin?" Yang kemudian mendapat jawaban mantap dari Mira, "yakin!"Dengan itu, Mira langsung mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke kantor Alka. Dalam perjalanan, Mira hanya perlu bertanya satu kali pada seorang pejalan kaki. Orang itu menjelaskan dengan cukup gamblang, dan Mira juga memiliki otak yang cepat tanggap. Jadi, setelah dua puluh menit berjalan kaki dengan langkah lebar, Mira pun sampai di depan gedung kantor Alka.Mira menghembuskan nafasnya, bahkan hanya di lihat dari luarnya saja, gedung itu terasa besar sekali untuk bisa ia gapai dengan tangan mungilnya. Tak sangka, justru kini ia menyandang status sebagai istri kedua pemilik gedung lima lantai itu. Alka baru saja kembali dari meeting di luar, dan saat ia berdiri di depan resepsionis dengan asisten
Karena efek berjalan mengantarkan makan siang Alka tadi siang, malam harinya Mira merasa hatinya jauh lebih baik saat berada di rumah besar keluarga Tuan Maheer. Bahkan ketika makan malam tiba, walau ia sepenuhnya belum bisa menatap Alka, setidaknya ia sedikit lebih bisa membuka diri pada Nyonya Salma dan Tuan Maheer yang sesekali bertanya. Menyadari hal itu, Nyonya Salma memandang penuh arti pada menantu pertamanya, dan ia percaya bahwa putra dan menantu keduanya benar-benar akan segera melakukan perjalanan bulan madu dalam waktu dekat. Ketika makan malam berakhir, justru Amina yang merasa tertekan akibat ucapan impulsif-nya siang tadi. Maka, di sinilah ia sekarang. Berjalan mondar-mandir tepat di depan kamar Mira. Dan ketika tangannya telah mengambang ke udara hendak mengetuk, si pintu itu justru telah terbuka dengan sendirinya dari dalam. Mira terbengong di tempat berdirinya, "Kak Amina? Baru saja aku hendak mencarimu."Amina gelagapan, "o-oh iya? Ada perlu apa?"Mira sadar a
Karena Mira telah setuju, maka, dua hari kemudian Nyonya Salma dengan hati yang begitu senang memberikan hasil belanjanya semalam pada mereka berdua. Dan karena kapal pesiar yang akan mereka tumpangi baru bisa kembali berlabuh di tempat semula dua belas hari kemudian, maka tak heran jika belanjaan itu bisa lebih dari empat koper besar. Alka menggaruk tekuknya dengan kurang enak, "Bu, kita hanya akan pergi selama dua belas hari, bukannya dua belas tahun!"Di belakang Nyonya Salma, bahkan Tuan Maheer pun ikut meringis. Jika untuk liburan keluarga istrinya lebih bisa menghemat uang, kenapa tiba-tiba sekarang ia jadi sangat boros hanya untuk bulan madu dua orang?Nyonya Salma tak menghiraukan ucapan Alka, "Ibu tak bisa membiarkan menantu Ibu kekurangan apapun di perjalanan nanti."Perlakuan Nyonya Salma itu, bahkan membuat Amina sempat merasakan cemburu dan mengingat masa lalunya. Dulu, Nyonya Salma juga berbuat dan berkata demikian kala dirinya dan Alka akan berangkat bulan madu. Mi
Orang bilang, sepatu yang bagus akan membawamu ke tempat yang bagus. Hari ini, untuk pertama kalinya Mira memakai sepatu mahal dalam hidupnya. Tadi pagi sebenarnya ia hanya ingin memakai pakaian yang biasa saja. Juga dengan dandanan yang biasa saja. Namun ketika berfikir bahwa mungkin yang ia anggap biasa saja akan mempermalukan suaminya di tengah jalan, ia berusaha mengubah penampilannya dengan barang-barang yang telah di siapkan Amina. Walau bagaimana pun, ia telah bertekad untuk menerima pernikahan tak sempurna ini. Jadi ia juga akan melakukannya dengan sepenuh hati. Namun siapa sangka, Alka justru masih punya cara untuk menyingkir darinya? Mira jadi teringat kata-kata yang Alka ucapkan saat malam pertama mereka. Pria itu berkata agar dirinya mau sedikit melapangkan hati atas ketidak berdayaannya, lalu, seiring berjalannya waktu, pria itu juga berharap dirinya bisa memaafkannya. Ketika ingatan itu ter
Renjana berhenti, menatap kebelakang, tanpa senyum menggoda seperti biasa, hanya senyum sopan sebagai seorang pria. "Kalau kau ingin memarahiku, silahkan saja. Bagaimana pun aku juga ada salah, telah menggoda istri orang."Mira menahan senyumnya, ternyata pria ini memiliki sedikit rasa empati juga! Ia mengulurkan tangan ke arah Renjana, "saat pertama kali aku melihatmu, aku memang sangat marah. Bahkan, baru saja aku juga merasa begitu. Hanya saja, setelah aku pikir-pikir, dari seluruh orang yang berada di dalam kapal raksasa ini sekarang, hanya kau orang yang ku kenal. Jadi, mungkin kita bisa berteman?"Renjana menatap uluran tangan Mira sebentar, mengedikkan bahu, membalas uluran tangannya, "aku tidak biasa berteman dengan seorang wanita sebagaimana mestinya, kau tentu tahu itu. Tapi bagi seorang wanita terhormat seperti mu, hatiku meminta pengecualian."Sebenarnya Mira lumayan faham dengan apa yang Renjana katakan. Hanya saja, karena takut salah menebak, Mira perlu memastikannya, "
"Kenapa? Kau sakit jantung?"Renjana menggeleng sedih, "bukan jantung, tapi hati."Setelah di dorong oleh Renjana tadi, jarak antara Mira dan pintu menjadi agak jauh. Dan sekarang Mira kembali berjalan mendekati pintu dan membukanya, "aku bukan dokter! Kalau kau sakit cepat pergi ke ruang kesehatan, kalau kau tak tahu jalannya, kau lurus saja dari sini, nanti naik ke lantai dua, di sana ada ruang kesehatan paling luas di kapal!"Wajah Renjana jadi muram, "aku tak mau ke dokter!""Kenapa? Kau bukan orang miskin yang kekurangan uang! Lagi pun, bagi pelanggan VIP, fasilitas kesehatan itu bisa kau ambil secara gratis!"Renjana terlihat tak ingin menjawab perkataan Mira. Ia malah berjalan santai ke arah kasur gadis itu. Mira yang tak menduga apa yang akan Renjana lakukan sebelumnya merasa kaget, "apa yang kau lakukan? Pergi dari sana!"Dengan santai Renjana melepas sepatunya dan berbaring di ranjang Mira, "kau sama sekali tak tahu masalah hati antara pria dan wanita ya?"Merasa khawatir,
Drrrt drrt drrtt! Sedari tadi ia berjalan menuju kamarnya, Renjana terus merasa kan ponselnya bergetar asa yang menelpon. Namun memang sengaja tak ia angkat kala mengetahui siapa sumber dari suara itu. Sekarang ketika ia berbaring dengan lelah di atas kasurnya, ponsel itu tak henti mengeluarkan getaran menyebalkan! Dan ketika Renjana hendak menonaktifkan ponselnya, sebuah pesan dengan huruf besar-besar muncul, "ANGKAT TELPONNYA BODOH!!!" Renjana tak ingin menghiraukannya. Namun tangannya gatal untuk menekan ikon hijau dan mendengar apa yang akan orang itu katakan, {"AKU MENYURUHMU KE KOTA RINTIS DAN MENGAMBIL ALIH TANAH KELUARGA MAHEER, BUKAN MALAH NGELAYAP DENGAN KAPAL ITU!!!"} Suara teriakan itu, membuat Renjana langsung menjauhkan ponselnya dari telinga, ia menjawab dengan tenang, "kau hampir membuatku tuli!" Si penelepon, Tuan Daksa, yang apalah daya adalah ayahnya sendiri di sebrang sana tengah uring-uringan. Ia tadi mendapat kabar dari asisten nya bahwa Renjana mengung
"Tapi itu fitnah!" Renjana sudah akan memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Tiba-tiba ia seolah dapat ide besar, "kalau begitu, bagaimana kalau kita jadikan itu tidak fitnah?" Mira memikirkan dengan baik apa yang di maksud dengan ucapan Renjana. Dan ketika ia menyadari nya, ia hampir berteriak karena kesal! Untung saja, pikiran normalnya mampu menganalisis keadaan sehingga tam melakukan hal bodoh itu. Dan sebagai gantinya, Mira menatap Renjana penuh remeh, "jadi, begitu caramu merayu semua wanita?" Dengan ringan Renjana menjawab, "tidak juga, kebanyakan mereka yang menggodaku. Boleh di bilang, aku baru melakukan ini untukmu saja!" Mira mendengus dengan mulut penuh, sama sekali tak percaya yang Renjana katakan, "omong kosong!" "Kata siapa omong kosong?" "Kataku, tentu saja!" Renjana menaikkan sebelah alisnya, "kau tak lihat apa yang barusan Maria lakukan padaku?" "Namanya Ling Ling!" "Ya itu dia, Ling Ling!" "Tidak!" Dengan segera Renjana meletakkan alat
Habis sudah seluruh kata-kata dalam benak Mira. Bagaimana bisa ada orang yang begitu mudah berkata ingin menjadi pacarnya! Renjana, "pertama-tama, aku ingin tahu siapa namamu dulu?"Lihatlah! Ia bahkan tak tahu siapa namanya! Renjana kembali meneruskan kata-kata nya, "jadi, mari kita lupakan masalah kemarin dan berkenalan dengan lebih baik. Namaku Renjana..." Ia mengulurkan tangannya ke arah Mira. Mira, "...."Entah mengapa pria itu selalu bisa membuat mulutnya terbungkam! Renjana, "ayolah, kita berdua sama-sama telah dewasa, lupakan masalah kemarin, bukankah kita berdua sama-sama salah? Kau salah memasuki kabinku, dan aku salah mengenalimu sebagai gadis penghibur."Mira telah membuka mulutnya hendak protes, namun sebuah suara yang sangat merdu menginterupsi nya, "kak Renjana, kau ada di sini juga?"Seorang gadis berwajah oriental yang khas, berkulit putih dengan mata sipit dan tubuh ramping, datang dan langsung mendudukkan dirinya di pangkuan Renjana. Renjana sama sekali tak me
Malam harinya, Mira kembali membersihkan diri dan keluar untuk makan. Sejak pagi tadi, karena merasa terlalu kesal, Mira bahkan sampai tam merasakan lapar sama sekali. Namun sekarang justru perutnya terasa keroncongan. Di kapal itu sebenarnya menyediakan layanan antar makanan hingga ke kamar. Tapi karena Mira sudah merasa sumpek di kamar seharian, ia memilih keluar sekalian jalan-jalan. Untung saja ketika kemarin ia memutari hampir setengah isi kapal demi mencari kamarnya, ia sempat melihat restauran besar di bagian tengah. Jadi, ketika sekarang akan keluar, Mira tak perlu khawatir tersesat. Mira mengedarkan pandangannya, tempat makan itu begitu luas, mewah, dan sangat bersih. Banyak sekali orang dari kalangan elit tengah makan di jam ini. Meskipun begitu, masih terlihat beberapa meja kosong di bagian ia berdiri. Mira tersenyum, "bahkan sebuah kapal bisa memiliki restauran seluas pasar!""Tentu saja, Nona. Kapal ini sangat besar, dengan sembilan ratus tiga puluh kamar, bisa me
Setelah berganti pakaian, Mira merasa sedikit lebih baik, meski rasa jengkel masih menancap di hatinya. Ia lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan menatap dompet tebal dari Alka, "ternyata dia mewarisi sikap keras kepala ibunya,"Ia lalu membuka dompet itu, dan terbengong melihat segepok uang di dalamnya, "di malam pertama kau memberiku kartu bank, dan sekarang memberiku banyak uang!" Apakah Alka hanya memperistri nya untuk berfoya-foya? Mira mengedikkan bahunya, biarlah apa yang Alka lakukan! Selagi pria itu tak berbuat jahat, Mira bisa menerimanya. Ketika Mira hendak menutup dompet itu kembali, ia melihat sebuah kertas yang lain berada di baris paling pojok uang itu. Seperti memang berniat agar ia bisa melihatnya. Baiklah, apa lagi kali ini? Ia membuka selembar kertas putih itu, dan terlihatlah tulisan tangan yang rapi dan berkarakter! [Ini nomorku, telepon aku jika terjadi sesuatu!] lalu di bawahnya tertera nomor yang berjumlah dua belas. Mira tersenyum, "jadi, beginik
Setelah suara itu lenyap, Renjana segera kembali ke arah pintu dan menempelkan kartunya di sana. Setelah terdengar bunyi klik, ia menyeringai kecil, dan kembali menutup pintunya dari dalam. Maka, saat itulah ia melihat koper milik Mira yang masih tergeletak di pojok ruangan! "Saking kesalnya padaku, dia bahkan lupa membawa koper miliknya. Lalu, ia akan ganti pakai apa?"Renjana mengingat nomor kabin Mira dengan baik. Ia berjalan maju, meraih koper itu dan segera menggeretnya pelan. Namun, setelah di pikir-pikir. Bukankah akan lebih baik jika membiarkannya yang datang sendiri untuk mengambil? Memikirkan dapat melihat wajah memelas gadis keras kepala itu, wajah Renjana menyeringai senang. "Sepertinya, liburan kali ini tak akan pernah merasa bosan!"****Mira masih berada di jalan ketika pengumuman itu bergema di seluruh kapal. Dan saat ia telah mencapai pintu, salah satu di antara petugas yang mengantarnya berkata, "Nona, untuk memastikan sekali lagi bahwa ini adalah kabinmu yang
Mira merasakan dunianya tiba-tiba berputar dan hampir limbung karenanya. Dengan segera ia meraih tiket miliknya untuk ia baca berulang kali. Sayangnya, entah seratus kali pun ia membaca, tulisan di sana juga tak akan berubah dalam sekejap. Ia menghembuskan nafas berat, melirik tajam ke arah Renjana yang menatap penuh kemenangan. Lalu, dengan begitu impulsif ia berjalan hendak keluar dari kamar itu. Nyatanya, Mira melupakan bahwa ia sama sekali tak tahu di mana letak persisnya kamar VIP B nomor 12 itu. Dan ketika ingat, tangannya yang telah meraih handle pintu terhenti, "kalau begitu, bisakah kalian antar saya ke kamar ini?" Ia melambaikan tiket ~yang andai kata mampu, akan langsung ia telah hingga remuk~ di depan wajahnya. Salah satu petugas mengangguk penuh sopan, ia lalu mempersilahkan Mira untuk berjalan lebih dulu. Namun, baru saja Mira berhasil kembali meraih handle pintu, suara Renjana menginterupsi, "kau yakin akan k