Bab 60Di sebuah tempat yang agak sepi tak jauh dari rumah sakit, Adam dan Damian tengah berdiri. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka, kecuali mata yang terus menatap jalanan. Hanya yang terlihat dari dua wajah tegas itu seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.Tidak sampai setengah jam kemudian, sebuah motor berhenti tepat di depan keduanya. Seraut wajah menyembul tatkala sang pengendara melepas helm dan masker yang sebelumnya ia kenakan."Bagaimana?" tanya Adam tak sabar."Beres, Bos." Lelaki itu mengacungkan jempol, lalu mengambil ponsel dari saku bajunya."Ini silakan lihat sendiri." Dia menyodorkan ponselnya kepada Adam."Hmm.... Tidak salah lagi. Kedua orang ini pasti memiliki hubungan dengan peristiwa malam itu," duga Adam."Belum bisa dijadikan bukti yang kuat, Dam, lantaran kita tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan," tukas Damian mengingatkan."Ya. Itu memang kekurangannya. Penyelidikan ini kita lakukan secara dadakan. Namun sebagai awal, ku
Bab 61Setelah memastikan Rayna dan ibunya aman di apartemen dan semua keperluannya tercukupi, Ravin segera meninggalkan tempat itu bersama dengan Adam dan Damian. Kali ini Damian yang menyetir. Sementara Adam dan Ravin duduk berdampingan di jok belakang. Adam memberikan ponselnya kepada Ravin. "Lihat ini, Bos." Ravin memperhatikan video itu sekilas, kemudian mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. "Dari mana kamu dapat video ini, Adam?" "Aku menyuruh teman-teman untuk menyelidikinya, Bos." "Temuan ini cukup berharga, meskipun tidak terlalu penting buatku." "Apa maksud Bos?" tanya Adam. Ravin tersenyum. "Tidak apa-apa, Adam. Terima kasih atas perhatianmu. Kalau memang kamu penasaran dengan kejadian lima tahun yang lalu, kamu bisa meneruskan untuk menyelidikinya. Akan tetapi jikalau kamu memang tidak berminat, ya tidak apa-apa." "Jadi apa yang harus aku lakukan, Bos?" "Terserah kamu saja." "Ya, Bos" Adam mendesah agak kecewa. "Memangnya Bos tidak penasaran, siapa dalang peris
Bab 62Perempuan itu buru-buru memasukkan tespek ke dalam laci, kemudian mengusap wajahnya. Dia tersenyum tipis melihat sosok Ziyad yang tengah melangkah mendekat. "Ziyad," panggilnya. Ziyad mendaratkan tubuhnya di kursi, berseberangan dengan Ghina. "Iya, ada apa?" Menyadari siapa yang datang membuat Ghina akhirnya kembali menarik laci, mengambil benda itu, lalu menyerahkannya kepada Ziyad. "Garis dua, Ziyad. Aku hamil." "Apa?" teriak lelaki itu. Dia bahkan langsung berdiri. Tangannya tanpa sadar menggebrak meja hingga membuat bergetar benda-benda yang ada di atas meja. "Kamu hamil? Kok bisa?" Ghina hanya menunduk sembari mengiyakan dengan suara lirih. Muka Ziyad merah padam. Perasaannya bergejolak, antara rasa marah dan tak terima dengan kenyataan ini. "Kenapa kamu sampai hamil, hah? Memangnya kamu tidak menggunakan kontrasepsi atau jangan-jangan kamu sengaja mengikatku dengan kehamilan ini?" Matanya nyalang menatap perempuan di hadapannya. "Tidak, Ziyad. Hanya saja tidak ada
Bab 63Suara pintu yang ditutup dengan keras membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ghina kembali duduk di sofa tak jauh dari meja kerjanya. Satu kotak berisi nasi campur terletak begitu saja di atas meja depan sofa. Ghina sedang tidak selera makan. Dia hanya memilih meminum air putih demi menetralkan debaran jantungnya. Usai meletakkan gelas di atas meja, Ghina kembali bersandar. Kedua kakinya diangkat ke atas dengan posisi berselonjor, berusaha membuat tubuhnya rileks. Untuk beberapa saat ia memejamkan mata. Tanpa sadar perempuan itu mengelus perutnya yang masih rata. Memang tak ada gerakan apapun, tetapi beberapa bulan kemudian ia pasti akan merasakannya. Perutnya yang kian membesar tak akan bisa di tutupi lagi. Semua orang akan tahu kalau ia sedang mengandung. Sebelum semua itu terjadi, ia harus segera menikah dengan Ziyad, bagaimanapun caranya. Dia tidak mau meluncur ke jurang kehancuran. Ini Indonesia, bukan luar negeri. Seorang wanita yang hamil tanpa nikah, kemudian menja
Bab 64Perjalanan dari apartemen ke tempat tinggal Ziyad memakan waktu lebih dari satu jam. Selama itu juga tak ada percakapan sedikitpun antara Rayna, Adam dan Damian. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Rayna menghabiskan waktunya dengan bermain ponsel, sesekali membalas pesan dari Ravin. Segaris senyum terbit dari bibirnya saat membaca pesan lelaki itu. Ravin yang selalu mensupport apapun yang ia lakukan.Tak terasa mereka sudah sampai di kompleks perumahan, tempat Ziyad tinggal. Dadanya berdesir. Berbulan-bulan ia meninggalkan kawasan ini. Tak ada yang berubah.Tatkala mobilnya melewati rumah yang pernah ditinggali oleh Ravin, dadanya semakin berdegup. Semua kenangan di rumah itu bertebaran di benaknya. Dia pernah merasakan tinggal di rumah itu walaupun hanya beberapa hari.Tak pernah sedikitpun terbesit di benaknya bahwa ada seorang lelaki tampan dan gagah yang begitu gigih mengejar-ngejarnya dengan cara seperti ini. Seorang Arzan Ravindra Malik Narendra rela tinggal di
Bab 65 "Karena dia adalah istriku, Ma. Ada hati yang harus aku jaga. Meskipun terlambat aku menyadari, aku harus mengakui ternyata Rayna adalah istriku, istri yang terbaik untukku. Aku tidak menginginkan wanita lain. Aku mohon Mama mengerti!" Ziyad menangkupkan tangan di dadanya"Tetapi dia sudah menginginkan pisah darimu. Kenapa tidak kamu kabulkan saja? Mama pikir Rayna benar. Daripada diantara kalian saling menyakiti, lebih baik kalian berpisah." Kali ini Widya sengaja mengamini ucapan Rayna demi membujuk Ziyad agar segera memberikan berkas-berkas yang Rayna inginkan.Dengan memberikan berkas-berkas yang Rayna inginkan, tentu saja Ziyad tidak akan mengeluarkan uang sepesar pun untuk proses perceraian itu. Itulah yang ada dalam pikirannya.Wanita tua itu memang sangat perhitungan, terutama kepada Rayna, menantunya sendiri. Sejak awal dia selalu meminta pengabdian Ziyad dengan cara memberikan seluruh gaji kepadanya dan Selvi. Sedangkan penghasilan Rayna pun ia inginkan untuk mencuku
Bab 66"Aku akan bertanggung jawab terhadap anak itu seandainya nanti setelah dia lahir, tes DNA membuktikan kalau dia adalah anakku. Aku akan bertanggung jawab dan memberikan haknya sebagai seorang anak, tetapi bukan dengan jalan menikahi ibunya," tegas Ziyad tanpa ragu sedikitpun. "Pemikiran macam apa ini, Ziyad?" bentak ibunya. "Dan kamu membiarkan putra-putrimu menjadi anak ibunya, bernasab kepada ibunya, bukan kepadamu?" tegur Rayna. Bolehkah sekarang kalau dia benar-benar kesal dengan lelaki yang akan berubah status menjadi mantan suaminya ini? Rayna benar-benar tak habis pikir. Bisa-bisanya dulu dia mencintai lelaki ini dan begitu mudah terbuai dengan semua sikap manis yang Ziyad pertunjukkan di saat keduanya menjalin hubungan cinta. "Benar kata Rayna. Memangnya kamu tidak memikirkan hal itu?" Kali ini sikap Widya jauh lebih lunak. Dia kembali mengamini perkataan Rayna. "Tapi aku mencintaimu, Rayna? Kamu ngerti nggak sih?" Rayna yang merasa lelah dengan semua perdebatan ya
Bab 67"Maaf, Ma. Mungkin kehadiranku di dekat Rayna saat ini membuat Mama meraaa kurang nyaman." "Kamu dan Rayna itu sudah sama-sama dewasa, sudah tahu apa yang baik dan buruk. Selama kalian bisa jaga sikap, Mama tidak masalah." Nafisa berusaha menekan semua yang mengganjal di hatinya. Jujur, dia belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa Ravin lah yang sudah merenggut mahkota kewanitaan dan itu pula yang menjadi sumber masalah di dalam rumah tangga putrinya. "Mama harap kamu bisa menempatkan posisimu, Nak Ravin. Jangan sampai nanti ada kesan, kamu lah yang merebut Rayna dari Ziyad." "Iya, Ma. Aku mengerti," angguk Ravin. Lelaki itu berusaha berlapang dada. Dia tahu, di awal Nafisa sangat berharap kepada Ziyad. Namun tiba-tiba saja, kenyataan berbalik 180 derajat dan ia harus menerima rencana perceraian putrinya dengan suaminya. Ibu manapun pasti akan kepikiran. "Rayna, apakah kamu memang benar-benar serius untuk menggugat cerai suamimu?" Kali ini netra setajam elang itu bera