Bab 119 Nafas Selvi seketika turun naik, menahan amarahnya. Dadanya bergemuruh. Sampai hati ibunya mengucapkan kata-kata itu. Seakan-akan ibunya hanya menerima kesuksesan dan tidak akan pernah menerima kegagalannya. Di tatapnya kembali wajah tua yang sudah mulai keriput itu. "Bukankah Mama bisa bilang kepada mereka jikalau aku tengah liburan?" tegas gadis itu. Dia mendorong piringnya agak ke tengah walaupun makanannya belum habis, lantas membasuh tangan dan mengeringkannya dengan serbet. "Tidak semudah itu, Selvi. Kalau kamu memutuskan untuk kembali tinggal di sini, mereka akan berpikir, liburan macam apa yang selama itu?" Widya terus memperhatikan gerak-gerik putrinya. "Percayalah, Ma. Aku hanya sementara di sini. Pada saatnya nanti, bukan cuma aku yang meninggalkan rumah jelek ini tetapi juga Mama." "Maksudmu?" sela Widya. "Mama pikir, aku betah tinggal di sini. Kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak mau tinggal di sini, meski hanya untuk satu atau dua bulan." Selvi men
Bab 120 "Ya iyalah. Selvi gitu loh," decaknya bangga. Dia menarik ponsel dari hadapan ibunya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku baju. Suara Selvi sedikit mengejutkan Widya. Perempuan tua itu buru-buru memasang ekspresi wajah biasa. Namun terlambat. Selvi menangkap bias-bias kesedihan dari sorot mata wanita yang telah melahirkannya itu. "Apa yang Mama pikirkan? Apakah Mama tidak suka dengan semua yang telah aku raih?" telisik gadis itu. "Mama hanya memikirkan Rayna, Selvi. Mama tidak habis pikir, bagaimana seorang lelaki kaya raya bisa tergila-gila padanya bahkan sampai berani memberikan uang yang sangat besar kepada kita hanya demi selembar surat nikah. Pakai ilmu pelet apa si Rayna?" Widya menghela nafas berat teringat insiden beberapa waktu yang lalu. "Tanpa menggunakan ilmu pelet apapun, aku sudah membuat Mas Angga tergila-gila dan berniat untuk menikahiku," bantah Selvi menggeram. Selvi tidak sudi dibanding-bandingkan dengan Rayna, walaupun oleh ibunya sendiri. Perempu
Bab 121 "Sayang, kamu melupakan tujuan perjalanan kita," tegur Ravin. Rayna tetegun. Dia balas menatap Ravin. Seketika itu pula dia mengangguk. Ravin tersenyum. Dia kembali menginjak pedal gas, lantas pergi meninggalkan tempat itu. "Nanti kalau sudah selesai konsultasi, kita akan kembali ke tempat itu. Siapa tahu dugaan kamu benar. Mereka memang tengah butuh pertolongan kita." Ravin menjejeri langkah Rayna. Rayna menoleh sekilas. Mereka kini sudah sampai di pelataran gedung Viona Medical Center. Meskipun dokter Viona bertugas di Elizabeth Hospital, tetapi perempuan muda itu memiliki klinik sendiri, Viona Medical Center. Klinik khusus untuk ibu dan anak. Ravin memang sengaja membuat janji dengan dokter Viona di klinik pribadinya. "Tentu saja. Apa sih yang tidak untuk Istriku yang tersayang?" Tanpa malu lelaki itu mengecup pipi istrinya sekilas. Padahal saat itu orang-orang tengah lalu lalang. Beberapa orang berseragam putih menyambut kedatangan mereka. Lantaran merasa kondisiny
Bab 122 Detik demi detik terasa begitu berharga bagi Ziyad. Lelaki itu tahu persis, di dalam ruangan operasi Ghina pun tengah berjuang untuk melahirkan buah hati mereka. Seharusnya memang tak ada yang perlu dia sesali. Setiap metode persalinan pasti ada resikonya. Tidak berarti persalinan secara caesar lebih mudah dan tidak merasakan sakit ketimbang persalinan normal. Hanya beda cara, tetapi resikonya sama saja. Salah sedikit, nyawa ibu dan anak yang menjadi taruhannya. Lelaki itu merentangkan tangan, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya penuh sesak. Otaknya masih dipenuhi dengan besaran biaya yang harus dia keluarkan. Rasanya ia tidak rela mengeluarkan dana sebesar itu hanya untuk biaya persalinan Ghina. Dia tak bisa membayangkan bagaimana tanggapan ibunya nanti saat tahu Ghina harus menjalani persalinan secara caesar. "Ah, kenapa biaya persalinan harus semahal ini?" gerutunya pada diri sendiri. Ini baru biaya persalinan, belum termasuk biaya kontrol dan rawat jalan. An
Bab 123"Anggap saja itu sebagai hadiah kelahiran putri mereka. Lagi pula aku tidak ingin kondisi buruk Ziyad dan Ghina saat ini menjadi beban pikiranmu. Kamu lagi hamil, Sayang.""Aku?" tunjuk Rayna pada dadanya."Tentu saja. Memangnya siapa lagi? Aku melakukan semua ini demi istriku tersayang yang sedang mengandung buah cintaku," godanya. Ravin mengusap perut rata Rayna, tidak peduli saat ini mereka tengah berada di mobil yang pintunya masih terbuka."Hubby, kamu terlalu berlebihan. Aku memang kasihan dengan Ziyad, tetapi bukan berarti dia memenuhi seluruh pikiranku. Aku hanya memikirkan dirimu....""Sayang, kalau begitu buktikanlah. Setelah ini kamu tidak perlu lagi memikirkan soal Ziyad dan Ghina, karena aku sudah melunasi semua biaya persalinan Ghina. Tidak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan." Ravin berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya, menetralisir dadanya yang sedikit sesak."Aku hanya tidak menduga Angga bisa sekejam itu kepada Ghina. Sebenarnya Ghina tidak bersalah.
Bab 124Perempuan tua itu terduduk di tepi ranjang. Dia membiarkan tasnya terbuka begitu saja. Matanya tajam menatap Selvi yang hanya bisa tertunduk."Baru saja seminggu yang lalu kamu bilang, Angga berencana akan menikahimu, tetapi kenapa sekarang dia tidak bisa dihubungi? Ada apa dengan kalian?""Aku juga tidak mengerti, Ma. Kemarin aku pikir hanya karena masalah sinyal, tetapi ternyata ujung-ujungnya nomorku diblokir mas Angga," keluh Selvi.Terdengar helaan nafas berat dari Widya. "Bagaimanapun caranya, kita harus kembali ke ibukota. Disamping urusan Ziyad dan Ghina, Mama tidak mau ya, Angga lepas dari kamu. Dia itu harapan terakhir kita, karena sekarang Mama tidak bisa lagi mengharapkan Ziyad. Dia sudah tunduk sepenuhnya kepada istrinya." Suara Widya penuh penekanan.Mendengar kata-kata ibunya, Selvi meremas ujung bajunya kuat-kuat. "Aku mengerti keinginan Mama, tapi aku juga butuh dukungan Mama, bukan kemarahan Mama." Wajahnya merah padam.Selvi bermaksud keluar dari kamar ibunya
Bab 125 "Loh, Mbak Aisyah?" Lelaki itu terkesiap. Dia mundur selangkah. Mata elangnya memindai perempuan muda ini. Di tangannya ada sebuah bungkusan besar dan sebuah rantang susun di salah satu tangannya yang lain. "Ada apa, Mbak?" tanya Ziyad terbata-bata. "Mbak Ghina-nya ada, Mas?" Perempuan ini masih tak bergerak dari tempat berdirinya. "Ada. Dia sedang di dapur. Silahkan masuk dulu, Mbak." Ziyad menggeser tubuhnya, membiarkan Aisyah masuk ke dalam rumah. Ziyad bermaksud ke dapur, tapi baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Ghina yang tengah menggendong baby Qia "Loh, Mbak Aisyah? Pagi-pagi sudah kemari. Ada apa, Mbak? Apakah ada orderan pekerjaan untukku? Maaf Mbak, aku belum bisa kerja seperti biasa. Soalnya masih dalam proses pemulihan dan baby Qia belum bisa di tinggal kerja," ujar Ghina dengan wajah tertunduk. "Mbak Ghina boleh masuk kerja kapanpun Mbak mau, asalkan kondisi Mbak sudah pulih. Masalah baby Qia, bisa dititipkan nanti dengan saya. Kebetulan saya belum
Bab 126"Memang itu kusengaja. Aku tidak mau semua bantuan yang kuberikan dianggap sebagai angin segar oleh Ziyad dan Ghina, sehingga nanti mereka jadi berharap kepadaku, seperti yang sudah-sudah. Ini tidak sehat, Adam." Lelaki itu merentangkan tangan berusaha meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu melirik ke arah Damian yang duduk di jok belakang.Hari ini Ravin pergi ke kantor dengan diantar oleh dua orang bodyguard-nya, Adam dan Damian. Bram, asisten pribadinya pergi ke kantor dengan mobil yang berbeda. Ada pekerjaan penting yang harus di selesaikan, sehingga harus datang lebih pagi ke kantor. Ravin tidak mungkin berangkat terlalu pagi, karena ia harus mengantar Rayna ke rumah Nafisa seperti biasanya."Aku mengerti, Bos," sahut Adam kembali menyalakan mesin. Percakapan Adam dengan Aisyah membuat lelaki itu menghentikan mobilnya di tepi jalan untuk beberapa saat."Kalian lakukan saja apa yang kuperintahkan," ujar Ravin dingin."Tantu, dengan senang hati, Bos." Adam mengacun