Bab 126"Memang itu kusengaja. Aku tidak mau semua bantuan yang kuberikan dianggap sebagai angin segar oleh Ziyad dan Ghina, sehingga nanti mereka jadi berharap kepadaku, seperti yang sudah-sudah. Ini tidak sehat, Adam." Lelaki itu merentangkan tangan berusaha meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu melirik ke arah Damian yang duduk di jok belakang.Hari ini Ravin pergi ke kantor dengan diantar oleh dua orang bodyguard-nya, Adam dan Damian. Bram, asisten pribadinya pergi ke kantor dengan mobil yang berbeda. Ada pekerjaan penting yang harus di selesaikan, sehingga harus datang lebih pagi ke kantor. Ravin tidak mungkin berangkat terlalu pagi, karena ia harus mengantar Rayna ke rumah Nafisa seperti biasanya."Aku mengerti, Bos," sahut Adam kembali menyalakan mesin. Percakapan Adam dengan Aisyah membuat lelaki itu menghentikan mobilnya di tepi jalan untuk beberapa saat."Kalian lakukan saja apa yang kuperintahkan," ujar Ravin dingin."Tantu, dengan senang hati, Bos." Adam mengacun
Bab 127"Mama menghancurkan rumah tanggamu?!" Widya tertawa keras sekali. "Apakah kamu tidak sadar bahwa sikapmulah yang menghancurkan rumah tanggamu sendiri?! Sejak awal kamulah yang menyiksa Rayna dan Mama hanya mengamini cara berpikirmu, karena memang kamu sepaham dengan Mama!""Apa bedanya?" teriak Ziyad. Tidak perduli teriakannya mengagetkan Ghina yang berbaring di kamar dan tengah sibuk menidurkan baby Qia."Bukankah Mama juga yang menuntut Rayna melakukan apapun sesuai dengan keinginan Mama. Aku memang cemburu dengan kedekatan Rayna dengan Ravin waktu itu, tetapi Mama lah yang memanas-manasi untuk terus menekan Rayna sehingga akhirnya dia pun terlepas!"Ziyad memegang dadanya yang sesak. "Sudahlah, Ma. Aku tidak mau ada lagi kita bertengkar soal ini. Yang jelas besok aku akan mengantar Mama dan Selvi untuk mencari tempat tinggal baru." Ziyad tetap pada keputusannya."Tidak! Mama tidak ingin tinggal di tempat lain. Mama ingin di rumah ini," balas Widya."Memangnya Mama dan Selvi
Bab 128"Ka-kalian siapa?!" Spontan tubuh Widya terdorong ke belakang. Dia sangat kaget, apalagi saat kedua lelaki itu membuka helm. Dua lelaki muda bertubuh kekar itu turun dari motornya dan menghampiri Widya dan Selvi.Widya gemetar. Hampir saja pegangannya pada Selvi terlepas saking gugupnya."Kalian tenang saja. Kami bukan orang jahat. Kenapa kalian malam-malam di sini? Tempat ini tidak aman untuk wanita seperti kalian," ujar Dean pura-pura tidak tahu."Aku dan putriku akan menuju suatu tempat. Kami sedang memesan taksi." Widya melirik Selvi yang terlihat buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Dia mengurungkan niatnya untuk memesan taksi.Selvi menatap kedua lelaki itu dengan curiga, sembari tetap memegang erat tas selempangnya. "Kalian ini siapa dan kenapa menghampiri kami? Kalau kalian memang tidak punya niat jahat, maka pergilah dari tempat ini," ujarnya ketus."Kami hanya bertanya dan berusaha peduli," balas Dean tak mau kalah."Dan mamaku sudah menjawab. Sekarang perg
Bab 129"Hai.... Kamu cari siapa?" sapanya ramah. Suara merdu perempuan itu terdengar, tetapi tak cukup untuk membuat Selvi merasa nyaman. Dia berdiri terpaku tak beda dengan Widya yang malah kebingungan saat mendapati kehadiran seorang perempuan di apartemen yang katanya pemiliknya adalah seorang duda."Aku Selvi. Aku kesini mau cari mas Angga. Mas Angga-nya ada?" Cuma itu yang terlontar dari bibirnya. Dia menatap lekat-lekat wajah dewasa perempuan cantik di hadapannya."Mas Angga belum pulang dari kantor. Aku juga sedang menunggu Mas Angga. Ya sudah, kalau begitu kalian masuk dulu," ajaknya. Perempuan itu mengarahkan Selvi dan Widya masuk dan duduk di sofa."Ada keperluan apa kamu mencari Mas Angga? Oh, maaf, aku belum menyebutkan nama. Kenalkan namaku Lia." Dia menyodorkan tangan. "Aku juga baru dari kantor, langsung kemari. Ternyata mas Angga belum pulang.""Memangnya Mbak Lia ini siapanya Angga? Apakah saudaranya?" tanya Widya menilik penampilan perempuan dewasa di depannya. Dia
Bab 130Selvi berlari-lari kecil menggiring dua orang petugas medis yang membawa brankar berisi ibunya. Wanita tua itu terkulai lemas masih tak sadarkan diri. Sementara di belakang Selvi, Lia mengiringi dengan perasaan tak kalah cemas. Selvi mengibaskan tangannya setiap kali tangan Lia mencoba menggenggam.Dia benci wanita itu. Gara-gara Lia dan Angga, tentunya, ibunya sampai jatuh pingsan di apartemen."Silahkan menunggu di luar, Mbak. Kami akan segera melakukan tindakan medis untuk Ibu Anda." Seorang pemuda berseragam putih menghalangi Selvi yang bermaksud menerobos masuk ke dalam.Akhirnya Selvi pasrah dan membiarkan tangan Lia menyeretnya duduk di sebuah bangku panjang."Maaf," cicit perempuan itu."Kata-kata maaf dari Mbak Lia tidak akan membuat Mama bangun dari pingsannya," ketus Selvi."Aku...." Ucapan Lia menggantung begitu saja.Lantaran merasa tidak enak dengan Selvi, akhirnya perempuan itu memilih pergi menuju bagian administrasi.Lia mendaftarkan pasien atas nama Widyastu
Bab 131 Tangan Selvi terulur mengelus pipi tirus perempuan tua itu. Tak ada rasa hangat sedikitpun dari wajah yang disentuhnya. Tak ada kehidupan. Wajah itu dingin dan beku. Selvi menjerit keras. Tubuhnya seketika lemas tiada berdaya. Namun sebelum tubuh itu terkapar di lantai ruangan, sepasang tangan besar menangkap Selvi, membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Mama sudah tiada." Ziyad berulang kali membisikkan kata-kata itu ke telinga Selvi, meskipun matanya memanas menahan tangisnya. Bagaimanapun ibunya adalah surganya. Ziyad menggendong Selvi keluar dari ruangan itu. Dia membiarkan jenazah ibunya langsung diurus oleh para petugas di rumah sakit. Di ibukota ini ia tidak memiliki siapapun, kecuali bude Darsinah. Fokusnya sekarang adalah menenangkan Selvi yang mengalami shock berat. Saudara ibunya itu datang ke rumah sakit ini bersama keluarganya satu jam kemudian, saat jenazah ibunya sudah siap untuk di shalatkan. Mereka memutuskan untuk menyalatkan jenazah Widya di mushala de
Bab 132Dari sebuah bandara kecil yang intensitas penerbangannya tidak terlalu padat, Ravin dan Rayna bertolak ke Kuala lumpur. Rayna yang baru pertama kali menaiki pesawat pribadi terkagum-kagum dengan interior yang dimiliki oleh pesawat pribadi keluarga Narendra. Sungguh sangat mewah. Seumur hidupnya ia tidak pernah menyaksikan ada pesawat yang di dalamnya didesain mirip sebuah rumah."Ini adalah milikmu juga. Kamu bebas menggunakan pesawat ini kemanapun kamu akan bepergian. Kapten Ivan akan senang hati mengantarmu. Beliau adalah seorang pilot dengan jam terbang yang sangat tinggi." Ravin seolah bisa membaca keminderan dari diri wanita itu."Memangnya aku mau kemana?" Rayna tertawa kecil. "Ini adalah pertama kali aku pergi ke luar negeri dan itu pun bersamamu Hubby....""Kasihan," goda Ravin mencubit hidung bangir istrinya. Mereka tengah berbaring di pembaringan. Ravin memeluk Rayna sembari mengelus perut wanita itu. Terasa olehnya permukaannya yang tak lagi rata. Untuk sesaat hat
Bab 133"Oh, ya? Benarkah?" Sepasang mata indah itu berbinar-binar menatap tudung saji yang teramat besar menutupi seluruh hidangan di atas meja makan."Benar sekali, Nyonya. Hari ini saya memasak makanan yang merupakan kekayaan kuliner kami orang Melayu." Chef Ehsan melambaikan tangan kepada dua orang wanita berseragam pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Mereka bergegas menghampiri, lalu membuka tudung saji."Inilah nasi lemak khas Malaysia," ujar chef Ehsan bangga."Wow...! Ini sangat keren. Terima kasih, Chef. Kamu memang juru masak yang hebat!" puji Rayna."Terima kasih atas pujian Nyonya. Itu memang sudah tugas saya sebagai chef pribadi keluarga Narendra, sekaligus senior chef di sebuah restoran masakan khas Melayu yang dimiliki oleh keluarga Narendra," sahut chef Ehsan sopan."Keluargamu juga memiliki restoran di sini, Hubby?" Perempuan itu sangat terkejut. Dia menoleh kepada sang suami."Kurang lebihnya seperti itu, Sayang. Daddy Elvan memang menjadi investor terbesar di sal