Bab 122 Detik demi detik terasa begitu berharga bagi Ziyad. Lelaki itu tahu persis, di dalam ruangan operasi Ghina pun tengah berjuang untuk melahirkan buah hati mereka. Seharusnya memang tak ada yang perlu dia sesali. Setiap metode persalinan pasti ada resikonya. Tidak berarti persalinan secara caesar lebih mudah dan tidak merasakan sakit ketimbang persalinan normal. Hanya beda cara, tetapi resikonya sama saja. Salah sedikit, nyawa ibu dan anak yang menjadi taruhannya. Lelaki itu merentangkan tangan, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya penuh sesak. Otaknya masih dipenuhi dengan besaran biaya yang harus dia keluarkan. Rasanya ia tidak rela mengeluarkan dana sebesar itu hanya untuk biaya persalinan Ghina. Dia tak bisa membayangkan bagaimana tanggapan ibunya nanti saat tahu Ghina harus menjalani persalinan secara caesar. "Ah, kenapa biaya persalinan harus semahal ini?" gerutunya pada diri sendiri. Ini baru biaya persalinan, belum termasuk biaya kontrol dan rawat jalan. An
Bab 123"Anggap saja itu sebagai hadiah kelahiran putri mereka. Lagi pula aku tidak ingin kondisi buruk Ziyad dan Ghina saat ini menjadi beban pikiranmu. Kamu lagi hamil, Sayang.""Aku?" tunjuk Rayna pada dadanya."Tentu saja. Memangnya siapa lagi? Aku melakukan semua ini demi istriku tersayang yang sedang mengandung buah cintaku," godanya. Ravin mengusap perut rata Rayna, tidak peduli saat ini mereka tengah berada di mobil yang pintunya masih terbuka."Hubby, kamu terlalu berlebihan. Aku memang kasihan dengan Ziyad, tetapi bukan berarti dia memenuhi seluruh pikiranku. Aku hanya memikirkan dirimu....""Sayang, kalau begitu buktikanlah. Setelah ini kamu tidak perlu lagi memikirkan soal Ziyad dan Ghina, karena aku sudah melunasi semua biaya persalinan Ghina. Tidak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan." Ravin berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya, menetralisir dadanya yang sedikit sesak."Aku hanya tidak menduga Angga bisa sekejam itu kepada Ghina. Sebenarnya Ghina tidak bersalah.
Bab 124Perempuan tua itu terduduk di tepi ranjang. Dia membiarkan tasnya terbuka begitu saja. Matanya tajam menatap Selvi yang hanya bisa tertunduk."Baru saja seminggu yang lalu kamu bilang, Angga berencana akan menikahimu, tetapi kenapa sekarang dia tidak bisa dihubungi? Ada apa dengan kalian?""Aku juga tidak mengerti, Ma. Kemarin aku pikir hanya karena masalah sinyal, tetapi ternyata ujung-ujungnya nomorku diblokir mas Angga," keluh Selvi.Terdengar helaan nafas berat dari Widya. "Bagaimanapun caranya, kita harus kembali ke ibukota. Disamping urusan Ziyad dan Ghina, Mama tidak mau ya, Angga lepas dari kamu. Dia itu harapan terakhir kita, karena sekarang Mama tidak bisa lagi mengharapkan Ziyad. Dia sudah tunduk sepenuhnya kepada istrinya." Suara Widya penuh penekanan.Mendengar kata-kata ibunya, Selvi meremas ujung bajunya kuat-kuat. "Aku mengerti keinginan Mama, tapi aku juga butuh dukungan Mama, bukan kemarahan Mama." Wajahnya merah padam.Selvi bermaksud keluar dari kamar ibunya
Bab 125 "Loh, Mbak Aisyah?" Lelaki itu terkesiap. Dia mundur selangkah. Mata elangnya memindai perempuan muda ini. Di tangannya ada sebuah bungkusan besar dan sebuah rantang susun di salah satu tangannya yang lain. "Ada apa, Mbak?" tanya Ziyad terbata-bata. "Mbak Ghina-nya ada, Mas?" Perempuan ini masih tak bergerak dari tempat berdirinya. "Ada. Dia sedang di dapur. Silahkan masuk dulu, Mbak." Ziyad menggeser tubuhnya, membiarkan Aisyah masuk ke dalam rumah. Ziyad bermaksud ke dapur, tapi baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Ghina yang tengah menggendong baby Qia "Loh, Mbak Aisyah? Pagi-pagi sudah kemari. Ada apa, Mbak? Apakah ada orderan pekerjaan untukku? Maaf Mbak, aku belum bisa kerja seperti biasa. Soalnya masih dalam proses pemulihan dan baby Qia belum bisa di tinggal kerja," ujar Ghina dengan wajah tertunduk. "Mbak Ghina boleh masuk kerja kapanpun Mbak mau, asalkan kondisi Mbak sudah pulih. Masalah baby Qia, bisa dititipkan nanti dengan saya. Kebetulan saya belum
Bab 126"Memang itu kusengaja. Aku tidak mau semua bantuan yang kuberikan dianggap sebagai angin segar oleh Ziyad dan Ghina, sehingga nanti mereka jadi berharap kepadaku, seperti yang sudah-sudah. Ini tidak sehat, Adam." Lelaki itu merentangkan tangan berusaha meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu melirik ke arah Damian yang duduk di jok belakang.Hari ini Ravin pergi ke kantor dengan diantar oleh dua orang bodyguard-nya, Adam dan Damian. Bram, asisten pribadinya pergi ke kantor dengan mobil yang berbeda. Ada pekerjaan penting yang harus di selesaikan, sehingga harus datang lebih pagi ke kantor. Ravin tidak mungkin berangkat terlalu pagi, karena ia harus mengantar Rayna ke rumah Nafisa seperti biasanya."Aku mengerti, Bos," sahut Adam kembali menyalakan mesin. Percakapan Adam dengan Aisyah membuat lelaki itu menghentikan mobilnya di tepi jalan untuk beberapa saat."Kalian lakukan saja apa yang kuperintahkan," ujar Ravin dingin."Tantu, dengan senang hati, Bos." Adam mengacun
Bab 127"Mama menghancurkan rumah tanggamu?!" Widya tertawa keras sekali. "Apakah kamu tidak sadar bahwa sikapmulah yang menghancurkan rumah tanggamu sendiri?! Sejak awal kamulah yang menyiksa Rayna dan Mama hanya mengamini cara berpikirmu, karena memang kamu sepaham dengan Mama!""Apa bedanya?" teriak Ziyad. Tidak perduli teriakannya mengagetkan Ghina yang berbaring di kamar dan tengah sibuk menidurkan baby Qia."Bukankah Mama juga yang menuntut Rayna melakukan apapun sesuai dengan keinginan Mama. Aku memang cemburu dengan kedekatan Rayna dengan Ravin waktu itu, tetapi Mama lah yang memanas-manasi untuk terus menekan Rayna sehingga akhirnya dia pun terlepas!"Ziyad memegang dadanya yang sesak. "Sudahlah, Ma. Aku tidak mau ada lagi kita bertengkar soal ini. Yang jelas besok aku akan mengantar Mama dan Selvi untuk mencari tempat tinggal baru." Ziyad tetap pada keputusannya."Tidak! Mama tidak ingin tinggal di tempat lain. Mama ingin di rumah ini," balas Widya."Memangnya Mama dan Selvi
Bab 128"Ka-kalian siapa?!" Spontan tubuh Widya terdorong ke belakang. Dia sangat kaget, apalagi saat kedua lelaki itu membuka helm. Dua lelaki muda bertubuh kekar itu turun dari motornya dan menghampiri Widya dan Selvi.Widya gemetar. Hampir saja pegangannya pada Selvi terlepas saking gugupnya."Kalian tenang saja. Kami bukan orang jahat. Kenapa kalian malam-malam di sini? Tempat ini tidak aman untuk wanita seperti kalian," ujar Dean pura-pura tidak tahu."Aku dan putriku akan menuju suatu tempat. Kami sedang memesan taksi." Widya melirik Selvi yang terlihat buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Dia mengurungkan niatnya untuk memesan taksi.Selvi menatap kedua lelaki itu dengan curiga, sembari tetap memegang erat tas selempangnya. "Kalian ini siapa dan kenapa menghampiri kami? Kalau kalian memang tidak punya niat jahat, maka pergilah dari tempat ini," ujarnya ketus."Kami hanya bertanya dan berusaha peduli," balas Dean tak mau kalah."Dan mamaku sudah menjawab. Sekarang perg
Bab 129"Hai.... Kamu cari siapa?" sapanya ramah. Suara merdu perempuan itu terdengar, tetapi tak cukup untuk membuat Selvi merasa nyaman. Dia berdiri terpaku tak beda dengan Widya yang malah kebingungan saat mendapati kehadiran seorang perempuan di apartemen yang katanya pemiliknya adalah seorang duda."Aku Selvi. Aku kesini mau cari mas Angga. Mas Angga-nya ada?" Cuma itu yang terlontar dari bibirnya. Dia menatap lekat-lekat wajah dewasa perempuan cantik di hadapannya."Mas Angga belum pulang dari kantor. Aku juga sedang menunggu Mas Angga. Ya sudah, kalau begitu kalian masuk dulu," ajaknya. Perempuan itu mengarahkan Selvi dan Widya masuk dan duduk di sofa."Ada keperluan apa kamu mencari Mas Angga? Oh, maaf, aku belum menyebutkan nama. Kenalkan namaku Lia." Dia menyodorkan tangan. "Aku juga baru dari kantor, langsung kemari. Ternyata mas Angga belum pulang.""Memangnya Mbak Lia ini siapanya Angga? Apakah saudaranya?" tanya Widya menilik penampilan perempuan dewasa di depannya. Dia