Bab 124Perempuan tua itu terduduk di tepi ranjang. Dia membiarkan tasnya terbuka begitu saja. Matanya tajam menatap Selvi yang hanya bisa tertunduk."Baru saja seminggu yang lalu kamu bilang, Angga berencana akan menikahimu, tetapi kenapa sekarang dia tidak bisa dihubungi? Ada apa dengan kalian?""Aku juga tidak mengerti, Ma. Kemarin aku pikir hanya karena masalah sinyal, tetapi ternyata ujung-ujungnya nomorku diblokir mas Angga," keluh Selvi.Terdengar helaan nafas berat dari Widya. "Bagaimanapun caranya, kita harus kembali ke ibukota. Disamping urusan Ziyad dan Ghina, Mama tidak mau ya, Angga lepas dari kamu. Dia itu harapan terakhir kita, karena sekarang Mama tidak bisa lagi mengharapkan Ziyad. Dia sudah tunduk sepenuhnya kepada istrinya." Suara Widya penuh penekanan.Mendengar kata-kata ibunya, Selvi meremas ujung bajunya kuat-kuat. "Aku mengerti keinginan Mama, tapi aku juga butuh dukungan Mama, bukan kemarahan Mama." Wajahnya merah padam.Selvi bermaksud keluar dari kamar ibunya
Bab 125 "Loh, Mbak Aisyah?" Lelaki itu terkesiap. Dia mundur selangkah. Mata elangnya memindai perempuan muda ini. Di tangannya ada sebuah bungkusan besar dan sebuah rantang susun di salah satu tangannya yang lain. "Ada apa, Mbak?" tanya Ziyad terbata-bata. "Mbak Ghina-nya ada, Mas?" Perempuan ini masih tak bergerak dari tempat berdirinya. "Ada. Dia sedang di dapur. Silahkan masuk dulu, Mbak." Ziyad menggeser tubuhnya, membiarkan Aisyah masuk ke dalam rumah. Ziyad bermaksud ke dapur, tapi baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Ghina yang tengah menggendong baby Qia "Loh, Mbak Aisyah? Pagi-pagi sudah kemari. Ada apa, Mbak? Apakah ada orderan pekerjaan untukku? Maaf Mbak, aku belum bisa kerja seperti biasa. Soalnya masih dalam proses pemulihan dan baby Qia belum bisa di tinggal kerja," ujar Ghina dengan wajah tertunduk. "Mbak Ghina boleh masuk kerja kapanpun Mbak mau, asalkan kondisi Mbak sudah pulih. Masalah baby Qia, bisa dititipkan nanti dengan saya. Kebetulan saya belum
Bab 126"Memang itu kusengaja. Aku tidak mau semua bantuan yang kuberikan dianggap sebagai angin segar oleh Ziyad dan Ghina, sehingga nanti mereka jadi berharap kepadaku, seperti yang sudah-sudah. Ini tidak sehat, Adam." Lelaki itu merentangkan tangan berusaha meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu melirik ke arah Damian yang duduk di jok belakang.Hari ini Ravin pergi ke kantor dengan diantar oleh dua orang bodyguard-nya, Adam dan Damian. Bram, asisten pribadinya pergi ke kantor dengan mobil yang berbeda. Ada pekerjaan penting yang harus di selesaikan, sehingga harus datang lebih pagi ke kantor. Ravin tidak mungkin berangkat terlalu pagi, karena ia harus mengantar Rayna ke rumah Nafisa seperti biasanya."Aku mengerti, Bos," sahut Adam kembali menyalakan mesin. Percakapan Adam dengan Aisyah membuat lelaki itu menghentikan mobilnya di tepi jalan untuk beberapa saat."Kalian lakukan saja apa yang kuperintahkan," ujar Ravin dingin."Tantu, dengan senang hati, Bos." Adam mengacun
Bab 127"Mama menghancurkan rumah tanggamu?!" Widya tertawa keras sekali. "Apakah kamu tidak sadar bahwa sikapmulah yang menghancurkan rumah tanggamu sendiri?! Sejak awal kamulah yang menyiksa Rayna dan Mama hanya mengamini cara berpikirmu, karena memang kamu sepaham dengan Mama!""Apa bedanya?" teriak Ziyad. Tidak perduli teriakannya mengagetkan Ghina yang berbaring di kamar dan tengah sibuk menidurkan baby Qia."Bukankah Mama juga yang menuntut Rayna melakukan apapun sesuai dengan keinginan Mama. Aku memang cemburu dengan kedekatan Rayna dengan Ravin waktu itu, tetapi Mama lah yang memanas-manasi untuk terus menekan Rayna sehingga akhirnya dia pun terlepas!"Ziyad memegang dadanya yang sesak. "Sudahlah, Ma. Aku tidak mau ada lagi kita bertengkar soal ini. Yang jelas besok aku akan mengantar Mama dan Selvi untuk mencari tempat tinggal baru." Ziyad tetap pada keputusannya."Tidak! Mama tidak ingin tinggal di tempat lain. Mama ingin di rumah ini," balas Widya."Memangnya Mama dan Selvi
Bab 128"Ka-kalian siapa?!" Spontan tubuh Widya terdorong ke belakang. Dia sangat kaget, apalagi saat kedua lelaki itu membuka helm. Dua lelaki muda bertubuh kekar itu turun dari motornya dan menghampiri Widya dan Selvi.Widya gemetar. Hampir saja pegangannya pada Selvi terlepas saking gugupnya."Kalian tenang saja. Kami bukan orang jahat. Kenapa kalian malam-malam di sini? Tempat ini tidak aman untuk wanita seperti kalian," ujar Dean pura-pura tidak tahu."Aku dan putriku akan menuju suatu tempat. Kami sedang memesan taksi." Widya melirik Selvi yang terlihat buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Dia mengurungkan niatnya untuk memesan taksi.Selvi menatap kedua lelaki itu dengan curiga, sembari tetap memegang erat tas selempangnya. "Kalian ini siapa dan kenapa menghampiri kami? Kalau kalian memang tidak punya niat jahat, maka pergilah dari tempat ini," ujarnya ketus."Kami hanya bertanya dan berusaha peduli," balas Dean tak mau kalah."Dan mamaku sudah menjawab. Sekarang perg
Bab 129"Hai.... Kamu cari siapa?" sapanya ramah. Suara merdu perempuan itu terdengar, tetapi tak cukup untuk membuat Selvi merasa nyaman. Dia berdiri terpaku tak beda dengan Widya yang malah kebingungan saat mendapati kehadiran seorang perempuan di apartemen yang katanya pemiliknya adalah seorang duda."Aku Selvi. Aku kesini mau cari mas Angga. Mas Angga-nya ada?" Cuma itu yang terlontar dari bibirnya. Dia menatap lekat-lekat wajah dewasa perempuan cantik di hadapannya."Mas Angga belum pulang dari kantor. Aku juga sedang menunggu Mas Angga. Ya sudah, kalau begitu kalian masuk dulu," ajaknya. Perempuan itu mengarahkan Selvi dan Widya masuk dan duduk di sofa."Ada keperluan apa kamu mencari Mas Angga? Oh, maaf, aku belum menyebutkan nama. Kenalkan namaku Lia." Dia menyodorkan tangan. "Aku juga baru dari kantor, langsung kemari. Ternyata mas Angga belum pulang.""Memangnya Mbak Lia ini siapanya Angga? Apakah saudaranya?" tanya Widya menilik penampilan perempuan dewasa di depannya. Dia
Bab 130Selvi berlari-lari kecil menggiring dua orang petugas medis yang membawa brankar berisi ibunya. Wanita tua itu terkulai lemas masih tak sadarkan diri. Sementara di belakang Selvi, Lia mengiringi dengan perasaan tak kalah cemas. Selvi mengibaskan tangannya setiap kali tangan Lia mencoba menggenggam.Dia benci wanita itu. Gara-gara Lia dan Angga, tentunya, ibunya sampai jatuh pingsan di apartemen."Silahkan menunggu di luar, Mbak. Kami akan segera melakukan tindakan medis untuk Ibu Anda." Seorang pemuda berseragam putih menghalangi Selvi yang bermaksud menerobos masuk ke dalam.Akhirnya Selvi pasrah dan membiarkan tangan Lia menyeretnya duduk di sebuah bangku panjang."Maaf," cicit perempuan itu."Kata-kata maaf dari Mbak Lia tidak akan membuat Mama bangun dari pingsannya," ketus Selvi."Aku...." Ucapan Lia menggantung begitu saja.Lantaran merasa tidak enak dengan Selvi, akhirnya perempuan itu memilih pergi menuju bagian administrasi.Lia mendaftarkan pasien atas nama Widyastu
Bab 131 Tangan Selvi terulur mengelus pipi tirus perempuan tua itu. Tak ada rasa hangat sedikitpun dari wajah yang disentuhnya. Tak ada kehidupan. Wajah itu dingin dan beku. Selvi menjerit keras. Tubuhnya seketika lemas tiada berdaya. Namun sebelum tubuh itu terkapar di lantai ruangan, sepasang tangan besar menangkap Selvi, membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Mama sudah tiada." Ziyad berulang kali membisikkan kata-kata itu ke telinga Selvi, meskipun matanya memanas menahan tangisnya. Bagaimanapun ibunya adalah surganya. Ziyad menggendong Selvi keluar dari ruangan itu. Dia membiarkan jenazah ibunya langsung diurus oleh para petugas di rumah sakit. Di ibukota ini ia tidak memiliki siapapun, kecuali bude Darsinah. Fokusnya sekarang adalah menenangkan Selvi yang mengalami shock berat. Saudara ibunya itu datang ke rumah sakit ini bersama keluarganya satu jam kemudian, saat jenazah ibunya sudah siap untuk di shalatkan. Mereka memutuskan untuk menyalatkan jenazah Widya di mushala de
Bab 139 "Jodoh itu ibarat cerminan diri. Di detik ini aku baru sadar, aku memang tidak pantas untukmu. Kamu memang pantas untuk bersanding dengan Ravin," gumam Ziyad. Matanya tak lepas dari layar ponsel yang menayangkan adegan demi adegan kegiatan Rayna bersama Al-Fatih Mart Foundation. Perempuan muda itu nampak begitu tulus menyalami para orang tua di salah satu panti jompo yang ia kunjungi. Meskipun tak pernah ada lagi kontak dengan Rayna, tetapi lelaki itu senantiasa mengikuti perkembangan Rayna melalui akun media sosial Al-Fatih Mart yang ia follow. Ya, hanya itu jalan satu-satunya untuk mengetahui perkembangan dari perempuan yang bahkan sampai kini masih tetap dia cintai. Semua akses sudah tertutup. Rayna sudah menikah dengan Ravin, bahkan kini memiliki anak, Akalanka Mirza Zahair Narendra. Tak ada gunanya ia terus berharap. Mencintai dalam diam. Itu yang ia lakukan sekarang. Ziyad tersenyum kecut. Biarlah semua orang menganggapnya bodoh. Tapi hanya itu yang tersisa dari sosok
Bab 138 "Selamat, Tuan. Anaknya laki-laki, sehat, tak kurang suatu apapun dan ganteng seperti daddynya," canda dokter Viona. Dia sendiri yang menyerahkan langsung bayi mungil di dalam bedongan itu kepada Ravin. "Terima kasih, Dok." Ini jelas sebuah keajaiban bagi Ravin. Bisa menggendong bayi yang merupakan darah dagingnya sendiri merupakan mimpinya sejak lama dan kini menjadi kenyataan. Ravin melangkah menghampiri sang istri yang terbaring lemah di ranjang. Wanita itu mengulas senyum termanis. "Ini putra kita, Sayang," ujarnya sembari duduk di kursi dekat ranjang. Matanya menatap wajah mungil itu lekat-lekat. "Tentu saja. Terima kasih sudah menyambut kehadirannya." "Apa yang kau katakan, Sayang?!" Refleks tangannya terulur menutup mulut Rayna. "Kehadirannya sudah lama kutunggu dan hari ini aku sangat bahagia karena sekarang aku memiliki seorang pewaris. Pewaris Al-Fatih Mart yang sekarang tumbuh dan berkembang semakin besar, melebarkan sayap sampai ke negeri tetangga," ujarnya
Bab 137 "Bukan, Sayang. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk tidak lagi memantau mereka. Dean dan Roy akan ditarik sebagai pengawal pribadiku, menggantikan Adam dan Damian yang telah resmi menjadi pengawal pribadimu mulai hari ini." "Kenapa bisa begitu?" Rayna tersentak. "Karena kita sudah punya kehidupan masing-masing. Ada banyak hal yang lebih penting untuk kita perhatikan, Sayang. Jadi mulai hari ini stop! Ziyad dan keluarganya kita keluarkan dari tema pembicaraan kita sehari-hari. Are you oke?" tegas Ravin. Tangannya terulur menangkup wajah perempuan itu, mendongakkannya, lalu mendekatkan wajahnya sendiri, mengecup bibir ranum itu dengan lembut. Rayna menggeliat. Tubuhnya menghangat seketika. "Berjanjilah untuk move on dari cinta dan suami pertamamu itu, Sayang. Seperti aku juga yang move on dari istri pertamaku," lirih lelaki itu. Rayna menatap pemilik wajah dengan rahang yang tegas itu dalam-dalam. Ada kesungguhan dan ketulusan di sana. Ravin benar. Setelah selesai soal kem
Bab 136Perempuan muda itu menoleh. "Kak Rayna!" Suaranya bergetar.Rayna menubruk gadis itu, memeluknya dengan erat, meskipun beberapa detik kemudian menyadari saat mereka berpelukan, ada yang mengganjal. Bukan cuma perutnya, tetapi juga perut Selvi."Selvi, kamu sedang hamil?" Tanpa sadar tangan perempuan itu mengusap perut besar milik Selvi.Gadis itu mengangguk. "Seperti yang Kakak lihat," sahutnya getir"Kamu sudah menikah?" Pertanyaan itu terasa begitu konyol. Otaknya berusaha keras mengingat-ingat. Dia dan Ravin memang memantau Ziyad dan Selvi, meskipun tentu tidak bisa 100%. Sampai sejauh ini suaminya tidak pernah menceritakan soal Selvi. Setiap kali ditanya, Ravin selalu bilang Selvi dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi nyatanya....Laila berinisiatif untuk membawa Selvi, Rayna dan Vania masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan bangunan itu."Ini anak Angga?" Rayna kembali mengusap perut besar Selvi dengan lembut saat mereka sudah duduk di sofa."Iya, Kak." Butir-butir beni
Bab 135"Terima kasih, Sayang. Kamu adalah istriku dan ratuku. Kamu tidak perlu merubah apapun dari dirimu. Semua yang ada pada dirimu sudah sempurna. Aku juga tidak menuntutmu terlibat penuh dalam kegiatan di perusahaan, kalau memang kamu tidak menginginkannya. Cukuplah kamu mendampingiku, setia padaku, karena aku benci dengan yang namanya penghianatan." Ravin menghela nafas berat.Antara Bella dan Rayna sungguh berbeda dan Ravin menerima Rayna mutlak apa adanya. Dia hanya menginginkan kesetiaan, setelah apa yang Bella torehkan kepadanya. Buat apa memiliki istri cantik, cerdas, berpendidikan tinggi, tetapi punya kebiasaan memelihara pria pemuas hasrat? Ini sangat menjijikan!Keduanya menikmati waktu beberapa saat di taman sebelum akhirnya bangkit. Ravin memeluk pinggang istrinya posesif. Namun baru beberapa langkah keduanya mengayunkan kaki, mendadak ponsel Ravin berdering"Panggilan video dari Axel," cicit Rayna. Sepasang suami istri itu berpandangan."Angkat saja, Hubby. Siapa tahu
Bab 134 "Istrimu?!" Perempuan yang hanya mengenakan dress di atas lutut tanpa lengan itu mengibaskan rambutnya. "Apakah aku tidak salah dengar? Apakah ini benar-benar istrimu?" Dia menunjuk Rayna dengan ekspresi keheranan. Matanya tak lepas mengamati penampilan Rayna yang mengenakan gamis dengan jilbab yang menutupi kepala sampai tonjolan di dadanya. Memang, pakaian yang dikenakan oleh Rayna berharga cukup mahal dan model kekinian. Namun di mata Chintya, gaya berpakaian Rayna seperti orang udik, kampungan! "Lho, memangnya kenapa, Chintya?" Ravin menatap Chintya dengan pandangan tak suka. "Ah, tidak apa-apa. Aku hanya heran dengan seleramu. Kamu terlihat sangat berubah, Ravin. Aku pikir setelah kamu menceraikan Bella, kamu akan mencari wanita yang jauh lebih baik dari mantan istrimu itu." Chintya mencoba menutupi keterkejutannya dengan tertawa kecil. "Dan Rayna adalah wanita yang jauh lebih baik dari Bella," ujar Ravin sinis. Sekalian saja dia menumpahkan isi hatinya, mampung bert
Bab 133"Oh, ya? Benarkah?" Sepasang mata indah itu berbinar-binar menatap tudung saji yang teramat besar menutupi seluruh hidangan di atas meja makan."Benar sekali, Nyonya. Hari ini saya memasak makanan yang merupakan kekayaan kuliner kami orang Melayu." Chef Ehsan melambaikan tangan kepada dua orang wanita berseragam pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Mereka bergegas menghampiri, lalu membuka tudung saji."Inilah nasi lemak khas Malaysia," ujar chef Ehsan bangga."Wow...! Ini sangat keren. Terima kasih, Chef. Kamu memang juru masak yang hebat!" puji Rayna."Terima kasih atas pujian Nyonya. Itu memang sudah tugas saya sebagai chef pribadi keluarga Narendra, sekaligus senior chef di sebuah restoran masakan khas Melayu yang dimiliki oleh keluarga Narendra," sahut chef Ehsan sopan."Keluargamu juga memiliki restoran di sini, Hubby?" Perempuan itu sangat terkejut. Dia menoleh kepada sang suami."Kurang lebihnya seperti itu, Sayang. Daddy Elvan memang menjadi investor terbesar di sal
Bab 132Dari sebuah bandara kecil yang intensitas penerbangannya tidak terlalu padat, Ravin dan Rayna bertolak ke Kuala lumpur. Rayna yang baru pertama kali menaiki pesawat pribadi terkagum-kagum dengan interior yang dimiliki oleh pesawat pribadi keluarga Narendra. Sungguh sangat mewah. Seumur hidupnya ia tidak pernah menyaksikan ada pesawat yang di dalamnya didesain mirip sebuah rumah."Ini adalah milikmu juga. Kamu bebas menggunakan pesawat ini kemanapun kamu akan bepergian. Kapten Ivan akan senang hati mengantarmu. Beliau adalah seorang pilot dengan jam terbang yang sangat tinggi." Ravin seolah bisa membaca keminderan dari diri wanita itu."Memangnya aku mau kemana?" Rayna tertawa kecil. "Ini adalah pertama kali aku pergi ke luar negeri dan itu pun bersamamu Hubby....""Kasihan," goda Ravin mencubit hidung bangir istrinya. Mereka tengah berbaring di pembaringan. Ravin memeluk Rayna sembari mengelus perut wanita itu. Terasa olehnya permukaannya yang tak lagi rata. Untuk sesaat hat
Bab 131 Tangan Selvi terulur mengelus pipi tirus perempuan tua itu. Tak ada rasa hangat sedikitpun dari wajah yang disentuhnya. Tak ada kehidupan. Wajah itu dingin dan beku. Selvi menjerit keras. Tubuhnya seketika lemas tiada berdaya. Namun sebelum tubuh itu terkapar di lantai ruangan, sepasang tangan besar menangkap Selvi, membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Mama sudah tiada." Ziyad berulang kali membisikkan kata-kata itu ke telinga Selvi, meskipun matanya memanas menahan tangisnya. Bagaimanapun ibunya adalah surganya. Ziyad menggendong Selvi keluar dari ruangan itu. Dia membiarkan jenazah ibunya langsung diurus oleh para petugas di rumah sakit. Di ibukota ini ia tidak memiliki siapapun, kecuali bude Darsinah. Fokusnya sekarang adalah menenangkan Selvi yang mengalami shock berat. Saudara ibunya itu datang ke rumah sakit ini bersama keluarganya satu jam kemudian, saat jenazah ibunya sudah siap untuk di shalatkan. Mereka memutuskan untuk menyalatkan jenazah Widya di mushala de