Bab 95Baru saja Ravin dan Rayna menginjakkan kaki di teras rumah, Tuan Elvan dan nyonya Amyta sudah berdiri menyambut kedatangan mereka tepat di depan pintu."Loh, ini siapa, Ravin?" tegur perempuan setengah baya itu melihat seorang anak laki-laki yang berada di gendongan putranya. Sementara Rayna membawa sebuah tas besar di tangannya.Arsen yang sudah terbangun tampak memperhatikan dua orang yang menyambut kehadiran mereka."Daddy." Arsen berontak. Ravin segera membungkuk menurunkan Arsen dari gendongannya."Daddy, Mommy, ini Arsen, anak Bella.""Anak Bella?" Kedua orang itu sangat terkejut. "Sebaiknya kalian masuk dulu. Kita bicarakan di dalam," ajak tuan Elvan yang dengan cepat bisa menguasai dirinya. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu.Arsen terkagum-kagum dengan keindahan ruang yang baru seumur hidup dimasukinya. Selama ini dia tinggal bersama mommy Bella. Apartemen tempat tinggal mereka tidaklah semewah ini. Meskipun mommynya masih bisa menggaji seorang pengasuh unt
Bab 96"Antara percaya dan tidak percaya sih, Mom. Aku rasa sangat penting melakukan tes DNA ulang. Jika nanti hasilnya berbeda, berarti benar kata Daddy, itu adalah trik murahan dari Bella." Lelaki itu mengembangkan senyumnya."Syukurlah," ujar tuan Elvan seraya menepuk bahu putranya. "Kamu sudah melakukan hal yang benar.""Tapi bagaimana dengan Arsen? Anak itu sudah menganggap kamu sebagai daddynya," sela nyonya Amyta. "Nanti kita pikir lagi bagaimana baiknya," ujar tuan Elvan menenangkan istrinya. Rayna dan Arsen akhirnya kembali ke dalam rumah sesaat setelah Bram masuk ke mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Ravin melambaikan tangan, membuat bocah kecil itu berlari kecil menghampirinya."Bagaimana, Arsen? Apakah senang bermain dengan Mommy Rayna?" tanya Ravin."Senang sekali, Daddy. Mommy Rayna sangat pandai menangkap bola. Arsen kalah terus," cerita Arsen. Anak laki-laki itu merangkak naik ke pangkuan Ravin."Oh, ya?" Tuan Elvan terkekeh. Dia mencubit pipi bocah kecil itu denga
Bab 97Rayna berusaha untuk duduk kembali meskipun kepalanya masih sedikit pusing."Benar, Rayna. Aku sangat butuh uang sekarang.""Buat apa, Ziyad? Kemarin kamu mau minjam uang kepada Ravin untuk melunasi biaya pernikahanmu. Sekarang apalagi?" Rayna berusaha menekan emosinya. Baru saja ia mendapat masalah di dalam rumah tangganya, sekarang mantan suaminya kembali berulah."Ghina terseret masalah di kantor. Dia dituduh menggelapkan dana nasabah....""Ghina korupsi?" potong Rayna."Sebenarnya bukan Ghina, tetapi salah seorang yang berkuasa di kantor pusat. Dia yang selama ini mensupport Ghina sejak ia menjadi kepala cabang di kantorku," jelas Ziyad."Berarti Ghina cuma dijadikan tumbal?" selidik Rayna. Dia memijat pelipisnya."Kurang lebih begitulah, tetapi orang itu tidak tersentuh oleh hukum. Di mata hukum, Ghina lah yang korupsi, pelaku penggelapan dana nasabah. Ah, sudahlah, Rayna. Kamu ada uang nggak?" desak Ziyad di seberang telepon."Aku tidak punya uang banyak, Ziyad. Kamu butu
Bab 98"Aku tidak menyangka semua akan menjadi seperti ini. Semuanya hancur." Ghina menggapai tisu di meja nakas mengelap wajahnya yang basah."Kita tidak bisa berharap kepada siapapun, termasuk keluarga sendiri." Susah payah Ziyad menelan ludahnya. Dia menghirup nafas sebanyak-banyaknya demi melonggarkan dadanya."Kenapa keluarga kita justru menjauh setelah kita mengalami musibah seperti ini?" ucap Ghina sendu.Ziyad memiringkan tubuh, memeluk istrinya erat-erat. "Itulah kenapa kita tidak boleh berharap kepada keluarga sendiri, karena kebanyakan orang akan mendekat di saat kita tengah berjaya dan akan menghindar disaat kita sedang susah. Kamu mau, kan, memulai semuanya dari nol lagi sama aku?"Ghina mengangguk lemah. "Aku tidak punya pilihan. Orang tuaku saja mengabaikanku setelah mengetahui aku dipecat. Mereka tidak mau terima dengan kenyataan ini, terlebih saat mengetahui bagaimana cara aku meraih jabatan kepala kantor cabang waktu itu. Mereka cuma bisa menyalahkan."Di benaknya te
Bab 99Ghina duduk begitu saja di lantai tanpa alas. Dia memijat pinggangnya yang terasa pegal, demikian juga kakinya. Perutnya semakin membuncit. Mungkin beberapa bulan lagi dia akan melahirkan. Sepasang matanya sendu menatap perutnya. Tak pernah sedikitpun terlintas di benaknya, harus menyambut kelahiran bayi pertamanya dengan kehidupan yang seperti ini. Setetes air bening jatuh membasahi pipinya yang tirus. Dia tak berani terisak, takut lelaki itu mendengar. Ghina sudah cukup beruntung memiliki seorang Ziyad, walaupun di awal lelaki itu menikahinya lantaran terpaksa, karena harus bertanggung jawab terhadap bayi yang berada dalam kandungannya.Mereka tidak membawa barang apapun dari rumah, karena rumah dan segala isinya disita, demikian juga dengan barang-barang branded, perhiasan dan kendaraan. Semuanya tak ada lagi yang tersisa, kecuali baju-baju murahan yang kini mereka bawa dan sekarang tengah dikeluarkan oleh Ziyad. Ziyad menaruhnya di lemari pakaian. Satu-satunya perabotan y
Bab 100"Aku pelit?!" Tiba-tiba Ziyad tertawa keras."Aku pelit dengan kalian? Separuh gajiku aku berikan kepada kalian setiap bulan. Apakah itu masih dianggap pelit?" Lelaki itu melotot. Sungguh ia tidak habis pikir dengan cara berpikir adiknya."Seharusnya Kakak memberikan semua uang gaji Kakak kepada kami, karena aku dan Mama lebih membutuhkan ketimbang Mbak Ghina. Mbak Ghina kan kerja. Mbak Ghina tidak perlu uang gaji Kakak!" teriak Selvi yang dibarengi dengan anggukan kepala ibunya."Jadi jika mbakmu kerja, lantas dia tidak berhak atas nafkah dari suaminya. Begitu maksud kalian?" Ziyad kembali menatap ibu dan adiknya bergantian."Ya iyalah. Dia sudah bisa cari duit sendiri. Kenapa Kakak harus repot-repot memberi dia uang? Sementara aku dan Mama tidak bekerja. Kami yang harus di utamakan," tukas Selvi tak tahu malu."Kalau begitu, carilah pekerjaan agar tidak menjadi benalu bagi saudaramu!" sergah lelaki itu.Ziyad merasa sangat muak. Dulu dia memang memanjakan Selvi, tetapi sekar
Bab 101Ravin berdiri terpaku dengan Bram di sampingnya, sementara lelaki yang awalnya duduk membelakangi seketika berdiri. Posisi keduanya kini berhadapan. Mata Ravin tak berkedip menatap struktur wajah lelaki muda ini. Kali ini dia tidak salah lihat. Lelaki itu memang benar-benar adalah lelaki yang di pergokinya bersama dengan Bella 5 tahun yang lalu."Maaf, ini dengan tuan Ravin dan Tuan Bram, kan?" Lelaki itu mulai bersuara."Ah, iya betul." Ravin mengangguk. Otaknya masih saja memutar kenangan, peristiwa lima tahun yang lalu saat ia menemukan Bella tengah bercumbu dengan lelaki lain yang jauh lebih muda. "Nama saya Denish. Saya adalah asisten pribadi Mr. Chen. Beliau berkirim salam dan memohon maaf lantaran berhalangan hadir dikarenakan sesuatu hal. Saya diutus oleh beliau untuk menghadiri meeting kali ini bersama Tuan-tuan," jelas Denish sembari menjabat tangan keduanya."Baiklah, mari kita mulai." Bram yang melihat perubahan air muka Ravin segera memberi isyarat lelaki itu, me
Bab 102 Menyadari kehadiran sang suami, Rayna bangkit dan setengah berlari menubruk sang suami, memeluknya tanpa mengurangi isakannya. Ravin yang tak mengerti apapun, membalas pelukan itu sembari membimbing istrinya kembali ke tempat tidur. "Berceritalah padaku, Rayna. Kenapa kamu menangis?" "Bella menelponku," Lirih sekali suaranya. "Bella? What?!" Lelaki itu memekik keras. Rayna mengambil ponsel dari meja nakas, menyerahkannya kepada Ravin. Ravin langsung terbelalak, menyimak beberapa pesan dari Bella yang muncul di layar ponsel, berisi permintaan Bella agar Rayna meninggalkan Ravin. "Dia menganggapku pelakor, Hubby," keluh Rayna. Tiba-tiba lelaki itu tertawa terbahak-bahak. "Apa tidak terbalik? Dialah yang menjadi pelakor sekarang, bukan kamu, Rayna. Bella melakukan segala macam cara agar kita segera berpisah. Kamu harus sadari itu, Sayang. Aku, Daddy dan Mommy tidak sebodoh itu dalam menerima seorang anak laki-laki yang mengaku-ngaku sebagai darah dagingku. Dia pikir aku