Bab 96"Antara percaya dan tidak percaya sih, Mom. Aku rasa sangat penting melakukan tes DNA ulang. Jika nanti hasilnya berbeda, berarti benar kata Daddy, itu adalah trik murahan dari Bella." Lelaki itu mengembangkan senyumnya."Syukurlah," ujar tuan Elvan seraya menepuk bahu putranya. "Kamu sudah melakukan hal yang benar.""Tapi bagaimana dengan Arsen? Anak itu sudah menganggap kamu sebagai daddynya," sela nyonya Amyta. "Nanti kita pikir lagi bagaimana baiknya," ujar tuan Elvan menenangkan istrinya. Rayna dan Arsen akhirnya kembali ke dalam rumah sesaat setelah Bram masuk ke mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Ravin melambaikan tangan, membuat bocah kecil itu berlari kecil menghampirinya."Bagaimana, Arsen? Apakah senang bermain dengan Mommy Rayna?" tanya Ravin."Senang sekali, Daddy. Mommy Rayna sangat pandai menangkap bola. Arsen kalah terus," cerita Arsen. Anak laki-laki itu merangkak naik ke pangkuan Ravin."Oh, ya?" Tuan Elvan terkekeh. Dia mencubit pipi bocah kecil itu denga
Bab 97Rayna berusaha untuk duduk kembali meskipun kepalanya masih sedikit pusing."Benar, Rayna. Aku sangat butuh uang sekarang.""Buat apa, Ziyad? Kemarin kamu mau minjam uang kepada Ravin untuk melunasi biaya pernikahanmu. Sekarang apalagi?" Rayna berusaha menekan emosinya. Baru saja ia mendapat masalah di dalam rumah tangganya, sekarang mantan suaminya kembali berulah."Ghina terseret masalah di kantor. Dia dituduh menggelapkan dana nasabah....""Ghina korupsi?" potong Rayna."Sebenarnya bukan Ghina, tetapi salah seorang yang berkuasa di kantor pusat. Dia yang selama ini mensupport Ghina sejak ia menjadi kepala cabang di kantorku," jelas Ziyad."Berarti Ghina cuma dijadikan tumbal?" selidik Rayna. Dia memijat pelipisnya."Kurang lebih begitulah, tetapi orang itu tidak tersentuh oleh hukum. Di mata hukum, Ghina lah yang korupsi, pelaku penggelapan dana nasabah. Ah, sudahlah, Rayna. Kamu ada uang nggak?" desak Ziyad di seberang telepon."Aku tidak punya uang banyak, Ziyad. Kamu butu
Bab 98"Aku tidak menyangka semua akan menjadi seperti ini. Semuanya hancur." Ghina menggapai tisu di meja nakas mengelap wajahnya yang basah."Kita tidak bisa berharap kepada siapapun, termasuk keluarga sendiri." Susah payah Ziyad menelan ludahnya. Dia menghirup nafas sebanyak-banyaknya demi melonggarkan dadanya."Kenapa keluarga kita justru menjauh setelah kita mengalami musibah seperti ini?" ucap Ghina sendu.Ziyad memiringkan tubuh, memeluk istrinya erat-erat. "Itulah kenapa kita tidak boleh berharap kepada keluarga sendiri, karena kebanyakan orang akan mendekat di saat kita tengah berjaya dan akan menghindar disaat kita sedang susah. Kamu mau, kan, memulai semuanya dari nol lagi sama aku?"Ghina mengangguk lemah. "Aku tidak punya pilihan. Orang tuaku saja mengabaikanku setelah mengetahui aku dipecat. Mereka tidak mau terima dengan kenyataan ini, terlebih saat mengetahui bagaimana cara aku meraih jabatan kepala kantor cabang waktu itu. Mereka cuma bisa menyalahkan."Di benaknya te
Bab 99Ghina duduk begitu saja di lantai tanpa alas. Dia memijat pinggangnya yang terasa pegal, demikian juga kakinya. Perutnya semakin membuncit. Mungkin beberapa bulan lagi dia akan melahirkan. Sepasang matanya sendu menatap perutnya. Tak pernah sedikitpun terlintas di benaknya, harus menyambut kelahiran bayi pertamanya dengan kehidupan yang seperti ini. Setetes air bening jatuh membasahi pipinya yang tirus. Dia tak berani terisak, takut lelaki itu mendengar. Ghina sudah cukup beruntung memiliki seorang Ziyad, walaupun di awal lelaki itu menikahinya lantaran terpaksa, karena harus bertanggung jawab terhadap bayi yang berada dalam kandungannya.Mereka tidak membawa barang apapun dari rumah, karena rumah dan segala isinya disita, demikian juga dengan barang-barang branded, perhiasan dan kendaraan. Semuanya tak ada lagi yang tersisa, kecuali baju-baju murahan yang kini mereka bawa dan sekarang tengah dikeluarkan oleh Ziyad. Ziyad menaruhnya di lemari pakaian. Satu-satunya perabotan y
Bab 100"Aku pelit?!" Tiba-tiba Ziyad tertawa keras."Aku pelit dengan kalian? Separuh gajiku aku berikan kepada kalian setiap bulan. Apakah itu masih dianggap pelit?" Lelaki itu melotot. Sungguh ia tidak habis pikir dengan cara berpikir adiknya."Seharusnya Kakak memberikan semua uang gaji Kakak kepada kami, karena aku dan Mama lebih membutuhkan ketimbang Mbak Ghina. Mbak Ghina kan kerja. Mbak Ghina tidak perlu uang gaji Kakak!" teriak Selvi yang dibarengi dengan anggukan kepala ibunya."Jadi jika mbakmu kerja, lantas dia tidak berhak atas nafkah dari suaminya. Begitu maksud kalian?" Ziyad kembali menatap ibu dan adiknya bergantian."Ya iyalah. Dia sudah bisa cari duit sendiri. Kenapa Kakak harus repot-repot memberi dia uang? Sementara aku dan Mama tidak bekerja. Kami yang harus di utamakan," tukas Selvi tak tahu malu."Kalau begitu, carilah pekerjaan agar tidak menjadi benalu bagi saudaramu!" sergah lelaki itu.Ziyad merasa sangat muak. Dulu dia memang memanjakan Selvi, tetapi sekar
Bab 101Ravin berdiri terpaku dengan Bram di sampingnya, sementara lelaki yang awalnya duduk membelakangi seketika berdiri. Posisi keduanya kini berhadapan. Mata Ravin tak berkedip menatap struktur wajah lelaki muda ini. Kali ini dia tidak salah lihat. Lelaki itu memang benar-benar adalah lelaki yang di pergokinya bersama dengan Bella 5 tahun yang lalu."Maaf, ini dengan tuan Ravin dan Tuan Bram, kan?" Lelaki itu mulai bersuara."Ah, iya betul." Ravin mengangguk. Otaknya masih saja memutar kenangan, peristiwa lima tahun yang lalu saat ia menemukan Bella tengah bercumbu dengan lelaki lain yang jauh lebih muda. "Nama saya Denish. Saya adalah asisten pribadi Mr. Chen. Beliau berkirim salam dan memohon maaf lantaran berhalangan hadir dikarenakan sesuatu hal. Saya diutus oleh beliau untuk menghadiri meeting kali ini bersama Tuan-tuan," jelas Denish sembari menjabat tangan keduanya."Baiklah, mari kita mulai." Bram yang melihat perubahan air muka Ravin segera memberi isyarat lelaki itu, me
Bab 102 Menyadari kehadiran sang suami, Rayna bangkit dan setengah berlari menubruk sang suami, memeluknya tanpa mengurangi isakannya. Ravin yang tak mengerti apapun, membalas pelukan itu sembari membimbing istrinya kembali ke tempat tidur. "Berceritalah padaku, Rayna. Kenapa kamu menangis?" "Bella menelponku," Lirih sekali suaranya. "Bella? What?!" Lelaki itu memekik keras. Rayna mengambil ponsel dari meja nakas, menyerahkannya kepada Ravin. Ravin langsung terbelalak, menyimak beberapa pesan dari Bella yang muncul di layar ponsel, berisi permintaan Bella agar Rayna meninggalkan Ravin. "Dia menganggapku pelakor, Hubby," keluh Rayna. Tiba-tiba lelaki itu tertawa terbahak-bahak. "Apa tidak terbalik? Dialah yang menjadi pelakor sekarang, bukan kamu, Rayna. Bella melakukan segala macam cara agar kita segera berpisah. Kamu harus sadari itu, Sayang. Aku, Daddy dan Mommy tidak sebodoh itu dalam menerima seorang anak laki-laki yang mengaku-ngaku sebagai darah dagingku. Dia pikir aku
Bab 103Bella lebih shock lagi menyadari kehadiran Ravin yang tiba-tiba. Berulang kali dia mengucek matanya, memindai sosok lelaki gagah yang terus saja mendekat. "Katakan kepadaku, Bella. Arsen itu bukan anakku, tapi darah dagingnya!" tunjuk Ravin kepada lelaki muda yang barusan berdebat dengan Bella. "Benar, Ravin." Denish tiba-tiba mengacungkan tangan. "Arsen adalah putraku dan Bella sengaja memberikan identitasmu saat tes DNA Arsen. Itulah kenapa Arsen dan kamu dinyatakan identik." Ravin seketika bertepuk tangan. Penjelasan Denish sungguh masuk akal. "Kamu benar-benar hebat, Bella. Tidak salah jika kamu pernah menjadi istriku. Kelicikanmu memang sangat berguna untuk menjadi seorang istri pengusaha. Kamu memang cerdas dalam memanfaatkan segala situasi. Aku menjadi yakin, kepergianmu ke Kanada saat itu adalah untuk menyiapkan skenario besar supaya bisa kembali kepadaku. Iya, kan?" bentaknya. Bella mati kutu. Dia menyembunyikan tangannya yang gemetar di belakang tubuhnya. Sement
Bab 139 "Jodoh itu ibarat cerminan diri. Di detik ini aku baru sadar, aku memang tidak pantas untukmu. Kamu memang pantas untuk bersanding dengan Ravin," gumam Ziyad. Matanya tak lepas dari layar ponsel yang menayangkan adegan demi adegan kegiatan Rayna bersama Al-Fatih Mart Foundation. Perempuan muda itu nampak begitu tulus menyalami para orang tua di salah satu panti jompo yang ia kunjungi. Meskipun tak pernah ada lagi kontak dengan Rayna, tetapi lelaki itu senantiasa mengikuti perkembangan Rayna melalui akun media sosial Al-Fatih Mart yang ia follow. Ya, hanya itu jalan satu-satunya untuk mengetahui perkembangan dari perempuan yang bahkan sampai kini masih tetap dia cintai. Semua akses sudah tertutup. Rayna sudah menikah dengan Ravin, bahkan kini memiliki anak, Akalanka Mirza Zahair Narendra. Tak ada gunanya ia terus berharap. Mencintai dalam diam. Itu yang ia lakukan sekarang. Ziyad tersenyum kecut. Biarlah semua orang menganggapnya bodoh. Tapi hanya itu yang tersisa dari sosok
Bab 138 "Selamat, Tuan. Anaknya laki-laki, sehat, tak kurang suatu apapun dan ganteng seperti daddynya," canda dokter Viona. Dia sendiri yang menyerahkan langsung bayi mungil di dalam bedongan itu kepada Ravin. "Terima kasih, Dok." Ini jelas sebuah keajaiban bagi Ravin. Bisa menggendong bayi yang merupakan darah dagingnya sendiri merupakan mimpinya sejak lama dan kini menjadi kenyataan. Ravin melangkah menghampiri sang istri yang terbaring lemah di ranjang. Wanita itu mengulas senyum termanis. "Ini putra kita, Sayang," ujarnya sembari duduk di kursi dekat ranjang. Matanya menatap wajah mungil itu lekat-lekat. "Tentu saja. Terima kasih sudah menyambut kehadirannya." "Apa yang kau katakan, Sayang?!" Refleks tangannya terulur menutup mulut Rayna. "Kehadirannya sudah lama kutunggu dan hari ini aku sangat bahagia karena sekarang aku memiliki seorang pewaris. Pewaris Al-Fatih Mart yang sekarang tumbuh dan berkembang semakin besar, melebarkan sayap sampai ke negeri tetangga," ujarnya
Bab 137 "Bukan, Sayang. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk tidak lagi memantau mereka. Dean dan Roy akan ditarik sebagai pengawal pribadiku, menggantikan Adam dan Damian yang telah resmi menjadi pengawal pribadimu mulai hari ini." "Kenapa bisa begitu?" Rayna tersentak. "Karena kita sudah punya kehidupan masing-masing. Ada banyak hal yang lebih penting untuk kita perhatikan, Sayang. Jadi mulai hari ini stop! Ziyad dan keluarganya kita keluarkan dari tema pembicaraan kita sehari-hari. Are you oke?" tegas Ravin. Tangannya terulur menangkup wajah perempuan itu, mendongakkannya, lalu mendekatkan wajahnya sendiri, mengecup bibir ranum itu dengan lembut. Rayna menggeliat. Tubuhnya menghangat seketika. "Berjanjilah untuk move on dari cinta dan suami pertamamu itu, Sayang. Seperti aku juga yang move on dari istri pertamaku," lirih lelaki itu. Rayna menatap pemilik wajah dengan rahang yang tegas itu dalam-dalam. Ada kesungguhan dan ketulusan di sana. Ravin benar. Setelah selesai soal kem
Bab 136Perempuan muda itu menoleh. "Kak Rayna!" Suaranya bergetar.Rayna menubruk gadis itu, memeluknya dengan erat, meskipun beberapa detik kemudian menyadari saat mereka berpelukan, ada yang mengganjal. Bukan cuma perutnya, tetapi juga perut Selvi."Selvi, kamu sedang hamil?" Tanpa sadar tangan perempuan itu mengusap perut besar milik Selvi.Gadis itu mengangguk. "Seperti yang Kakak lihat," sahutnya getir"Kamu sudah menikah?" Pertanyaan itu terasa begitu konyol. Otaknya berusaha keras mengingat-ingat. Dia dan Ravin memang memantau Ziyad dan Selvi, meskipun tentu tidak bisa 100%. Sampai sejauh ini suaminya tidak pernah menceritakan soal Selvi. Setiap kali ditanya, Ravin selalu bilang Selvi dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi nyatanya....Laila berinisiatif untuk membawa Selvi, Rayna dan Vania masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan bangunan itu."Ini anak Angga?" Rayna kembali mengusap perut besar Selvi dengan lembut saat mereka sudah duduk di sofa."Iya, Kak." Butir-butir beni
Bab 135"Terima kasih, Sayang. Kamu adalah istriku dan ratuku. Kamu tidak perlu merubah apapun dari dirimu. Semua yang ada pada dirimu sudah sempurna. Aku juga tidak menuntutmu terlibat penuh dalam kegiatan di perusahaan, kalau memang kamu tidak menginginkannya. Cukuplah kamu mendampingiku, setia padaku, karena aku benci dengan yang namanya penghianatan." Ravin menghela nafas berat.Antara Bella dan Rayna sungguh berbeda dan Ravin menerima Rayna mutlak apa adanya. Dia hanya menginginkan kesetiaan, setelah apa yang Bella torehkan kepadanya. Buat apa memiliki istri cantik, cerdas, berpendidikan tinggi, tetapi punya kebiasaan memelihara pria pemuas hasrat? Ini sangat menjijikan!Keduanya menikmati waktu beberapa saat di taman sebelum akhirnya bangkit. Ravin memeluk pinggang istrinya posesif. Namun baru beberapa langkah keduanya mengayunkan kaki, mendadak ponsel Ravin berdering"Panggilan video dari Axel," cicit Rayna. Sepasang suami istri itu berpandangan."Angkat saja, Hubby. Siapa tahu
Bab 134 "Istrimu?!" Perempuan yang hanya mengenakan dress di atas lutut tanpa lengan itu mengibaskan rambutnya. "Apakah aku tidak salah dengar? Apakah ini benar-benar istrimu?" Dia menunjuk Rayna dengan ekspresi keheranan. Matanya tak lepas mengamati penampilan Rayna yang mengenakan gamis dengan jilbab yang menutupi kepala sampai tonjolan di dadanya. Memang, pakaian yang dikenakan oleh Rayna berharga cukup mahal dan model kekinian. Namun di mata Chintya, gaya berpakaian Rayna seperti orang udik, kampungan! "Lho, memangnya kenapa, Chintya?" Ravin menatap Chintya dengan pandangan tak suka. "Ah, tidak apa-apa. Aku hanya heran dengan seleramu. Kamu terlihat sangat berubah, Ravin. Aku pikir setelah kamu menceraikan Bella, kamu akan mencari wanita yang jauh lebih baik dari mantan istrimu itu." Chintya mencoba menutupi keterkejutannya dengan tertawa kecil. "Dan Rayna adalah wanita yang jauh lebih baik dari Bella," ujar Ravin sinis. Sekalian saja dia menumpahkan isi hatinya, mampung bert
Bab 133"Oh, ya? Benarkah?" Sepasang mata indah itu berbinar-binar menatap tudung saji yang teramat besar menutupi seluruh hidangan di atas meja makan."Benar sekali, Nyonya. Hari ini saya memasak makanan yang merupakan kekayaan kuliner kami orang Melayu." Chef Ehsan melambaikan tangan kepada dua orang wanita berseragam pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Mereka bergegas menghampiri, lalu membuka tudung saji."Inilah nasi lemak khas Malaysia," ujar chef Ehsan bangga."Wow...! Ini sangat keren. Terima kasih, Chef. Kamu memang juru masak yang hebat!" puji Rayna."Terima kasih atas pujian Nyonya. Itu memang sudah tugas saya sebagai chef pribadi keluarga Narendra, sekaligus senior chef di sebuah restoran masakan khas Melayu yang dimiliki oleh keluarga Narendra," sahut chef Ehsan sopan."Keluargamu juga memiliki restoran di sini, Hubby?" Perempuan itu sangat terkejut. Dia menoleh kepada sang suami."Kurang lebihnya seperti itu, Sayang. Daddy Elvan memang menjadi investor terbesar di sal
Bab 132Dari sebuah bandara kecil yang intensitas penerbangannya tidak terlalu padat, Ravin dan Rayna bertolak ke Kuala lumpur. Rayna yang baru pertama kali menaiki pesawat pribadi terkagum-kagum dengan interior yang dimiliki oleh pesawat pribadi keluarga Narendra. Sungguh sangat mewah. Seumur hidupnya ia tidak pernah menyaksikan ada pesawat yang di dalamnya didesain mirip sebuah rumah."Ini adalah milikmu juga. Kamu bebas menggunakan pesawat ini kemanapun kamu akan bepergian. Kapten Ivan akan senang hati mengantarmu. Beliau adalah seorang pilot dengan jam terbang yang sangat tinggi." Ravin seolah bisa membaca keminderan dari diri wanita itu."Memangnya aku mau kemana?" Rayna tertawa kecil. "Ini adalah pertama kali aku pergi ke luar negeri dan itu pun bersamamu Hubby....""Kasihan," goda Ravin mencubit hidung bangir istrinya. Mereka tengah berbaring di pembaringan. Ravin memeluk Rayna sembari mengelus perut wanita itu. Terasa olehnya permukaannya yang tak lagi rata. Untuk sesaat hat
Bab 131 Tangan Selvi terulur mengelus pipi tirus perempuan tua itu. Tak ada rasa hangat sedikitpun dari wajah yang disentuhnya. Tak ada kehidupan. Wajah itu dingin dan beku. Selvi menjerit keras. Tubuhnya seketika lemas tiada berdaya. Namun sebelum tubuh itu terkapar di lantai ruangan, sepasang tangan besar menangkap Selvi, membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Mama sudah tiada." Ziyad berulang kali membisikkan kata-kata itu ke telinga Selvi, meskipun matanya memanas menahan tangisnya. Bagaimanapun ibunya adalah surganya. Ziyad menggendong Selvi keluar dari ruangan itu. Dia membiarkan jenazah ibunya langsung diurus oleh para petugas di rumah sakit. Di ibukota ini ia tidak memiliki siapapun, kecuali bude Darsinah. Fokusnya sekarang adalah menenangkan Selvi yang mengalami shock berat. Saudara ibunya itu datang ke rumah sakit ini bersama keluarganya satu jam kemudian, saat jenazah ibunya sudah siap untuk di shalatkan. Mereka memutuskan untuk menyalatkan jenazah Widya di mushala de