Diwana dan Nilakandi tengah menyiapkan makan malam di meja makan. Sebenarnya Diwana yang menyiapkan semuanya, Nilakandi hanya menyiapkan piring dan mengupas beberapa buah, masih dengan perasaan canggung.
Mereka membeli satu ekor ayam madu utuh di perjalanan, titipan Aiden. Diwana hanya menyiapkan telur rebus dan salad sayur sebagai pelengkap. Beberapa saat kemudian, Aiden datang dan menginterupsi keduanya.
“Oh, hai. Kenapa lama banget keluar kamarnya?” sapa Nilakandi.
Aiden melirik ke arah kakaknya sebentar sebelum mendekatkan dirinya ke telinga Nilakandi dan berbisik pelan.
“Andini ngambek, Kak. Hari ini harusnya kita ngedate, tapi aku lupa dan malah tidur seharian. Aku abis diomelin tiga puluh menit ditelepon,” bisiknya.
“Kenapa harus pelan-pelan?” tanya Nilakandi ikut berbisik di telinga Aiden.
Anak itu menunjuk Diwana dengan dagunya, lalu berbicara tanpa suara dengan menggerakkan bibirnya. Tangan kanannya bergerak di depan leher me
Terimakasih untuk para readers yang setia membaca. Jangan lupa berikan ulasan, ya^^ Salam hangat, ~Kalasenjana
Di hari yang berawan itu, seorang gadis cantik dengan gaun ulang tahun indahnya tengah menunggu seseorang dengan berdebar. Ia menata kue ulang tahunnya sendiri di meja kecil ruang tengah, lengkap dengan empat kursi yang mengelilinya. Ia bahkan memompa sendiri balon warna-warni yang menghiasi seisi ruangan.Nilakandi sedang berada di galeri seni kecil miliknya, hadiah ulang tahun dari sang ayah. Ayah, Ibu, dan sahabatnya-Luna-akan merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas disana, sesuai wishlist yang sebelumnya ia buat.Bersamaan dengan balon terakhir yang Nilakandi ikat, ponselnya berdering, menampakkan nama “ayah terhebat” di layarnya.“Nilakandi, ayah dan ibu mampir ke rumah Luna dulu, ya? Dia mau berangkat sama kita,” suara sang ayah.“Hm? Tadi bilangnya mau diantar Kak Ten kok, yah,” jawab Nilakandi.“Tadi Luna barusan telepon ayah, katanya mau berangkat sama-sama. Nggak papa, toh nggak jauh rumahnya.
“Hah? Nggak berguna? Bagaimana bisa bukti sekuat itu bisa ditolak?” tanya Tama kesal di hadapan pengacara nomor satunya, Andrew. “Tak ada bukti yang mengarah langsung bahwa dia adalah pelakunya, Pak,” jawab Andrew yang menggeleng pelan. Ia kemudian menjabarkan satu persatu berkas yang ada di meja itu. Berkas-berkas itu adalah semua bukti yang dikumpulkan oleh Nana tentang kejahatan Ten selama ini. Baik rekaman CCTV, hasil visum luka dan memar Nilakandi, hingga bukti rekaman suara Ten saat merudung Nilakandi yang pernah ia sembunyikan di rumah. “Empat potongan CCTV ini hanya memperlihatkan dia yang masuk ke gedung, bukan bertemu Nilakandi, tentu sangat mudah mengelaknya. Sedangkan satu potongan CCTV yang terakhir ini memang memperlihatkannya masuk ke kamar Nilakandi, tapi tak ada hasil visum untuk kejadian di tanggal itu, jadi mudah saja bagi mereka untuk mengelak bahwa tak terjadi kekerasan di sana,” terang sang pengacara. “Hasil visumnya memang hanya
Diwana duduk santai di kursi empuk ruangan itu, menunggu dokter Tano yang tengah mengunjungi pasiennya. Ia melihat-lihat ke sekeliling, semuanya terasa familiar baginya karena enam tahun sudah ia rutin mengunjungi ruangan itu.“Hei, datang lebih awal ya,” sapa dokter Tano begitu masuk ke ruangan.Ia memeluk Diwana yang dengan sopan berdiri menyambutnya, lalu mempersilakannya duduk kembali.Pemeriksaan yang dijalani Diwana cukup sederhana. Selain pemeriksaan fisik, dokter Tano juga melakukan konseling singkat yang membahas tentang keluhan-keluhan yang mungkin Diwana rasakan selama empat bulan dari kontrol terakhirnya.“Seperti biasa, kamu selalu jaga diri kamu dengan baik. Nggak ada masalah apapun, jantung kamu sama sehatnya dengan jantungku sekarang. Ah, mungkin justru lebih sehat jantungmu karena aku sudah semakin tua,” kelakar dokter Tano.“Emm, dok. Sebetulnya, aku mau tanya sesuatu,” ucap Diwana dengan bahasa
Seorang perempuan berpakaian serba hitam terlihat mondar-mandir di luar gedung apartemen. Perempuan itu bahkan mengenakan masker hitam, kacamata, dan topi untuk menutupi wajahnya. Ia kemudian masuk dan naik ke lantai sembilan, atau lebih tepatnya ke apartemen nomor 903, tempat Diwana dan Nilakandi tinggal.Perempuan mencurigakan itu meletakkan sebuah kotak di depan pintu, ia membunyikan bel satu kali dan langsung berlari menuju lift untuk kembali turun.“Siapa?” teriak Nilakandi dari layar interkom.Awalnya ia pikir itu adalah Diwana, karena lelaki itu belum ada dua puluh menit meninggalkan rumah untuk pergi bekerja. Tapi karena tak ada jawaban, Nilakandi segera membuka pintu. Untuk sesaat ia lupa bahwa keberadaan Ten masih selalu mengancamnya.Namun begitu ia melihat benda di depan pintu, senyum lebar justru terukir di wajahnya. Ia mengambil benda yang ternyata adalah sekotak kado berwarna kuning dan berpita merah hati.“Kenapa n
Diwana berlari menuju apartemennya, ia melangkah masuk dengan perasaan tak terdefinisikan.“Kandi...?” panggilnya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah.“Nilakandi?” pangilnya lagi.Tak ada jawaban, jantung Diwana mulai berdegup kencang. Ia tak menemukan Nilakandi di rumahnya, tapi juga tak ada tanda-tanda mencurigakan apapun di sana. Ia kembali menelepon nomornya dengan ponsel Jovyan yang ia bawa, tapi nihil tak ada jawaban. Begitu pula dengan nomor Nilakandi, ponselnya mati.Diwana segera bergegas ke rumah Nilakandi. Ia meracau dalam hati, berharap perempuan itu ada di sana.“Nilakandi... Aku mohon,” racaunya dengan gusar.Ketakutan Diwana bertambah saat mendapati ruangan itu benar-benar kosong, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tangannya masih sibuk berusaha menelepon nomornya, tapi tetap tak ada jawaban.Sebuah telepon pun masuk, tapi bukan dari orang yang ia tunggu, melainkan
Jantung Nilakandi berdegup kencang saat ia hendak melangkahkan kaki ke kamar 1103 seperti yang tertulis di surat dari kekasihnya. Ia penasaran dengan kejutan apa yang tengah menunggunya di dalam sana. Ia melangkahkan kaki pelan, sambil melihat ke sekeliling kamar hotel mewah yang menyilaukan mata itu. Benar, kamar itu adalah kamar suite room dengan harga tak masuk akal per malamnya. “Hmm, kenapa tirainya warna gelap, sih,” gerutu Nilakandi begitu melihat tirai berwarna hitam menutupi jendela. “Its okay, nggak papa asal ada Kak Diwana,” ucapnya seraya menyibak tirai menjulang itu hingga menampakkan pemandangan di baliknya. Pemandangan dari Hotel Zeus memang terkenal akan indahnya. Hotel tidak terletak di tengah hiruk pikuk pusat industri, melainkan di pinggir kota yang tenteram tepat di balik sebuah bukit menjulang, sekitar tiga puluh menit dari pusat kota. Pemandangan pepohonan hijau yang membentang terlihat begitu indah dari lantai sebelas. A
“Kalau sesuatu yang buruk terjadi, aku nggak akan maafin Kak Diwana,” ujar Nana yang duduk di kursi tengah.Diwana hanya membisu, bukan hanya Nana yang tak akan memaafkannya. Tapi ia juga tak kan pernah memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada Nilakandi“Aku harap kalian bisa fokus hanya untuk cari Nilakandi aja hari ini. Aku nggak peduli kalian mau berantem kaya gimana, tapi lakukan nanti, nanti setelah semua masalah ini clear,” sanggah Tama sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam.“Kamar 1103 itu lantai 11. Hanya ada 4 kamar di sana, dan hanya VVIP atau hotelier yang bisa akses. Karena itu, kalian harus pakai tangga darurat. Begitu sampai, kalian berdua langsung ke TKP, aku akan urus manager dan ngumpulin keamanan hotel. Aku ada kenalan di sana,” jelas Tama.Tama memang sudah sering mengunjungi hotel eksklusif itu untuk kunjungan bisnis atau bertemu dengan VVIP lainnya. Beruntung,
Bau obat-obatan menyeruak di setiap sudut ruangan. Bunyi alat-alat medis yang menggema terdengar begitu mencekam.Diwana bangun dari lelapnya dengan nafas memburu. Ia berharap semua yang terjadi adalah mimpi. Namun sayang, pemandangan di sekelilingnya mengatakan tidak.“Ta...” lirihnya begitu mengenali sosok Tama yang duduk di kejauhan.“Diwana? Kamu udah sadar? Istirahat dulu, kamu cukup lemah sekarang,” ucap Tama saat Diwana hendak memaksakan diri untuk bangun.“Dimana Nilakandi?” tanya Diwana tanpa basa-basi.“Ada di ICU. Kamu juga perlu pemulihan, jantungmu cukup shock karena kejadian kemarin,”“Aku mau ketemu Nilakandi sekarang, aku mohon,” pinta Diwana memelas.“Tapi Diw-“Ada sesuatu yang nampak janggal dari raut wajah Tama, dan Diwana menyadari hal itu. Diwana meremat selimutnya, bersiap untuk apapun yang akan keluar dari bibir Tama.“A
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd